Sebuah kota menjadi persinggahan sombong. Gedung-gedung berlomba-lomba menjadi galah pencongkel langit. Ketika langit runtuh, orang-orang panik berlarian mencari lantai terendah. Manusia memang gemar tempat yang tinggi, tapi terlalu takut untuk tak kembali ke bawah.
Di kota yang beranjak congkak ini, aku pernah menjala tawa dan bala sekaligus. Meletakkan kedua nasib itu ke dalam guci retak. Sembari lengan kiri kubiarkan bergelantungan pada lorong cahaya. Aku lalu memilih melepaskan genggaman itu, hingga jatuh menimpa tiada.
Sekali kulihat kota ini dari atas langit. Hamparan awan seperti kasur dan selimut hotel bintang lima. Ada sebuah liang biru menganga di sana. Sebagai celah sinar matahari 'tuk menikam binasa siapa saja yang lemah.
Mungkin benar, kota adalah yang sebenar-benarnya kehidupan. Sebab kematian hanya jadi biasa. Nyawa jadi serupa nyamuk-nyamuk yang meletup pada jala raket listrik. Setelah itu, mencari lagi dengung ruh yang siap untuk dibunuh.
Tak ada yang kurindukan dari kedua kota tempat aku sejenak tinggal. Yang satunya mengusir pergi dan yang satunya lagi meminta kembali. Dari asing kembali ke asing. Tempat yang sama ketika cuaca hanya kata yang sia-sia dari mulut seorang peramal tua.
Makassar, Juli menjelang Agustus, 2017.