Monday, May 18, 2020

Maaf

No comments

Seorang gadis jangkung berkulit gelap berjalan penuh keyakinan ke halaman sekolahnya. Sekumpulan anak laki-laki berkulit putih mengitarinya dengan menunjuk, tertawa, dan menjulurkan lidah. Ia terlihat tegar sampai ke ruang kelas yang menebal dengan kebiadaban. Udara di sana seolah-olah hanya berpusar di atas rambut keritingnya.

Sepotong kisah di atas, ada dalam montase film dokumenter "I Am Not Your Negro" yang saya tonton tahun lalu. Saya mengingat perca demi perca dalam film itu, sebaik ingatan James Baldwin—sang penulis naskah berkebangsaan Amerika Serikat—kala mengenang peluru-peluru menyasar dada-dada hitam sepertinya. Film ini berasal dari naskah asli berjudul "Remember This House" dan disutradarai Raoul Peck. Rilis di Amerika Serikat pada 3 Februari 2017.

James tak hanya berkisah tentang intimidasi dan kekerasan yang menimpa warga kulit hitam di Amerika, atau di kota kelahirannya di New York. Tapi ia menuliskan dengan sangat kelabu tentang pembunuhan tiga karibnya: Medgar Evers, Malcolm X, dan Martin Luther King, Jr. Tripel M ini ialah para revolusioner yang memperjuangkan hak-hak warga kulit gelap di Amerika Serikat. Mereka yang merelakan napasnya demi perjuangan kemanusiaan.

Berpulang pada 1987, di Saint-Paul, Prancis, kota yang kerap ia sebut sebagai tempat menepi agar ketika menulis tak lagi diitari rasa khawatir terus menerus, James Baldwin meninggalkan 30 halaman naskah "Remember This House". Sutradara Raoul Peck mengatakan buku James Baldwin ini tak pernah selesai. Bahkan ketika belum selesai, naskah ini sudah mampu menghancurkan hati siapa saja yang menontonnya, serupa cermin yang jatuh ke lantai.

Berpuluh-puluh tahun kemudian, ras kulit hitam mulai mendapat tempat di Amerika Serikat. Mantan Presiden Barack Obama menjadi bukti. Meski sampai sekarang, masih ada kasus kekerasan terhadap warga kulit hitam, namun tak ditemui lagi mayat-mayat yang terbakar atau bergelantungan di pepohonan.

Kendati dirundung duka berkali-kali, James Baldwin selalu mengusap dadanya, ketika ada permintaan maaf dari para pejabat publik, tentang kekerasan yang telah menimpa sesamanya. Raoul Peck cukup apik menghadirkan montase dari permintaan maaf para tokoh-tokoh ternama di Amerika Serikat. Dalam sebuah narasi, James Baldwin mengatakan apa pun yang berbicara tentang Amerika, ia tak akan pernah lepas dari mereka yang berkulit hitam. Barangkali, itulah makna dari judul naskah "Remember This House".

Jauh menjalar dari Amerika Serikat, viral sebuah video kasus bullying atau perisakan yang menimpa anak laki-laki bernama Rizal. Momo, sapaan karibnya ini, terjengkang dari sepeda tuanya, setelah seorang remaja laki-laki mengganggunya. Wadah dagangan kuenya ikut rebah di tanah lapang dengan sepedanya. Momo mencium rerumputan. Kabarnya ini terjadi di Pangkep, Sulawesi Selatan.

Menyusul gambar kedua dalam video, ia dihempaskan sekali lagi ke tepian beton di tanah lapang, oleh seorang remaja laki-laki. Apa yang menimpa Momo, diakui sudah sering terjadi meski ia kerap diam setelah sampai di rumah. Yang ingin ia kabarkan hanya soal jalangkote buatan ibunya laku terjual. Momo hanya ingin melihat ibunya tersenyum, sembari memendam apa saja perlakuan buruk terhadapnya.

Melihat videonya dibagikan beberapa kawan di media sosial, siapa saja yang berempati pasti ingin segera berada di samping Momo, untuk membelanya. Saya, kamu, kalian memang harus ada di sana. Kekerasan, apa pun wujudnya, harus ditentang agar kita tak terus berada di dalam lingkarannya. Kita harus memutus garis yang mengitarinya lalu keluar dari sana. Saya bertambah sedih setelah membaca tulisan orang Pangkep, kalau Momo juga menderita down syndrome.

Setelah melihat kejadian yang menimpa Momo, saya kembali membayangkan apa yang sering menimpa orang Papua. Mereka yang paling tertindas di negeri ini. Tapi apakah akan sama, empati kita kepada Momo dan kepada orang-orang Papua?

Maaf hanyalah sepatah kata. Namun ada semesta rasa yang bisa terungkap oleh kata itu. Bangsa kita, tak akan pernah lepas dari sejarah kekerasan sepanjang negara tak meminta maaf, serupa tontonan permintaan maaf pelaku yang merisak Momo, atau Youtubers yang menzalimi transpuan di Bandung. Di negeri yang saya cintai ini, terlalu banyak sejarah kelam yang butuh kata: maaf.

"Sejarah tak pernah berada di masa lalu. Sejarah ada saat ini. Ia terus mengikuti kita. Karena kita adalah sejarah itu sendiri." 

Kalimat dari James Baldwin itu terus terngiang-ngiang ...

Tuesday, May 12, 2020

Corona

No comments
Melewati masa pandemi virus corona ini tidaklah mudah. Apalagi ketika kita harus berpura-pura sedang baik-baik saja.

Kami di Kota Jayapura sudah sejak awal Maret 2020 dianjurkan tak keluar rumah atau kos-kosan. Sebagian orang terutama kami yang bermukim sementara di sini karena pekerjaan, yang rindu berjumpa dengan sanak saudara di kampung dan berharap sehat-sehat saja, tentu mau tidak mau harus mengurung diri. Sebagian orang-orang tetap beraktivitas seperti biasa.

Pekerjaan saya sebagai editor di Jubi.co.id. Sisa waktu dipergunakan menjadi kontributor di media apa saja, yang membuka peluang untuk proposal liputan. Sebelum wabah ini menjalar dari jarak ribuan kilometer lalu tiba-tiba hanya beberapa meter dari kita tanpa terlihat, saya dan seorang kawan coba mengirim proposal liputan untuk media luar negeri. Ada tiga proposal yang kami kerjakan dan menunggu disetujui. Tapi setelah wabah ini mendunia, terpaksa kami hanya bisa saling menjaga diri masing-masing. Liputan ditunda sampai ruang gerak benar-benar bisa leluasa.

Hampir setiap perusahaan termasuk yang bergelut di media, terpukul akibat wabah ini. Kami mulai merasakan dampaknya. Masalah-masalah mulai berdatangan. Gaji tertunda. Kami harus memikirkan bagaimana cara mencari uang, selain berharap pada bantuan teman-teman. Beruntung, ada beberapa kawan yang berbagi pekerjaan dan mengupah saya meski lembar rupiahnya hanya bertahan sehari dua hari di saku.

Pada akhir April, saat memasuki Ramadan, puasa dimanfaatkan untuk berhemat sehemat-hematnya hemat. Menu makanan bersulih rupa menjadi tempe, tahu, telur ayam, ikan kaleng, dan ikan asin. Sesekali ada daging ayam dan sayuran segar, hasil sumbangan beberapa kawan. Mi instan berbungkus-bungkus sebagai pengganjal perut diupayakan ada, begitu juga stok pangan lokal seperti ubi kayu. Alat-alat mandi dan kebutuhan ruang belakang lainnya harus tersedia. Kebersihan menjadi utama ketika yang kita lawan adalah karib dari yang jorok. Bahkan pakaian kotor tak boleh bertumpuk karena setelah dipakai harus segera dicuci. Saya benar-benar kembali merasakan arti sesungguhnya menjadi anak kos.

Bagi saya yang perokok, merasakan sepekan tanpanya menjadi keharusan. Pulsa data wajib karena pekerjaan mengedit berita harus mengakses internet, sekaligus sebagai hiburan berselancar di rimba digital selama terkurung. Beberapa teman dan kerabat sempat beberapa kali membantu untuk ini. Selebihnya, uang-uang honor dari menulis artikel disisihkan untuk pulsa internet, setelah uang listrik, beras, sembako, dan sebagainya terpenuhi.

Sewaktu gelombang protes Agustus 2019 kemarin, buntut dari rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya, kami memang harus berdiam di tempat tinggal masing-masing. Jalanan sepi sejak aksi-aksi protes di beberapa kota di Papua berubah menjadi api. Akses internet diputus. Hampir sebulan lebih. Tapi saat itu keuangan baik-baik saja, karena banyak sekali bahan untuk menulis laporan. Kantor-kantor perusahaan pun tak bermasalah. Satu-satunya kendala yakni akses internet untuk mengirim atau mengedit berita. Kami harus bergerilya mencari tempat untuk mengakses internet seperti hotel atau kafe. Paling sering dan lancar adalah di hotel-hotel, sebab jaringan internet mereka terkoneksi langsung dengan 'langit'.

Saat ini, setelah dua bulan berlalu dan tak ada tanda-tanda wabah ini mereda, saya benar-benar belajar bagaimana caranya mengikat perut. Sesekali melihat unggahan makanan orang-orang di medsos dengan air liur tertelan. Terutama unggahan orang-orang di kampung. Mereka tampaknya baik-baik saja, sedang kita yang berada jauh dari rumah hanya bisa menahan diri. Pulang, menjadi kata yang berbahaya. Bandara dan pelabuhan ditutup, dan kiriman barang tak akan pernah sampai ke sini. Saya harus memotong lidah untuk mencicipi masakan ibu dari kampung, karena pengiriman barang tak ada.

Untuk sekarang, medsos memang sangat menghibur, tapi sesekali menyiksa. Kita dilecut oleh hal-hal yang tak bisa kita tepis. Kita diracuni kepanikan oleh deretan angka-angka kematian di mana-mana. Sampai-sampai ketika melangkah ke toko atau warung, seolah-olah maut telah berada di ubun-ubun. Pengobat kekhawatiran berlebih ini hanyalah berusaha serajin mungkin memindai konten-konten lucu. Kita harus tertawa meski sedang menghadapi tragedi. Jika tidak, mungkin kegilaan sudah terdorong semakin dalam. Bahkan mimpi-mimpi buruk semakin sering hadir dan untungnya ingatan seperti itu cepat sirna.

Catatan-catatan kecil seperti ini mungkin penting kelak, sebagai pengingat jika kita selamat, bahwa ada bencana besar yang pernah kita lewati.

Sekarang sudah pertengahan Mei. Tinggal menghitung jemari menyambut Idulfitri. Tapi masih berapa lama lagi kita harus berjuang? Tentunya, tanpa berharap pada negara apalagi kebaikan bapak dan ibu kos.