Terlahir dari ibundanya: Phoppy Fatmala Lando, anak gadis mungil ini seperti miniatur dari ibunya. Rambut keriting seperti Medusa (tapi rambut Ibunya sudah di-rebonding), mata bulat indah penari Bali (tapi mata ibunya sekarang pakai softlens), dengan dagu tirus membentuk stalaktit mau menikam bumi. Hidung mancungnya serupa bukit kecil yang dari atas puncaknya kita bisa melempar timba ke dasar sumur di kedua pipinya yang tampak ketika ia ketawa. Akan banyak yang dahaga ketika melihatnya besar nanti. Pikirku begitu. Dan apa yang mirip denganku. Hanya dagu dan senyumannya itu sudah lebih dari cukup. My little Medusa.
Sedikit catatan tentang Medusa...
Medusa selalu dianggap sosok yang jahat, padahal ia adalah sosok penjaga/pelindung. Anehnya juga ia seorang pendeta perempuan suci di kuil Athena, yang kemudian diperkosa Poseidon di kuil, tapi malah ia yang dikutuk. Mungkin Athena cemburu padanya, karena ternyata diam-diam Athena menaruh hati kepada Poseidon. Bagiku Medusa tetap sosok pendeta perempuan suci, dan ia bukan mati karena dibunuh, tapi ia mati oleh refleksi dirinya sendiri. Bukankah yang paling membunuh itu adalah diri kita sendiri?
Lanjut...
Pernah sekali di kamar hitamku, ketika sedang asik merokok, tiba-tiba ia berlari masuk ke kamar, mendapatkanku duduk di kursi sofa usang, lalu melempar tubuhnya ke tubuhku. Ia merangkul sembari tersenyum. Ada perasaan yang berbeda di sana. Itu bukan pelukan seorang anak, tapi itu pelukan Tuhan. Hingga sekarang rasa itu masih bisa kuingat, tangan yang memaksa melingkar di seluruh badanku, perasaan lega yang meringkus, dengan wajah yang dibenamkannya ke perutku. Dan seketika ia berbalik lalu menatapku. Tersenyum. Aku melihat Tuhan di dalam matanya saat itu. Aku menjadi segunung batu. Kita mungkin tahu, bahwa manifestasi Sang Pencipta adalah ciptaannya. Aku membikinnya, tapi bukan aku yang mencipta. Ciptaan yang Maha.
Setelah setahun terpisah. Ketika melihat pantai (karena Bali di kelilingi pantai), aku seringkali membayangkan saat-saat dimana aku berlari-lari, berkejar-kejaran dengan dia di bentangan pasir pantai yang menguning disaput senja. Tertawa dan basah. Bayangan itu yang seringkali hadir menghibur. Lumayan mengubur rindu. Tapi, tak pernah sesuatu itu terasa begitu menghibur, jika ia tidak hadir di depan mata kita, bukan? Rindu itu sepertinya ciptaan hantu.
Jarak yang membangun ruang di antara aku dan dia. Hingga hari ini, yang begitu spesial bagi ibunya. Aku, ayahnya berjarak ribuan kilometer darinya. Antara Bali dan Passi (nama desa tempat tinggalku). Sewaktu tapi berjarak. Tak sempat aku merasakan pelukan itu lagi, hingga kini di hari yang katanya tumpah ruah dengan kebahagiaan. Tapi kenapa harus hari ini? Bulan ini? Karena kapan pun pelukan itu akan aku rasakan kembali. Pelukan Tuhan. Bulan ini memang spesial. Kita berdua terlahir di bulan ini. April ini milik kita, Ayah, Ibu, dan Sigi. 28, angka (2) dua yang memunggungi angka (8) delapan yang tampak seperti dua angka kosong saling memeluk. Aku (2) dua dan kalian berdua (80) delapan. Tapi di ultahnya yang ke-2 ini, aku sebagai angka (2) dua itu tak ada.
Dengan masih memunggungimu, ayah ucapkan; "SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE-2 DI 28 APRIL." Jangan pernah dewasa ...
No comments :
Post a Comment