Tuesday, December 24, 2019

Malique

No comments
Masa putih abu-abu kami dibuai oleh berbagai genre musik medio 2000-an. Salah satunya Too Phat, duo MC dari Negeri Jiran, Malique dan Joe Flizzow. Karir bermusik Too Phat melambung sekitar 1998 sampai 2007. Kemudian bubar.

Sewaktu berkeliling Genting Highlands, saat sedang kebelet merokok, saya berjumpa orang Malaysia yang ternyata penggemar Too Phat. 

Saya iseng bertanya meski sudah menerka jawabannya, "Malique sekarang tinggal di kota mana?"

Ia menjawab tidak tahu.

Malique memang memilih mengasingkan diri setelah Too Phat bubar, tapi ia tak berhenti berkarya. Setiap kali lagunya dirilis, selalu langganan meraih award di blantika musik Malaysia. Joe, yang juga bersolo karir, lagunya sering bersikut-sikutan dengan lagu Malique di tangga lagu, atau dari jumlah viewers Youtube. Tapi Joe memang bukan kelasnya Malique soal bikin lirik. Malique punya lirik dan rima yang apik. Tentu saja, dengan irama Melayu yang kental.

Seperti liriknya di lagu Mantera Beradu: "lu bikin dosa ku bikin prosa" atau "ijazah terbaik datangnya dari pengalaman".

"Joe orangnya high. Malique low profile," kata kawan Malaysia itu.

Berkali-kali Joe satire dalam lirik lagunya. Memancing agar Malique keluar dari persembunyiannya. Sejak menikah di Bali dengan Melissa Maureen Rizal--pemeran film Hoopers--pada 2008 silam dan memiliki tiga cahaya hati, Malique memang memilih menjauh dari media. 

Bahkan ketika lagu-lagunya meraih Music Industry Awards, ia tak pernah hadir. Selalu diwakilkan. Video klip lagu-lagunya pun tak pernah menampilkan wajahnya tapi memakai model. Hanya suaranya. Malique benar-benar menjadi misterius. Malique hanya muncul sekali di video klip Cerita Kedai Kopi versi satunya lagi.

November kemarin, foto Malique bersama keluarganya saat berada di bandara menjadi viral. Akun yang mengunggah foto itu seolah-olah hendak mengobati kerinduan para penggemarnya. Tapi banyak pula penggemarnya yang menyayangkan foto itu bisa beredar.

Selain tak ingin lagi diburu-buru media, Malique juga terus disasar Joe and the gank. Sempat Altimet--kawan baik Joe--menyindir Malique lewat lagu Mambang. Ia mengandaikan Malique bersembunyi di gua. Tak lama kemudian, lagu Mambang dibalas oleh Kmy Kmo ft Luca Sickta lewat lagu Gong Nekara. Liriknya terasa sekali ruhnya Malique. Menampar-nampar Altimet.

Kemudian, album Malique terbaru Malique TKO: Pejamkan Mata, yang covernya bergambar wajah dengan sebuah mata di dahi, difitnah bahwa itu simbol Dajjal. Dikatakan pula itu simbol Illuminati. Padahal Dajjal dan Illuminati saja berbeda jauh artinya. Malique terpaksa meluruskan kekisruhan itu lewat kawan baiknya, bahwa gambar itu artinya mata hati.

Tapi, sosok Malique tetap menjadi idola Tanah Melayu dan bagi penggemarnya di Indonesia. Bukan hanya karena kerendahan hatinya, tapi cara ia meroketkan rapper muda seperti Ben Ladin yang baru berusia 17. Lewat lagu ini, ia menitipkan "salam" kepada para "pembenci", termasuk Altimet dan Joe.

Lagu Ben Ladin berjudul Hikayat Ben Ladin, telah ditonton sebanyak 17 juta di Youtube, saat pertama kali dirilis. Sekarang sudah 25 juta. Sebuah lagu sederhana, yang membuktikan Malique mampu mengubah kebencian orang, menjadi lagu yang enak didengar dan sarat makna.

Lirik-liriknya pun bisa untuk siapa saja. Bahkan mungkin bisa untuk Maha Pencipta ...

Sunday, December 22, 2019

Kota Tanpa Rumah Pribadi

1 comment
Sepanjang jalan dari Bandara KLIA 2, tak satu pun rumah pribadi yang saya temukan. Rumah pribadi yang saya maksud, rumah yang berdiri sendiri baik berpekarangan atau tidak.

Saat memasuki Kuala Lumpur yang jarak tempuhnya sekitar 30 menit dari resting area, di kiri dan kanan hanya ada gedung-gedung jangkung. Jalan layang dan jalur KL Monorail saling mengiris. Tak ada tiang listrik dengan kabel-kabel saling rajut. Rumah-rumah susun juga tak banyak.

Menurut Anwar, orang-orang di sini lebih memilih tinggal di luar pusat kota. Karena hanya memindai dari bus, saya mengira-ngira barangkali ada rumah-rumah terselip di antara gedung-gedung.

Bukan hanya tak ada rumah pribadi, sepeda motor pun jarang ditemui. Rata-rata memakai mobil. Meski demikian, di tol disediakan jalur khusus sepeda motor yang gratis. Pemerintah di sini sengaja membuat aturan itu, agar pengendara motor bisa bergegas tanpa membikin macet jalanan.

Kotanya juga bersih. Di lokasi riuh manusia, nyaris tak ada sampah tercecer. Tong-tong sampah bertebaran. Kami singgah di Jalan Masjid India, setelah hampir 30-an menit berkeliling kota. Orang-orang di sepanjang jalan ini, sepertinya sadar akan sampah. Sebuah taman yang biasa digunakan untuk merokok pun nyaris tak ada puntung rokok berserakan. Tapi, akhirnya saya menemukan di taman lainnya, dua gelas plastik diletakkan begitu saja. Semoga bukan milik turis.

Rombongan lain menyempatkan diri salat di Masjid India, yang seperti kue bronis jumbo karena berwarna cokelat. Lezat sekali dipandang. Masjid ini sudah ada sejak 1863. Diresmikan 30 Ogos 1974. Ogos = Agustus, diserap dari August. Bahasa Melayu Malaysia memang banyak menyerap bahasa Inggris, karena negara ini jajahan Inggris. Beda dengan kita, yang banyak menyerap bahasa Belanda.

Sepanjang Jalan Masjid India, saya coba menyisir lorong-lorongnya. Rumah-rumah pribadi juga tak ada. Mungkin ada, tapi sudah disihir menjadi toko-toko karena kompleks ini juga menjadi pusat perbelanjaan. Di atas toko-toko inilah dibangun beberapa rumah susun.

Setelah semua rombongan selesai mengqada salat, masing-masing mulai mengabadikan momen di masjid itu. 

Menjadi udik di negeri asing, sepertinya sebuah keharusan.

Perokok

No comments
Kuala Lumpur. Dari nama kotanya, saya sudah tergelitik. Dalam bahasa lokal Manado, "kuala" artinya: sungai atau kali. Disusul "lumpur". Bisa diartikan sendiri apa yang membikin saya merasa lucu.

Kuala Lumpur punya dua bandara atau biasa disebut KLIA akronim dari Kuala Lumpur International Airport. Bandara KLIA 1 adalah bandara lama, sedangkan KLIA 2 yang baru. Setelah hampir dua jam lebih terbang, tengah hari kami mendarat di KLIA 2 yang diitari perkebunan sawit. Perbezaan, eh, perbedaan waktu antara Jakarta dan Kuala Lumpur hanya satu jam. Lebih awal Kuala Lumpur.

Setelah mendarat, mata saya memindai segala informasi yang tertulis di sekitar bandara. Lagi-lagi, karena perbedaan bahasa, saya sering tersenyum lalu memotret satu demi satu sebagai keping-keping ingatan. Saya memotret dengan ponsel milik Ann. Ponsel saya tiba-tiba mati total sewaktu di Bandara Soetta. Kutukan Donal Bebek.

Karena didesain ala mal, di dalam bandara ini semua kebutuhan tersedia. Jika di Indonesia ada Alfamart dan Indomaret, maka di Malaysia ada 7-Eleven. Di sanalah kami berburu air mineral dan beberapa kue pengganjal perut, karena maskapai penerbangan yang kami tumpangi terlalu pelit berbagi.

Selain itu, barang yang paling saya cari ada di sana. Korek api. Saya membawa dua bungkus rokok dari Jakarta. Tapi di kota ini, yang harga sebungkus rokoknya bisa membeli dua bungkus di negara kita, fasilitas untuk merokoknya minim.

Setelah rombongan lainnya berhimpun karena kami mengikuti paket tur, akhirnya kami beranjak keluar dari bandara menggunakan bus pariwisata. Dalam bahasa Melayu: bas persiaran.

Sepanjang jalan, sawit melambai. Perkebunannya tertata rapi. Tak ada sedikit pun ilalang di bawahnya. Tanaman yang paling rakus air ini, seolah-olah dibuat untuk saling berebut air dan segala nutrisi tanah, hanya dengan sesama pohon sawit lainnya.

Hanya sekitar 30 menit berlalu, kami singgah di resting area. Bus-bus dan truk-truk raksasa terparkir. Di resting area ini difasilitasi tandas awam maha luas. Tandas = toilet. Awam = umum. Tandas awam = toilet umum. 

Puluhan orang bisa berjajar sekali pipis. Untuk yang mau buang air besar, puluhan jamban juga berjajar. Di toilet inilah dahi saya berkerut. Di samping tisu toilet tertulis: jimatkan tisu tandas. "Jimat" dalam bahasa Melayu artinya: cermat (tentang uang atau penggunaan sesuatu), hemat, atau tidak boros. Kalau dalam bahasa Indonesia artinya: azimat atau benda bertuah. Ada yang mau jimat untuk ikut tes CPNS? 

Di resting area ada juga musala. Seperti toilet, musala laki-laki dan perempuan juga terpisah. Untuk tempat makan, ada puluhan warung berjejer yang di depannya terhampar rapi meja dan kursi makan. Saya melirik-lirik apakah ada tulisan yang menginformasikan di tempat itu bisa merokok. Tak ada. Padahal tempatnya terbuka.

"Kalau merokok di mana?" tanya saya kepada guide kami, Anwar.

"Jalan di depan sana. Di parkir," katanya sambil menunjuk pepohonan rindang di parkiran. Saya bertanya dulu sebelum kami makan, karena jika setelah makan lalu tidak merokok, rasa-rasanya seperti dihajar truk dari belakang. 

Kami memesan makanan di warung makan yang telah ditunjuk. Lauknya beragam. Ikan goreng, ayam goreng, udang, cumi-cumi, tempe, telur dan sebagainya. Sayurnya juga tak jauh beda, ada buncis dan taoge, kangkung, dan lain-lain. Rasanya nusantara.

Saya memesan nasi lemak, kalau di Indonesia namanya: nasi uduk. Nasi itu terbungkus daun pisang. Setelah cepat-cepat makan, saya segera menuju parkiran untuk merokok. Jaraknya hampir 20 meter dari tempat makan. Di sana sudah ada tong sampah plastik, yang di atasnya bisa untuk meletakkan puntung rokok. 

Akhirnya, tak jadi disambar truk. Malah bertemu sopir bas persiaran yang meminta rokok.

Wednesday, November 27, 2019

Pulang

No comments
                                  
                                      untuk Bernard Agapa

pulanglah pada tanah. yang sari-sarinya telah kaujamah. sedang kemilaunya sirna dijarah.

apa yang hendak kauberi. sudah dihitung peri-peri. mereka terbang pergi. mengabarkan: kau tak sendiri.

pulanglah ke kampung halaman. yang honai-honainya bagai cendawan. menantimu dengan pelukan.

negerimu tak pernah sepi. debu-debu masih membakar telapak kaki. barapen menyala di hati. menyigi setiap jumpa dan kipomoti.

pulanglah ke terang kejora. sebab di sini luka jadi bara. menjaga kepal agar semua setara.

atau kau rindu dengan lampu-lampu kota. yang kerlipnya semakin redup di peta. kau masih ingin melipat lengan kemeja. berarak riuh menuju muka istana ...

merdeka!

Saturday, November 23, 2019

kepadayangberpulang

No comments
dari gedung-gedung jangkung yang menginjak punggung setiap nyawa, kabar terbang dan hinggap di dahan telinga. apakah kampung setia menunggu? atau hanya ada seorang ibu yang terus menanduk telapak tangan.

pada selajur selokan jalan kampung, dua baris sajak mengapung. tentang pergi dan pulang. berulang kali orang-orang berseru: lihatlah maut telah datang. satu demi satu menyayat bola mata dengan tangis.

di dada gunung yang gugur, seorang kawan menuguri. di genggamannya terselip sebatang kenang yang hendak ia buang. untuk apa disimpan jika itu hanya sedan. kisah tentang memanen layang-layang putus kini pupus.

keranda di pundak, ingatan menjejak. ditulislah risalah tentang yang menang dan kalah. tapi setiap lengan menolak untuk menerima. sebab masih ada benang yang mengikat bintang gemintang.

langkah kaki hanya khawatir dengan simpang jalan. tapi setiap tuju memiliki arah dan doa. ke mana mereka? mata-mata sendu itu memandang angkasa dari dasar tanah.

Friday, November 8, 2019

Joker

No comments

Tinggal di kamar sewa yang berdekatan dengan sebuah rumah sakit, telinga saya jadi akrab dengan sirene ambulans. Disusul gonggongan anjing-anjing lorong. Hewan ini penaka mengendus bau kematian. 

Sejak Jayapura dilanda rusuh Agustus 2019 lalu, kali ini sirene bertambah dari mobil polisi yang lalu-lalang. Kota ini menjadi serupa Gotham.

Di Papua, barangkali bukan hanya para korban kerusuhan yang butuh trauma healing. Tapi para jurnalis yang kerap turun bertugas, atau pada redaktur yang sering mengedit berita-berita berdarah, juga perlu.

Awal Oktober 2019, sehari setelah riuh pemutaran perdana film Joker di seluruh bioskop sedunia, saya menyempatkan pergi ke bioskop. Film ini telah saya nanti-nanti. Saya bukan penikmat bioskop. Karena saya lebih suka menonton di laptop. Sunyi. Dan kita bisa mengulang-ulang bagian yang ingin kita cermati.

Pergi ke bioskop di Kota Jayapura, saya harus tiga kali naik angkutan kota. Berharap dengan menonton film, isi kepala akan terasa lebih ringan. Sejak demonstrasi 19 Agustus itu, saya yang sempat meliput ribuan orang Papua menyemut di jalanan, tak pernah lagi mengunjungi Kota Jayapura. Baru kali ini ke kota lagi setelah hampir dua bulan.

Di bioskop yang berada di Mall Jayapura, nyaris semua studio menayangkan Joker. Saya segera memesan tiket yang tinggal 10 menit lagi tayang. Teman-teman lain masih dalam perjalanan, mereka berencana memesan tiket sejam kemudian. Saya akhirnya terpisah studio dengan mereka.

Sekumpulan pria cepak ikut mengantre di belakang saya. Saya menebak mereka adalah anggota brimob yang sedang lowong, ketika kondisi kota mulai kondusif.

Saat menunggu studio dibuka, saya selonjoran di depan pintu. Seorang bocah dengan jaket hoodie berada di samping saya. Seorang perempuan berjalan lalu berdiri di depan pintu studio yang telah menganga. Orang-orang berjajar masuk. Bocah tadi, ternyata akhirnya duduk di samping kiri saya.

"Memang suka Joker?" tanya saya.

"Sukanya Batman. Tapi mau menonton musuhnya," jawabnya. Hoodie masih menaungi kepalanya.

"Kelas berapa?"

"Baru masuk SMP."

Saya sedikit khawatir, sebab saya bisa menebak seperti apa film Joker nanti. Film ini memang tidak dianjurkan bagi anak-anak, apalagi tidak didampingi orangtua. Semenit kemudian, mungkin sepasang suami istri, perlahan-lahan merapat lalu duduk di samping kanan. Usia mereka agak sepantar jika menjadi orangtua bocah ini. Tapi mereka bukan orangtuanya.

Setelah iklan demi iklan berlalu, pria di depan cermin rias memunggungi penonton. Arthur Fleck namanya. Saat Arthur mengejar sekelompok pemuda yang membawa lari papan iklannya, kemudian mereka menghajarnya, bocah ini mulai membuka tudung di kepalanya.

Film terus berjalan. Popcorn di pangkuan bapak di samping kanan saya, sesekali bertukar pangku dengan pasangannya. Gemerusuk popcorn yang diaduk jemari terdengar jelas. Saya sedikit terganggu dengan suara itu, dan berharap makanan itu cepat habis. Saya dan bocah ini bertangan kosong. Serius menonton.

Saya pertama kali menangkap raut Joker di wajah Arthur, ketika ia dipecat atasannya. Lengkung senyumnya perlahan-lahan menjadi datar. Saya melirik bocah itu. Sepertinya ia sedang menunggu adegan seru. Tapi belum tampak lagi sejak papan iklan menghantam riasan badut di wajah Arthur.

Kemudian, adegan demi adegan kekerasan muncul. Bocah itu sering menutup mata saat tembakan terdengar. Apalagi ketika adegan Arthur menikam kawannya Randall. Tapi, mungkin, bukan itu keseruan yang ditunggu bocah itu. Ia bisa saja berharap ada adegan layaknya film-film superhero, yang memiliki kekuatan super. Arthur tak memiliki itu.

Saat film selesai, bocah ini seperti menyesal.

Di perjalanan pulang, ketika angkutan kota yang saya tumpangi melewati bangunan-bangunan yang terbakar sewaktu kerusuhan, saya ingat kembali Gotham yang membara. Kota terbakar. Orang-orang penuh amarah ruah di jalan. Mereka menolak penguasa mengolok-olok nasib jelata. Arthur menjadi simbol pemberontakan.

Apa yang ditonton oleh bocah itu di bioskop, hanya sebutir benih kekerasan dibanding yang kerap kali disaksikan dan didengar oleh bocah-bocah Papua. Memoria pasionis.

Monday, October 21, 2019

Kontributor

No comments

Hampir tiga tahun menjadi kontributor di Beritagar.id, kemudian kabar itu datang: Beritagar.id akan bersulih nama menjadi Lokadata.id akhir tahun ini. Kawan-kawan redaktur yang selama ini menangani kami di daerah-daerah, mulai berpamitan di media sosial. Semuanya sudah tidak lagi di Beritagar.id. Artinya, saya juga tidak lagi menjadi kontributor di media ini. Surel resmi dari kantor telah kami terima hari ini.

Selama ini, selain Beritagar.id, hanya Tirto.id yang rajin saya ikuti berita-beritanya untuk media-media dari ibu kota. Apalagi Beritagar.id memiliki rubrik Laporan Khas, semesta bagi para penulis feature menuangkan kisahnya. Media ini juga punya Galeri yang menjadi ruang bagi para fotografer mengirim foto cerita.

Di media ini, saya belajar bahwa ilmu tak memilik atap. Ia akan terus menapak dari satu langit ke langit berikutnya. Di sini pula laporan-laporan kami disentuh lagi oleh kawan-kawan redaktur yang, juga menjadi mentor kami untuk terus belajar menjahit kata-kata.

Laporan saya memang tak banyak di media ini, karena harus berjajar dengan puluhan usulan kawan-kawan lain di daerah, kemudian dibahas dan disetujui oleh redaksi di Jakarta. Tapi kisah siapa pun yang terpilih tayang, itu adalah cerita terbaik tentang nestapa, bahagia, perjuangan, semangat, dan beragam parade laku manusia.

Pernah sekali laporan saya tak tuntas, karena objek laporan tentang grafiti-grafiti Free West Papua, dihapus oleh puluhan tentara keesokan harinya setelah saya memotretnya satu demi satu. Narasumber yang akan saya wawancarai dari aparat keamanan-guna memastikan data soal penangkapan demi penangkapan terhadap para aktivis yang membikin grafiti-memilih menutup keran informasi dan kerap menghindar meski tiga kali membuat janji bertemu.

Selama menjadi kontributor Beritagar.id, saya merasakan pula bagaimana kerja kami di lapangan begitu dihargai dengan upah yang layak, atau cukup untuk menukar lelah. Sangat sedikit media seperti ini di Indonesia, apalagi memberi ruang bagi penulisan feature, karena itu kami para kontributor di daerah saling bertukar kabar, dan, seperti kata seorang kawan: sedihnya berlipat ganda. 

Sukses selalu untuk semua kawan redaktur dan para kontributor se-Indonesia. Terima kasih Beritagar.id...

Sunday, October 20, 2019

Kemerdekaan Puisi

No comments
kemerdekaan adalah tai
dimakan jadi nasi

Tuesday, October 8, 2019

Papua

No comments

di tanah ini
sebuah bendera
bisa membawamu
ke penjara

negara
hanyalah tugu
yang kemudian
menjadi pusara

Friday, September 27, 2019

#BebaskanDandhy

No comments

Dandhy Dwi Laksono bagi kami bukan hanya seorang teman, abang, atau sesama jurnalis yang pernah sama-sama bernaung di organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Ia melampaui itu. Bukan pula guru. Meski ia banyak mengajarkan kepada kami tanpa pamrih. Mungkin bila dipanggil guru, ia akan menepisnya. Dandhy memang terlalu rendah hati untuk kita tinggikan.

Dandhy, bagi saya, sudah memikirkan matang apa yang dikerjakannya selama ini. Terjun menjadi jurnalis yang kerap menyuarakan akar rumput, memang harus ikut menjadi rumput. Diinjak-injak, atau bahkan dikeringkan lalu dibakar. Risiko menjadi seperti Dandhy, memang ditanggung oleh setiap jurnalis. Sudah banyak jurnalis yang dibunuh karena berita. Dipukul, diintimidasi, diteror, dan segala rintang jika kita hendak menyuarakan kebenaran. Di negeri ini, orang benar memang kerap masuk daftar hitam para pembesar.

Kita telah belajar sejarah. Di belahan dunia, orang-orang yang memperjuangkan nasib rakyatnya dan kemanusiaan akan selalu berakhir di terungku. Bahkan bapak-bapak bangsa kita menjadikan penjara serupa kamar sewa. Hatta, sampai dibuang ke Boven Digoel. Dikelilingi nyamuk-nyamuk malaria pemangsa nyawa. Ia bertahan. Tapi tidak bagi Marco Kartodikromo, jurnalis yang dibuang Belanda ke Boven Digoel karena tulisan-tulisannya yang kritis. Mas Marco, panggilannya, meninggal di kamp pembuangannya itu pada 1932. Malaria menyesap ruhnya.

Seperti juga tokoh-tokoh itu, Dandhy telah sadar betul risiko profesinya. Memang, tak ada berita seharga nyawa. Tapi aral selalu ada. Baik ketika berbalut mantel profesi atau tidak. Bukan hanya kami, jurnalis. Tapi bagi siapa saja yang berdiri bersama orang-orang kecil, akan selalu dihardik oleh penguasa. Tengoklah tudingan kepada Dandhy. Dugaan sementara karena cuitannya soal Papua. Saya mencoba memindai beberapa unggahannya tentang kejadian di Papua baru-baru ini. Semua berdasarkan fakta yang telah diberitakan oleh media.

Dandhy, tak akan seceroboh itu membikin celah. Argumennya dan apa yang selalu ia utarakan berdiri kokoh. Saya tahu betul kehati-hatiannya. Apalagi setelah perangkap pasal-pasal karet telah diberlakukan. Saya sempat menulis status belum lama ini, tentang sebagian kawan yang memilih meninggalkan media sosial, karena semakin rentannya media sosial dijadikan perangkap oleh penguasa. Perisai kita hanyalah fakta. Itu saja.

Apa yang diunggah Dandhy soal Papua, mungkin hampir semuanya seragam dengan apa yang diunggah oleh sebagian banyak orang Papua, dan mereka yang memperhatikan Papua. Seandainya itu dipidanakan semua, maka penjara akan penuh oleh kasus yang sama. Sayangnya, pelapor Dandhy bernama Asep Sanusi ini, memang sudah menyasar baik siapa targetnya. Mungkin bagi pembenci Dandhy, Alpha yang ditaklukkan akan membuat lebih mudah meredam nyali kawanannya. Sama seperti penangkapan sejumlah aktivis pro-West Papua. Pun para aktivis KNPB yang ditangkapi satu demi satu. Mereka ini, bernyali sama dengan Dandhy. Mereka sangat tahu apa yang mereka hadapi.

Namun, Dandhy tak pernah memilih menjadi Alpha. Ia tak punya kawanan. Tapi ia memiliki banyak kawan. Sama seperti para pembela Papua lainnya. Mereka ada dan berlipat ganda!

Thursday, September 26, 2019

Ajak Cucu Jalan-jalan

No comments

Pagi cerah. Rusa-rusa meloncat berlarian di halaman seluas semesta. Jaring-jaring laba-laba di pepohonan diselimuti embun. Seorang kakek yang belum renta turun dari tangga istana. Ia menggendong cucunya yang mungil dan tampak menggigil.

"Kakek ajak jalan-jalan ke Taman Bangsa ya," katanya kepada cucunya.

Istana itu berada di puncak. Taman Bangsa yang baru disebutnya itu, ialah taman luas di halaman belakang. Di sana ada miniatur pulau-pulau.

Ia menurunkan cucunya lalu mereka jalan-jalan. Pertama dikunjungi adalah pulau di mana istana itu berdiri.

"Ini Pulau Jawa," tunjuknya.

"Lihat di sana ada petani Kendeng. Mereka itu membosankan. Selalu berdemo menuntut agar pabrik semen milik teman-teman baik kakek, diusir karena merusak persawahan mereka," ceritanya.

Cucunya hanya mengangguk. Sesekali bocah itu menggaruk punggung tangannya.

Kakek itu kembali menunjuk jalan lebar nan panjang. "Itu tol yang lahan-lahan petani juga kakek gusur. Gerah kakek sama petani."

Meski di masa kecil rumahnya pernah digusur, itu malah membuatnya gemar menggusur rumah-rumah warga. Bukan sadar bahwa itu adalah pengalaman terbaik. Ia malah ingin membalas dendam dengan menggusur. Aneh memang.

Ia lanjut ke pulau seberang. Ada Bali di sana. Ia berkisah kembali kepada cucunya, bahwa di sana ada masyarakat adat yang tak henti-hentinya berjuang, agar Teluk Benoa tidak direklamasi.

"Padahal bagus. Nanti teman kakek bangun gedung-gedung mewah di sana. Buat kita liburan. Masak cuma Kuta, Sanur, Seminyak, Nusa Dua, Ubud. Bosan! Kita butuh yang baru. Peduli apa dengan kerusakan lingkungan," katanya.

"Horeeee! Nanti kalau sudah jadi, bilang papa mama bikin hotel di sana. Kolam yang luaaaaassss! Biar bisa berenaaaaaaang!" kata cucunya dengan gestur lucu.

Dicubitnya pipi cucunya itu, "Jelas, Cuuuuuuk."

Ada pulau-pulau mungil lain di seberang. Tapi ia lewatkan. Meski di sana juga ada masalah antara warga dengan pemerintah, tentang lokasi wisata Pulau Komodo. Ia segera melompat jauh ke Sumatra. Ia lantas bercerita, di pulau ini sering kebakaran hutan. Perusahaan pembakar hutan juga kawan-kawan baik dari kawan baiknya.

"Kakek bilang ke kawan, urus saja itu. Bilang saja peladang yang bakar."

"Di sana anak seusiamu menghirup asap terus tiap tahun. Tapi tenang, asalkan kamu sehat, di sini udaranya segar. Lihat saja pagi indah ini. Langit biru. Di sana pernah jadi merah langitnya. Itu kuasa Tuhan," lanjutnya.

Pulau besar di seberang, juga sering kebakaran hutan, ceritanya kepada cucunya. Namanya Kalimantan. Kalau pulau ini, dulu hutannya begitu luas. Tapi sekarang dipenuhi sawit.

"Sawit itu baik. Mensejahterakan masyarakat sekitar. Daripada hutan, cuma jadi tempat binatang? Kamu pilih mana, manusia atau binatang yang lebih penting?" tanyanya.

"Hmmm... Binatang! Saya suka lele. Ada lele juga di sana?" jawab dan tanya cucunya.

"Lha, kenapa binatang. Sana, empang di rumah banyak lele. Dulu kakek pernah jatuh di situ. Kepala terbentur di batu. Otak kakek sebagian jatuh di sana," katanya.

"Kakek punya otak sebagian di sana? Kok, kakek belum mati?"

"Tenang, lele itu fana, kakek abadi." jawaban yang disusul tawa oleh cucunya.

Berlanjut, mereka menuju Sulawesi. Di sini ada perusahaan pertambangan. Baik gas bumi dan logam mulia. Kakek itu kembali bercerita, di mana ada investor selalu saja ada penolakan dari masyarakat adat.

"Tidak tahu adat baru bilang masyarakat adat. Lawan pemerintah terus!"

"Kakek jangan marah. Kalau marah, dengar lagu metal saja," kata cucunya. Ia lantas mengikuti saran cucunya. Album Metallica, And Justice for All, segera diputar di ponsel pintarnya.

Setelah itu, ia melompat jauh lagi ke sebuah pulau besar. Ia melewati pulau-pulau kecil yang sebenarnya juga banyak bermasalah dengan pemerintah.

Pulau besar yang ia tunjuk kali ini adalah Papua. Ia berkisah di sana ada perusahaan tambang emas terbesar di dunia. Selain itu, perusahaan sawit juga mulai meluas.

"Nanti kalau mau bukan lahan lagi. Bakar saja. Biar ada temannya Sumatra dan Kalimantan," katanya.

Ia berkisah, Papua ini sering menuntut penentuan nasib sendiri. Mereka ingin merdeka. Banyak pelanggaran HAM terjadi di sana. Penjahatnya rata-rata kawan baiknya. Malah dipilih jadi orang yang berwenang untuk bicara hukum dan keamanan.

"Mau sampai di PBB, kek, tetap tidak boleh pisah. Itu lumbung Jakarta. Makanya kakek kirim ribuan pasukan ke sana. Biar aman dan mulus perusahaan-perusahaan yang baik hati di sana," katanya.

Puas mengajak cucunya jalan-jalan, ia kemudian mengajak cucunya itu kembali ke istana. Ada pesan terakhir yang dikatakan kepada cucunya.

"Nanti jangan mau sekolah di STM, ya Cuk."



Cerita di atas hanya fiktif belaka. Kalau pun ada kesamaan kejadian dan tempat, labeli saja itu sebagai hoaks. Sebab fakta itu fana, yang abadi itu hoaks.

Tuesday, September 24, 2019

Wa(m)ena

No comments

raga kadung musnah
mati menjadi api
ingatan abadi
menantang punah

Tuesday, September 10, 2019

Wajah Kemanusiaan

1 comment
Siang itu, mungkin bagi Ramah, akan seperti hari-hari biasanya ketika ia hendak menjahit wawancara demi wawancara, menjadi sebuah berita. Ramah adalah jurnalis Jubi, sepayung kerja dengan saya, dan seorang pendatang dari Buton, Sulawesi Tenggara. Tapi tak ternyana, Kamis itu akan tragis. Demonstrasi kedua mengutuk rasisme terhadap mahasiswa Papua di luar sana, berujung amuk massa.

Ramah, seperti yang ia tuturkan dengan narasi menyentuh di grup kantor kami, berada tepat di antara segitiga bara. Aparat, massa Orang Asli Papua (OAP), dan massa pendatang yang mendaku sebagai masyarakat nusantara (selanjutnya disingkat manus). Kebanyakan dari massa manus itu dari BBM, kepanjangan dari Bugis, Buton, Makassar. Gelombang ketiga massa pendemo tak tahu, pada gelombang sebelumnya, terjadi amuk massa yang membakar sejumlah tempat usaha di sekitar Entrop. Massa OAP yang juga terdiri dari perempuan dan anak-anak ini, terjebak di antara aparat dan massa manus.

Jiwa kemanusiaan Ramah meronta, ketika melihat perempuan dan anak-anak itu panik dan ketakutan di atas tanah mereka sendiri. Seketika mereka menjadi asing di negeri sendiri. Menengok ke belakang, ada aparat yang represif. Di depan, ada manus yang marah karena tempat mereka mengais rezeki hangus. Sehitung detik, Ramah berusaha melindungi mama-mama dan anak-anak mereka, dari aparat dan manus yang mulai bertindak kasar. Ramah kemudian mengantar mereka dengan sepeda motor ke titik teraman di Skyland. Tempat sebelumnya yang sudah dilalui massa aksi. Berkali-kali ia bolak-balik.

Mama-mama itu mengaku berangkat dari Sentani, Expo, Kotaraja, dan Furia. Ketika mengamankan mereka dari aparat dan manus itu, Ramah menanggalkan profesi jurnalisnya. Ia tak mengaku seorang wartawan. Baginya, kali ini kemanusiaan harus paling depan. Hanya kepada mama-mama itulah ia bilang, ia seorang jurnalis.

"Melihat senyum mereka ketika aman, saya merasa ikut bahagia," kata Ramah.

Ramah, bisa jadi salah satu dari sebagian kecil pendatang yang mafhum, ia bukan sekadar mencari makan di tanah Papua. Ia yang sadar bahwa di mana bumi dipijak, di sana langit kemanusiaan dijunjung. Ia bahkan tak memikirkan keselamatannya. Pinta istrinya agar ia segera pulang, tak diindahkannya kali itu.

Kisah Ramah ini, direkam dengan wajah jurnalisme damai yang apik oleh kawan-kawan CNN Indonesia. Saya berada di kantor Jubi ketika potongan wawancara Ramah direkam. Dari durasi yang panjang, kawan-kawan CNN mengemasnya menjadi singkat, tapi begitu tebal narasi kemanusiaan di sana-sini. Beberapa bagian penting dijahit, dan yang paling mengharu-biru, ketika Ramah begitu sedih mengingat perca demi perca kejadian kala itu.

Kawan-kawan CNN membikin video berdurasi 6.50 menit itu, begitu seadanya. Saya segera ingat ketika banjir bandang yang menerjang Sentani belum lama ini, beberapa jurnalis foto dan video dari Jakarta berdatangan. Mereka mulai menemui para korban dan mendramatisir fakta. Para korban diatur sedemikan rupa, agar hasil foto dan video menjadi tragis. Meski sebenarnya para korban saat itu sedang berusaha tegar dari tangis.

Meski belum berselang lama kejadian banjir bandang di Sentani, demonstrasi yang sengaja digeser oleh beberapa massa siluman menjadi konflik antarsipil ini, sebenarnya adalah dua kutub yang begitu cepat saling bertolak. Di Sentani kemarin, kita bisa melihat bagaimana sirnanya sekat antara OAP dan non-OAP. Mereka saling bantu. Namun secepat itu, amukan Robhongholo tak bersisa pemaknaan. Bertahun-tahun merakit kebersamaan, sekali diterjang gelombang, rusak sudah sekali jalan.

Belum lama ini, saya pergi menemui kerabat dari kampung, salah satu anggota Brimob yang ditugaskan di Jayapura. Ketika pulang dari Tanah Hitam, titik penjagaan mereka, saya memilih menggunakan jasa ojek di sekitar situ. Sekalian sepanjang jalan saya hendak bertanya-tanya, tentang suasana genting beberapa lalu di sekitar Tanah Hitam.

Pengendara ojek itu dari Bugis. Ia bercerita tentang malam ketika mereka berjaga-jaga.

"Ada informasi massa dari arah Abe Pantai sana mau serang kami," kisahnya.

"Tapi tidak ada serangan, kan?" tanya saya.

"Iya, semalaman tidak tidur, ternyata aman-aman saja. Tidak tahu dari mana informasi itu," katanya.

Dari mana informasi itu? Ia mengatakan dari mulut ke mulut. Bagaimana agar informasi seperti itu bisa cepat ditangkal? Selain dari pemberitaan media, bisa dari media sosial yang saat ini jaringan internet masih diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Ketika banjir bandang di Sentani, kita bisa menyaksikan bagaimana internet sangat membantu. Ada beberapa hoaks tentang runtuhnya beberapa jembatan, bisa sekilat terang oleh masyarakat sendiri di lokasi. Meski yang ini adalah duka bencana, sementara bara di Jayapura adalah amuk massa, internet hanyalah alat yang bergantung kepada penggunanya. Pisau bisa digunakan membunuh, tapi bisa juga digunakan untuk melindungi diri atau sekadar mengiris bawang. Seandainya hoaks tersebar ketika rusuh di Jayapura, maka masyarakat bisa terlibat untuk menangkalnya lewat media sosial. Bahkan mungkin, narasi seperti yang Ramah tuturkan, akan bermunculan satu demi satu.

Pengendara ojek ini mengaku lahir dan besar di Tanah Hitam. Baginya, rusuh seperti itu sudah pernah ia lewati beberapa dekade. Sedang pendatang yang baru satu dua tahun datang, ada yang memilih pulang.

"Selama di sini kami aman-aman saja dengan orang Papua. Saya tiga puluh tahun lebih di sini. Teman-teman ojek juga ada orang Papua. Jadi kalau orang baru datang, ya pasti ketakutan lihat macam kemarin," katanya.

Sesampai di lingkaran Abepura, saya dihubungi lagi oleh saudara Brimob. Ia akan menyusul dengan temannya, untuk mengajak saya makan. Ketika ia datang, baru kali itu ia berjalan-jalan di keramaian Abepura, yang juga dipenuhi Brimob di beberapa titik. Sehabis makan, kami masih berkeliling di pusar Abepura. Ia hendak melihat-lihat noken. Saya menunjuk puluhan noken yang dijajar mama-mama di depan ruko-ruko yang sebagian kacanya hancur, sisa amuk massa kemarin.

Ia sempat heran, karena mama-mama itu berderet di sepanjang trotoar dan bermandi debu jalanan. Tanda herannya yang kedua, adalah harga-harga noken akar anggrek yang mencapai lima jutaan. Saya menjelaskan pencarian bahan dan proses pembuatannya, sampai kenapa harganya begitu. Ketidaktahuan tentang suatu daerah, budayanya, kebiasaannya, terkadang membawa seseorang pada penilaian yang keliru. Saya hendak mengenalkan sedikit demi sedikit tentang Papua kepada saudara saya. Setidaknya ia bisa memiliki gambaran sedikit demi sedikit.

Tak jarang, ketidaktahuan seperti itu yang membawa petaka. Sama seperti yang terjadi di Deiyai baru-baru. Kasus berdarah yang menambah daftar pelanggaran Hak Asasi Manusia di negeri ini. Kala itu, massa aksi tengah mengadakan waita, salah satu tradisi penyemangat yang ditandai dengan orang-orang membentuk pusaran sembari berteriak-teriak. Aparat menganggap mereka akan memulai kericuhan. Salah satu mobil menabrak para pendemo. Pengemudinya seorang aparat. Massa marah dan terjadilah kericuhan. Kemudian, satu demi satu nyawa luruh oleh peluru.

Betapa ketidaktahuan itu adalah satu-satunya musuh yang harus dimusnahkan di tanah Papua ini. Saya ingat seorang kawan kos dari Jawa Timur. Ia seorang sarjana lulusan Universitas Surabaya, yang setelah berhenti dari pekerjaannya di salah satu diler mobil, memilih menjadi sopir rental mobil untuk mengisi waktu luangnya. Ia membaca buku saya, Kisah Hidup Tokoh-tokoh Papua. Di situ ada nama Jesua Nehemia Jikwa. Orang yang sering memakai jasanya.

"Kalau saya tahu dia, saya tidak akan meminta uang untuk jasa saya mengantarnya. Hanya sewanya saja. Saya baca kisahnya, sedih. Pernah ia lapar dan hanya membakar jambu," katanya, setelah tahu siapa tokoh itu dan kisah perjalanan hidupnya.

Dalam buku itu, ada pula ditulis ujaran kebencian yang mendera Jikwa selama Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang. Ia ikut ayahnya yang melanjutkan sekolah di sana kala itu. Menjadi satu-satunya orang Papua di sekolah, ia kerap dipanggil 'monyet', 'kanibal', 'kamu makan orang', dan lain sebagainya. Pada akhirnya, orang yang sering mereka ejek itu sekarang menjadi salah satu tokoh yang dihormati dan dikagumi di Papua, di antara deretan nama Amelia Jigibalom, Benny Giay, Willem Rumsawir, Obed Komba, Marjono Murib, Helena Mantuan, Octovianus Mote, Uma Markus Kilungga, Noakh Nawipa, Herman Arom, Nicholas Jouwe, dan masih banyak panutan-panutan lainnya.

Sesungguhnya, orang-orang Papua yang hingga saat ini tetap menuntut hak penentuan nasib sendiri, telah belajar sejarah dengan sebaik-baiknya, dan sehormat-hormatnya.

Ketika mengetahui tentang Papua, maka Anda akan segera beranjak dari kubangan ketidaktahuan. Berjalan dari satu tanda heran ke tanda heran lainnya, hingga menemui seperti apa wajah kemanusiaan itu.

Tuesday, September 3, 2019

Selamat Hari Raya Usia Jubi

No comments

Indonesia dan Jubi sama-sama lahir Agustus. Indonesia telah 74 tahun. Sudah renta. Jubi 18 tahun. Baru mau beranjak dewasa.

Hampir tiga tahun sa bekerja di Koran Jubi dan media daringnya jubi.co.id. Tapi baru mau dua tahun sa tinggal di Papua, semenjak dipindahkan di redaksi koran.

Pada 31 Agustus 2019 kemarin, Jubi merayakan usianya yang ke-18. Namun kali ini tak seriuh biasanya. Kami hanya berdiam di rumah atau di kamar sewaan. Jayapura tengah membara. Kami merayakan hari ulang tahun dalam senyap.

Catatan ini sudah sa bikin sejak Sabtu menjelang pagi, 31 Agustus 2019. Di kamar kos, hampir semua penghuni tak bisa lelap. Kabar-kabar burung hinggap di ponsel yang telah mundur peradaban. Semua tentang suasana mencekam. Sejak internet diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 19 Agustus 2019, ponsel pintar kami hanya bisa untuk menelepon dan berkirim pesan singkat. Jika ada kejadian di satu tempat, kami terlambat tahu. Kami serupa katak dalam tempurung yang siap diinjak retak.

Saat menulis ini, sa sempat menunda meneruskannya akibat suara tembakan terdengar memecah pagi. Kami saling bertukar kabar, tentang situasi di masing-masing tempat. Ada yang di tempat tinggalnya listrik dipadamkan dan orang-orang mulai berjaga-jaga, ada yang mendengar suara teriakan bersahut-sahutan, ada juga yang baru mendapat kabar bahwa konflik sudah menjalar menjadi antar-orang Papua dan pendatang.

Semua kabar yang datang dikemas dalam cemas. Nyala pagi, jadi satu-satunya yang dinanti agar bisa bebas dari keterjagaan. Lonceng gereja saja kerap membuat kaget, karena dianggap dentang tiang listrik. Tinggal berdekatan dengan rumah sakit, kami juga sering terkejut oleh sirene ambulans. Jalanan begitu sunyi, sudah sejak langit mulai gelap.

Di kosan sa yang baru, ada berbagai macam latar belakang daerah yang berdiam. Ada dari Jawa, Toraja, Bima, Wamena, Batak, dan kamar-kamar lainnya yang penghuninya belum saling mengenal. Bahkan para penghuni di kosan sa sebelumnya, sering bertukar tanya.

Para pendatang yang memiliki paguyuban, saling berkirim kabar agar berhimpun dan mengungsi ke tempat-tempat aman. Sa seketika menjadi asing di sini. Meski warga Bolaang Mongondow ada juga paguyubannya di Jayapura, sa tak pernah membangun silaturahmi dengan mereka. Karena sa kerap berpikir, untuk apa jauh-jauh ke Papua hanya untuk berkumpul dengan orang sedaerah? Tapi ketika ada kejadian ini, sa jadi sadar, penting juga untuk mengenal orang-orang sedaerah di sini.

Meski tinggal di salah satu sudut Kota Jayapura, kami tidak tahu pasti apa yang terjadi di Abepura, Kotaraja, Entrop, dan Kota Jayapura, yang hanya berjarak beberapa kilo dari kos. Bukan hanya jaringan internet di ponsel yang diblokir, tapi Wi-Fi ikut mati. Jika ingin mengakses informasi lewat internet, kami harus memberanikan diri ke hotel-hotel yang menyediakan jaringan internet satelit. Sa sudah pernah merasakan sebulan lebih tak bisa mengakses internet di Jayapura, karena fiber optik bawah laut putus tahun lalu. Tapi saat itu kondisi kota aman-aman saja. Sekarang? Bahkan keluar mencari warung yang buka saja susahnya minta ampun.

Setiap kali terkoneksi dengan internet, sa berkesempatan mengunduh beberapa informasi di grup kantor, Youtube, dan media sosial. Semua sebagai bekal ketika pulang ke kos agar informasi masih bisa terserap. Semua kabar yang pernah sa terima, beberapa di antaranya mulai terang. Ada yang benar. Ada yang keliru. Tapi ketika membaca bahwa ada korban berjatuhan, sa makin tambah khawatir. Sempat terpikir, untuk jenak pergi dari Jayapura sampai kondisi kondusif.

Koran terpaksa terhenti produksi. Hanya media daring yang tetap jalan, meski dengan terbatasnya jaringan internet. Berita masih bisa diunggah. Sebelum aksi kedua yang rusuh tempo hari, kami masih berjuang agar koran tetap terbit. Melompat dari hotel ke hotel, hanya agar bisa mengakses berita-berita. Tapi sejak rusuh, jadi berisiko bagi kami yang terbiasa keluyuran mencari jaringan internet. Banyak humor yang terlontar saat itu, seperti bagaimana cara mengakses internet di kafe hotel dengan hanya memesan air hangat. Sampai sa sempat berujar, "Kegilaan-kegilaan kecil ini, kelak akan tercatat di buku sejarah pers Papua."

Tiga hari setelah kerusuhan di Kota Jayapura dan sekitarnya, baru sa bisa menyaksikan di media sosial seperti apa letupan demi letupan amarah kala itu. Banyak ruko dan tempat usaha terbakar. Kaca-kaca kantor berguguran. Beberapa kantor tersisa puing.

Beruntung, saat aksi kedua sa tidak turun ke jalan untuk liputan seperti saat aksi pertama. Salah satu alasan sa, saat itu kamera yang biasa sa pinjam ke kawan sekantor, sedang dipakainya untuk liputan di Jakarta dan Surabaya bersama gubernur Papua. Kedua, ketika diajak kawan wartawan Jubi yang orang Papua, sa sudah diingatkan agar tidak turun liputan oleh beberapa teman.

Seorang kawan di Entrop berkisah, ia terjebak dengan massa aksi ketika pulang dari pasar membeli ikan. Ia merogoh saku untuk mengambil ponsel bermaksud menelepon, tapi disangka hendak memotret. Ia ditampar. Ponselnya mau direbut untuk dibanting. Parang sempat mengikis kepalanya. Ia selamat dari amuk itu. Kaca distronya bertebaran dilempari batu. Distro yang di dalamnya ada Bintang Kejora terpampang. Orang tuanya pendatang dari Sulawesi Selatan. Ia lahir dan besar di Jayapura.

Mendengar kisahnya, sa sadar, membela hak-hak orang Papua atau setia berdiri di samping mereka, tak menjamin kita tak akan disakiti. Ada ribuan orang Papua di luar sana yang tak tahu sepak terjang kita. Tapi apakah dengan begitu, kita lantas segera beralih membenci mereka? Jawabannya ada ketika kawan ini menceritakan kisahnya lewat pesan singkat, tapi diselingi "ha-ha-ha". Mungkin, di saat-saat seperti itulah, kukuh kita bersama mereka benar-benar diuji.

Sampai saat ini, Jubi adalah media di Papua yang tetap bersetia dengan orang Papua. Isinya bukan hanya orang Papua, meski didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Papua. Di Jubi-lah sa banyak belajar bagaimana susahnya menjadi jurnalis di Papua. Sebagai redaktur, kau mungkin bisa memberi kuliah berjam-jam kepada wartawan orang Papua, tentang bagaimana caranya menembus narasumber. Tapi ketika kita turun sendiri ke lapangan, baru kita akan merasakan betapa segala kanuragan yang pernah kita bagi, tiba-tiba menguap begitu saja.

Selain Jubi dan suarapapua.com, tak ada lagi media lain di Papua yang mampu menjahit perca-perca yang hilang tentang Papua secara utuh. Berharap kepada media di Jakarta, mungkin hanya ada satu atau dua media saja yang masih menyediakan ruang khusus untuk Papua. Selebihnya, hanyalah media-media yang penuh parade para jenderal dan penguasa.

Selama di sini, sa bersyukur mulai mengenal Papua keping demi keping, meski memang masih begitu luas dan dalam lagi yang siap untuk kita arungi dan selami. Tapi setidaknya sa mengerti, merekalah yang mengajari sa bagaimana caranya memuliakan harga diri dan menghargai sebuah nyawa.

Menghormati hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, bukanlah jalan untuk memanusiakan mereka. Tapi itu adalah jalan untuk memanusiakan kita.

Terima kasih Jubi untuk kesempatan yang tak ternilai ini. Selamat hari raya usia. Tetap menjadi bintang sebagai penunjuk arah, agar orang-orang tak tersesat mencari kebenaran di Tanah Mama ini.

Thursday, August 22, 2019

Selamat Mengarungi 'Samudra Ingatan'

2 comments
Personel Beranda Rumah Mangga, dari kanan Yedi, Vicky, Vicro, Christy, dan Rian.
Sepekan setelah film Bumi Manusia merayap ke seluruh bioskop di Indonesia, Beranda Rumah Mangga (Braga), salah satu band indie di Kotamobagu-kota kelahiran saya-merilis album perdana mereka, pada 22 Agustus 2019, yang dengan takzim mereka tajuki Samudra Ingatan.

Dari kelima lagu dalam album itu, ada lagu berjudul Adil Sejak Dalam Pikiran. Judul lagu tersebut tak asing bagi pembaca karya Pramoedya Ananta Toer. Dari lembaran novel Bumi Manusia-lah, 'adil sejak dalam pikiran' ditimang-timang lalu dijadikan sebuah lagu oleh Braga.

Selain Adil Sejak Dalam Pikiran, ada empat lagu lain berjudul Samudra Ingatan, Sepasang Senja, Bilur-bilur, dan Patah Menjadi Air Mata. Empat lagu di antaranya sudah pernah saya dengar. Hanya lagu Sepasang Senja yang belum. Karena itu, saya memulai mendengarnya dari lagu itu.

Papua, khususnya Jayapura, kota di mana saya berdiam, sedang bergejolak akibat sikap rasisme yang mendera para mahasiswa Papua di Kota Malang, Surabaya, dan Makassar. Jaringan internet lamur karena dibatasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sungguh perbuatan yang menghalangi kami mengakses atau menyebarkan informasi. Karena itu, saya lebih dulu mengunduh lagu-lagu Braga yang baru di kanal Youtube, ketika internet bisa diakses sebisanya dengan Wi-Fi kantor, agar bisa didengarkan offline di kamar kos nanti.

Setelah Sepasang Senja yang melebur penat saya karena bekerja seharian, dan rintihannya menyeretku ke kampung halaman, Bilur-bilur menjadi lagu kedua yang menepuk pundak dengan versi yang baru kali ini saya dengar. Sebelumnya, demo lagu itu dibawakan Vicky. Tapi kali ini dinyanyikan oleh Yedi. Baik Vicky atau Yedi, keduanya memiliki warna suara yang saya suka.

Entah kenapa, lagu-lagu Braga menurut saya seperti memiliki separuh nyawa saya. Ada bait-bait lagu yang penaka merangkul, mengiris, dan menebalkan ingatan, bahwa kisah setiap orang memang selalu istimewa. Bahkan dalam lagu-lagu asing yang entah datang menyapa dengan sengaja atau kita cari, ada saja lirik yang mewakili perjalanan hidup kita.

Bagi siapa saja yang gigih melawan lupa, atas kejahatan negara yang tak pernah berniat meminta maaf kepada para korban kekerasan Hak Asasi Manusia (HAM), maka lagu Bilur-bilur ialah pelarungan yang begitu lembut namun tegas.

Biar waktu berlalu takkan hentikan ingatan pilu/ kebenaran bertumbuh senandungkan dosa-dosa yang bisu/ biar kau bungkam ragaku takkan hentikan suara pikiranku/ kebenaran takkan lumpuh bertumbuh menyembilu di nadimu/ sembilu di nadimu...

Ya, kebenaran berpinak dan tak bisa jinak. Ia tak luruh meski berputar waktu. Ia berdetak di nadi yang tak henti menagih janji.

Saya menghantar lagu Bilur-bilur di altar berisi tumpukan daftar kekerasan HAM. Lalu saya menyingkap lembar demi lembar. Di sana ada kekerasan HAM terhadap orang Papua, pengungsi Nduga yang dituding hanya sedang bermigrasi meski sudah ratusan yang meninggal, para petani yang direbut lahannya atas nama pembangunan, hutan-hutan rindang yang lindang, laut yang diuruk, orang-orang diterungku karena memperjuangkan haknya, dan segala rupa dosa paling bedebah para penguasa kepada jelata.

Repihan lagu Samudra Ingatan yang dulu hanya diunggah di media sosial ketika Braga tampil di kedai-kedai kopi di Kotamobagu, pun kini bisa saya dengar seluruh. Mungkin lagu ini bisa menjadi perayaan atas segala kegelisahan yang akhirnya mewujud. Liriknya tak segembira iramanya. Tapi dari situlah pesannya lahir: melawanlah dengan gembira.

Patah Menjadi Air Mata pernah saya buatkan puisi setelah mendengarnya, meski lagu ini bagi saya sudah sebuah puisi. Ketika mendengar lagu itu, kata-kata ini melantas ke jemari: barangkali, seorang resi ditakdirkan sendiri/ agar bisa ruah berbagi/ pada tanah yang menumbuhkan rerumputan dan cendawan/ atau pada telinga-telinga yang mampu menangkap sunyi.

Lagu Adil Sejak Dalam Pikiran jauh bulan telah dikirim Vicky ke saya, tepat di malam hari raya usia saya, 12 April 2019. Saat itu saya tengah mengutuk nyala pelita Jakarta, dari jendela bening gedung jangkung. Lagu itu semacam hadiah pengingat, bahwa tetaplah adil sejak dalam pikiran. Lekas pikiran saya hendak menuliskan rasa terima kasih atas lagu itu. Tapi niat itu saya tahan. Bukankah sebaiknya sebuah hadiah tidak kembali memuji pemberinya?

Jikalau di Makassar ada kawan-kawan Kapal Udara dan Ruangbaca, maka di Bolaang Mongondow ada Beranda Rumah Mangga. Anak-anak muda yang senantiasa bersetia dengan karya. Sudah seharusnya, setiap daerah memiliki arus seperti mereka. Harus ada yang mendirus jiwa-jiwa lelap, yang terlalu lama terbuai oleh band-band ibu kota. Bukan soal kita di pelosok bisa. Tapi tentang keberanian untuk memulai. Sekarang band-band indie sedang melarung saya dengan se-samudra karya, maka Braga adalah lungkang yang membikin perahu saya jenak tenang.

Adil Sejak Dalam Pikiran sebenarnya adalah janji yang pernah saya tagih kepada Braga. Beberapa tahun lalu, Vicky mengutarakan rencananya untuk membikin lagu tentang sosok Pram. Saya menuguri dan sempat menulis semacam 'tagihan' atas janji itu. Tulisan itu hanya sebagai pengingat agar lagu itu bisa mengada. Tak perlu buru-buru memang. Karena saya adalah orang yang selalu percaya: dalam berkarya tak usah tergesa-gesa. Sebab karya yang melalui permenungan, akan memiliki ruh lalu hidup selamanya di hati para pengkhidmatnya.

Kini, langsai sudah...

Uluk salam untuk Vicky, Yedi, Rian, Vicro, Christy, dan semua handai yang turut menyemai benih-benih, hingga akhirnya bertumbuh menjadi sebuah karya yang genah untuk disebut indah.

Selamat mengarungi Samudra Ingatan. Kelima lagu yang bertalun dalam album ini adalah seruan, agar kita tetap ingat untuk menepi di dermaga lalu meniti rampa. Pergi menengok ingatan. Atau menyapa kawan-kawan sekepal tinju, yang terus ada dan berlipat ganda.

Tuesday, August 20, 2019

Ketika 'Monyet' Menjadi 'Kingkong'

1 comment

"Saat melihat Kota Jayapura diduduki massa aksi, sa baru merasa tinggal di Papua."

Kalimat di atas, sa utarakan kepada kawan-kawan jurnalis orang Papua. Mereka tertawa. Sesekali mereka juga menertawai sa yang kerap ternganga melihat massa aksi sebanyak itu.

Kalau melihat massa saat kampanye mungkin biasa. Tapi ini, kamu satu-satunya orang yang bukan ras Melanesia, yang berada di tengah-tengah massa, yang sesekali bisa saja terjadi bentrok. Pandangan mata sa beberapa kali bertumbuk dengan demonstran. Sa selalu tersenyum. Ada yang membalas, ada pula yang tidak.

Meski sa ditemani kawan-kawan jurnalis Papua, sa masih merasa khawatir. Tak ada berita seharga nyawa. Apalagi saat tahu, di Manokwari massa sudah membakar sejumlah gedung. Tapi sa berusaha menyakinkan dalam hati, niat sa baik, Tuhan akan jaga sa.

Ada seorang polisi berpakaian preman, berjalan dari mobil patroli lalu mendekati sa. Ia lalu bertanya sa wartawan dari mana. Sa menjawab dari Beritagar.id. Sa saat itu memang membawa dua ID card, Jubi dan Beritagar.id. Keduanya sa gantungkan di leher secara bergantian. Ketika berada di antara massa Papua, sa mengalungkan ID card Jubi.

Saat coba mengambil gambar dari atas jembatan penyeberangan di depan kampus Uncen di Abepura, kami sempat dihardik.

"Jangan foto-foto! Kami tidak perlu wartawan!" teriak seorang demonstran, saat naik ke atas jembatan.

Tetapi karena kawan-kawan lain orang Papua juga, mereka segera menegur orang itu. Ia turun dari jembatan. Sa segera dibayang-bayangi kejadian Abepura Berdarah, 2000 lalu. Namun bayangan itu segera sa tepis.

Sa lantas bertanya kepada kawan mengenai pendapatnya, apakah aksi ini akan ricuh.

"Kemungkinan kecil, iya," katanya.

Sa berharap banyak, semoga tidak akan ricuh. Sa semakin yakin, saat melihat bagaimana koordinator aksi dan mahasiswa-mahasiswa Uncen mengontrol massa. Tali rafia dibentang melingkari ribuan pedemo. Sepanjang jalan, mahasiswa yang beralmamater coba memastikan agar provokator tidak ikut bergabung.

Sa berboncengan dengan kawan, lalu menyusuri jalan memutar agar lebih dulu sampai ke kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di Kotaraja. Semua lorong macet. Mobil, motor, taksi (angkot), bahkan truk berimpitan. Semua memilih menghindar dari jalan raya. Di jalan raya, ketika sa melirik ke kiri dan kanan, tak ada satu pun warga pendatang. Semua toko ditutup. Bahkan saat kehausan, kami baru mendapati warung yang dibuka, jauh ke dalam lorong. Meski dibuka, hampir semua warung di Jayapura dipakai terali besi, lalu diberi celah untuk bertukar uang dan barang.

Di jalan raya, hanya ada warga orang Papua yang berani berjajar di tepi jalan. Massa menyanyikan lagu "kami bukan merah putih, kami bintang kejora" di bawah terik matahari. Ratusan pengendara sepeda motor memimpin massa. Dari bocah sampai yang renta, terpanggil ikut aksi. Bahkan ada anak-anak sekolah yang masih berseragam.

Sa merinding, ketika massa melewati seorang nenek yang berdiri di depan rumah. Ia menyambut teriakan "Papua merdeka". Seorang kakek di deretan rumah berikutnya pun demikian. Mungkin mereka dulu pernah pula turun ke jalan, lalu ingatan menyeret mereka ketika melihat ribuan manusia mengular di atas aspal mendidih.

Saat massa sampai di depan kantor MRP, orasi lima menitan terkoar. Mereka mengajak agar lembaga kultural orang Papua itu, ikut bergabung dengan massa. Sa belum banyak mengenali para anggota MRP, tapi menurut kawan, ada beberapa yang ikut bergabung dengan massa.

Massa mulai dinaungi rindang pepohonan ketika menanjak di Skyland, tempat terindah untuk menikmati es kelapa muda dan hamparan Teluk Youtefa. Tapi jalan yang menanjak tak menyurutkan semangat mereka. Sebagian demonstran diberikan air mineral oleh mama-mama Papua yang berjualan di sana. Dari Skyland, massa kembali bergerak menuju Entrop, selanjutnya hendak menuju ke Taman Imbi, tepat di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

Ketika bersama massa aksi, ada banyak teriakan yang kerap membuat sa tersenyum. Misal, "Kami monyet, keluarkan kami dari NKRI", "Kami monyet kalian usir, kami usir Indonesia dari tanah monyet", "Kami monyet, tapi kami tidak merusak alam seperti kalian", "Kalian manusia suka mencuri kekayaan monyet", "Kami monyet pergi menuntut ilmu ke negeri manusia, tapi manusia datang cari makan ke negeri kami, lebih terhormat siapa?", dan masih banyak teriakan lainnya lagi. Mereka melawan rasisme dengan sarkasme cerdas dan balik meninju keras.

Setelah menyerah karena berada di belakang massa aksi di jalan menanjak, kami memilih melewati jalan belakang, agar lebih dulu sampai di Taman Imbi, tepat di jantung Kota Jayapura. Di sana, ratusan orang juga telah turun ke jalan.

Di Kota Jayapura, semua toko tutup. Di atap-atap gedung tampak beberapa karyawan memegang ponsel dan mengabadikan momen langka itu. Ketika massa aksi dari Waena tadi sampai, beberapa polisi sempat dikejar dengan balok kayu. Namun tak ada yang terluka. Demonstran lain mengamankan situasi, sembari mengatakan ini adalah aksi damai.

Di saat berkejar-kejaran dengan polisi itu, sa segera merapat ke kawan wartawan Papua. Sa dilewati oleh massa yang memegang balok. Tapi ada seorang demonstran mendekati sa lalu bertanya dari media mana. Ketika menyebut Jubi, ia segera berlalu sambil tersenyum.

Sekitar pukul 3 sore. Massa sudah menempuh jarak sejauh kira-kira 16 kilometer. Ada di antara mereka bahkan tak beralas kaki. Mereka berjalan sudah sekitar enam jam lamanya. Di depan kantor DPRP, mereka berorasi selama lima menit. Kemudian melanjutkan perjalanan ke kantor gubernur.

Di halaman kantor gubernur, massa disambut oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe. Dari belakang panggung orasi, pandangan sa menyapu ribuan orang. Ketika mereka meneriakkan kata "merdeka", gemuruh suara mereka menjadi serupa auman Kingkong.

Benar sudah, sesuai orasi Juru Bicara Internasional KNPB, Victor Yeimo, rasisme yang menimpa orang Papua bukanlah satu-satunya alasan mereka berhimpun, lalu turun ke jalan. Itu adalah akumulasi amarah yang sekian lama mereka pendam. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), nasib para pengungsi Nduga yang bahkan lainnya masih kedinginan di dalam hutan, dan pengrusakan alam Papua, adalah kegelisahan yang selama ini diabaikan pemerintah.

Salah seorang mama juga tak ketinggalan menyampaikan amarahnya di depan gubernur dan massa, atas sikap rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Jawa.

"Saya ini ibu. Saya mengandung dan melahirkan. Dan saya tidak pernah melahirkan anak monyet!" teriaknya, yang disambut gemuruh dukungan massa.

Mama itu mengatakan, Tanah Papua adalah tanah yang diberkati, maka ketika penghinaan ras mendera orang Papua, itu sudah menyangkut harga diri orang Papua.

"Manusia tidak melahirkan monyet. Manusia tidak melahirkan singa. Karena itu, mari orang Papua dari pesisir pantai sampai pedalaman pegunungan, kita bersatu menuntut kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri. Referendum adalah solusinya!" pekiknya.

Gubenur Papua, Lukas Enembe, menitikkan air mata. Ia mengatakan, orang Papua sangat mencintai mendiang Gus Dur begitu pun sebaliknya. Karena itu, ia menyampaikan permintaan agar Gubernur Jawa Timur bisa menjamin nasib para mahasiswa Papua di sana.

"Kita bukan kera. Saya juga heran, Indonesia sudah merdeka selama 74 tahun, tetapi masih ada orang-orang berpikiran picik seperti itu," kata gubernur.

Sampai pukul 6 sore, massa mulai berangsur pulang. Namun, selanjutnya, ternyata drama rasial ini belum berhenti. Dari Malang kini menjalar sampai ke Makassar.

Sa lantas ingat percakapan seorang kawan jurnalis Papua dan seorang pendatang asal Makassar di Taman Imbi, Kota Jayapura. Ceritanya, orang Makassar itu bertanya kepadanya mengenai situasi demonstrasi kali ini. Ia menjawab bahwa mahasiswa Papua di Surabaya diserang lalu disebut monyet, karena itu aksi besar-besaran ini terjadi.

Lalu, orang Makassar itu menjawab, "Saya juga kalau dipanggil monyet, ya, marah!"

Sunday, August 11, 2019

Yang Tiada di Festival Lembah Balim

No comments

Wamena adalah kota ketiga yang sa pijaki di Papua. Jayapura dan Timika sebelumnya. Kota-kota lain, masih dalam impian.

Ketika kali pertama melihat Wamena yang serupa pusar Lembah Balim, sa tersenyum. Tak sabar rasanya ingin segera mendarat, lalu merayap di atasnya. Perasaan ini berkebalikan ketika sa melihat Timika dari udara. Kota ini seperti nyaris disapu limbah raksasa dari PT. Freeport Indonesia.

Kawan-kawan jurnalis di Wamena yang sehati seperjuangan, pertama-tama mengajak sa ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayawijaya. Kebetulan ada rapat tahunan antara legislatif dan eksekutif. Di sanalah sa dikenalkan dengan beberapa orang pejabat di sana. Salah satunya Kepala Dinas Pariwisata Pemerintah Kabupaten Jayawijaya.

"Siapa tahu ko butuh wawancara," kata teman sa.

"Sebenarnya laporan sa ini hanya narasi perjalanan saja. Tak butuh wawancara narasumber. Tapi tak apalah," kata sa.

Di halaman gedung itu, kepala dinas tadi mengatakan akan ada pemecahan rekor MURI saat Festival Budaya Lembah Baliem, kategori noken terbesar. Nanti ada dua kampung yang membuat nokennya. Satu noken berbahan benang pabrikan, sedangkan satunya lagi berbahan alam biasanya dari kulit kayu atau akar anggrek.

"Sebenarnya Baliem itu ditulis Balim," kata teman sa, yang sudah bertahun-tahun meliput di Wamena.

Sorenya, kami beranjak ke salah satu puncak, tempat melihat Kota Wamena dari ketinggian. Kami harus melewati satu pos tentara. Setelah meminta izin, kami berhasil melewati pos itu. Sebelumnya kami juga melewati lokasi belajar anak-anak pengungsi yang sudah tak terpakai. Beberapa sekolah darurat sudah dibongkar.

"Di pos tadi, Jakub Fabian Skrzypzki warga negara Polandia ditangkap," kata teman sa.

"Sayang ee... Bayangkan, ketika kita sedang asyik melancong ke negeri orang, lalu tiba-tiba ditangkap begitu?" kata sa.

Skrzypzki, menurut pengakuannya, hanyalah "wisatawan ekstrem" yang suka mempelajari budaya, bahasa, dan masalah kemanusiaan. Ia mengunjungi beberapa negara konflik dan terpencil. Tapi di Wamena, ia ditangkap karena dituduh sebagai pengedar senjata. Ia akhirnya divonis lima tahun penjara. Saat ini, ia sedang banding.

Keesokan harinya, kami berangkat ke kampung pertama yang mama-mamanya sedang merajut noken berbahan benang pabrikan. Perjalanan ke sana melalui jalan yang kondisinya mulus tapi terkadang berlubang-lubang. Yang paling parah, di daerah longsoran yang katanya sudah bertahun-tahun tak pernah diperbaiki.

Sesampainya di kampung itu, mama-mama membawa noken rajutan mereka. Sudah sejak Maret dikerjakan oleh sepuluh mama. Per mama merajut bagian-bagian terpisah sepanjang tiga meter. Nanti tinggal disatukan. Tapi mereka mengeluhkan soal biaya. Mereka ingin per orang dibayar sepuluh juta rupiah, karena pengerjaannya terbilang rumit.

Saat kembali dari kampung itu, kami berkesempatan singgah di rumahnya Pastor John Djonga. Ia pernah dianugerahi Yap Thiam Hien Award, pada 10 Desember 2009 di Jakarta. Rumahnya asri dan berada di tepi Sungai Balim.

Ketika memperkenalkan diri, pastor ternyata sudah diberitahu salah seorang teman sa. "Oh, Kris. Iya, ini dikirim teman nomormu," katanya.

Pastor orangnya humoris. Kaus yang dipakainya bercorak A.C.A.B. Sesekali kisahnya penuh canda. Tapi ketika ia berkisah tentang pengungsi dan konflik Nduga, sa nyaris meneteskan air mata. Orang sakit yang dibakar dalam honai, mama-mama yang melahirkan dalam hutan, mereka yang melihat keluarga dibunuh, dan kisah-kisah pilu lainnya. Yang ini sudah diberitakan Jubi dan BBC. 

Keasyikan berbincang, pembahasan kami sampai ke soal film The Mahuzes. Lalu sa menawarkan semua film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru kepada pastor. Ia masuk ke kamar mengambil harddisk dan sebungkus kacang.

"Ini kacang kulit dari Manado," katanya. Menyusul bergelas-gelas kopi.

"Ini kacang Kawangkoan. Kebetulan sa orang Sulawesi Utara," kata sa.

Pastor sempat menyentil soal jalan yang terkena longsor, yang sempat kami lewati. Ia meminta untuk diberitakan lagi karena tidak pernah ada perhatian pemerintah. Padahal itu menjadi akses sehari-hari masyarakat.

Kami lanjut mengunjungi siswa-siswi SMA Negeri 1 Wamena, yang sedang berlatih tarian kolosal untuk festival. Saat sedang memotret, sa terus mencari siswa-siswi yang orang asli Papua. Tapi jumlahnya tak banyak. Sa bertanya-tanya dalam hati, apakah di Wamena, bahkan penduduknya sudah lebih banyak pendatang layaknya Kota Jayapura, dan daerah lainnya?

Setelah kembali dari perjalanan, kawan sa membuat berita soal noken, mengenai keluhan mama-mama dan rencana mereka untuk tidak menyerahkan noken itu jika pembayarannya tidak sesuai permintaan mereka. Rekor bakal batal. Besoknya, berita itu dibantah pihak pemerintah daerah. Menurut mereka, noken yang dibuat mama-mama itu tak masuk rekor MURI. Yang masuk hanya berbahan alami buatan mama-mama di kampung lain. Namun, tak apalah soal tak masuk rekor MURI itu. Asal karyanya telah kami saksikan dan mendengar tawa mama-mama di tengah lelah mereka, itulah hal-hal yang lebih berharga dibandingkan rekor-rekoran.

Sebelumnya, sa sungguh tertarik ingin melihat festival. Tapi belakangan niat sa itu sa tepiskan. Sa menduga, festivalnya juga nanti mirip dengan festival lainnya. Padahal yang terpenting apa hasil festival yang kerap terabaikan, seperti pemberdayaan kampung-kampung wisata, dan lain sebagainya. Agar tak hanya setahun sekali orang-orang menemui rupa budaya satu daerah.

Sa lalu memilih pulang setelah lima hari di sana. Liputan sa memang hanya untuk persiapan festival. Sudah terlalu banyak media yang memberitakan festival itu, apalagi tentang keelokan Balim. Sa sudah sedikit puas, karena yang menjadi tujuan lain sa berangkat sudah tercapai: melihat pengungsi Nduga dan menemui orang-orang yang ikhlas membantu mereka. Duka mereka yang tak "difestivalkan" beritanya oleh media-media Jakarta.

Wa Wa Wa Wa...

Saturday, August 3, 2019

Balim

No comments

Telapak kaki tebal menjejak. Orang-orang itu hendak pulang ke honai. Di jalanan, roda gagah menggilas aspal. Berganti-gantian deru menyembur debu.

Tak mereka hirau kerikil berserakan di depan ruko-ruko manja. Di sana, dijajar jaket-jaket dan kaus tebal berlengan panjang. Seorang mama singgah bertanya. "Berapa harga kehangatan?"

Di hutan, sore yang beku mereka jala dengan mata menyala. Sembari berdiang di tepi api berembun. Ada anak berbisik kepada hatinya. "Pulanglah mama, kita masih punya api."

Monday, July 29, 2019

Noken Mama

No comments

Ampas pinang mendidih di aspal jalan, seperti pembuluh darah yang baru saja terkoyak. Roda mobil melindasnya. Lendir merah itu menempel di ban hitam. Tak ada warna baru yang tercipta. Hanya lengketnya menangkap satu demi seratus debu.

Di seberang jalan, seorang Mama tengah teliti mengungkai benang. Merah, putih, dan biru. Orang-orang lalu lalang. Ia bergeming. Pandangannya seakan menggelung semua warna benang dan menyulamnya ke dalam bola mata.

"Aku punya kejora di mataku," katanya.

Kemudian ia berlalu...

Sunday, July 28, 2019

Jejak

No comments

Waktu adalah sebatang rokok yang kita bakar. Ada saat-saat ketika kita merasai semulia-mulianya api ketika menyulut tembakau. Seperti itulah jejak.

Tapi semakin jauh kita menjejak, semakin tahu kita sebenarnya tak pernah beranjak.

Kisah

No comments

pada dinding gua
manusia
menceritakan
zaman

pada dinding jua
kita
melukiskan
taman

Monday, July 22, 2019

Sopir

No comments

Sewaktu perjalanan dari Kotamobagu menuju Manado kemarin, sa ditemani sopir yang lucu. Bapak ini asli Mongondow. Sesekali ia berbahasa Mongondow. Usianya sekitar 50-an. Karena sa duduk paling depan, maka sa jadi teman bicaranya selama perjalanan.

Penumpang lain di kursi kedua semua ibu-ibu. Begitu juga di deret kursi ketiga. Belakangan diketahui mereka serombongan keluarga. Hendak ke Pelabuhan Bitung.

Saat melewati satu desa, sopir ini terus melirik seorang perempuan di tepi jalan.

"Bobay na'an undam bi'. (Perempuan ini sebenarnya obat)," celetuknya.

Pernyataannya itu ditanggapi ibu-ibu di belakang. Mereka jelas mengiyakan. Meski sebenarnya yang dimaksud si sopir, perempuan sintal yang tadi di tepi jalan.

"Biar tonga' indoyan. Moko piya kon gina. (Meski hanya dilihat. Bikin senang hati)," lanjutnya. Ucapannya kali ini, tetap menuai teriakan ibu-ibu.

Setelah perjalanan hampir dua jam, kami memasuki sebuah desa yang lalu lintasnya macet. Dari kejauhan, tampak ibu-ibu berbaris dengan seragam yang sama. Mereka kemudian dengan langkah tegap keluar dari lorong di tepi lapangan.

"Ooo, moikow bi' nomia kon kemacetan. (Ooo, kalian ternyata yang membuat kemacetan)," katanya.

Ibu-ibu di kursi belakang tertawa. Ternyata ada lomba gerak jalan.

"Gerak jalan, gerak jalan, otut! Momiag kon tongit. (Gerak jalan, gerak jalan, kentut! Memelihara bau ketiak)," katanya.

Kali ini sa ikut terbahak-bahak. Seisi mobil jadi riuh. Ketika ibu-ibu yang ikut lomba gerak jalan melewati kami, sopir ini menutup kaca mobil kemudian meneriakkan, "Bo' tongit! (Bau ketiak!)."

Sepanjang perjalanan, banyak kisah lucunya. Tapi hanya beberapa yang sempat sa ingat dengan saksama. Yang terakhir, ia berkisah tentang seorang penumpang yang memesan tempat duduk.

"Jadi dia suka di kursi muka. Kita bilang so ada yang isi, kalu suka di kursi kadua," ceritanya.

Tapi penumpang itu menolak. Ia bersikukuh ingin di kursi depan. Karena kesal, sopir ini kemudian menjawab, "No kalu bagitu, kita jo yang di kursi kadua, kong ngana yang bawa ni oto, supaya ngana di kursi muka!"

Ehuuuuuuuu!

Tuesday, July 16, 2019

Rumput-rumput Hitam

No comments

Seribu dengusmu menjadi hantu. Seperti apakah malam nanti tanpa deru itu. Terbelah oleh samudra tanpa pintu. Tiada lagi terdengar gerutu sekutu.

Kau menunggu di muara sungai yang pernah penuh darah. Sementara aku menyemai rumput-rumput hitam di timur benua. Sejak itu, luka bagiku telah menjelma rupa. Tak kukenali lagi meski hamun berkali-kali terpa.

Aku kerap cemas kelak tawamu bersulih seringai. Jika kau tahu, aku dianggap bangkai ringkai. Di sini, orang-orang suka menakar dari tingkai. Mereka gemar mencerca siapa saja sampai terberai.

Cinta ini telah dilumuri bara dosa. Mungkin beginilah kasih dalam wujud paling bedebah. Diam, menunggu, dan akas sirna serupa dupa. Tersisa wanginya yang menyeret setan paling purba.

Sunday, July 7, 2019

Pergi

No comments

Di malam ketika rajah di punggungku kau lumuri air mata, kata 'jangan pergi' masih terbisik.

Sampai di Stasiun Gambir, di pucuk Monas bulan sabit yang tersenyum coba kau balik menjadi lengkung kesedihan.

Memang, tiada yang lebih mengkhawatirkan kecuali kepergian itu sendiri.

Tapi suatu saat, kata 'pergi' bisa menjadi 'datang' yang tak pernah lagi beranjak.

Thursday, June 20, 2019

ILYTTMAB

No comments

Aku menyukai aroma pakaianmu yang belum terlalu kering karena cuaca desa di punuk bukit. Melepaskannya satu demi satu. Lalu kilatan kulitmu yang bersih menyergap mataku.

Aku memuja caramu memelukku, pipimu yang menempel dibibirku, dan lengan kirimu yang menggenggam rahasiaku. Napas kita saling memburu pintu surga, hingga keringat di lehermu mengalir tenang dan hangat.

Aku tak akan melupakan bagian tubuhmu yang membuatmu meringis ketika kujamah. Setiap kali menyentuh itu, kau mendorong tubuhku kemudian merenggutnya kembali ke dadamu. Seperti aku akan pergi lagi untuk berkelana.

Kau bulan sekaligus matahari yang menerangiku. Aku sebelumnya tak pernah berpelukan sembari memandangi purnama, hanya denganmu dari balik jendela kamarku. Kita menyerap energi malam itu bersama, kemudian bersanggama serupa gerhana.

Rindu

No comments

Dari jarak ini kita belajar, rindu bisa menjalar menembus belukar tak perduli apa yang menghalangimu meski benteng berakar. Tapi, ia bisa tertahan di langit-langit kamar. Di sanalah langit masih menyediakan ruang untuk kita melesat terbang. Kita bisa singgah duduk sejenak di atas awan, bernaung pada langit yang rindang sambil menggelitik jejak-jejak yang hampir pudar.

Saturday, June 8, 2019

Gembala

No comments

di hutan ada sebaris domba
minta dituntun keluar rimba
pergi ke rumah segala asing
yang setia mengelus anjing

Obam

No comments

cecak di langit
itu lantainya
aku di lantai
ini langitku

Saturday, June 1, 2019

Kampung

No comments

Apa arti sebuah kampung bagi kalian? Bagi saya, kampung adalah sebaik-baiknya tempat liburan.

Lebaran tahun lalu, saya tak sempat pulang kampung. Selain karena tiket yang mahal dari Jayapura ke Manado, saya tertantang ingin merasakan suasana lebaran jauh dari kampung. Tahun lalu, itu kali pertama. Tahun ini, saya pulang.

Apa yang membuat kalian merindukan kampung? Bagi perantauan yang masih memiliki sepasang orangtua, atau mungkin ibu, pasti akan menjawab: masakan ibu. Jawaban lain, mungkin bagi yang sudah berkeluarga pastinya merindukan keluarga. Atau sekadar rindu bersenda-gurau dengan kawan-kawan.

Saat pulang ke kampung, saya biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Satu-satunya sangkar termewah yang, melebihi kenyamanan hotel berbintang lima. Hanya di rumah, kita dilayani dengan kasih sayang. Hanya di rumah, kita bebas makan tanpa ditodong tagihan. Hanya di rumah, kita merayakan tidur dan bangun dengan merdeka, tanpa cemas setiap kali gajian akan ditagih mama kos.

Saat di rumah, orangtua akan menghargai tidurmu. Mereka sadar, kamar kita adalah surga yang ditinggalkan sekian tahun. Apalagi, ketika kita tak perlu khawatir dengan pekerjaan karena cuti. Dipan jadi buaian.

Tapi selalu ada kisah sentimental dalam setiap kepulangan. Kawan-kawan yang telah bernisan. Kerabat yang mangkat. Sesekali ada keakraban yang terasa hilang direbut ingatan. Saya orang yang payah untuk menahan sedih ketika mengingat mereka. Lebih-lebih mereka yang berpulang, sedangkan saya tak pulang.

Memang, media sosial bisa menjadi penawar rindu sesaat. Atau malah sebaliknya, hanya membuat kita semakin dilecut rindu. Pasti di antara kalian, ada yang pernah coba menyusuri kampung dengan Google Street View, setiap kali perasaan rindu merundung. Saya sering. Coba memindai aspal jalan yang pernah beradu dengan tempurung lutut kita, tanah lapang hijau yang kerap riuh dengan perayaan, deretan rumah yang kita kenali, dan pojok-pojok yang tertanam tabung kenangan.

Beruntunglah kita yang masih bisa pulang ke kampung ketika lebaran. Sebab saya pernah merasakan sedih sesedih-sedihnya sedih, ketika lampu-lampu botol berjajar di halaman rumah, kemudian takbir menggema di mana-mana. Di saat itulah kita seolah-seolah percaya, bahwa bacaan komik atau tontonan kartun Doraemon, bisa benar-benar ada.

Terhormatlah mereka ketika lebaran, atau mereka yang setiap kali hari raya keagamaan berhalang pulang. Sungguh, kerinduan kalian akan kampung halaman, adalah tabungan kebahagiaan yang tak ternilai. Pelukan kalian dengan orangtua dan kerabat, kelak menjadi teramat istimewa.

Minal Aidin wal Faizin. Selamat menyambut Idulfitri 1440 hijriah. 🙏🏾

Monday, May 6, 2019

Makan

1 comment

Membicarakan pulang dan rumah, pasti berkelindan dengan dapur dan masakan ibu.

Setiap kali sa pulang, sa pasti akan berlama-lama dulu di rumah, mungkin seminggu, baru kemudian mulai 'berziarah' ke tempat-tempat teman di seputar Kotamobagu. Atau kami orang desa yang berada di ketinggian bilang: turun gunung.

Di rumah, setiap kali makan, ada satu hal yang membikin jenuh tapi kerap membuat rindu jika sa berada jauh, yakni ketika sa sedang makan masakan ibu lalu ia mulai bercerita tentang mahalnya rempah-rempah, lauk, gas elpiji, dan kebutuhan dapur lainnya. Ceritanya, sering berulang besoknya, seperti isyarat bahwa ibu memang semakin menua.

Narasi lainnya, ia selalu bertanya apakah masakannya keasinan atau tidak. Karena ibu hipertensi, ia jarang mencicipi masakannya ketika sedang memasak. Ia hanya mengira-ngira berbekal rentang kebiasaan memasak tentunya. Mungkin sesekali ia berani mencicipi, jika lauk yang dimasak sedikit spesial. Sebenarnya, sesekali lidah sa mengecap asin berlebih, tapi ketika ia bertanya, sa menjawabnya: pas.

Jika sa jauh dari rumah, berat badan sa stabil di sekitaran 70-an nyaris menyentuh 80 kilogram. Tapi ketika pulang, pasti akan melebihi 80 kilogram. Untung saja, berat badan tidak ikut ditimbang jika naik pesawat. Tapi kabarnya, aturan itu akan diberlakukan untuk mengirit bahan bakar pesawat. Meski rencana itu baru diusulkan salah satu perusahaan teknologi, Fuel Matrix asal Berkshire, Inggris. Karena semakin berat beban pesawat, bahan bakar juga ikut boros. Kira-kira, berat badan yang ideal untuk naik pesawat adalah 88 kilogram bagi pria, 70 kilogram untuk wanita, dan 35 kilogram anak-anak.

Saat berada di kos, sa makan berat atau nasi biasanya dua kali sehari. Terkadang, malam sa hanya ingin makan mi instan, karena jenuh dengan lalapan, nasi goreng, atau soto ayam. Tapi jika berada di rumah, sa bisa 4-5 kali makan dalam sehari. Beruntung saat ini Ramadan. Tapi, nasi pun di bulan ini tergantikan oleh makanan lainnya. Jadi, sebenarnya sama saja.

Sa jadi ingat penggalan cerpen Nukila Amal berjudul Smokol, "Ia mencibiri kalkulasi asupan kalori, lemak-kolesterol-karbohidrat, berat badan dan segala macam tetek-bengek gaya hidup—cuma obsesi orang-orang yang khawatir dengan berat badan dan penampilan, mereka yang memandang berkah serupa racun, begitu takut akan maut. Maka, makanan pun menjelma energi buruk di badan mereka, penyakit segala macam itu."

Di rumah, sa tak akan berhenti makan, makan, dan makan, sekalipun sa menemukan rambut beruban di masakan ibu. Sekarang saja, untuk menunggu sahur, sa masih makan untuk pra-sahur.

Tuesday, April 30, 2019

Buku Kita

No comments

Kita berjumpa beberapa kali dalam hening. Lalu membicarakan hal-hal yang mungkin saja penting. Tapi aku melupakan waktu yang seperti api, di setiap hari ketika kita telah berpisah. Meski jarak pernah kita lipat rapi di lemari, aromanya masih menyeret rindu ke ujung kunci.

Di Passi, mungkin cerita akan berbeda. Sebab kenangan di desa ini, seperti Gunung Ambang yang setiap hari menyapa di kiri rumahku. Sementara jauh nun di Pantura, kita berjanji meninggalkan apa saja yang pernah berisik. Mungkin pergi menatap Gunung Kelud, yang ketika bocah sering kulihat di punggung kertas bergambar.

Kita sama-sama tahu seperti apa istimewanya kertas buku. Sekalipun itu buku-buku usang yang lama berdiam di gudang. Ia pernah terbang jauh lalu bermukim di Saung Layung Arus Balik di Bilalang, sebagai tanda uluk salam. Kemungkinan selanjutnya ialah deretan gerbong berisi kata-kata yang kupungut dari semesta.

Seperti apa hidup ketika kita mulai tahu cara menghidupinya? Mungkin seperti seorang kakek pengayuh becak, yang pernah membawaku ke gedung peninggalan kolonial tak jauh dari rumahmu. Ia banyak tertawa dan giginya tinggal dua. Tapi karena kekurangannya itulah, ia melafalkan: Gedung British American Tobacco, dengan sempurna.

Bahagia tak akan hadir kecuali masing-masing kekurangan menemukan lawannya. Aku tak bisa memakai sumpit dan kau akan mengajarkannya. Lalu aku menulis dan kau membacanya. Mungkin sesekali kita akan berdebat tentang jalan cerita, hingga kita renta.

Lalu siapa yang akan membaca buku-buku itu? Aku melihat tiga bocah sedang tertawa di Karbala...

Saturday, April 27, 2019

Delapan

No comments

Sigi sudah 2.920 hari di semesta. Pernahkah bertanya di mana Ayah? Ketika pulang, Ibumu mungkin bercerita. Sebelum kalian kembali berpisah.

Anak-anak lain bahagia bersama kedua orangtua. Sigi jangan berkecil hati. Sebab nanti, Sigi punya kisah sendiri. Kisah yang tak melulu soal petuah.

Usia delapan, masih sangat belia. Tapi waktu cepat sekali merebutnya. Padahal Ayah ingin Sigi jangan dulu dewasa. Tetap ceria, lucu, dan banyak bertanya.

Selamat hari raya usia, Sigi. Ayah kali ini hanya menitip puisi. Sebab kata-kata sengaja Ayah kemas di hati. Kita pasti berjumpa nanti.

Friday, April 19, 2019

Mama Kota

No comments

Pernahkah kamu membenci sebuah kota, lalu tiba-tiba beberapa hal istimewa terjadi di kota itu?

Saya membenci Jakarta dan sekitarnya yang berisi gedung-gedung jangkung benderang, pengemudi lalu lalang beraut poker face, dan orang-orang bergegas seperti setiap detik ialah uang.

Meski baru terhitung jari saya mendatangi kota ini, saya segera memutuskan membencinya ketika kali pertama berkunjung, lima tahun yang lalu. Tapi jika pengetahuan menunggumu di kota ini, maka meluangkan waktu untuknya jadi keharusan.

Penerbangan dari Jayapura menuju Jakarta adalah perjalanan paling melelahkan, karena melewati tiga zona waktu. Semakin dekat dengan tujuan, jarum jammu berubah. Dua tahun lalu, saya pernah mengalaminya. Ketika orang-orang sedang merayakan Iduladha, saya sibuk berpindah-pindah dari satu bandara ke bandara lain, untuk melanjutkan perjalanan panjang dari Jakarta ke Papua.

Tapi kali ini, bukan hanya pengetahuan yang saya kejar di 'mama kota'. Ada kerinduan yang telah lama berdiam di masing-masing titik, lalu memiliki kesempatan untuk bersua. Ini tentang menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang kerap mendarat di ubun-ubun. Bertahun-tahun. Bonusnya, saya berjumpa kawan-kawan lama.

Tepat di kota ini, saya merayakan hari raya usia. Senang, karena dijabati erat seorang datuk dari Padang tepat pukul 12 malam, esoknya diberi kejutan dan riuh ucapan kawan-kawan di tengah kegiatan, dikirimi lagu "Adil Sejak Dalam Pikiran" dari salah satu personel Beranda Rumah Mangga (Braga) sebelum mereka merilisnya, bertemu Wenri Wanhar dan dipesani novel terbarunya "Lelaki di Tengah Hujan", menonton premier Game of Thrones seri terakhir yang sudah ditunggu-tunggu selama setahun, film dokumenter Sexy Killers akhirnya dirilis di Youtube, dan bertemu kawan lama sewaktu di AJI Gorontalo dulu.

Yang teristimewa, berjumpa dengan yang saya sebutkan tadi di atas: menemukan jawaban.

Hal-hal istimewa di atas, mengada di kota yang paling saya benci. Sepertinya, kota ini memang sengaja ingin meluruskan jalan pikir saya, bahwa untuk membenci sesuatu kita harus berkecupan dengan hal-hal baiknya juga.

Namun, sudah kodratnya Donal Bebek, pasti ada kesialan yang terjadi. Kendati kesialan itu hanya menyapa laptop saya. Ia meminta beberapa lembar rupiah, untuk membuatnya kembali berfungsi seperti sedia kala. Ada juga seorang kawan dari Aceh yang ketinggalan pesawat. Tapi saya yakin, itu bukan dikarenakan sinyal sial dari saya. Meski sesekali terlintas kata: mungkin.

Sekarang, apakah saya masih membenci kota itu? Masih. Kenapa? Karena kota itu membuat saya terpaksa harus merindukannya.

Selamat Jalan Ocien

No comments
Mendiang Ocien kedua dari kiri.
Satu dekade silam, saya diajak seorang kerabat, Wiwi Manoppo, untuk bekerja di sebuah perusahaan penyedia layanan telekomunikasi, Smartfren, di Manado. Kerabat yang mengajak itu, sudah lebih dulu bekerja di sana.

Kerabat saya bekerja sebagai sales promotion girl (SPG). Sementara kami para pria ditugaskan sebagai direct selling (DS). Tak ada bedanya antara SPG dan DS, kami sama-sama menjual produk Smartfren dari kartu perdana, modem, dan ponsel CDMA. Bisa dibilang, kami juga para model Smartfren karena cakep-cakep.

Kantor kami terletak di salah satu jejeran ruko Bahu Mall. Tepat menghadap pantai dan Pulau Bunaken. Ketika sore, kami kerap berkumpul di depan kantor setelah mengabsen pulang. Kami sering termanjakan matahari terbenam.

Kawan-kawan di Smartfren beragam. Dari yang terajin, sampai yang termalas. Saya, salah satu yang berada di kategori termalas. Beberapa kali jatah penjualan produk saya, malah dibantu para SPG. Selain itu, dibantu pula oleh seorang teman DS, August Laode, yang pernah meraih predikat sebagai sales terbaik kala itu. Jika ingin tanding suara dengan kawan saya ini, maka sebaiknya menyingkirlah. Suaranya setara dengan Judika.

Orang-orang yang bekerja di sini berlatar belakang yang menarik. Pernah suatu hari, produk kami dibantu para SPG hingga terjual cepat. Karena itu, sisa hari sebelum kembali ke kantor untuk mengabsen, kami manfaatkan untuk jalan-jalan. Kami diajak seorang kawan DS, Denny Saluling, ke rumahnya di Tatelu. Katanya untuk bakar-bakar ikan.

Kawan kami itu, tak pernah bercerita tentang latar belakang keluarganya. Sesampainya kami di rumahnya, ia mengajak kami ke kolam ikannya. Di sana, kolam-kolam besar terhampar. Ribuan ikan siap panen menyembulkan bibir di kulit air. Di tengah kolam dibangun sebuah rumah serupa vila. Kedua orangtuanya menetap di sana.

Kami baru sadar, kawan kami ini anak orang yang berkecukupan. Ia punya mobil. Tapi kami heran, kenapa ia mau bekerja sebagai DS seperti kami. Apalagi perjalanan dari rumahnya di Tatelu menuju kantor di Manado sejam lebih. Ia hanya menjawab, "Kalau mencari uang jangan gengsi."

Jujur saja, selain pekerjaan saya sekarang, Smartfren adalah tempat saya pernah bekerja untuk waktu terlama. Setahun lebih. Sementara di perusahaan lainnya, saya tak pernah sampai menyentuh angka setahun.

Fitriyanti Agune Ocien, salah satu SPG yang turut bersama kami ketika pergi bakar-bakar ikan di Tatelu. Ia juga SPG yang banyak membantu saya kala itu. Jika ada beberapa perdana dan ponsel kami belum laku-laku, kadang ia membantu kami. Atau sesekali mentraktir makan. Enaknya para SPG, mereka mengelilingi wilayah yang terjangkau sinyal Smartfren, dengan memakai mobil. Sementara DS menggunakan sepeda motor.

Enaknya lagi, jika para SPG telah selesai menjual produk, mereka sering pergi melepas penat dengan berkaraoke, sembari menunggu kembali ke kantor untuk absen pulang. Dan mereka pasti akan mengabari kami. Jika bos menelepon, kami bergegas ke kamar mandi lalu menerima telepon. Beruntung, kala itu belum ada video call.

Di Smartfren, ada banyak kawan yang datang dan pergi dengan cepat. Saya belajar banyak tentang seleksi alam di sana. Baru ketika bos kami diganti dengan bos baru, kami satu per satu memutuskan resign. Karakter bos baru tidak kami sukai. Ada yang memilih bertahan, tapi tak lama juga akhirnya mereka hengkang.

Kemudian, setelah hampir sepuluh tahun, seorang kawan mantan DS Smartfren, D'jems Alfons, yang rumahnya sering menjadi persinggahan kami untuk tidur, mengabari saya: Osin baru saja berpulang, meninggal karena melahirkan. 

Ah, kawan, kita belum sempat reunian. Bertukar kisah tentang apa yang masing-masing telah kita lewati selama ini. Kini tinggal kebaikanmu yang kerap membayang.

Selamat jalan Ocien. Inalillahi wainailaihi rojiun...