Wednesday, July 11, 2018

Nama Gorontalo dan Pengaruh Lidah Orang Belanda

No comments

Jika Aceh disebut Serambi Mekkah, maka Gorontalo kerap dijuluki Serambi Madinah. Sejak ditetapkan sebagai provinsi pada 5 Desember 2000, Gorontalo yang berada di wilayah utara pulau Sulawesi, yang bersemboyankan “Aadati hula-hula to Sara’, Sara’ hula-hula to Kuru’ani (Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Al-Quran), memang sangat bernuansa Islami. Berpenduduk mayoritas muslim 96,82 persen, hampir setiap salat 5 waktu yang diwajibkan bagi penganut Islam, Kota Gorontalo bergemuruh oleh suara azan.

Mengenai awal mula nama Gorontalo sendiri, disampaikan Budayawan Gorontalo, Alim Niode, bahwa nama daerah itu sangat erat dengan kondisi geografisnya. Ada berbagai macam versi tentang asal usul nama Gorontalo, dari yang mengatakan berasal dari “Hulontalangio”, yakni nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi Hulontalo.

Kemudian dari “Hua lolontalengo” yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu lalang. Juga dari “Hulontalangi” yang artinya lembah mulia,  dari “Hulua lo tola” yang artinya tempat berkembangnya ikan gabus, “Pongolatalo” atau “Puhulatalo” yang artinya tempat menunggu, Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung, dan dari kata “Hunto” yang mengidentifikasikan suatu tempat yang senantiasa digenangi air.

Untuk itulah, terkait penamaan di atas, ada beberapa yang memang cukup identik dengan kondisi geografis Gorontalo, yang mirip belanga raksasa, sebab dulunya Gorontalo masih berupa lautan. Hal itu diperkuat oleh banyaknya renik laut yang terkandung di perbukitan yang mengelilingi Gorontalo.

“Namun saya cenderung sepakat dengan tafsir milik S.R. Nur yang menyebutkan Gorontalo berasal dari kata Huntu dan Langi-langi (Gundukan/perbukitan yang tergenang). Lalu menjadi Hulonthalangi,” katanya belum lama ini.

Sebagai sebuah nama, kata Gorontalo tidak bisa dilacak lebih jauh oleh S.R. Nur, penulis buku Ikilale Lo Bate Walu (Ikrar Delapan Kepala Adat) Kerajaan-Kerajaan Gorontalo (Ujung Pandang, tanpa penerbit, 23 Januari 1992), saat melakukan penelitian tahun 1960.

Namun ada hal menarik menyoal penamaan Gorontalo itu sendiri. Dari banyak literatur sejarah tentang Gorontalo, telah terjadi perubahan ejaan dan pengucapan nama Gorontalo. Yang mula-mula adalah Hulontalo lalu berubah menjadi Horontalo, dan terjadi perubahan lagi menjadi Gorontalo hingga sekarang. Hal tersebut diakibatkan influence dialek dari kolonialis Belanda.

Dituturkan Alim, Belanda tiba di Gorontalo sekitar tahun 1750. Akan tetapi Belanda secara total menguasai Gorontalo pada tahun 1889. Dari literatur pula, diketahui pada tahun 1889, sistem pemerintahan kerajaan dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah “Rechtatreeks Bestur”. 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan daerah Uduluwo Lo Ulimo Lo PohalaA, yakni lima kerajaan di Gorontalo yang menjadi satu ikatan kekeluargaan yang disebut PohalaA. Di antaranya PolahaA Hulontalo (Gorontalo), Limuttu (Limboto), Bone-Suwawa-Bintauna, Bolango (Boalemo), dan Andagile (Atinggola).

Semuanya disusutkan menjadi tiga Onder Afdeling oleh kolonial Belanda yakni Onder Afdeling Kwandang, Boalemo, dan Gorontalo. 1920 berubah lagi menjadi lima distrik, masing-masing Distrik Kwandang, Limboto, Bone, Gorontalo, dan Boalemo.

Baru pada tahun 1922, Gorontalo ditetapkan menjadi tiga Afdeling lagi, yakni Afdeling Gorontalo, Boalemo, dan Buol. Di rentang waktu itulah mulai terjadi influence nama Gorontalo oleh pengaruh lidah orang Belanda, pada masyarakat kala itu. Hingga pada akhirnya dipelopori Teme Djonu atau yang lebih dikenal Nani Wartabone, pada 23 Januari 1942 Gorontalo menyatakan merdeka atas penjajahan kolonial. Lebih dulu dari negara Indonesia yang baru diproklamirkan kemerdekaannya, pada 17 Agustus 1945. Namun hingga sekarang, nama Gorontalo secara administratif tetap digunakan.

“Tapi penulis-penulis asal Belanda juga tetap menggunakan kata Hulontalo di buku-buku mereka. Seperti J.G.F. Riedel, Richard Tacco, dan Rosenberg. Gorontalo pada lidah orang Belanda sendiri dieja Horontalo, Listening-nya terdengar Hulontalo,” jelasnya.

Namun bisa ditemukan pula buku G.B.X. Rosenberg, contohnya yang berjudul Reistogten in de Afdeling Gorontalo (1865), yang masih menggunakan kata Gorontalo. Sama seperti karangan E.E.W.G Schroden yang berjudul Gorontalosche Woordenlijst (1908). Dalam karangan J. Breukink, Bijdragen tot eene Gorontalo’sche Spraakkunst, yang mengulas tentang fonologi, afiksasi, dan daftar-daftar kata Gorontalo, yang terbit di Den Haag, Belanda. Pun masih menggunakan kata Gorontalo. Menurut Alim, perlu pula membaca buku-buku, atau catatan-catatan itu.

Alim sendiri tidak bisa memastikan kenapa Horontalo akhirnya berubah menjadi Gorontalo secara administratif. Namun dikatakannya, Belanda menuliskan kata “Gorontalo” yang mereka eja menjadi Horontalo, lalu kembali dieja oleh orang Gorontalo sesuai kata “Gorontalo”. Itu yang dituturkan masyarakat lalu menjadi kebiasaan, yang selanjutnya bertahan hingga sekarang.

Adapun mengenai konsonan ‘h’ yang berubah menjadi ‘g’ pada kata Horontalo-Gorontalo, yang jika disepadankan dengan ejaan ‘gulden’ untuk mata uang bahasa Belanda berawalan ‘g’ diucap ‘kh’, yang nantinya secara artikulasi hampir terdengar seperti ‘hulden’. Mu’awal Panji Handoko, Fungsional Umum di Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo memiliki pendapat sendiri. Bahwa pengaruh lidah orang Belanda memang ada, sehingga terjadi perubahan konsonan.

“Contohnya marga Hubulo yang berubah menjadi Gobel,” katanya. Sedangkan mengenai dokumen tertulis soal perubahan konsonan ‘h’ ke ‘g’, Handoko tidak bisa memastikan bahwa dokumen itu ada.

Masyarakat Gorontalo minim historiografi tradisional, sebab masyarakatnya dikenal dengan folklore atau budaya tutur semacam tradisi Tanggomo; budaya tutur atau sastra lisannya orang Gorontalo. Meski di beberapa catatan diterangkan sebenarnya masyarakat Gorontalo mengenal sejarah tulisan, dan memiliki aksara Arab Pegon (Arab Gundul) lewat Catatan Buku Tua Gorontalo, karena afiliasi agama Islam yang mulai masuk ke Gorontalo pada tahun 1525. Tapi Gorontalo pun diketahui memiliki aksara lokal yakni aksara Suwawa-Gorontalo.

Namun pada akhirnya kebanyakan yang menulis tentang Gorontalo adalah para penulis asing, khususnya orang Belanda, atau yang lebih dikenal dengan historiografi kolonial.

Salah satu sejarawan dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Joni Apriyanto mengatakan, pada tahun 2000an saat melakukan wawancara dengan mendiang Prof. Dr. Mansoer Pateda, yang menerbitkan Kamus Bahasa Gorontalo, bahwa Mansoer sepakat menyoal perubahan konsonan dipengaruhi lafal orang Belanda.

“Waktu itu Mansoer masih hidup. Dikatakannya, soal perubahan konsonan ‘h’ menjadi ‘g’, dipengaruhi bahasa Belanda, hingga akhirnya ‘h’ berubah ‘g’ dalam ejaan Gorontalo yang awalnya Horontalo,” terangnya.

Peneliti di Kantor  Bahasa Provinsi Gorontalo, Sukardi Gau, pun sepakat bahwa memang hal itu biasa terjadi. Mengenai perubahan konsonan, karena adanya pengaruh dialek orang Belanda, hingga disesuaikan dengan ejaan.

“Itu hal yang biasa. Sering terjadi, apalagi dalam artikulasi. Di samping itu, mungkin pengaruh dialek. Tapi memang dalam catatan beberapa peneliti asing, sering ditulis berbeda,” sampainya.

Meski demikian, dalam buku Mengukuhkan Jati Diri, Dinamika Pembentukan Provinsi Gorontalo 1999-2001 (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2013), yang dikeroyok oleh tiga penulis yakni Basri Amin, Hasanuddin, dan Rustam, dijelaskan bahwa pada tahun 1980, saat Gorontalo masih menjadi bagian wilayah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Gubernur Sulut kala itu G.H. Mantik mencetuskan konsep kesatuan regional, bagi wilayah-wilayah Sulut dengan slogan “Bohusami”. Bohusami adalah akronim dari empat wilayah kabupaten di Sulut, yang terdiri dari Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangihe-Talaud, dan Minahasa. Dalam akronim itu sendiri, penamaan yang dipakai adalah Hulontalo, bukan Gorontalo. (*)

Dayango, agama leluhur orang Gorontalo

No comments

Beberapa warga Desa Bangga sedang menyiapkan bahan-bahan untuk ritual Dayango. - Sigidad

Daun woka atau yang lebih dikenal busung Sulawesi menggunung di lantai rumah. Lima ujung bambu, menjorok masuk melalui jendela. Pada setiap ujung bambu, berjumbai daun woka, kain putih dan merah, dan bermacam-macam dedaunan.
Sebagian warga Desa Bangga, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, pada Kamis pagi (5/10/2017), berkumpul di salah satu rumah warga untuk menyiapkan bahan-bahan ritual.
"Kami akan mengadakan ritual Dayango. Ini sebenarnya seperti kepercayaan leluhur kami dulu," kata Riko Abjul (52), dengan bahasa Gorontalo kental. Hampir semua warga di Desa Bangga terbiasa menggunakan bahasa lokal.
Pria itu dipercayai mengkoordinir pelaksanaan ritual Dayango, Selain bahan-bahan di atas, di lantai telah tersedia hampir 50 lintingan rokok berbahan daun aren berisi tembakau, serta bahan-bahan keperluan lainnya.
Tampak, di genggaman salah seorang perempuan paruh baya, ada seekor ayam pipit berwarna putih. "Itu untuk keperluan ritual juga," kata Riko.
Menurutnya, semua perlengkapan ritual, disiapkan sehari sebelumnya. Sementara biaya membeli keperluan ritual atas swadaya warga. Jumlah biaya menurut Riko, sekitar Rp 500 ribu. Terbilang kecil, sebab ritual kali ini hanya digelar sehari.
Tujuan dilaksanakannya ritual kali ini, kata Riko, hanya untuk berkomunikasi dengan makhluk gaib di sekitar lahan berupa rawa yang baru saja diuruk. Lokasi yang ditimbun tersebut, diharapkan tidak mengakibatkan malapetaka bagi warga. Selain itu, warga yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan, meminta agar hasil tangkapan mereka melimpah. Alasan terakhir, juga untuk mengobati beberapa warga yang mengaku sakit.
Menjelang sore, Riko menyuruh beberapa orang pergi menancapkan empat ujung bambu dengan kain merah di laut, dan dua ujung bambu berbendera putih di darat. "Satu ujung bambu yang paling besar dan tinggi dengan bendera putih, sebagai tiang utama. Itu ditancapkan di lokasi ritual," jelas Riko.
Dalam ritual Dayango, pemimpin ritual disebut Wombuwa. Para Wombuwa diyakini memiliki kemampuan berkomunikasi dengan makhluk di alam gaib. Hari itu ada tiga Wombuwa yang akan memimpin ritual, di antaranya Deni Polutu (65) dan Rahim Makore (63) dari Desa Bangga, juga Kahudu Dama (62) dari desa tetangga, Desa Bubaa.
"Sudah sejak lima tahun lalu, tempat ini dipilih sebagai tiang utama. Dulu tempatnya di hutan bakau," kata Wombuwa Rahim.
Sebelum hari gelap, Wombuwa Deni, memantrai tiang utama. Warga mulai mengerumuni lokasi lubang galian di mana tiang utama akan ditancapkan. Setelah ditancapkan, semua perlengkapan ritual dihampar di sekeliling tiang.
Tak berselang lama, Wombuwa Kahudu, memantrai ayam pipit kemudian diletakkan di dalam tempurung bertangkup. Setelah itu, ayam pipitnya dikubur hidup-hidup.
"Jika kampung ini bermasalah, teriakan roh ayam pipit akan terdengar dari ujung tiang," katanya.
Ia mengatakan, mantra yang digunakan selama Dayango, menggunakan bahasa Gorontalo. Selain itu, mantra hanya dibaca dalam hati. Bait-bait mantra tidak boleh disebutkan artinya. Hanya para Wombuwa yang tahu bacaan mantra.
Sekitar pukul 7 malam, setelah salat Isya, warga semakin banyak berdatangan di lokasi ritual. Tampak purnama naik perlahan dari permukaan laut. Di lokasi ritual pun telah diberi lampu penerangan.
Tiga Wombuwa itu, kembali memimpin ritual. Dua orang pria lainnya, dengan ikat kepala merah dan putih, masuk ke tengah-tengah pelaksanaan ritual, dengan satu rumbai daun woka di masing-masing genggaman. Orang-orang yang mengitari lokasi, diminta agar tidak memunggungi lautan. Sebab itu jalan masuk makhluk gaib dari arah lautan.
Ritual Dayango sedang berlangsung. - Sigidad
Lengkingan nyanyian ibu-ibu terdengar. Bau kemenyan menyengat. Ketiga pria yang memegang daun woka, mulai menjerit dan menari-nari. Sesekali salah seorang pria mendekati para Wombuwa.
Selain kedua pria itu, Wombuwa Kahudu yang mengenakan pakaian dan ikat kepala merah, pun ikut menari. Selama berjam-jam mereka menari tanpa henti.
Sekitar pukul 10 malam, ritual dipindahkan ke rumah warga yang dipakai menyiapkan keperluan sejak sore. Satu per satu warga mulai bergantian dirasuki. Wombuwa menemani mereka yang kerasukan berjalan dari depan rumah, menuju tiang utama yang hanya berjarak 10 meter.
Di dalam rumah, pria-pria yang kerasukan tadi mulai diminta beberapa orang warga, untuk mengobati penyakit mereka. "Biasanya penyakit yang tak kunjung sembuh dengan perawatan medis, bisa sembuh ketika Dayango. Tapi bukan penyakit-penyakit berat seperti kanker atau tumor," jelas Wombuwa Rahim.
Salah seorang perempuan yang baru saja diobati, Neli Makore (27), mengaku mengalami sakit di bagian kaki. Setelah dipijat oleh salah seorang yang dirasuki, sakitnya per lahan hilang. "Biasanya ibu-ibu yang mengeluh sakit kaki, ada yang sudah berobat ke Puskesmas di Kecamatan, tapi masih saja sakit. Saya juga begitu. Tapi saat diobat tadi, sakitnya mulai hilang," akunya.
Di Desa Bangga memang tidak tersedia Puskesmas. Hanya ada dua orang bidan yang menetap di desa. Jika hendak berobat, warga harus menuju kecamatan.
Kepala Desa Bangga, atau biasa disebut Ayahanda, Mansur Dama (43), mengatakan ritual adat Dayango hampir setiap tahun dilaksanakan di desanya. Ia mengusulkan pula, agar Dayango diperhatikan pemerintah, sebab ritual ini bisa menarik kunjungan wisatawan.
"Desa Bangga ini, selain produksi ikan Rowa (sejenis ikan laut yang diasapi) yang cukup dikenal, juga memiliki kekayaan budaya seperti Dayango. Pemerintah harus memperhatikan ini agar bisa menjadi desa pariwisata," sampainya.
Ayahanda Mansur yang sudah memimpin Desa Bangga sejak 2013 ini, juga prihatin dengan kondisi akses jalan menuju desanya yang rusak parah.
"Di sini selain kesulitan air, jalannya juga rusak parah dan belum diaspal. Jadi akses ke sini susah. Anak-anak saja ada yang jalan kaki sejauh tiga kilometer menuju sekolah," katanya.
Desa Bangga yang berpantai pasir putih dan berpenduduk sekitar 360 jiwa ini, hanya memiliki satu sekolah dasar. Sementara sekolah menengah pertama dan atas, berada di desa tetangga, yang harus ditempuh dengan perahu, motor, atau jalan kaki.
Malam itu, Mansur menemani warganya melaksanakan Dayango hingga larut malam. Sebelum azan Subuh, ia lantas pamit kepada para Wombuwa dan warga lain yang masih melanjutkan ritual hingga pagi hari.
Nanti pagi datang lagi, sebab itu adalah acara puncak,” katanya sebelum meninggalkan lokasi ritual.
Sekitar pukul 7 pagi, warga kembali mengerumuni lokasi ritual. Tari-tarian sudah berhenti. Pagi ini, selain melarung beberapa sesajen di laut, ada pula ritual membersihkan benda-benda berupa jimat milik Wombuwa. Ini menjadi puncak ritual Dayango.
Semua benda yang dibungkus menggunakan sapu tangan lusuh, dihamburkan di dalam ember air. Posisi jimat yang berserakan di dalam ember, mengisyaratkan gejala-gejala alam yang akan terjadi ke depan.
"Nanti air rendaman jimat bisa dibasuhkan dan diminum. Dengan memohon agar terhindar dari marabahaya, juga berbagai macam penyakit," kata Wombuwa Kahudu.
Teni Mahmud (35), salah seorang warga yang kerasukan sejak dimulainya Dayango, hingga pagi hari, masih terlihat bugar pagi itu. Ia mengaku sudah terbiasa mengikuti ritual. Selama kerasukan, ia juga bisa mengontrol agar kondisinya tetap sadar, kendati sesekali ia merasa tak mampu lagi mengontrol keadaan.
"Bagi yang belum biasa, paginya pasti lelah. Saya sejak remaja telah terbiasa dirasuki," katanya.
Teni pagi itu, juga bertugas melarung sesajen. Setelah sesajen berupa beras lima warna ditabur di beberapa sudut lautan, selesailah semua rangkaian ritual Dayango.
Wombuwa Rahim sedang mencuci jimat. - Sigidad
Setelah membasuh dan memantrai beberapa warga, Wombuwa Rahim menceritakan tentang nasib ritual Dayango kelak. Ia meski pesimis, masih berharap agar Dayango yang kebanyakan pelaksanaannya hanya di beberapa desa, termasuk Desa Bangga, bisa diwariskan ke generasi.
"Harus ada Wombuwa yang memimpin ritual ini. Tapi menjadi Wombuwa, harus orang yang lurus hatinya dan lemah lembut perangainya. Ini saja, kami yang sudah tua, belum memiliki pengganti," katanya.
Pagi itu, Jumat (6/10/2017), warga Desa Bangga kembali pergi melaut. Warga Desa Bubaa yang sempat hadir bersama Wombuwa Kahudu, juga pamit kembali ke desanya. Dari kejauhan, bendera putih di pucuk tiang utama tampak berkibar di langit pagi yang biru.
Ditemui di rumahnya di Jalan Rambutan, Dungingi, Kota Gorontalo, Minggu (3/12/2017), salah satu periset terkait tradisi Dayango, Ipong Niaga (36), mengatakan Dayango memang tergolong agama lokal orang Gorontalo kuno sejak ratusan tahun lalu, sebelum Islam masuk (1525 Masehi) di Gorontalo, kemudian disusul agama lainnya.
Jadi itu bukan animisme. Saya menyebut itu agama. Dayango berinteraksi juga dengan Tuhan, yang mereka sebut Sang Eya, lewat proses pemanggilan atau motiyango roh-roh yang diberi nama Latti, yang bertugas merawat alam semesta, memelihara tanaman, dan mengobati penyakit yang menyerang makhluk hidup. Dan Wombuwa ialah perantaranya,” kata pria Jawa yang lahir di Jakarta dan menjadi pengajar di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) itu.
Menurutnya, Dayango termasuk agama lokal yang belum mengenal konsep moral, murni hubungan manusia dengan Tuhannya.
Asal penamaan Dayango pun, kata dia, diambil juga dari istilah motiyango, yaitu bermula dari kata daya-daya yang diartikan perjanjian, dan da yang berarti suatu tempat.
Daya-dayadamotiyango, berarti memanggil sesuatu dengan maksud untuk memenuhi janji di suatu tempat,” jelas Ipong, yang pada akhir 2014 lalu, diangkat sebagai Kepala Jurusan Pendidikan Sendratasik, Fakultas Sastra dan Budaya, UNG.
Selain itu, Ipong menilai pelaksanaan Dayango cukup rasional, sebab bagi mereka yang tidak mengerti ilmu perbintangan, maka pelaksanaan Dayango menjadi sia-sia.
Para Wombuwa pandai membaca rasi bintang. Gejala alam bisa mereka prediksi dari perbintangan. Jadi sebenarnya mereka paham kosmologi,” katanya.
Medio 1970an, kata Ipong, sempat ada pelarangan keras terhadap ritual ini, baik dari pemerintah dan aparat keamanan. Ia sempat bertanya kepada salah satu kepala desa dan camat di Kecamatan Bongomeme, Gorontalo, yang menceritakan pelarangan terjadi sebab Orde Baru saat itu anti terhadap hal-hal yang jauh dari ketentuan agama.
Dikait-kaitkan dengan kasus 1965. Padahal tidak ada relevansinya antara ideologi komunis dengan ritual Dayango. Saya pikir itu hanya bias saja,” katanya.
Setelah itu, pelarangan biasanya terjadi sebab ketika ritual Dayango yang diadakan begitu semarak semacam pasar malam, dan beberapa orang kerap mabuk lantas terjadi kericuhan.
Ipong mengaku, salah satu buku hasil risetnya tentang Dayango pada 2013 lalu, berjudul Masalah-Masalah Budaya, menjadi rujukan ketika pengajuan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, agar Dayango menjadi salah satu warisan budaya tak benda.
Saya juga bersama tiga orang teman, membuat film dokumenternya berjudul Ritual Dayango, 2013 lalu. Bisa dicari di youtube,” katanya.
Dilansir dari website resmi kemdikbud.go.id, pada rapat koordinasi I, 28-30 Maret 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, menerima sebanyak 474 usulan karya budaya, untuk menjadi warisan budaya tak benda.
Semua hasil karya budaya tersebut, diseleksi lagi oleh tim ahli karya budaya, dengan beberapa persyaratan yang telah ditentukan, berupa kelengkapan data pendukung seperti adanya foto, video serta kajian akademis.
Melalui seleksi administrasi dan berlanjut pada rapat koordiansi ke II, 19-21 April 2016, hanya 270 karya budaya yang berhasil lolos. Selanjutnya, pada rapat koordinasi ke III, tersaring 150 karya budaya yang layak disidangkan pada penetapan warisan budaya tak benda Indonesia, tahun 2016.
Berada pada urutan ke-130, Dayango akhirnya ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia, dari Provinsi Gorontalo, selain tradisi dan ekspresi lisan Lohidu pada urutan ke-128, Tahuli yang juga tradisi dan ekspresi lisan di urutan ke-129, berikut seni pertunjukan Langga di posisi ke-131, dan yang terakhir di posisi 132, Binte Biluhuta termasuk dalam kategori kemahiran dan kerajinan tradisional. (*)

Thursday, July 5, 2018

Ecko Show, Kok Jadi Rapper Homophobia?

No comments

Saya suka semua genre musik. Asal jangan lagu-lagu di albumnya Pak Esbeye itu. Pokoknya selama lagunya nyaman di kuping, saya akan memasukkannya ke playlist.

Selama tinggal di Jayapura, Papua, beberapa bulan belakangan, kuping saya makin terbiasa dengan dua genre musik. Yang pertama reggae, dan yang kedua hip hop. Kebanyakan lagu-lagu itu karya dari anak-anak lokal. Mungkin karena mereka Melanesia, jadi arus minat musik mereka pun mengarah ke genre yang, para musisi terkenalnya kebanyakan Afro-Amerika.

Dari sinilah, saya pun mulai mengenal grup-grup atau penyanyi hip-hop di tanah Papua, misal DXH Crew, Waena Finest, Phapin MC, dll. Karena biasanya mereka saling kenal, penyanyi hip-hop di luar Papua lainnya seperti Ecko Show asal Gorontalo, yang pernah viral dengan lagu "Kids Jaman Now", pun akhirnya coba saya ikuti di Instagram.

Ecko Show ini sempat saya sukai, karena dia termasuk salah satu rapper yang ikut men-diss Young Lex ketika merendahkan Iwa K, Saykoji, dan beberapa rapper Indonesia lainnya. Bisa dipindai di Youtube, soal seteru mereka ini.

Tapi setelah mengikuti akunnya di Instagram pada Rabu pagi, 4 Juli 2018, ada yang janggal di postingan Instastory-nya Ecko Show. Dia menuliskan kalimat "Lagu sindiran untuk kaum LGBT" di baris atas, dan di bawahnya menyuruh viewers agar menggeser ke atas atau swipe up.

Nah, setelah saya geser dengan jempol yang gatal penasaran, saya langsung dihantar ke laman Youtube. Jadi si rapper ini baru saja merilis lagu bersama Vita Alvia, berjudul Aisyah Jatuh Cinta Pada Jamilah. Ya, lagu yang populer karena aplikasi Tik Tok yang baru saja diblokir Kominfo ini, di-remake lagi dengan versinya.

Saya bisa langsung menebak, alasan kenapa ia menyebut lagu ini untuk menyindir kaum LGBT, dari judulnya: Aisyah Jatuh Cinta Pada Jamilah. Karena sebulan yang lalu, sebelum tahu lagu Ecko Show ini, saya pernah membuat status begini, "Suka berteriak anti-LGBT tapi main Tik Tok pakai lagu Aisyah Jatuh Cinta Pada Jamilah."

Status saya itu sebenarnya untuk menyasar orang-orang yang homophobia, tapi tanpa sadar bermain Tik Tok dengan lagu itu. Kendati sebenarnya di lirik asli lagu tersebut, di antara Aisyah dan Jamilah, ada kata: Bojoku, yang memang nyaris tak terdengar.

Jadi, sebenarnya lirik lagunya itu begini: Aisyah, bojoku jatuh cinta pada Jamilah. Seperti ada seorang perempuan yang tengah curhat kepada Aisyah, dan memberitahu bahwa pacarnya ketahuan jatuh cinta kepada Jamilah. Ribet juga sih. Meski ada juga versi lagu yang tanpa menyebut kata: Bojoku, mirip lagunya Ecko Show ini.

Tapi bukan itu saja yang membuat saya segera meng-unfollow akun Instagramnya di hari yang sama saya mem-follownya, tapi karena beberapa bait lirik dalam lagu itu, yang saya anggap diskriminatif.

Misalnya dalam bait berikut ini:

A a a a a a Aisyah
Ku jatuh cinta
Pa pa pa pada Jamilah
Loh kok sama wanita

Kau memang menawan
Tapi kau menipu lawan (Yeah)
Tak habis pikiran
Kau suka sesama kawan (Yeah)

Perilaku menyimpang
Anti kawin silang (Yeah)
Dulu dan sekarang
Tak kunjung menghilang

Semakin maju teknologi
Semua bisa di akali
Kelamin bisa di operasi
Anak pun tinggal di adopsi

Pelaku tak dipenjara
Alasan bukan pidana
Malunya taru dimana
Seolah ini budaya

Bayangkan ketika komunitas LGBT di Indonesia tengah menghadapi diskriminasi di mana-mana, lantas orang-orang seperti Ecko Show ini, yang jelas saja memiliki basis penggemar, ikut membikin arus besar untuk memarginalkan mereka?

Jika Ecko terinspirasi dengan beberapa rapper Afro-Amerika yang pernah atau masih homophobia, tentu saja Ecko salah besar. Ecko mungkin tidak tahu, bahwa empati terhadap LGBT di luar sana semakin tinggi.

Contohnya belum lama ini, rapper terkenal asal Amerika, Offset, dalam lagunya bersama YFN Lucci berjudul "Boss Life", meminta maaf karena liriknya dianggap menyinggung LGBTQ. Seperti ini liriknya: "Pinky ring crystal clear, 40k spent on a private Lear/ 60k solitaire/ I cannot vibe with queers." Offset mengaku tidak bermaksud menyinggung, karena Queer juga bisa berarti aneh.

Queer ialah istilah yang merujuk kepada lesbian, gay, biseksual, dan kadang-kadang juga transgender. Istilah ini menjadi kontroversial, dan sebagian LGBT menolak penggunaannya. Sebab kata Queer, sejak abad ke-16 mulai digunakan di Inggris untuk menggambarkan orang-orang aneh. Queer lantas menjadi gay slur atau cercaan terhadap mereka yang LGBT, pada abad ke-20 di Amerika.

Seiring waktu, karena semakin gencarnya kampanye soal hak-hak hidup LGBT, penggunaan Queer yang berkonotasi negatif mulai hilang. Queer berganti menjadi istilah yang positif, yang bahkan ikut mengkategorikan orang-orang yang berpendapat bahwa orientasi seksual, seks, dan gender tak perlu pengkotak-kotakan, sebagai Queer.

Daripada cari urusan seperti rapper itu, mending pantengin saja Kendrick Lamar, satu-satunya rapper yang meraih Pulitzer Prize kategori musik periode 2018, atas debut album DAMN (2017). Kendrick cukup cerdas menggambarkan kompleksitas kehidupan masyarakat Afrika-Amerika.

Urusan Ecko Show, saya jadi menyesal tahu cara berpikirnya masih bengkok begitu. Sebenarnya saya yang berasal dari Manado, dan pernah tinggal lama di Gorontalo, ingin agar musisi dari Timur seperti kalian bisa tenar. Ingin agar lagu-lagu hip-hop kalian sarat makna dan bergizi, tak berisi caci maki terhadap minoritas.

Mungkin, Ecko harus mendengar lagu-lagu hip-hop dari Rand Slam di album Rimajinasi. Ia rapper asal Jayapura yang sekarang menetap di Bandung. Ada juga Joe Million asal Waena Kampung, Jayapura, yang kini juga berkarir di ibu kota. Dengarkan lagu mereka, yang kaya rima apik, tanpa perlu memarginalkan kelompok tertentu. Atau lagu-lagunya Pangalo! Di album HURJE! Maka Merapallah Zarathustra, MC dari Tanah Batak. Atau Maderodog, dan yang paling legend itu ada Homicide. Mereka menulis lirik-lirik yang ajaib dan menginspirasi perlawanan. Lagu-lagu hip-hop seperti itu akan menjadi legenda.

Jadi, buat Ecko Show yang super-rapper-gaul dan kids-jaman-now, jika kali ini mungkin kau salah melangkah, kau harus belajar lagi: how homophobia destroyed a rap legend's career.