Friday, January 25, 2019

Untuk Yang Ingin Menulis

No comments
Pixabay.com

"Bagaimana cara menulis yang bagus?" Isi sebuah pesan.

"Jadilah seperti anak-anak," balas saya.

Jika ada yang bertanya kepada saya tentang menulis, saya selalu menjawab begitu: jadilah seperti anak-anak. Apakah tulisan anak-anak bagus? Tidak. Tapi imajinasi mereka dahsyat.

Saya mulai menulis baru pada 2012 lalu. Itu pun didesak teman. Saya disuruh membuat blog, lalu saya menuruti. Tulisan pertama saya, hanya saya kirim ke dua teman. Refleksi saya tentang sebuah buku kumpulan cerpen. Komentar mereka menjadi suluh.

Tahun berikutnya saya menetap di Bali. Di sana, saya semakin produktif menulis. Ketika mengunjungi satu tempat, saya selalu coba menulis tentangnya. Bahkan saat hanya duduk di beranda, lalu melihat bunga kemboja jatuh, saya pasti menulis. Selama setahun di Bali, blog saya penuh dengan tulisan. Saat itu saya tak peduli dengan ejaan dan kata-kata baku. Saya menulis kata demi kata berdasarkan yang saya baca di buku. Pokoknya, tulis, tulis, dan tulis.

Saya jadi ingat sewaktu sekolah dasar. Ketika disuruh mengarang oleh guru. Temanya tentang liburan ke desa di rumah nenek, sesuai dengan contoh buku pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi karena saya juga tinggal di desa dan serumah dengan nenek, saya heran lantas bertanya kepada guru, "Saya tinggal serumah dengan nenek. Jadi pasti saya tidak liburan ke rumah nenek." Pernyataan saya ini, disepakati teman-teman. Kelas jadi riuh dengan pertanyaan yang sama.

"Bayangkan saja," kata guru.

Semakin ke sini, saya merasa guru itu berjasa karena jawabannya. Kita memang tak harus sering menyalahkan metode belajar di sekolah. Contohnya dari tugas mengarang itu. Akhirnya, kita diajari untuk berimajinasi, lewat isi buku pelajaran yang tak sesuai dengan lingkungan sekitar kita, memfantasikannya, lantas menuliskannya. Inilah yang kemudian kita temui dalam buku-buku bacaan sekarang. Kita semua berfantasi dengan isi buku yang ditulis dari pikiran seseorang.

Sekarang, jika saya kembali membaca tulisan-tulisan di blog, saya sering tersipu. Bahkan tertawa. Atau kagum. Iya, ada banyak sekali kalimat yang membuat saya malu ketika membacanya. Ada pula tulisan hancur yang membuat saya menertawakan diri sendiri. Dan ada sebagian kalimat yang membuat saya bertanya-tanya: kenapa saya bisa terpikirkan itu? Inilah sebuah proses.

Jika ada yang membaca tulisanmu, jangan marah ketika mereka mencemoohnya. Sebab mereka telah meluangkan waktu untuk membaca tulisanmu. Kalau mereka mengkritik, terimalah. Jadikan poin-poin kritikan mereka sebagai pelajaran gratis. Bagian paling berbahaya sebenarnya saat kau mulai membaca pujian.

Cara mengetahui seperti apa orang-orang menghargai karya kita, perbanyaklah mengirim tulisan ke media-media yang menyediakan ruang bagi para penulis. Jangan pikirkan honor tulisannya. Jangan pikirkan ditayangkan atau tidak. Tapi pikirkan, bahwa kau telah berpikir lalu menulis.

Naskah saya banyak yang ditolak. Kendati tak sedikit pula yang tayang. Senang pastinya ketika bisa dibaca banyak orang. Kalau naskah tidak tayang, setidaknya blog pribadimu selalu menyediakan ruang. Itulah manfaat blog. Sebab ada beberapa naskah yang tidak tayang, tapi masih dibaca ketika kita mengunggahnya di blog. Jangan pedulikan angka pembaca. Satu pembaca saja, sudah lebih dari cukup.

Bagusnya, ketika naskah ditayangkan, kita sering menemukan pengetahuan baru dari hasil editan. Apa saja kekurangannya. Apa saja yang ditambal, dijahit, dibetulkan, dan diubah. Tugas editor memang tak mudah. Sebab seorang editor selalu coba beradaptasi dengan seorang penulis. Bayangkan ketika ia mengedit sepuluh naskah dari penulis berbeda? Ia harus membelah diri menjadi sepuluh. Karena tidak mungkin ia memakai langgamnya sendiri, ketika mengedit naskah. Ia harus tetap mempertahankan ciri khas masing-masing penulis naskah.

Selalu ingat, apa imajinasimu. Sebuah ide. Itulah yang paling penting. Lalu menulislah. Jika masih belum berani, ingatlah ketika kita masih kanak-kanak. Kita tak pernah merasa malu untuk memulai.

Thursday, January 24, 2019

Cap Tikus Legal, Ngana Tambah Nakal?

No comments

Sumber foto APINDO
"Ngana bawa Cap Tikus?" Kita pe saudara kage. Wajar saja, karena dia staf di maskapai penerbangan yang mo kase terbang kita dari Manado ke Jayapura.

Kita lantas cerita kalau sebotol Cap Tikus (selanjutnya ditulis cete) itu oleh-oleh. Kita isi di tumbler baru tutup rapat-rapat. Setelah dibujuk, dia akhirnya izinkan kita bawa itu cete. Karena jabatannya lumayan, dia bahkan pindahkan kita dari kelas ekonomi ke bisnis. Kursi nomor satu! Seumur terbang, baru kali ini kita nae kelas bisnis. Bawa cete!

Sebelum penerbangan itu, sebenarnya kita lagi sial atau orang Manado bilang: soe. Malam sebelumnya kita memang so minta tamang-tamang di Manado, sediakan cete bakar manyala. Karena tamang-tamang di Papua pesan itu cete, yang sebenarnya dorang cuma baku sedu tapi kita pukul srius. Karena kita pe tamang beli ada beberapa botol, torang tes-tes samua. Laste kita mabo. Padahal pagi-pagi jam enam kita pe jadwal penerbangan. Meski sempat sampe di Bandara Sam Ratulangi, kita pe usaha sia-sia. Kita dong nyandak kasih izin masuk pesawat karena mabo.

Kita pe perjalanan itu, awal 2018 lalu. Kali kedua mo berkunjung ke Papua. Karena gagal di penerbangan pertama, akhirnya kita bos suruh cari tiket dengan maskapai penerbangan yang berbeda. Beruntung kita pe saudara itu bekerja di salah satu maskapai penerbangan. Sampai akhirnya cete itu lolos. Sebenarnya, boleh bawa cete di penerbangan tapi hanya sebotol. Banyak kita pe saudara kwa sering lolos bawa sampe ke Bali.

Di Papua, minuman beralkohol (selanjutnya ditulis minol ala Papua) memang mahal. Apalagi cete. Boleh sampe ratusan ribu per botol. Tuangala, biasa kitorang mabo cete di Kotamobagu cuma modal lima puluh ribu, itu pun so deng satu bungkus rokok tambah campuran. Mar di Papua? Jang harap! Sedang dua ratus ribu blum mabo itu. Tapi sebenarnya, di Papua memang setahu kita banyak peraturan daerah yang larang minol. Rokok saja jarang sekali kita baku dapa dengan tamang Papua yang perokok. Dong pilih pinang sudah.

Sebenarnya ada beberapa daerah di Papua yang punya minol lokal namanya bobo. Kalau cete dari pohon aren atau nama lokalnya pohong seho, maka bobo ini juga dari pohon aren atau kelapa. Orang-orang Papua selain biasa sebut bobo, dong kasih nama juga sagero. Hampir mirip dengan orang Minahasa biasa sebut saguer.

Sagero dengan saguer ini sama saja. Hampir mirip susu. Karena saguer dibuat dari air nira segar atau mentah berasal dari pohon aren, kemudian dicampur air nira yang so lama, atau so difermentasi. Proses pembuatan itu yang biasa orang Minahasa sebut batifar. Rasa saguer manis tapi kalau diminum berlebihan, bisa memabukkan. Kalau air nira disuling lebih lama, maka kadar alkoholnya naik. Jadilah dia Cap Tikus. Kita yang penyembah air ini, sepakat ketika dong bilang cete adalah air kata-kata. Orang mabo kan jadi cerewet.

Tapi di Minahasa, dong paling terbiasa dengan cete. Meski tak melulu penolakan minol itu karena motif agama. Di Minahasa, ada banyak daerah yang berada di ketinggian, lalu mereka minum cete untuk menghangatkan tubuh. Mar memang banyak juga yang minum cete karena ingin mabuk-mabukkan. Apa pun itu, jika dikonsumsi berlebih, jelas tubuh akan bereaksi.

Menyoal minol di Papua, memang ada berbagai macam alasan penolakan. Kita pernah baca statusnya Dandhy Dwi Laksono soal itu. Dandhy mengutip pernyataan mantan tahanan politik di Papua, Filep Karma, yang bilang dia so stop minum bir. Tepatnya sejak 1998, ketika segar-segarnya reformasi. Alasan Karma, Amerika menindas warga Indian dengan alkohol. Begitu juga dengan Australia terhadap warga Aborigin. Jadi Karma tidak ingin hal yang sama terjadi di Papua.

Dandhy juga coba menceritakan pengalamannya di Merauke, soal kekhawatiran tokoh-tokoh gereja akan dampak minol. Bukan terkait dosa dan pahala ne, tapi dampaknya terhadap penguasaan tanah. Itu karena masyarakat yang sering mabuk, kehabisan uang, akhirnya jual-jual dong pu tanah.

Berbeda memang dengan di Manado. Ngana mabo nyandak mahal-mahal. Jadi jarang ada pamabo yang sampe jual-jual tanah. Paling yang tidor-tidor tapalaka di got atau leput itu yang banyak. Kita pernah baca status tamang Papua mengenai minol. Tamang ini bilang, "Ah, sa pernah juga lama tinggal di Manado dan terbiasa minum cete, tapi tra banya tingkah. Atau bawa motor laju-laju. Itu memang kitong pu diri sandiri saja yang kontrol."

Menurut kita, benar sudah kata tamang itu. Semua berangkat dari kontrol diri masing-masing. Karena di Manado saja, nyandak samua kuat minum. Kitorang yang dara cicak (cepat mabuk) juga banyak. Tapi ya, semua orang juga kalau sudah minum banyak, pasti hilang kesadaran. Akhirnya tidor di got, bawa motor laju-laju baru cilaka, sambar pal ato tiang listrik, bakuku, deng bakacau. Intinya, kontrol-kontrol diri saja.

Di Kepulauan Pasifik, ada juga minuman lokal bernama kava. Kita pe tamang Papua, yang pernah rasa itu barang bilang, kava termasuk minuman beralkohol sebenarnya. Meski kava lebih condong ke herbal, karena dari akar tumbuh-tumbuhan bernama latin Piper metysticum. Beberapa suku di Kepulauan Pasifik, kerap menelan sari dari akar kava yang dong kunyah, untuk tidur lebih cepat. Bahkan kava bisa menjadi alat pertukaran untuk ritual adat antara dua suku, selain babi hutan. Dong sampe ekspor ke luar negeri itu barang. Di New York, bahkan ada namanya kavatail, campuran antara kava dan cocktail. Banyak testimoni yang mengutarakan, kavatail bisa menjadi alternatif bagi mereka yang alkoholik. Dong bilang, orang yang minum kavatail masih bisa menulis, hilang stres, dan ketika bangun tidur tubuh terasa segar. Dulu di hutan Papua apalagi di Merauke, kava banyak tumbuh. Entah sekarang masih ada atau nyandak.

Di Manado ngoni pasti tahu pernah rame tagline yang diluncurkan kepolisian deng pemerintah. Tagline itu: brenti jo bagate (berhenti miras). Para petani cete, banyak dibekuk karena pelarangan itu. Kita sering temui berita soal penggerebekan sabua-sabua di kobong tampa para petani batifar cete. Kasiang juga. Tapi, kabar yang merayap dari media sosial akhir Desember 2018 lalu, bekeng kita bangka dada. Kabarnya, cete mulai dilegalkan di Sulawesi Utara, tapi berawal atau khususnya di Kabupaten Minahasa Selatan. Kabupaten yang dipimpin seorang bupati perempuan, Christiany Eugenia Paruntu atau akrab dipanggil Tetty Paruntu. Ia penggagas agar cete bisa diproduksi dan dipasarkan legal.

Tetty memberi cete itu merek dagang: Cap Tikus 1978. So dipatenkan. Kendati menurutnya, berbagai kendala ia alami ketika Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan (Pemkab Minsel), hendak meluncurkan produk itu. Cap Tikus 1978 berkadar alkohol 45 persen. Jika diibaratkan, kalau ngana minum ini cete baru ngana muntah, nanti ngana pe muntah saja dipancing-pancing korek api, pasti tabakar manyala biru-biru. Kalah-kalah Tequila.

Melalui lobi ke pengusaha dan perjuangan izin ke Badan Pengawas Obat dan Makanan, akhirnya legalnya cete bakar manyala jadi kado akhir tahun yang begitu benderang kemarin. Dari informasi sejumlah media di Manado, nantinya Pemkab Minsel akan menfasilitasi PT Cawan Mas untuk membangun pabriknya di Desa Kapitu, Kecamatan Amurang Barat. Rencananya luas pabrik itu sekitar lima hektare. Harapan Tetty, petani cete bisa sejahtera dan produknya bisa menjalar sampai ke luar negeri. Tentunya ini harus terus dipantau oleh media, jang sampe akhirnya penguasa deng pengusaha yang paling banya makang untung dibandingkan para petani.

Soal harga, awal 2018 sewaktu kita masih di Kotamobagu, cete kualitas bagus Rp 30 ribu per botol. Itu ukuran botol kemasan air mineral 600 mililiter. Tentu lebih banyak isinya dari botol Cap Tikus 1978 yang hanya 320 mililiter. Harga Cap Tikus 1978 per botol Rp 80 ribu, tersedia di Bandara Sam Ratulangi Manado. Harga itu so pas dengan kemasannya yang elok. Botolnya gelap, lalu diberi satu pegangan mungil yang serupa daun telinga tepat di samping leher botol. Ada pita bergambar wajah Tetty Paruntu terkalung. Dan tentu saja, ada gambar seekor tikus batengo sei atau menyamping.

Mengenai sejarah kenapa cete identik dengan tikus, dulu kita pernah baca soal itu. Nama cete sebelumnya adalah sopi. Karena di pohon aren terdapat banyak tikus, akhirnya mereka mengubah nama minuman itu menjadi Cap Tikus. Versi lainnya, medio 1900-an tentara Belanda yang kehabisan stok miras, katanya mendapat cete dari para pedagang Cina-Manado yang menjualnya dalam botol bergambar tikus. Kemudian mereka menamakan minuman itu Cap Tikus. Tapi seperti apa pun asal usul yang pasti soal penamaan itu, jelas minuman ini nyandak campur deng tikus. Biasanya, cete ini ada juga yang direndam pakai akar-akaran. Malah kita pernah lihat ada yang rendam janin rusa, sampe kontol buaya di dalam botol. Katanya, itu untuk kejantanan pria kalau sedang baku nae.

Seorang tamang yang jauh lebih dulu menikmati cete pernah memberi petuah ke kitorang: Eh, ngoni kalo minum (alkohol) cukup jadi peminum, jang jadi pamabo. Kita kemudian coba memahami perkataannya. Benar sudah, ketika kita telah sibuk dengan pekerjaan, maka waktu untuk miras, biasanya hanya ketika weekend tiba. Miras dikonsumsi situasional saja. Karena jika kita miras setiap hari ditambah kerja, itu baru namanya: pamabo. Laste, kerja terbengkalai.

Tapi, setiap orang berhak memilih caranya menghidupi hidup to? Yang jelas, cete legal nyandak bekeng ngana tambah nakal. Deng kitorang akhirnya so boleh bawa-bawa for oleh-oleh. Jadi, angka jo ngana pe glas kase tinggi-tinggi! Sampe pesawat kase tinggal pa ngana.



Artikel ini sebelumnya dimuat di locita.co

Wednesday, January 23, 2019

Isyarat atau Berkat?

No comments
Pixabay.com

Akhir tahun 2018, sebuah pesan menyelinap di akun media sosial saya. Pengirimnya adalah orang yang tidak pernah saya duga-duga. Karena sudah bertahun-tahun sejak ia berkeluarga, saya tidak pernah berinteraksi dengannya di media sosial. Kecuali bertegur sapa di desa.

Namanya Cici. Ia mantan pacar saya ketika kami masih muda. Ia berandil besar mengubah nama panggilan saya, dari Yanto menjadi Ya'. Nama panggilan sayang-sayangnya itu menempel kepada saya sampai sekarang. Hampir semua kawan memanggil saya: Ya'. Di Desa Passi, nama Yanto cukup banyak. Makanya di belakang nama selalu diikuti tanda pengenal lain, misal: Yanto Panjang yang sekarang adalah Kepala Desa Passi, Yanto Ape', Yanto Waseng, Yanto Sudar, dan masih banyak Yanto lainnya.

Pesan berawal dari basa-basi. Anehnya, ketika pesannya itu masuk, sebuah pesan lain di nomor ponsel saya ikut masuk. Hanya berbeda sepersekian detik. Yang mengirim pesan adalah tetangga saya. Kebetulan, namanya juga Cici atau Mama Kiran. Pesan dari Mama Kiran mengatakan ibu saya menanyakan kabar. Meminta saya menghubunginya.

Saya lanjut membaca pesan di media sosial dari Cici. Setelah basa-basi, ia masuk ke teka-teki mimpi. Saya sebut demikian, karena ia meminta maaf jika ada kesalahan. Saya heran dan terus mengejar kata-katanya. Ia enggan menceritakan isi mimpinya. Setelah dibujuk berkali-kali, akhirnya ia menceritakan mimpinya.

"Ngana di mimpi pa kita, macam nae oto bagitu baru pigi. (kamu di mimpi saya, seperti naik mobil lalu pergi)," kisahnya.

Ia sempat bertanya-tanya kepada orang yang lebih tua mengenai arti mimpi itu. Menurut tafsiran mereka, itu pertanda saya akan meninggal. Setelah ia bercerita, saya mengirim emoji tertawa meski hati saya gusar. Saya coba tenang dengan menafsirkan mimpi secara terbalik, seperti kebanyakan orangtua menghibur kami dulu: kalau mimpi meninggal maka berkatnya umur panjang.

Beberapa hari setelah ia mengirim pesan itu, dada saya sakit. Seperti ada bongkahan batu diletakkan di atasnya. Karena ingat mimpinya Cici, saya memberanikan diri ke dokter. Dari hasil pemeriksaan, saya menderita angina pektoris. Namanya keren, tapi sakit. Orang-orang biasa menyebutnya: angin duduk.

Saya diberi resep obat oleh dokter dan diminta beristirahat, mengatur pola tidur dan makan, rajin berolahraga, serta berhenti merokok. Ia juga meminta saya rutin berkonsultasi. Semua larangan dan saran itu sempat saya turuti, meski hanya sebulan. Melarang saya menyantap makanan berlemak tinggi, saya jadi ingat Rumah Makan Padang langganan. Apalagi merokok. Sehabis makan, kalau tidak merokok seperti disambar truk dari belakang. Ditambah berolahraga pagi dan sore. Waktu terbaik untuk pulas.

Waktu berjalan, kemudian hari-hari kembali seperti biasa. Meski sesekali saya masih merasa nyeri dada. Saya khawatir saja, jika sedang berada di kamar kos, lalu terjadi apa-apa. Meski tentunya mayat saya tak akan ditemukan membusuk, karena kawan-kawan sekantor pasti akan datang mengecek saya. Seharian saya tidak ada kabar soal pekerjaan, mereka akan curiga telah terjadi sesuatu.

Kemudian kemarin malam, sebuah pesan di media sosial berbeda masuk. Ini dari mantan juga. Tapi mantan istri. Mamanya Sigi. Isi pesannya terkait mimpi buruk.

"Ngana meninggal baru karna kita ndak percaya, kita ndak pigi melayat. Ndak brani le baku dapa deng Baai. (Kamu meninggal kemudian karena saya tidak percaya, saya tidak pergi melayat. Tidak berani juga menemui ibumu)."

Setelah membaca itu, saya bercanda. Saya bilang menjadi wartawan di Papua memang berisiko. Paling-paling diculik lalu digelitik. Dia khawatir dan menyuruh saya kembali ke desa. Saya kemudian menenangkannya. Lalu menceritakan soal angina kemarin. Ia lantas menyarankan saya berolahraga. Saya seketika ingat dokter.

Setelah berbalas pesan dengannya, saya beranjak dari kamar menuju toilet. Saat keluar dari pintu kamar, seekor kupu-kupu hitam hinggap di kepala saya. Isyarat apa lagi ini. Setelah dari toilet, saya iseng memindai di internet, mengenai tafsir mimpi dan kejadian seperti dihinggapi kupu-kupu hitam. Saya sedikit lega, karena di sana tertulis: jika dihinggapi kupu-kupu hitam di kepala, pertanda akan mendapat rezeki.

Isyarat dari mimpi atau alam memang misterius. Dan terkadang, saya percaya...

Sunday, January 20, 2019

Ibu

No comments

garis rambut galuh
berpijar sekali waktu
dari lelehan peluh
tak kudengar gerutu

Saturday, January 19, 2019

Usia

No comments

rupa warna di wajahmu
entah redup atau cerlang
biar aku berterus terang
mataku sudi tiada jemu

Thursday, January 17, 2019

Handai

No comments

langit laut karib 
tak bertangkap peluk
berbagi nasib
tak bertukar kutuk

Pergi

No comments

mari ikuti repihan bintang
pada malam kian bening
kita berlayar hening
sandar di bahu seberang

Takhta

No comments

dari takhta turun titah
jelata diparut lintah
di persada singgah
sekepal tinju berdarah

Wednesday, January 16, 2019

Kamar

No comments

Menjadi orang yang suka dengan kesunyian, malah membuat saya lebih aktif di media sosial. Mungkin benar, orang bisa menjadi dua kepribadian sejak media sosial berkembang pesat. Kau bisa menjadi sanguin di keseharian, tapi di media sosial kau bisa menjadi pendiam. Atau sebaliknya.

Tapi bagi seorang penyendiri, media sosial bukanlah satu-satunya ruang untuk menjadi berbeda. Satu ruang lagi, dan yang ini paling membebaskan adalah: kamar.

Kamar, bagi saya bukan hanya sekotak ruang untuk istirah. Baik itu kamar pribadi di rumah, atau hanya kamar kos, saya bisa menikmati berhari-hari di dalamnya. Yang membedakan antara kamar pribadi dan kos, adalah menjadi produktif dalam menulis. Saya bisa menulis banyak di blog, ketika saya berada di kamar di rumah. Itu satu-satunya ruang yang paling istimewa.

Selain itu, saya menggolongkan diri sebagai tipe penulis yang menjadi produktif ketika mabuk. Disaat mabuk, ada parade ide di dalam pikiran saya. Saya selalu didorong untuk menuliskannya. Sementara ketika sadar, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton. Ide-ide hanya datang sesekali.

Buku, bukan lagi sahabat saya. Kalau diingat, buku terakhir yang saya baca penuh takzim adalah Kisah-Kisah Penculikan karya Gabo. Selain itu, tak ada lagi buku yang membuat saya ingin mengejar halaman demi halaman. Saya sudah mencobanya. Tapi minat membaca saya memang begitu. Hanya ada ketika saya benar-benar menyukai buku itu. Bukan karena banyak orang yang menyukai buku itu, kemudian saya harus membacanya. Ada puluhan buku di kamar yang tiada pernah tersentuh lagi. Sampai akhirnya saya meninggalkannya.

Ada yang saya pelajari dari bermedia sosial. Interaksi. Tak banyak kesamaan interaksi antara pertemuan fisik dengan dunia maya. Karena kita tidak berhadap-hadapan, malah itu membuat kita semakin leluasa. Wajah, tidak lagi menjadi gerbang komunikasi. Atau seperti yang digambarkan Emmanuel Levinas, bahwa wajah adalah sentral bagi eksistensi. Di media sosial, wajah-wajah telah berubah menjadi foto profil, dalam bentuk apa pun itu.

Dan... kamar, bagi saya adalah sebuah wajah besar yang tiada pernah jenuh untuk kita ajak bicara.

Angkasa

No comments

pernahkah kau hidu
seperti apa bau angkasa?
lalu jawabmu: iya
seperti aroma rindu

Monday, January 14, 2019

Peduli Papua? Bersiap-siaplah Menjadi Snob

No comments

Saya bersentuhan lebih erat dengan Papua tepatnya dua tahun yang lalu, setelah menjadi editor dan jurnalis yang mewajibkan saya harus menetap di Papua. Sebelumnya, saya bisa mengendus apa pun menyoal Papua, hanya ketika angin timur sedang bertiup ke barat.

Sudah hampir setahun saya menetap di Jayapura. Sepanjang itu, saya mulai merasakan ada yang berubah dalam diri saya. Perasaan itu kerap hinggap, ketika ada yang membahas Papua di media sosial, lalu saya membaca satu per satu komentar. Beberapa komentar sejalan pikir, tapi tak sedikit pula yang saling memunggungi. Mereka yang tak sejalan itu, saya nilai sebagai orang yang ingin menang sendiri. Mereka merasa paling tahu soal Papua. Anehnya, penilaian yang kedua, pun saya tujukan kepada mereka yang sejalan.

Pernah seorang kawan sepayung kerja bertanya, "Kris, semenjak tinggal di Papua, apakah kau merasa berbeda dengan dirimu yang sebelumnya?"

Pertanyaan kawan saya itu, membuat saya harus menjawabnya setelah detik menyentuh angka belasan. Saya masih berpikir, coba membanding-bandingkan, dan akhirnya memutuskan menjawab, "Iya, benar. Saya berubah. Saya seperti bukan diri saya yang sebelumnya. Saya semakin aktif di media sosial, dan terus menerus membicarakan Papua. Setelah tinggal di sini, saya semakin banyak menelan informasi dan bisa menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di Papua."

Sebenarnya, saya baru menginjak dua daerah selama di Papua. Jayapura dan Timika. Tapi, bahkan baru dua kota ini saja, sudah membuat saya berubah total. Ketika orang-orang di luar sana membicarakan Papua, saya merasa, hanya sayalah yang berhak tahu. Karena saya berada di sini. Belakangan saya sadar, saya sedang berproses menjadi seorang snob. Barangkali, proses inilah yang hendak ditangkap kawan saya itu, melalui pertanyaannya.

Tapi apakah saya berhak menyalahkan tingkah saya itu? Tidak. Sebab saya merasa, ketika kita teramat peduli dengan sesuatu, maka bersiaplah untuk menjadi sesuatu itu. Karena itu, ketika orang lain membicarakan Papua, saya pikir mereka sedang membicarakan diri saya. Saya merasa mereka sedang membelai, atau malah menguliti saya hidup-hidup.

Sampai akhirnya, pada suatu malam, saya coba merenung, sudah sejauh mana pemaknaan saya tentang Papua. Tentang tokoh-tokoh Papua yang terbunuh, para penyintas, gaung Free West Papua, ekspansi perkebunan sawit di Merauke, gizi buruk di Asmat, kasus-kasus berdarah merajah sejumlah daerah, demonstrasi menuntut referendum, kekerasan aparat, divestasi saham Freeport, tragedi di Nduga, sampai hal remeh-temeh: kenapa saya tidak menyukai mereka yang menyetel dangdut koplonya Via Vallen? Dan, dalam perenungan itu, yang saya temukan hanyalah diri saya sendiri. Saya yang diliputi kebencian membabi-buta.

Yang membuat saya tercenung, ketika saya pernah menghakimi orang lain. Mereka yang sebenarnya tidak memahami Papua, atau yang memahami, akan tetapi cinta mereka kepada tanah air Indonesia sudah terlalu dalam. Saya tidak berhak merebut itu. Saya hanya bisa memberi gambaran, agar setitik nurani dalam diri mereka bergetar. Itu sudah lebih dari cukup.

Saya ingat pernah memaksa dengan pertanyaan: kenapa orang-orang itu tidak peduli dengan Papua? Sungguh, hal seperti itulah yang akhirnya merusak makna dari kepedulian itu sendiri. Kita berbicara tentang kemanusiaan, sembari melucutinya satu demi satu. Bukankah orang-orang itu berhak tak peduli? Bagaimana jika satu-satunya yang mereka pedulikan hanyalah diri mereka sendiri? Apakah kita berhak membuat sedih orang lain dengan tudingan, sebab mereka tak seisi kepala dengan kita?

Kemudian saya bertanya lagi kepada diri saya: bagaimana dengan mereka yang tak hanya berkomentar, tapi bertindak? Sebuah pendapat, ketika ia berubah menjadi kebencian, lantas menjelma tindakan, maka dengan sendirinya orang itu telah membuang jauh-jauh akal budinya. Dan di sanalah posisi kita tak lagi menuding. Tapi menyaksikan jelmaan kebencian.

Sekarang, ketika saya menghadap ke sebuah cermin, saya menemukan bayangan tanah air tempat saya dilahirkan. Indonesia. Kemudian saya menemukan bayangan wajah saya di sana. Masih penuh amarah. Saya membasuh wajah saya dengan penyesalan berkali-kali, kemudian becermin kembali. Coba memastikan apakah saya masih seorang snob, atau sudah beranjak darinya.

Lalu saya disapa sebuah puisi dari Amato Asaggaf...

Di Nduga, hari itu, Sigi berduka bersama Papua. “Sekali waktu aku pernah punya sebuah Indonesia,” katanya. Tapi, hari itu, dia hanya punya mata.

Sigi adalah putri saya satu-satunya. Sekarang ia jauh di belalai Sulawesi, sedang berseragam merah putih. Saya tak boleh merebut kedua warna itu darinya. Biarkan dia menemukan sendiri jejak-jejak saya, bersama apa yang pernah saya saksikan, dan apa yang terakhir kali saya lihat dalam diri saya.



Artikel ini sebelumnya dimuat di locita.co

Saturday, January 12, 2019

Timika

No comments

Malam mengering. Pagi membakarnya jadi abu. Anak panah melesat lalu patah. Busur digenggam murka.

Di sini, siapa yang raja? Seorang anak keriting menjawab, "Dusta!"

Lawan

No comments

selama daya nyala
lawan jangan lalai
karena tiada upaya
hanyalah bangkai

Monday, January 7, 2019

Puasa Medsos

No comments


Sewindu yang lalu, saya mulai mengantongi Blackberry Gemini. Aplikasi Blackberry Messenger (BBM), sedang meriuh. Belum lagi aplikasi media sosial (medsos) Facebook.
Seingat saya, akun Facebook pertama saya, dibuatkan seorang teman sekitar tahun 2009. Tidak memakai alamat email. Tapi hanya menggunakan nomor ponsel. Saat itu kami masih sering menghabiskan waktu di warung internet (warnet).

Setelah belajar cara membuat email dan akun Facebook, saya coba membuat sebuah akun untuk pacar saya dengan alamat email yang memakai namanya. Tapi ia akhirnya tidak menggunakan akun itu. Katanya ia baru dibuatkan oleh temannya. Akun tersebut akhirnya saya pakai dengan anonim. Biasanya untuk bermain poker online di warnet.

Zaman terus bergulir. Sampailah ke kiwari, yang medsosnya tak hanya Facebook. Beberapa yang pernah saya gunakan adalah Twitter, Path, dan Instagram. Tapi sejak 2016, saya mulai meninggalkan Path dan Twitter. Sampai akhirnya Path resmi ditutup 2018 kemarin. Sementara Twitter, saya terpaksa membuat akun baru, hanya karena "tengkar" Jerinx S.I.D dan Maderodog. Kebetulan saya sedang suka mendengarkan lagu-lagunya Maderodog. Jadi ingin memindai seperti apa orangnya.

Belakangan, tepatnya pada Minggu malam, 6 Januari 2019 kemarin, saya mulai berpikir untuk puasa Twitter dan Facebook. Bagi saya, dua medsos ini yang paling parah candunya. Arus informasi di kedua medsos ini begitu deras. Saya memilih berhenti sementara. Apalagi hiruk pikuk menjelang pemilihan presiden April nanti.

Saya jadi ingat akun Facebook saya yang satu. Akun yang pernah saya buatkan untuk (mantan) pacar. Sejak putri saya lahir tahun 2011, saya mengubah akun itu menjadi namanya: Sistha Ghasyafani. Foto-foto atau video tentang Sigi saya unggah semuanya di sana. Daftar pertemanan di akun itu, hanya orang di desa saya. Desa Passi.

Saya kemudian mengaktifkan akun itu lagi. Sesekali saya melihat unggahan orang-orang di desa, dan melihat dunia lebih kecil lagi. Rasanya sangat berbeda dengan akun pribadi saya. Di akunnya Sigi, segala kekhasan orang desa tampak. Saya jadi rindu dengan desa.

Tapi, berikutnya ada masalah terkait salah satu game favorit saya: Board Kings, yang ternyata harus terhubung dengan akun pribadi saya. Akhirnya akun yang saya tutup sementara, saya aktifkan lagi hanya agar bisa memainkan game ini. Jadi akun pribadi itu tidak boleh dinonaktifkan. Harus tetap aktif, meski kita bisa keluar dari akun. Jadi, orang-orang yang berkawan di akun pribadi masih bisa melihat beranda saya. Berbeda dengan ketika dinonaktifkan, nama saya hilang dari daftar pertemanan.

Untuk game, saya tinggal memiliki satu game yakni Board Kings. Ini jenis game yang tidak adiktif. Setelah Clash of Clans meredup, saya memang tak ingin lagi kecanduan game. Setop sudah. Sejatinya game untuk membuat kita terhibur ketika mengisi waktu luang. Bukan malah menyita banyak waktu kita.

Semua hal di atas saya lakukan, hanya agar saya bisa jenak istirah dari bisingnya dunia internet. Mengenai digital detox, tentu saja saya yang setiap hari kerjaannya terhubung dengan gawai, tidak mungkin total menghilangkan kecanduan atas ponsel pintar atau laptop. Meski digital detox itu berarti periode waktu ketika seseorang menahan diri, dari menggunakan perangkat elektronik seperti ponsel pintar dan komputer.

Digital detox yang sedang saya jalankan, hanya untuk media sosial saja. Jadi mungkin bisa disebut: detoks medsos. Saat ini, satu-satunya medsos yang tetap saya akses hanya Instagram, karena saya juga menjadi admin akun media online kami: jubi.co.id. Selain itu, di Instagram kita tak menjadi monster yang melahap sedemikian banyak informasi. Kita bisa bersenang-senang dengan diri sendiri, dengan bebas memilih konten apa saja sesuai minat. Alangkah baiknya, jika informasi kita sendiri yang mencari, bukan informasi yang berjujut mendatangi kita. Ini agar kita bisa mengontrol, apa yang layak kita konsumsi sesuai kebutuhan.

Puasa medsos memang sering saya lakoni setiap tahun. Ada bulan-bulan di mana per pekannya, saya coba puasa medsos. Ini baik untuk mengurangi candu. Apalagi untuk orang-orang berkarakter introver seperti saya. Sehari, bahkan sepekan, saya bisa menghabiskan waktu di kamar. Dan saya tetap nyaman dengan keadaan itu. Karena itu juga, waktu berinteraksi saya paling banyak di medsos.

Pernah ketika ingin menamatkan lima buku, saya berpuasa medsos selama sebulan. Caranya, saya tidak mengisi paket data. Kerjaan pun waktu itu kerap saya selesaikan dengan akses internet di kantor. Tapi sekarang, minat membaca saya menurun. Apalagi ketika tidak berada di rumah. Tinggal satu atau dua buku yang selesai dibaca dalam beberapa bulan. Kecuali saya sedang berada di rumah. Ada puluhan buku yang belum saya baca, dan itu bisa selesai satu atau dua buku dalam sebulan. Sekarang, ketika jauh dari rumah, saya lebih banyak menghabiskan waktu menonton film. Sehari, saya bisa menonton tiga film dengan durasi dua jam per film.

Manfaat ketika berpuasa medsos, mulai saya rasakan. Misalnya ketika terbiasa berinteraksi nonfisik, kini saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan sekitar. Misal, pakaian kotor dari sepekan baru dicuci, kini setiap tiga hari sudah masuk ember air. Kemudian menjadi rajin menjemur bantal dan kasur, kamar berdebu segera disapu, dan sampah lebih cepat dibuang. Kita jadi terkoneksi dengan hal-hal di sekitar kita. Khususnya lebih aktif lagi menulis.

Salah satu manfaat lainnya, ya, ini, saya jadi terbiasa menulis lagi di blog, bukan lagi di status Facebook. Sebenarnya untuk bermedsos, saya sudah mengantisipasinya dengan mematikan semua nada pemberitahuan. Ini baik untuk mengurangi candu medsos. Setelah itu, kita bisa mulai meninggalkan satu per satu medsos yang tidak terlalu perlu. Bisa dimulai dari tiga hari atau sepekan. Kemudian berlanjut sebulan, atau mungkin setahun.

Saya mungkin baru akan terkoneksi lagi di Facebook dan Twitter, selesai pemilihan presiden pada April nanti. Urusan Nurhadi Aldo, biarkan saja mereka bergembira dengan itu. Ada hal yang lebih besar lagi yang harus fokus dilaksanakan tahun ini. Yaitu diet plastik, dan mengubah diri ini menjadi naik setingkat dari tahun kemarin.

Daripada kita mencibir orang lain, lebih baik kita mencibir diri sendiri, dengan mengingat apa saja yang belum berhasil kita ubah di tahun kemarin. Tapi ingat, jangan lupa tetap kritis kepada penguasa zalim!

Saturday, January 5, 2019

Papa Tua'

No comments

Saya baru saja menerima kabar berpulangnya salah satu kerabat dekat mendiang ayah, yang rumah kami berdampingan. Kami kerap menyapanya Papa Tua'. Ibunya adalah kakak perempuan dari ayah saya.

Ingatan purba tentang Papa Tua' segera terlintas. Sewaktu saya masih sekolah dasar, saya sering diajak ayah ketika berkunjung ke kantor Taspen di Manado. Saya masih ingat jelas, ayah sering membeli tiket bus berwarna kuning bergambar Menara Eiffel dan angka 88, yang menjadi logo Pangkalan Paris di Kotamobagu. Kala itu, medio 90-an, harga tiket bus dari Kotamobagu ke Manado hanya enam ribu rupiah, dengan lama tempuh sekitar lima sampai enam jam.

Di Manado, ada tiga kerabat dekat ayah dan ibu yang sering jadi tempat kami menginap. Yang pertama rumah Papa Anti', yang juga tempat tinggal salah satu kakak laki-laki saya yang sedang berkuliah di Manado. Yang kedua rumah Papa Isal, dan yang ketiga rumahnya Papa Tua'.

Ayah sering mengajak saya menginap di rumahnya Papa Tua' atau Papa Isal. Sesekali di rumahnya Papa Anti', tapi tak terlalu sering karena rumahnya dipenuhi anak kos. Papa Tua' membantu mengurus beasiswa saya. Ia kebetulan pegawai di salah satu dinas di kantor Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara. Beasiswa yang saya terima, diperuntukkan bagi siswa berprestasi, lalu orangtua dan siswa harus mengambilnya di Manado.

Di rumahnya, Papa Tua' sering mengajak saya mengobrol. Kemudian ia menyampaikan rencana Gubernur Sulawesi Utara, C.J. Rantung, untuk bertemu dengan siswa-siswa berprestasi se-Sulawesi Utara. Nama saya masuk di daftar itu. Tentu saja, saya bahagia mendengarnya. Apalagi ayah.

Sebulan kemudian, ayah dan saya kembali mengunjungi Manado. Tapi ketika berangkat ke kantor gubernur, ayah tidak ikut karena urusannya di Taspen. Papa Tua' yang menemani saya. Dalam perjalanan, ia sesekali merapikan topi dan dasi sekolah saya. Ia memperlakukan saya seperti anaknya. Ia juga menyemangati saya agar tidak gugup.

Saya terkesima ketika memasuki sebuah gedung besar, dengan deretan meja kursi bersusun serupa di gedung parlemen. Pandangan saya terus menyapu seisi ruangan. Papa Tua' menyadarkan saya dengan tepukan di pundak, lalu mengantar saya sampai ke kursi. Setelah itu ia duduk terpisah dari kami para siswa.

Di setiap meja kami tersedia mikrofon mungil. Bergantian, kami diminta memperkenalkan diri, menyebutkan asal dan nama sekolah. Acara terus berlangsung, dari pidato gubernur, pembacaan puisi, tari-tarian, penampilan paduan suara, dan masih banyak lagi, sampai akhirnya kami disuruh berjabat tangan dengan gubernur dan wakilnya. Papa Tua' dari kejauhan memberi isyarat, agar saya mengikuti anak-anak lain. Keping ingatan itu tak akan pernah saya lupakan. Apalagi kebaikan Papa Tua' selama mendiang ayah dan saya menginap.

Papa Tua' dan Mama Tua' memiliki seorang anak laki-laki bernama Randi. Ketika Randi berseragam abu-abu, iringan sepeda motor yang ia dan teman-teman sekolahnya kendarai, terlibat kecelakaan beruntun saat hendak menyusul Papa Tua' dan Mama Tua' yang berkunjung ke Kotamobagu. Randi dan beberapa teman sekolahnya meninggal di lokasi kecelakaan. Saya menyaksikan bagaimana Papa Tua' begitu kehilangan kala itu.

Mama Tua' telah berpulang beberapa tahun lalu. Sekarang Papa Tua' menyusul Mama Tua', juga anak kesayangannya Randi. Selamat jalan Papa Tua', Papa Randi, segala hormat dan ucapan sukur moanto' atas kebaikan Papa Tua', saya kirimkan bersama doa...

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un...

Wednesday, January 2, 2019

Mahakarya Sigi

No comments
Ini empat lukisan mahakarya Sigi waktu dia umur empat tahun lebih. Sepertinya hantu Picasso bakalan iri melihatnya. Apalagi lukisan pertama, yang sepertinya itu saat saya pulang dalam keadaan mabuk lalu muntah. Muntahannya tak hanya keluar dari mulut, tapi dari otak juga. Dan karena warna muntahannya hitam, kayaknya itu minuman alkohol campuran bir hitam dan cap tikus. Picasso mungkin bisa melukis seperti ini, dengan membayangkan Modigliani sedang muntah di atas lukisan Dora Maar au Chat, yang susah ditafsir itu. Atau bisa juga itu hanya gambar rambut dan jenggot. Mungkin harapan Sigi, saya bisa panjangin jenggot tempat berayun-ayunnya para bidadari.
Lukisan kedua, dari bentuknya bisa dipastikan itu ikan mujair purba yang pernah hidup 500 juta tahun lalu. Bisa dilihat dari bentuk persegi panjang berdimensi yang mengelilingi ikan, yang mempertegas bahwa fosil ikan itu ditemukan di bongkahan es kutub utara. Karena tidak mungkin itu akuarium. Selain terlalu kecil, kami memang tak punya akuarium di rumah. Atau bisa jadi itu hanya gambar mujair goreng tepung, yang disimpan di dalam tupperware bening.

Lukisan ketiga, karena Sigi tahu saya sering sial seperti Donal Bebek dan punya tato Donal Bebek, jadi dia melukis bebek bermata besar, bundar, dan hitam. Perpaduan antara Walt Disney dan manga Jepang. Sementara ejaan APDEG di badan bebek, sampai sekarang saya belum bisa memecahkan misterinya. Mungkin hanya Leonardo da Vinci yang bisa.

Yang terakhir, lukisan keempat, sepertinya itu sebuah ramalan. Gambar pohonnya pasti familiar bagi yang melihatnya. Itu pohon beringin yang baru dari barbershop. Mungkin Sigi hendak meramalkan, bahwa Orba begitu digdaya. Dan ramalan itu sepertinya benar. Sekarang saja masih mirip Orba. Berarti Sigi cocoknya bukan jadi pelukis. Tapi jadi cenayang. Lumayan, biar bisa bantu mereka yang mau berkomunikasi dengan hantu-hantu komunis.

Tahun Baru

No comments

Di langit kita. Mercon-mercon bergantian menampar langit. Warna-warni. Berubah-ubah mekar.

Di langit Nduga. Mata-mata penuh kilatan menancap tinggi. Kabut berarak menghalau bintang dan senyuman. Purnama masih lama.

Di tanah kita. Sampah-sampah kertas terbaring saling menindih. Tepiannya terbakar. Orang-orang berkelakar.

Di tanah Nduga. Bara api berpelukan dengan embun. Tangan-tangan saling menggenggam. Berharap esok nyawa masih ada.

Di rumah kita. Botol-botol bergelimpangan. Asbak-asbak jadi kolam mungil dipenuhi ludah. Puntung-puntung rokok mengambang.

Di honai Nduga. Sepi ditinggal penghuni. Sisa ubi dan pisang bebercak hitam. Ternak babi berkaing kelaparan.

Di tahun baru kita. Kalender berganti menyisakan hari libur. Orang-orang bersalaman. Bertukar terka peruntungan di tahun Babi Tanah.

Di tahun baru Nduga. Tahun demi tahun hanya berdiam. Telapak kaki telanjang terus menebal. Dipakai lari dari perih.