Pagi terasa seperti biasanya meski di hari Minggu. Suara bising ibu memenuhi segala penjuru rumah. Sedangkan suara ayah, sudah lama kurindukan sejak kepergiannya dua tahun yang lalu.
Di rumah yang sempit ini, suara bisik-bisik dari dapur pun akan kedengaran begitu jelas. Apalagi teriakan.
"Gilang! Coba lihat teman sebayamu, meski di hari Minggu mereka selalu bangun pagi dan pergi memancing," teriak ibu.
Aku menarik kembali selimut. Tubuhku terbalut layaknya kepompong. Akan tetapi suara ibu tetap saja memenuhi seisi rumah. Kuraih segepok bantal dan kusumpalkan ke kepala. Suara berisik itu agak teredam.
Yang kusebut ibu itu. Bergegas mengeluarkan sepeda tuanya dari pintu dapur. Ibu masih sempatkan kembali ke pintu kamarku dan entahlah apa yang ia utarakan. Aku semakin erat membekapkan bantal ke kepalaku.
Ibu memilih pergi. Ada yang harus ia gegaskan hari ini. Seperti biasanya, ia ke pasar untuk berjualan. Sepasang telapak kaki berputar mengayuh sepeda tua. Fisiknya yang tegar tampak tak sepadan dengan kendaraannya. Sebuah bakul berisi sayur-mayur tergantung di punggungnya. Sementara aku, dengan lega menyingkirkan bantal yang membikin nafasku sesak dan selimut yang membuatku gerah di kamar tanpa kipas angin ini. Aku kembali tidur dengan tenang tanpa omelan.
Bumi dengan cepatnya mengitari matahari. Tanpa kusadari hari sudah siang. Melangkahku ke dapur dan melihat menu masakan ibu hari ini. Tampak lima potong tempe goreng tergolek di atas piring dan, semangkuk sayur daun singkong berendam di situ. Ah, yang satunya kecambah, dan yang satunya lagi dedaunan. Aku serupa anak kambing saja.
Kurogoh kedua saku celana dan kudapatkan lembaran uang lima ribuan. Hasil dari menang taruhan ikan cupang semalam di rumahnya Dodi. Segeraku melangkah ke warung terdekat dan membeli dua bungkus mi instan dan sebutir telur ayam. Mungkin ini bisa membantuku tetap riang hingga sore nanti.
Oh, ya, namaku Gilang. Usiaku lima belas tahun. Aku anak satu-satunya, tapi sepertinya itu tak membuatku istimewa. Sebelum ayahku meninggal, aku tetap seperti Gilang saat ini. Gilang yang selalu dibentak.
Sore pun tiba. Sudah waktunya ibuku pulang ke rumah. Tapi mungkin kali ini ia agak telat, sebab hujar mengguyur sejak siang tadi. Di belakang rumah aku duduk termangu menatap bocah-bocah tetangga yang berlarian telanjang dan girang saat mandi hujan. Mereka tak memusingkan selangkangan dan kemaluan mereka. Hujan jadi serupa wahana bermain yang paling dahsyat di mata mereka. Aku jadi ingat masa kecilku yang, tiba-tiba saja membuat kedua bola mataku berair. Aku mengesat bulir-bulir air mata yang mulai menuruni pipi. Dan tiba-tiba saja aku jadi ingat ibuku.
"Bu Inggit! Lihat ibuku?" teriakku kepada perempuan separuh baya yang lewat di depan rumah dengan terburu-buru.
Ia melemparkan wajahnya ke arahku, "Eh, Dek Gilang, tadi ibumu di seberang sungai, mungkin nungguin perahu buat nyebrang."
"Makasih Bu Inggit."
Sudah pukul lima sore. Di seisi rumah, hanya terdengar suara perutku yang keroncongan. Di dapur tak ada lagi beras dan lauk. Sepiring nasi, tempe, dan sayur tadi pun sudah kutandaskan setelah beberapa jam melahap mi instan tadi dan lapar kembali mendera. Dan kini, tak ada lagi yang tersisa. Tapi bukan itu yang membuatku gusar, tapi suara bentak ibu. Aku rindu suara bentak ibu, bukan suara keroncongan perut.
Aku beranjak ke kamar ibu. Di atas almari ada sebuah pigura foto ayah, ibu, dan aku. Sedangkan di sebelahnya ada sebuah buku tulis yang tampak usang. Kuraih dan kubaca. Sebuah tulisan di lembaran ketiga membuatku tertarik.
Namanya Gilang Dipantara. Aku yang memilih dan menamainya demikian. Ayahnya Dipantara Nagara pun setuju dengan nama itu.
Saat terlahir di kamar reyot ini dengan bantuan dukun beranak. Ada hal yang lucu terjadi di saat musim penghujan. Beberapa kali Gilang terbangun karena tetesan air hujan dari atas genteng yang bocor. Tangisnya begitu dahsyat seperti ingin protes kepada nasib dan negeri ini.
Aku Raden Ajeng Dewi Anggraini, terlahir dari keluarga keraton yang memilih hidup dengan Dipa, suamiku tercinta, seringkali tak sanggup menghadapi durjanya kehidupan. Aku mahasiswi yang memilih lari dari bangku sekolah dan singasana istanaku demi Dipa dan Gilang. Bukan tanpa alasan, tapi tetes air hujan yang merembesi atap rumah kami, lebih membuatku nyata hidup ketimbang berada di istana fatamorgana.
Gilang, jika dunia ini semakin keras menghujamkan keserakahannya, kepada dirimu, dan kepada mereka yang serupa denganmu. Tetaplah berdiri di atas kebenaran dan keadilan. Dan ingat, jangan pernah bermimpi menjadi pangeran. Cukup jadilah manusia. Apa adanya. Sederhana.
Dewi Anggraini
Jogja. Minggu, 15 Oktober 1998.
Kedua kelopak mataku yang sedari tadi menebal tak mampu lagi membendung air mata. Aku bergegas berlari keluar rumah dan pergi menjemput ibu di tempat penyeberangan. Hanya berjarak tigaratus meter saja dari rumah kami. Tempat penyeberangan itu tampak ramai. Mereka bukan sedang mau menyeberang, tapi sedang berjibaku berusaha menyelamatkan beberapa orang di tengah derasnya arus sungai. Pandangku memburu sekeliling mencari ibuku. Tak kutemui ibuku di antara kerumunan. Hingga datang Dodi dan Rido yang memelukku erat.
"Gilang! Ibumu hanyut saat perahu yang ditumpanginya terbalik tadi!"
Ucapan Dodi dan Rido yang serentak itu serupa bentakkan ibu pagi tadi. Tapi kali ini bukan membuatku enggan untuk bangkit. Aku tersungkur di lumpur dengan air mata yang mengalahkan derasnya hujan.
"Tuhaannn!!! Aku ingin ibu membentakku sekali lagi!!! Ibuuuu!!!
Di rumah yang sempit ini, suara bisik-bisik dari dapur pun akan kedengaran begitu jelas. Apalagi teriakan.
"Gilang! Coba lihat teman sebayamu, meski di hari Minggu mereka selalu bangun pagi dan pergi memancing," teriak ibu.
Aku menarik kembali selimut. Tubuhku terbalut layaknya kepompong. Akan tetapi suara ibu tetap saja memenuhi seisi rumah. Kuraih segepok bantal dan kusumpalkan ke kepala. Suara berisik itu agak teredam.
Yang kusebut ibu itu. Bergegas mengeluarkan sepeda tuanya dari pintu dapur. Ibu masih sempatkan kembali ke pintu kamarku dan entahlah apa yang ia utarakan. Aku semakin erat membekapkan bantal ke kepalaku.
Ibu memilih pergi. Ada yang harus ia gegaskan hari ini. Seperti biasanya, ia ke pasar untuk berjualan. Sepasang telapak kaki berputar mengayuh sepeda tua. Fisiknya yang tegar tampak tak sepadan dengan kendaraannya. Sebuah bakul berisi sayur-mayur tergantung di punggungnya. Sementara aku, dengan lega menyingkirkan bantal yang membikin nafasku sesak dan selimut yang membuatku gerah di kamar tanpa kipas angin ini. Aku kembali tidur dengan tenang tanpa omelan.
Bumi dengan cepatnya mengitari matahari. Tanpa kusadari hari sudah siang. Melangkahku ke dapur dan melihat menu masakan ibu hari ini. Tampak lima potong tempe goreng tergolek di atas piring dan, semangkuk sayur daun singkong berendam di situ. Ah, yang satunya kecambah, dan yang satunya lagi dedaunan. Aku serupa anak kambing saja.
Kurogoh kedua saku celana dan kudapatkan lembaran uang lima ribuan. Hasil dari menang taruhan ikan cupang semalam di rumahnya Dodi. Segeraku melangkah ke warung terdekat dan membeli dua bungkus mi instan dan sebutir telur ayam. Mungkin ini bisa membantuku tetap riang hingga sore nanti.
Oh, ya, namaku Gilang. Usiaku lima belas tahun. Aku anak satu-satunya, tapi sepertinya itu tak membuatku istimewa. Sebelum ayahku meninggal, aku tetap seperti Gilang saat ini. Gilang yang selalu dibentak.
Sore pun tiba. Sudah waktunya ibuku pulang ke rumah. Tapi mungkin kali ini ia agak telat, sebab hujar mengguyur sejak siang tadi. Di belakang rumah aku duduk termangu menatap bocah-bocah tetangga yang berlarian telanjang dan girang saat mandi hujan. Mereka tak memusingkan selangkangan dan kemaluan mereka. Hujan jadi serupa wahana bermain yang paling dahsyat di mata mereka. Aku jadi ingat masa kecilku yang, tiba-tiba saja membuat kedua bola mataku berair. Aku mengesat bulir-bulir air mata yang mulai menuruni pipi. Dan tiba-tiba saja aku jadi ingat ibuku.
"Bu Inggit! Lihat ibuku?" teriakku kepada perempuan separuh baya yang lewat di depan rumah dengan terburu-buru.
Ia melemparkan wajahnya ke arahku, "Eh, Dek Gilang, tadi ibumu di seberang sungai, mungkin nungguin perahu buat nyebrang."
"Makasih Bu Inggit."
Sudah pukul lima sore. Di seisi rumah, hanya terdengar suara perutku yang keroncongan. Di dapur tak ada lagi beras dan lauk. Sepiring nasi, tempe, dan sayur tadi pun sudah kutandaskan setelah beberapa jam melahap mi instan tadi dan lapar kembali mendera. Dan kini, tak ada lagi yang tersisa. Tapi bukan itu yang membuatku gusar, tapi suara bentak ibu. Aku rindu suara bentak ibu, bukan suara keroncongan perut.
Aku beranjak ke kamar ibu. Di atas almari ada sebuah pigura foto ayah, ibu, dan aku. Sedangkan di sebelahnya ada sebuah buku tulis yang tampak usang. Kuraih dan kubaca. Sebuah tulisan di lembaran ketiga membuatku tertarik.
Namanya Gilang Dipantara. Aku yang memilih dan menamainya demikian. Ayahnya Dipantara Nagara pun setuju dengan nama itu.
Saat terlahir di kamar reyot ini dengan bantuan dukun beranak. Ada hal yang lucu terjadi di saat musim penghujan. Beberapa kali Gilang terbangun karena tetesan air hujan dari atas genteng yang bocor. Tangisnya begitu dahsyat seperti ingin protes kepada nasib dan negeri ini.
Aku Raden Ajeng Dewi Anggraini, terlahir dari keluarga keraton yang memilih hidup dengan Dipa, suamiku tercinta, seringkali tak sanggup menghadapi durjanya kehidupan. Aku mahasiswi yang memilih lari dari bangku sekolah dan singasana istanaku demi Dipa dan Gilang. Bukan tanpa alasan, tapi tetes air hujan yang merembesi atap rumah kami, lebih membuatku nyata hidup ketimbang berada di istana fatamorgana.
Gilang, jika dunia ini semakin keras menghujamkan keserakahannya, kepada dirimu, dan kepada mereka yang serupa denganmu. Tetaplah berdiri di atas kebenaran dan keadilan. Dan ingat, jangan pernah bermimpi menjadi pangeran. Cukup jadilah manusia. Apa adanya. Sederhana.
Dewi Anggraini
Jogja. Minggu, 15 Oktober 1998.
Kedua kelopak mataku yang sedari tadi menebal tak mampu lagi membendung air mata. Aku bergegas berlari keluar rumah dan pergi menjemput ibu di tempat penyeberangan. Hanya berjarak tigaratus meter saja dari rumah kami. Tempat penyeberangan itu tampak ramai. Mereka bukan sedang mau menyeberang, tapi sedang berjibaku berusaha menyelamatkan beberapa orang di tengah derasnya arus sungai. Pandangku memburu sekeliling mencari ibuku. Tak kutemui ibuku di antara kerumunan. Hingga datang Dodi dan Rido yang memelukku erat.
"Gilang! Ibumu hanyut saat perahu yang ditumpanginya terbalik tadi!"
Ucapan Dodi dan Rido yang serentak itu serupa bentakkan ibu pagi tadi. Tapi kali ini bukan membuatku enggan untuk bangkit. Aku tersungkur di lumpur dengan air mata yang mengalahkan derasnya hujan.
"Tuhaannn!!! Aku ingin ibu membentakku sekali lagi!!! Ibuuuu!!!