Monday, July 29, 2019

Noken Mama

No comments

Ampas pinang mendidih di aspal jalan, seperti pembuluh darah yang baru saja terkoyak. Roda mobil melindasnya. Lendir merah itu menempel di ban hitam. Tak ada warna baru yang tercipta. Hanya lengketnya menangkap satu demi seratus debu.

Di seberang jalan, seorang Mama tengah teliti mengungkai benang. Merah, putih, dan biru. Orang-orang lalu lalang. Ia bergeming. Pandangannya seakan menggelung semua warna benang dan menyulamnya ke dalam bola mata.

"Aku punya kejora di mataku," katanya.

Kemudian ia berlalu...

Sunday, July 28, 2019

Jejak

No comments

Waktu adalah sebatang rokok yang kita bakar. Ada saat-saat ketika kita merasai semulia-mulianya api ketika menyulut tembakau. Seperti itulah jejak.

Tapi semakin jauh kita menjejak, semakin tahu kita sebenarnya tak pernah beranjak.

Kisah

No comments

pada dinding gua
manusia
menceritakan
zaman

pada dinding jua
kita
melukiskan
taman

Monday, July 22, 2019

Sopir

No comments

Sewaktu perjalanan dari Kotamobagu menuju Manado kemarin, sa ditemani sopir yang lucu. Bapak ini asli Mongondow. Sesekali ia berbahasa Mongondow. Usianya sekitar 50-an. Karena sa duduk paling depan, maka sa jadi teman bicaranya selama perjalanan.

Penumpang lain di kursi kedua semua ibu-ibu. Begitu juga di deret kursi ketiga. Belakangan diketahui mereka serombongan keluarga. Hendak ke Pelabuhan Bitung.

Saat melewati satu desa, sopir ini terus melirik seorang perempuan di tepi jalan.

"Bobay na'an undam bi'. (Perempuan ini sebenarnya obat)," celetuknya.

Pernyataannya itu ditanggapi ibu-ibu di belakang. Mereka jelas mengiyakan. Meski sebenarnya yang dimaksud si sopir, perempuan sintal yang tadi di tepi jalan.

"Biar tonga' indoyan. Moko piya kon gina. (Meski hanya dilihat. Bikin senang hati)," lanjutnya. Ucapannya kali ini, tetap menuai teriakan ibu-ibu.

Setelah perjalanan hampir dua jam, kami memasuki sebuah desa yang lalu lintasnya macet. Dari kejauhan, tampak ibu-ibu berbaris dengan seragam yang sama. Mereka kemudian dengan langkah tegap keluar dari lorong di tepi lapangan.

"Ooo, moikow bi' nomia kon kemacetan. (Ooo, kalian ternyata yang membuat kemacetan)," katanya.

Ibu-ibu di kursi belakang tertawa. Ternyata ada lomba gerak jalan.

"Gerak jalan, gerak jalan, otut! Momiag kon tongit. (Gerak jalan, gerak jalan, kentut! Memelihara bau ketiak)," katanya.

Kali ini sa ikut terbahak-bahak. Seisi mobil jadi riuh. Ketika ibu-ibu yang ikut lomba gerak jalan melewati kami, sopir ini menutup kaca mobil kemudian meneriakkan, "Bo' tongit! (Bau ketiak!)."

Sepanjang perjalanan, banyak kisah lucunya. Tapi hanya beberapa yang sempat sa ingat dengan saksama. Yang terakhir, ia berkisah tentang seorang penumpang yang memesan tempat duduk.

"Jadi dia suka di kursi muka. Kita bilang so ada yang isi, kalu suka di kursi kadua," ceritanya.

Tapi penumpang itu menolak. Ia bersikukuh ingin di kursi depan. Karena kesal, sopir ini kemudian menjawab, "No kalu bagitu, kita jo yang di kursi kadua, kong ngana yang bawa ni oto, supaya ngana di kursi muka!"

Ehuuuuuuuu!

Tuesday, July 16, 2019

Rumput-rumput Hitam

No comments

Seribu dengusmu menjadi hantu. Seperti apakah malam nanti tanpa deru itu. Terbelah oleh samudra tanpa pintu. Tiada lagi terdengar gerutu sekutu.

Kau menunggu di muara sungai yang pernah penuh darah. Sementara aku menyemai rumput-rumput hitam di timur benua. Sejak itu, luka bagiku telah menjelma rupa. Tak kukenali lagi meski hamun berkali-kali terpa.

Aku kerap cemas kelak tawamu bersulih seringai. Jika kau tahu, aku dianggap bangkai ringkai. Di sini, orang-orang suka menakar dari tingkai. Mereka gemar mencerca siapa saja sampai terberai.

Cinta ini telah dilumuri bara dosa. Mungkin beginilah kasih dalam wujud paling bedebah. Diam, menunggu, dan akas sirna serupa dupa. Tersisa wanginya yang menyeret setan paling purba.

Sunday, July 7, 2019

Pergi

No comments

Di malam ketika rajah di punggungku kau lumuri air mata, kata 'jangan pergi' masih terbisik.

Sampai di Stasiun Gambir, di pucuk Monas bulan sabit yang tersenyum coba kau balik menjadi lengkung kesedihan.

Memang, tiada yang lebih mengkhawatirkan kecuali kepergian itu sendiri.

Tapi suatu saat, kata 'pergi' bisa menjadi 'datang' yang tak pernah lagi beranjak.