Udara malam desa tak pernah tergesa-gesa. Diam, lambat, dan terkadang seperti seorang petapa yang khusyuk. Kau bahkan bisa mendengar derit pepohonan yang melayah.
Tetapi di luar sana, selalu ada kehidupan yang lain. Mungkin sesekali ada serangga tergelincir oleh embun yang menempel di telapak dedaunan. Atau, burung hantu yang berdengkus karena tak ada buruan melintas.
Raung kendaraan hanya hadir sekali dalam beratus detak jantung. Kemudian senyap di bilik parkiran dengan tuan yang menggigil.
Dulu, selalu ada pemabuk yang menyeret sendal, sembari terus menyanyah sepanjang jalan yang mampu ia susuri. Penaka berbicara kepada angin malam, mungkin hendak bertanya arah pulang, atau mencari di mana lagi gelas dan botol masih berdentang.
Pukul 3 pagi, adalah puncak kesunyian. Waktu yang paling sakral bagi kelopak-kelopak mata. Bahkan dengkur ialah deru yang paling merdu. Sebelum subuh kembali bersetia dengan para pengkhidmatnya.
Allahu Akbar ...
Sunday, September 5, 2021
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)