Monday, October 16, 2017

Pulitzer

No comments

Suatu hari di tahun 1868, hanya sehari setelah diterima sebagai wartawan di koran Westliche Post, Joseph Pulitzer membuat heboh warga St. Louis, Missouri. Setengah kolom berita kasus pencurian di toko buku Roslein yang ditulisnya di koran itu,  berbeda dengan berita-berita tentang kasus yang sama yang dimuat oleh koran-koran lain. Para redakturnya memarahinya. Mereka menganggap Pulitzer merusak reputasi Westliche Post.

Di koran-koran lain, para wartawan menulis, pencuri di toko Roslein adalah sesosok laki-laki berpostur jangkung, rambut pirang, dan di pelipisnya ada tanda cacat. Berita itu ditulis berdasarkan keterangan dari Peters, koordinator wartawan di kepolisian, yang dipercaya oleh polisi dan para wartawan, untuk menyampaikan semua keterangan polisi.

Lewat beberapa jam setelah kasus pencurian itu diselidiki oleh polisi, seorang opsir memang telah berbicara kepada Peters: Pencuri di toko Roslein, berdasarkan keterangan saksi-saksi, adalah seorang laki-laki yang pada tengah malam terlihat mondar-mandir di depan toko dengan ciri-ciri tinggi, rambut blondi dan ada codet di pelipisnya. Peters lalu menyampaikan semua keterangan polisi itu kepada rekan-rekannya, para wartawan yang tidak punya atau tidak bisa mengakses keterangan polisi. Dan keesokannya, keterangan Peters yang mengutip keterangan polisi, menjadi berita di seluruh koran yang terbit St. Louis kecuali di Westliche Post.

Di koran itu, Pulitzer menulis dengan yakin dan terang: Pencurinya adalah asisten toko bernama John Eggers yang sudah meninggalkan St. Louis dengan menumpang kereta api pagi. Orang itulah yang bertugas membuka dan mengunci pintu toko, dan juga tahu nomor kode lemari besi tempat uang hasil penjualan buku disimpan. Tapi gara-gara beritanya berbeda dengan berita-berita dari koran lain, para redaktur Pulitzer marah besar. Mereka menuding Pulitzer telah menghancurkan nama besar Westliche Post. “Pembaca menertawakan koran kita,” kata seorang redaktur, “Karena berita yang kamu tulis berbeda dengan berita-berita di koran lain.”

Dia mengadukan Pulitzer ke redaktur pelaksana, dan sama dengan redaktur yang marah kepada Puliutzer, redatur pelaksana  itu juga menganggap Pulitzer telah membuat kesalahan fatal. “Kenapa bisa sampai begini?” dia bertanya kepada Pulitzer.

Pulitzer berusaha menjawab tapi seseorang kemudian menyela. Orang itu menjelaskan kepada redaktur dan redaktur pelaksana yang memarahi Pulitzer bahwa yang ditulis oleh Pulitzer adalah berita yang benar. “Baru saja saya bertemu dengan Pak Roslein. Dia menceritakan, polisi telah menangkap pencuri di tokonya dan pencurinya juga sudah mengaku. Namanya John Eggers, asisten dan kasir di toko Pak Roslein.”

Para redaktur Pulitzer terperangah. Mereka tak bisa lagi membantah berita yang ditulis oleh Pulitzer. Berita kasus pencurian di toko Roselin yang isinya berbeda dengan berita-berita di koran-koran lain pada hari itu, dan oleh mereka telanjur dianggap merusak reputasi Westliche Post, ternyata adalah berita yang memang “berbeda”. Dari mana Pulitzer mendapat bahan-bahan berita itu?

Hanya beberapa jam pada hari Pulitzer diterima sebagai wartawan di Westliche Post, redakturnya yang belakangan memarahinya, memberinya penugasan. Dia ingin menguji Pulitzer, anak muda berusia 21 tahun, kurus, jangkung, yang dinilainya kaku dan bodoh; untuk mencari berita dan berita itu adalah kasus pencurian di toko buku Roslein yang terjadi pada malam sebelumnya. Dia berpesan kepada Pulitzer: “Kamu pergi ke toko itu tapi tak usah cari berita sendiri. Kamu tidak akan bisa. Hubungi saja Peters. Dia yang akan memberikan keterangan padamu.”

Pulitzer mendatangi toko Roslein, dan di luar toko itu, dia mendapati semua wartawan telah menunggu Peters yang terlihat sedang berbicara dengan opsir di dalam toko. Saat Peters keluar dari toko, para wartawan lantas mengerubunginya. Dari mulut Peters kemudian meluncur keterangan tentang ciri-ciri pencuri di toko buku Roslein berdasarkan keterangan polisi.

Konon lagi bertanya alasan polisi mencurigai lelaki dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Peters, para wartawan itu malah menelan semua keterangan Peters, dan hal itu membuat Pulitzer terheran-heran. Mereka para wartawan, tapi hanya mencatat semua keterangan tanpa bertanya satu patah pun kendati keterangan Peters banyak yang belum jelas dan memang tidak jelas.

Pulitzer karena itu memberanikan untuk bertanya kepada Peters: Mengapa polisi mencurigai orang dengan ciri-ciri yang disebutkan itu? Dan Peters yang baru kali pertama melihat Pulitzer malah kebingungan menjawab. “Iya ya, mengapa... Tapi kamu pergilah ke opsir itu senyampang dia masih berada di toko. Tanyakanlah sendiri.”

Pulitzer, wartawan baru itu, bergerak masuk ke toko Roslein. Dia mengenalkan diri dan menerangkan identitasnya tapi polisi yang menyelidiki pencurian itu menghardiknya. “Semua keterangan sudah ada pada Peters. Tanya sama dia. Jelas? Sekarang kamu keluar.”

Roslein yang juga berada di dalam toko segera tertarik dengan keberanian Pulitzer. Dia meminta kepada opsir agar memberi kesempatan Pulitzer untuk bertanya, dan polisi itu tak punya pilihan. Sinis dia bertanya kepada Pulitzer tentang yang hendak ditanyakan. Pulitzer tak membuang kesempatan. Dia bertanya dengan pertanyaan menohok: Siapa yang bertugas membuka dan mengunci pintu toko setiap hari?

Polisi tak bisa menjawab tapi Pak Roslein membantunya. Dia menjelaskan, yang membuka dan mengunci pintu toko adalah John Eggers, pembantu di tokonya.

“Tuan Roslein, kenapa Anda tidak menjelaskan bahwa Anda punya asisten?” tanya polisi.
“Maaf opsir, saya kira keterangan tentang John tidak penting,” jawab Roslein, ”Lagi pula, hari ini dia meminta izin tak masuk kerja karena sakit.”
“Tidak. Seharusnya Anda menjelaskan tentang John. Ini fakta yang hilang. Dan apakah John tahu nomor kode peti besi toko Anda?”
“Saya memberitahunya. Dia merangkap kasir di toko ini. Orangnya jujur.”

Polisi terkejut mendengar penjelasan Pak Roslein. Dia lantas menjelaskan, sebelum datang ke toko Roslein, telah melihat John naik kereta api pagi ke arah barat. Dia yakin pencuri di toko Roslein adalah John. Tidak salah lagi.

Pulitzer menyimak semua percakapan polisi dan Roslein. Tapi sementara keduanya terus terlibat tanya-jawab, dia segera keluar dari toko dan bergegas menuju stasiun. Di sana Pulitzer menanyai sejumlah orang tentang John. “Barangkali Anda melihatnya tadi. Orangnya seperti ini, seperti itu.”

Kepada Pulitzer, beberapa orang mengaku memang melihat John berdasarkan ciri-ciri yang disebut oleh Pulitzer, telah naik kereta api pagi. Pulitzer mencatat semua kesaksian mereka, dan setiba di kantornya, dia segera menulis semua temuannya menjadi berita setengah kolom. Berita itulah yang keesokannya membuat heboh warga St. Louis karena isinya berbeda dengan isi berita koran-koran lain.

Mengapa Pulitzer menulis berita berbeda?  Kepada redakturnya dia menjelaskan, dia tidak puas dengan keterangan Petters dan keterangan polisi, yang banyak tidak jelas, dan dia benar.

Bagi wartawan, keterangan sumber seharusnya memang tak hanya disikapi dengan hati-hati, melainkan harus pula disikapi dengan kritis dan skepstis. Tidak dipercaya. Hanya dengan sikap semacam itulah, berita yang ditulis oleh wartawan akan punya nilai meskipun berita itu mungkin akan berbeda dengan yang ditulis oleh wartawan lain.

Anda tahu bukan siapa Pulitzer itu?

Benar, dia wartawan. Bukan juru propaganda pemilu. Bukan humas aparat dan para politisi. Bukan corong suara kekuasaan dan kepentingan. Hanya seorang wartawan, yang reputasi dan keterkenalan namanya tentu saja melampaui nama Anda dan nama saya.

Oleh Rusdi Mathari (Cak Rusdi)

[Cuplikan bebas dari “Joseph Pulitzer Front Page Pioneer”, salah satu bahan cerita untuk kelas menulis Mojok di Yogyakarta]

*Dari dinding Facebook Cak Rusdi, 1 Oktober 2016*

No comments :

Post a Comment