Malam ini udara Bali cukup membuat gerah, hingga kamar ini jadi mirip oven yang sedang memanggang roti berjamur. Jamur-jamur berkeringat
minyak itu pun seketika meregang nyawa---gosong seperti dingaben. Gontai
saya melangkah ke teras rumah, memastikan udara di luar bisa menekan
tombol off gerah ini. Di kamar, jemari angin tak terlalu leluasa.
Mungkin malu dengan rusuk-rusuk jendela yang terlalu sempit
mengisyaratkan sedang tidak ingin disatronin.
Ubin dingin di teras rumah menyambut dengan dingin---bukan hangat. Pijak kaki serasa sedang dipijat refleksi oleh balok-balok kecil es. Pandanganku menyapu halaman, melihat bunga-bunga kemboja tergolek dipeluk embun malam. Di tanah ini, mungkin dulu sebuah hutan rimba, penuh pepohonan, dan sesekali dilewati sekawanan kuda dan penunggangnya, para pengembara, pendekar, atau gerombolan penyamun. Jadi ingat film Tutur Tinular sama Saur Sepuh.
Terjerembab sebuah pertanyaan aneh di lekukan-lekukan otakku, pernahkan dulu ada seorang penulis yang melewati tanah ini. Penulis yang membawa lempengan batu dan alat pemahat, atau mungkin membawa kulit hewan bertuliskan jurus-jurus nan sakti mandraguna, atau gulungan kulit kayu juga, yang sampai sekarang ini masih menjadi bahan baku pembuatan kertas. Sebuah proses kemajuan suatu peradaban, bertransformasi merunut hingga pada memo di ponselku ini. Lalu, mari menggaruk kertas dengan pena, itu simbolisasi seorang author, atau untuk saat ini, kalimat yang layak, mari menggaruk qwerty keyboard, dan saya lupa dengan bulu ayam itu---icon sejati seorang penulis.
Suara kecil yang berasal dari tekanan jempol di qwerty keyboard ini mirip tarian Sapateados menggelitik sepi malam ini. Suara garukan, tembakau meletas, gesekan daun, suara-suara itu beradu menjadi sebuah pentas musik etnik, membuatku terhibur dengan sendirinya. Dan, sebuah puisi pun terserak sudah di lamunan, tinggal kupunguti dan kujadikan indah di memo ini.
Khisanak, kenapa melamun memeluk dagu
Malam ini mari kita berceloteh
Tentang ratusan Candi memancang Bumi.
Khisanak, kamu tahu Jin tak pernah membuat Candi
Tapi peluh keringat dan darah Manusia merembes tak terbendung.
Khisanak, mari menekuri kelaziman
Jangan terpaku pada bayangan Candi di air.
Khisanak, masuklah ke dalam
Karena ini adalah Aku
Segera...
Tiba-tiba suara kucing mengagetkanku, sekonyong-konyong tubuhku melemas, seperti baru saja segepok es batu dipancangkan ke dahiku. Saya merangkak naik dari keterjerembaban pertanyaanku tadi. Mencoba memijat lekukan di otakku. Berharap ada tonjolan yang bisa membuat jemariku mengait. Dan memang, saya lupa bertanya. Tentang penyair. Adakah seorang penyair pernah menjejaki tanah ini. Bergegas saya ke kamar, menghempaskan tubuh 71 kilogramku ini ke kasur, suara bedebum, seperti sebuah ledakan. Big Bang. Kali ini bukan semesta yang tercipta dari dentuman itu, tapi semesta diri yang hilang, hanya hilang. Harus kalian tahu, aku tidak pintar menulis puisi.
Ubin dingin di teras rumah menyambut dengan dingin---bukan hangat. Pijak kaki serasa sedang dipijat refleksi oleh balok-balok kecil es. Pandanganku menyapu halaman, melihat bunga-bunga kemboja tergolek dipeluk embun malam. Di tanah ini, mungkin dulu sebuah hutan rimba, penuh pepohonan, dan sesekali dilewati sekawanan kuda dan penunggangnya, para pengembara, pendekar, atau gerombolan penyamun. Jadi ingat film Tutur Tinular sama Saur Sepuh.
Terjerembab sebuah pertanyaan aneh di lekukan-lekukan otakku, pernahkan dulu ada seorang penulis yang melewati tanah ini. Penulis yang membawa lempengan batu dan alat pemahat, atau mungkin membawa kulit hewan bertuliskan jurus-jurus nan sakti mandraguna, atau gulungan kulit kayu juga, yang sampai sekarang ini masih menjadi bahan baku pembuatan kertas. Sebuah proses kemajuan suatu peradaban, bertransformasi merunut hingga pada memo di ponselku ini. Lalu, mari menggaruk kertas dengan pena, itu simbolisasi seorang author, atau untuk saat ini, kalimat yang layak, mari menggaruk qwerty keyboard, dan saya lupa dengan bulu ayam itu---icon sejati seorang penulis.
Suara kecil yang berasal dari tekanan jempol di qwerty keyboard ini mirip tarian Sapateados menggelitik sepi malam ini. Suara garukan, tembakau meletas, gesekan daun, suara-suara itu beradu menjadi sebuah pentas musik etnik, membuatku terhibur dengan sendirinya. Dan, sebuah puisi pun terserak sudah di lamunan, tinggal kupunguti dan kujadikan indah di memo ini.
Khisanak, kenapa melamun memeluk dagu
Malam ini mari kita berceloteh
Tentang ratusan Candi memancang Bumi.
Khisanak, kamu tahu Jin tak pernah membuat Candi
Tapi peluh keringat dan darah Manusia merembes tak terbendung.
Khisanak, mari menekuri kelaziman
Jangan terpaku pada bayangan Candi di air.
Khisanak, masuklah ke dalam
Karena ini adalah Aku
Segera...
Tiba-tiba suara kucing mengagetkanku, sekonyong-konyong tubuhku melemas, seperti baru saja segepok es batu dipancangkan ke dahiku. Saya merangkak naik dari keterjerembaban pertanyaanku tadi. Mencoba memijat lekukan di otakku. Berharap ada tonjolan yang bisa membuat jemariku mengait. Dan memang, saya lupa bertanya. Tentang penyair. Adakah seorang penyair pernah menjejaki tanah ini. Bergegas saya ke kamar, menghempaskan tubuh 71 kilogramku ini ke kasur, suara bedebum, seperti sebuah ledakan. Big Bang. Kali ini bukan semesta yang tercipta dari dentuman itu, tapi semesta diri yang hilang, hanya hilang. Harus kalian tahu, aku tidak pintar menulis puisi.