Monday, May 6, 2019

Makan

1 comment

Membicarakan pulang dan rumah, pasti berkelindan dengan dapur dan masakan ibu.

Setiap kali sa pulang, sa pasti akan berlama-lama dulu di rumah, mungkin seminggu, baru kemudian mulai 'berziarah' ke tempat-tempat teman di seputar Kotamobagu. Atau kami orang desa yang berada di ketinggian bilang: turun gunung.

Di rumah, setiap kali makan, ada satu hal yang membikin jenuh tapi kerap membuat rindu jika sa berada jauh, yakni ketika sa sedang makan masakan ibu lalu ia mulai bercerita tentang mahalnya rempah-rempah, lauk, gas elpiji, dan kebutuhan dapur lainnya. Ceritanya, sering berulang besoknya, seperti isyarat bahwa ibu memang semakin menua.

Narasi lainnya, ia selalu bertanya apakah masakannya keasinan atau tidak. Karena ibu hipertensi, ia jarang mencicipi masakannya ketika sedang memasak. Ia hanya mengira-ngira berbekal rentang kebiasaan memasak tentunya. Mungkin sesekali ia berani mencicipi, jika lauk yang dimasak sedikit spesial. Sebenarnya, sesekali lidah sa mengecap asin berlebih, tapi ketika ia bertanya, sa menjawabnya: pas.

Jika sa jauh dari rumah, berat badan sa stabil di sekitaran 70-an nyaris menyentuh 80 kilogram. Tapi ketika pulang, pasti akan melebihi 80 kilogram. Untung saja, berat badan tidak ikut ditimbang jika naik pesawat. Tapi kabarnya, aturan itu akan diberlakukan untuk mengirit bahan bakar pesawat. Meski rencana itu baru diusulkan salah satu perusahaan teknologi, Fuel Matrix asal Berkshire, Inggris. Karena semakin berat beban pesawat, bahan bakar juga ikut boros. Kira-kira, berat badan yang ideal untuk naik pesawat adalah 88 kilogram bagi pria, 70 kilogram untuk wanita, dan 35 kilogram anak-anak.

Saat berada di kos, sa makan berat atau nasi biasanya dua kali sehari. Terkadang, malam sa hanya ingin makan mi instan, karena jenuh dengan lalapan, nasi goreng, atau soto ayam. Tapi jika berada di rumah, sa bisa 4-5 kali makan dalam sehari. Beruntung saat ini Ramadan. Tapi, nasi pun di bulan ini tergantikan oleh makanan lainnya. Jadi, sebenarnya sama saja.

Sa jadi ingat penggalan cerpen Nukila Amal berjudul Smokol, "Ia mencibiri kalkulasi asupan kalori, lemak-kolesterol-karbohidrat, berat badan dan segala macam tetek-bengek gaya hidup—cuma obsesi orang-orang yang khawatir dengan berat badan dan penampilan, mereka yang memandang berkah serupa racun, begitu takut akan maut. Maka, makanan pun menjelma energi buruk di badan mereka, penyakit segala macam itu."

Di rumah, sa tak akan berhenti makan, makan, dan makan, sekalipun sa menemukan rambut beruban di masakan ibu. Sekarang saja, untuk menunggu sahur, sa masih makan untuk pra-sahur.