Sunday, December 30, 2018

Apa Kabar Ayah?

No comments

Apakah kalian punya ingatan tentang salah satu orangtua, mungkin Ayah atau Ibu, tapi ingatan itu ketika kalian masih balita?

Aku punya beberapa...

Entah kenapa, di penghujung tahun ini, aku tiba-tiba terbayang ingatan paling purba itu. Dan ingatan itu tentang Ayah. Hanya ada tiga keping ingatan...

Rumah kami punya pintu lain di samping kiri, yang berdekatan dengan kamar Ayah dan Ibu. Suatu malam, pintu itu diketuk berkali-kali. Aku terbangun. Masih setengah sadar, aku melihat ibu bangkit dari tempat tidur.

Ibu menyalakan lampu, yang membuat mataku memicing karena beradaptasi dari gelap ke terang. Aku menangis. Ibu kemudian menggendong dan coba menenangkanku. Ia melangkah menuju pintu lalu membukanya. Dari memunggung sembari bersandar di bahu Ibu, aku coba berbalik. Ayah di sana.

Ayah bertopi koboi. Kausnya berkerah dipadankan dengan celana pendek. Larsnya berlumpur. Ia membukanya sebelum melangkah masuk, sambil menjinjing tas.

Saat Ibu meletakkan saya di kursi dan melangkah menuju dapur, Ayah tersenyum kepadaku. Ia mendekat, lalu duduk di samping sambil mengelus kepalaku. Ia kemudian berkata kepada Ibu, tak usah membikin kopi. Bawakan saja gelas.
Setelah Ibu datang membawa gelas, Ayah bersalin kursi. Dari tas jinjing, ia mengeluarkan dua botol minuman. Ia membuka penutupnya dengan gigi, yang kusaksikan dengan ekor mata sebelum Ibu menggendongku masuk ke kamar. Saat itu, mungkin usiaku sekitar tiga. Botol itu bertulis Bintang. Kami pernah punya kalender bergambar bir ini.

Ayah seorang pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Bolaang Mongondow. Malam yang aku ceritakan dalam ingatan itu, ketika Ayah baru pulang dari proyek pengerjaan jalan. Aku pernah menanyai Ibu tentang ingatan itu, dan beruntungnya ia ingat.

Ingatan lain tentang Ayah, kala itu aku iseng membuka tas kantornya. Di dalam ada beberapa pena. Aku mengambil satu, kemudian berjinjit di atas meja dan coba menggapai kertas-kertas di atas lemari. Aku menemukan selembar kertas yang seperti berbahan plastik, bening, dan agak tebal. Kertas itu dipenuhi garis dan gambar berbentuk rumah, juga sejumlah angka.

Aku kemudian duduk di lantai, lalu mulai iseng menulis angka, huruf, dan kata demi kata. Tinta pena itu sering macet. Karena kesal, aku mencoret dengan kasar sampai jarum pena patah. Aku lantas tertarik untuk mempreteli pena. Tiba-tiba tirai pintu tersibak, dan Ayah menemukanku dengan muka geram. Tapi ia hanya mengangkat, lalu menggendongku keluar dari kamar. Aku menangis. Ia kemudian memanggil Ibu.

Aku pernah menanyai Ibu tentang kejadian itu. Ibu bercerita, pena yang aku preteli adalah Rotring, sementara kertas yang aku coreti adalah kertas desain gambar untuk proyek bangunan. Kepada Ibu, Ayah mengaku salah, karena lupa memasukkan kertas itu ke dalam tabung gambar, sesudah mencopotnya dari meja gambar.

Tapi, sekesal-kesalnya Ayah, seingatku ia tak pernah memukulku, atau mungkin kami semua anak-anaknya. Karena tak ada satu pun ingatan tentang itu. Aku hanya pernah digertak dengan ikat pinggang, karena mengambil uang di saku celananya. Saat itu aku SMP.

Setelah kejadian itu, aku malah sering menemukan uang di saku celana atau kemejanya, yang sepertinya sengaja ia letakkan di sana untuk ditemukan. Apalagi ia tak pernah bertanya ketika uang itu berpindah saku. Tapi nilainya lebih rendah dari yang pernah aku curi. Ayah, memang berbeda dengan Ibu. Ia kerap berbagi uang saku lebih dibandingkan Ibu. Karena itu, Ibu kami juluki Paman Gober.

Dan, ini ingatan terakhir yang kejadiannya sekali lagi membuat Ayah jengkel. Kala itu aku menemukan arloji Ayah di kamar mandi. Aku coba mengenakannya di pergelangan tangan. Karena tak pas, aku mencari gelang karet, lalu melipat sabuk logam arloji dan mengikatnya. Tapi itu tak membuatku tertarik. Aku melepasnya, kemudian memandangi jarumnya yang terus berputar. Rasa penasaran dengan jarum jam itu, membuatku mencari sebongkah batu. Aku menumbuk-numbuk kacanya dengan hati-hati. Bermaksud membukanya, dan menyentuh jarum jamnya.

Ibu, tak bisa menyembunyikan perbuatanku, karena ketika ia menemukanku di samping rumah, hanya sepersekian detik Ayah telah menyusulnya. Arloji yang hancur itu, Ayah beli di Makassar, ketika ia mengikuti pendidikan dinas di sana. Kata Ibu, arloji itu adalah kesayangannya. Tapi Ayah tak bisa berbuat apa-apa, karena yang merusaknya adalah anak bungsunya yang paling istimewa. Aku, sudah bisa calistung ketika memasuki empat tahun. Dan arloji yang aku hancurkan itu, seingatku tertulis Seiko.

Tak seperti anak-anak sepantar, aku tak pernah merasakan duduk di bangku TK. Sewaktu ibu-ibu mengantar anak-anaknya ke TK, aku hanya menyaksikannya dari pintu rumah. Ketika anak-anak seusiaku mulai mendaftar ke SD, aku turut didaftarkan. Aku diterima meski tak pernah TK. Sampai kelas tiga SMP, aku juara kelas. Baru ketika SMA, aku berubah menjadi aku yang lain. Aku berkali-kali pindah sekolah.

Ayah, yang paling kecewa kepadaku, karena ketika sering berpindah sekolah, ia yang kerap mengantar. Ia pernah sekali mengutarakan kekecewaan itu, ketika pukul 8 malam, aku pulang ke rumah masih dengan seragam. Ia mendapat laporan dari guru, aku tidak pernah lagi hadir di kelas. Semua baju sekolahku disimpan. Aku pernah rindu sekolah, kemudian meminjam seragam teman. Aku mendaftar sendiri di sekolah tempat para siswa terbuang. Tapi itu tak berlangsung lama. Ketika kawan-kawan sepantar lulus, aku tak semangat lagi. Sesudah ikut bercorat-coret seragam dengan mereka, aku menyerah.

Tak lama setelah itu, pernah suatu malam, aku seperti menemukan sosok Ayah ketika kali pertama ingatan purba itu hadir. Ketika ia bertopi koboi, tersenyum, dan duduk di sampingku. Ia mengutarakan tentang apa yang pernah ia harapkan untuk masa depanku, saat aku masih SMP dan sering juara kelas. Ayah mengaku, memang tak akan sanggup membiayai kuliahku, jika mengikuti keinginannya agar aku menjadi dokter. Tapi katanya, tak menjadi dokter tak apa-apa, karena ia sudah mempunyai pilihan lain, yang biaya pendidikannya tak terlalu mahal. Pilihannya Akademi Gizi Manado. Kebetulan kata Ayah, kampus itu berdekatan dengan rumah salah satu kerabat dekat Ayah di Manado. Tapi meski sesederhana itu yang ia harapkan, pada akhirnya aku gagal mewujudkannya. Itu yang membuatnya kecewa.

Bertahun-tahun setelah itu, ada sebuah pesan dari Ayah, yang ia katakan ketika aku mendapatkan pekerjaan di Manado.

"Bekerja dengan jujur, dan jangan mau kejujuran itu dibeli."

Setelah Ayah berpulang empat tahun lalu, aku menemukan narasi-narasi yang erat antara pribadinya dan pesannya kepadaku itu. Tak seperti pegawai negeri sipil lainnya di masa itu, keluargaku dididik Ayah untuk hidup sederhana.

Aku pernah secara tidak sengaja berjumpa teman sekantor Ayah, ketika hendak mewawacarai seorang tokoh. Rumahnya serupa istana yang diitari kolam ikan. Ia bertanya siapa namaku dan kaget saat mendengar margaku: Galuwo. Ia kemudian mengeja lengkap nama Ayah. Ia lantas bertanya bagaimana keadaan Ayah.

"Ayah baru berpulang dua bulan lalu," kataku.

Ia berbelasungkawa. "Ayahmu itu, orangnya jujur."

Ada banyak yang ia ceritakan tentang Ayah. Beberapa di antaranya pernah aku dengar sendiri dari Ayah dan Ibu. Dan nama-nama yang berkelindan dengan kisah-kisah itu, rata-rata tokoh-tokoh penting di tanah kelahiranku. Sebagian dari mereka ada yang sudah berpulang, ada juga yang masih hidup.

Tak tahu kenapa, dua bulan setelah Ayah berpulang aku dipertemukan dengannya. Dan hanya beberapa bulan setelah perjumpaan, bapak itu dikabarkan berpulang.

Satu cerita Ibu, yang juga berhubungan dengan orang penting di sekitar Ayah. Waktu itu, Ayah sedang mengerjakan proyek jalan di satu daerah. Seorang pengusaha dari daerah itu lantas jauh-jauh bertamu ke rumah. Ia menawarkan motor, fasilitas modern, dan beberapa ekor kambing. Syaratnya, Ayah harus bekerja sama dengannya. Ayah menolak, karena ada rencana yang tidak baik.

"Terima kasih tawarannya. Tapi kebetulan kami masih punya motor. Kambing juga ada, meski hanya beberapa ekor," kata Ayah kepada pengusaha itu. Seiring tahun, keluarga pengusaha ini menjadi orang paling disegani di tanah kelahiranku.

Mengenai kambing, seingatku, kami memang punya beberapa ekor. Biasanya kambing-kambing itu meringkuk di dalam drum-drum bekas, yang Ayah rebahkan dan jejerkan di belakang rumah. Tapi aku lupa ke mana akhirnya kambing-kambing itu. Apakah disembelih saat hajatan demi hajatan, mati sakit, atau dicuri.

Pada akhirnya, apa yang membuat aku bisa mewujudkan harapan Ayah? Satu hal sederhana saja seperti pesannya: kejujuran tak bisa dibeli.

Damai di sana, Ayah...

Tuesday, December 25, 2018

Hidup

No comments

luka tak dititip ibu
kita kelana berkaki abu
bersua duka seluruh
ruh masih gemuruh

Sunday, December 23, 2018

Natal Kelam

No comments

Deru helikopter mengitari langit Jayapura. Tumpukan kertas dihambur dari ketinggian. Meski gerimis, capung logam itu terus berdengung di udara.

Bocah-bocah berloncatan girang, berkejar-kejaran, lalu berebut memungut lembar demi lembar. Apa yang tertulis di atas selebaran itu? Akan ada aksi terjun payung Santa Claus. Bagi-bagi hadiah. Tertawa bersama komika ibu kota. Selebaran itu dari Polda Papua.

Selebaran itu disebar, sehari sesudah Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyatakan Natal kali ini tak usah diperingati dengan bersuka-cita. Tak ada open house apalagi untuk para pejabat pemerintahan. Sebab sebangsa di Nduga tengah berduka.

Dari kabar, aksi terjun payung itu bertema "Santa is Coming to Papua". Sebanyak 50 penerjun yang terdiri dari 42 laki-laki dan 8 perempuan, dimuntahkan dari pesawat. Aksi itu katanya meraih rekor MURI. Saya suka alergi mendengar rekor MURI. Para pemuja angka.

Tak ada yang mengunggah atau berkomentar di media sosial saya, tentang seramai apakah aksi itu. Padahal sejak menetap di Jayapura, kakawan di media sosial saya semakin dipenuhi orang asli Papua. Unggahan dan status mereka, rata-rata berisi ucapan duka atau foto-foto aksi solidaritas, untuk saudara mereka di Nduga. Mereka memang tak butuh Santa Claus yang ingin berbagi hadiah. Luka, telah memenuhi seluruh ruang hati dan pikiran mereka.

Arkian, mereka pun kerap mempertanyakan, ketika ada sesama orang Papua tapi tak bersolidaritas dengan rakyat Nduga, yang sebagian banyak merayakan Natal di belantara, berteduh di pepohonan tanpa lilitan warna-warni lampu. Mereka lari ketakutan dan bersembunyi sembari mengusung anak. Mereka hanya berpelita purnama dan bintang gemintang. Tak tahu apakah mereka bisa menyalakan api di tengah hutan, sebab itu membuat persembunyian jadi sia-sia.

Saya tercenung, ketika seorang kawan Papua berkata, "Tiada sedikitpun penghormatan bagi kami yang sedang berduka."

Ucapannya dalam. Bukan hanya menyoal Nduga. Tapi menarik ingatan lalu merentang luka demi luka di Tanah Papua. Tentang bagaimana orang-orang kerap memilah duka. Semakin riuh kesedihan, maka semakin gagap orang-orang yang turut, hanya agar terkesan sebagai manusia paling peduli dengan kemanusiaan. Tapi tidak secuilpun orang-orang itu peduli dengan Papua.

Kali ini, entah bagaimana caranya mengucapkan selamat Natal untuk kakawan Papua. Benar sudah Antonio Porchia dengan sabdanya, "Only the wound speaks its own word."

Friday, December 21, 2018

Manusia

No comments

Kita, orang kota serakah yang mendaku paling istimewa. Mensyukuri kerlap-kerlip lampu, tapi lekas mengutuk ketika ia padam. Sementara orang kampung yang hanya berpelita sumbu, masih kita ganggu dengan deru senjata dan muntahan mesiu.

Kita, orang kiwari congkak bongak yang mengaku paling canggih. Padahal masih iri dengan merek penanak nasi tetangga. Sementara orang kampung yang hanya punya batu tungku, kita cerca maki dengan sebutan beruk dan primitif.

Kita, orang modern rakus yang memburu restoran mewah di gedung-gedung jangkung. Kendati di sekitarnya rebah rempah perut-perut cekung. Sementara orang kampung yang memuliakan sagu dan betatas, sering kita tumpas langis lahannya atas nama swasembada beras.

Kita, orang intelek yang tertungkus lumus di meja-meja sekolah dan kantor. Mengejar kemasyhuran dan puji-pujian. Sementara orang kampung yang beranggapan dengan menjadi pintar orang hanya saling membodohi, kita umpat kampungan dan terbelakang.

Kita, orang agamawi pongah yang kerap mempercekakkan simbol. Mengganggap ibadah terluhur hanya milik mayoritas. Sementara orang kampung yang berkhidmat dengan agama leluhur, kita kafirkan dengan azab neraka dilembing bara di dubur.

Kita, orang kota yang sering lupa menjenguk orang kampung. Padahal mereka adalah wujud rahasia, dari makhluk bernama manusia.

Saturday, December 15, 2018

Selamat Natal & Tahun Baru

No comments

Di bawah pijar lampu jalan, seorang mama mengais tumpukan sampah. Ia memilah beberapa kardus, merobeknya di beberapa sisi, lalu melipatnya rapi.

Ia tak sendiri. Ada anak laki-lakinya berusia sekitar lima, tengah memunguti sampah plastik. Anak itu sesekali berlari girang ke arah mamanya, lalu memberikan botol kosong air mineral.

Dua kantong plastik besar kian gemuk, tergeletak di samping mama itu. Sementara anaknya kembali berlarian memunguti sampah demi sampah. Tak lama kemudian mamanya memberi isyarat dengan tangan. Sepertinya mereka hendak pulang.

Anaknya menarik-narik noken yang mengembung di punggung mamanya. Jenak mama itu istirah. Ia mengeluarkan balon persegi dari nokennya. Balon seukuran bantal sofa itu berwarna emas, bertuliskan "Selamat Natal dan Tahun Baru 2018". Dari tahunnya, sepertinya balon itu hanya ditemukan di tumpukan sampah yang mereka sisir.

Setelah memastikan dua kantong plastik penuh, mama dan anaknya yang memeluk balon, berjalan menjauh dari pendar lampu jalan. Keduanya menghilang di ujung sebuah lorong, yang dihimpit barisan rumah bekerlapan lampu Natal.

Selamat Natal dan Tahun Baru sepanjang usia untuk kalian berdua...

Friday, December 7, 2018

Praduga di Nduga

No comments

Saya selalu tertarik membaca komentar di setiap pemberitaan Jubi terkait Nduga. Sebagian banyak komentar mengutuk kejadian itu.

Sebagai media lokal di Tanah Papua, sejak kejadian Nduga, makin banyak orang di luar Papua tertarik membaca Jubi. Mungkin karena media-media Mama Kota-Jakarta-lebih sering memakai narasi tunggal dari Polri atau TNI. Sementara Jubi, selain tetap mewawancarai Polri dan TNI, masyarakat di Nduga pun turut diwawancarai.

Narasumber yang diwawancarai Jubi ada dari anggota DPRD Nduga, pihak gereja, bahkan pekerja yang selamat dan eks pekerja Trans Papua. Saya pernah membaca berita kesaksian pekerja yang selamat di salah satu media Jakarta, yang keterangannya kemudian dituturkan kembali pihak TNI.

“Tidak lama kemudian para KKB dalam suasana kegirangan menari-nari sambil meneriakkan suara hutan khas pedalaman Papua. Mereka kemudian secara sadis menembaki para pekerja. Sebagian pekerja tertembak mati di tempat dan sebagian lagi pura-pura mati terkapar di tanah,” ungkap Aidi, sebagaimana disampaikan Jimmi.

Nukilan di atas dari pemberitaan Kompas. Jimmy Aritonang adalah salah satu pekerja yang selamat. Sementara Muhamad Aidi adalah Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Jayapura, Papua.

Membaca itu saya segera teringat narasi yang sama, ketika para Gerwani menyiksa tujuh jenderal di Lubang Buaya. Para Gerwani menyanyikan Genjer-Genjer, sambil menyayat wajah si jenderal. Sayangnya, peristiwa itu terbukti mengada-ada. Bahkan dibuatkan film propaganda Pengkhianatan G30 S-PKI. Tak ada penyiksaan seperti dalam film yang dilakukan di Lubang Buaya. Kesaksian demi kesaksian sudah banyak terungkap. Bahkan dari dokter-dokter yang mengautopsi. Tapi, diorama di Lubang Buaya mengekalkan semuanya, lagi-lagi, versi propaganda.

Ada beberapa komentar yang menarik perhatian saya, mengenai kesaksian TPNPB, bahwa kejadian itu bukan ekseksusi, akan tetapi kontak senjata. Salah satunya (bukan orang Papua) diawali frasa orang Papua "ko stop tipu-tipu", lalu mengatakan seorang korban meninggal adalah karibnya. Dan korban itu sangat peduli dengan orang Papua.

Komentarnya itu, hampir mirip dengan salah satu akun media sosial yang menceritakan dukanya, ketika mengetahui kawan baiknya meninggal. Ia merentang tentang jasa korban mendukung dan terlibat dalam banyak kegiatan, yang didedikasikan untuk Papua.

Membaca itu, saya hendak berkomentar. Tapi saya urung niat. Merasakan kepergian seorang sahabat memang sakit. Dan itu layak dihormati. Namun memahami Papua butuh kejernihan pikir. Amarah dan sedih karena kehilangan seorang sahabat, hanya menjadi kabut yang menghalangi kita memahami Papua.

Saya hampir setahun di Papua. Tapi waktu ini bahkan belum cukup untuk membangun kepercayaan orang-orang di sini. Kendati sering menyuarakan keberpihakan atas nasib-nasib orang Papua, itu tak menjamin kita bisa "dikenali". Apalagi oleh orang-orang Papua yang berada di pedalaman.

Kecurigaan dan ragu-ragu untuk menerima orang selain mereka, adalah sikap yang patut kita hormati pula. Itulah kenapa, membangun Papua adalah cara keliru untuk merebut hati mereka. Setulus apa pun itu, sikap yang mereka pilih sudah jelas. Yang mereka butuh ialah hak menentukan nasib sendiri.

Setelah kejadian ini, narasi tentang seperti apa kehidupan di pedalaman Papua, pun relasi antara Orang Asli Papua (OAP) dan non-OAP, banyak beredar. Baik dituturkan kawan-kawan OAP dan non-OAP. Dikatakan, telah berpuluh-puluh tahun sebuah kepercayaan dibangun antara OAP dan non-OAP di Nduga. Namun sejak pos-pos militer dan Trans Papua ini dikerjakan, praduga masyarakat OAP terhadap non-OAP kembali muncul.

Apalagi TPNPB, yang jelas-jelas menyatakan alergi dengan para pendatang. TPNPB menolak proyek jalan tersebut. Selain merusak hutan mereka, kata TPNPB, dalam zona perang jalan-jalan itu malah memudahkan militer ketika bertempur.

Terlepas dari perang, keterpencilan tak melulu buruk seperti yang digambarkan negara. Terisolasi bisa menjadi perisai. Orang-orang Papua tak kekurangan, karena hutan menyediakan segalanya. Justru modernisasilah yang mengubah pola hidup mereka, lantas membunuh mereka perlahan-lahan. Pola berburu dan meramu, berubah menjadi: belanja ke warung-warung.

Pernah seorang petugas kesehatan di Asmat bercerita, ia prihatin dengan mama-mama di sana. Mereka susah payah menanam kemudian memanen sayur-mayur, tapi setelah itu hanya dijual murah.

"Jadi yang memborong sayur sudah atur harga. Murah saja, bahkan ada sekarung hanya tiga puluh ribuan. Setelah laku, mama-mama pergi membeli satu nasi bungkus dan sisanya mi instan untuk anak-anaknya," katanya.

Mengingat ceritanya itu, saya sebagai anak kos merasa senasib dengan mama itu. Senasib karena sering membeli nasi bungkus dan mi instan.

Semalam saya sempat bercerita dengan kawan satu kos. Ia petugas kesehatan yang pernah bekerja di rumah sakit di Wamena. Sejak pemberitaan Nduga, ia aktif menyimak baik dari televisi dan media online.

"Saya heran, kenapa juga sudah mau 1 Desember, tapi mereka bertahan di sana. Harusnya mereka diperintahkan turun. Berita-berita juga hari ini bilang begini, besok lain lagi. Tidak tahu mana yang benar. Macam ada yang janggal," katanya.

Ia masih jernih dalam mendaras kejadian di Nduga. Meski sedih sebab korban kebanyakan anak Tator, sama seperti dia.