Thursday, June 14, 2018

Cahaya

No comments

Keluh dari balik jendela bening. Bulan datang mengecup hening. Di bibir jalan, bayanganmu tak pernah tiba. Hanya lampu-lampu kendaraan yang berganti rupa.

Hampa yang kita tunggu, terkadang hantu. Tak pernah benar-benar ada. Waktu seperti tungku tak berapi. Dingin dan diam tanpa diang.

Obrol kita sering menengkarkan hal-hal sepele. Tentang pilihan yang terkadang keliru dicerna. Hanya agar hari-hari semakin tebal dengan cengkerama. Hanya agar hidup dirasai hidup.

Lalu pernahkah kau benar-benar pergi? Sementara aroma tubuhmu masih memenuhi segala ruang. Aroma sederhana yang kerap meminta wangi para pandit. Padahal seribu utaramu ialah guru.

Indah malam, namun bulan hilang dan bukit berduka. Awan menghiburnya dengan memoles sedikit warna pada punggungnya. Lalu membisikkan kalimat, "Bulan pasti kembali". Lalu siapa yang menghiburku?

Saat itu, deru jadi polusi suara. Padahal kita sering membayangkan bising itu, sebagai air terjun yang menjuntai di samping jendela. Sesekali kita mengusirnya dengan seruling bambu Gus Teja. Sampai dengkur bertukar nada.

Nirwana sepi malaikat, sebab mereka datang mengawasi tidurmu. Mereka gemar mengusap tubuhmu yang lelap. Tapi lengkara mereka masuk ke mimpimu. Karena kau memagarinya dengan cahaya.

Untuk sebuah kisah, belum cukup ini dusta. Karena ini yang membikin segalanya indah tanpa jeda. Kelak sungai di tepi rumahmu akan jadi muara kata-kata. Hingga seorang bocah meloncat ke dalamnya tanpa busana.

Ragamu terbenam abadi di sini. Meski setiap kali kau mengukur waktu kepulangan dengan dengkur. Sampai aku sadari, untuk apa kita bertukar kabar, sedang kita tak pernah berjarak. Apalagi untuk saling menunggu.

Monday, June 11, 2018

Nyaris Mati

No comments

Subuh ini, ketika orang-orang di rumah mungkin baru saja terlelap setelah sibuk merapikan rumah untuk menyambut lebaran, saya yang berjarak 2.117 kilometer jauhnya dari rumah, tiba-tiba ingat ibu yang melahirkan saya dengan susah payah dan nyaris meregang nyawa. Saya bungsu dari total sembilan anak, dan satu-satunya anak yang meninggalkan jejak luka di perut ibu.

Subuh ini pula, saya berpikir, mungkin karena susah payahnya ibu melahirkan saya, kematian sepertinya beberapa kali luput dari saya.

Saat kelas 5 SD, saya nyaris mati karena kelalaian dua kakak perempuan saya. Ketika itu menjelang lebaran. Mereka berdua yang sedang membikin kue, membiarkan kabel terkelupas dari colokan tape menjuntai di tembok dapur. Saya yang baru saja pulang dari sekolah, tanpa sengaja menyentuh kabel itu. Saya masih mengingat jelas ketika aliran listrik membekukan darah, dan melelehkan kuku ibu jari kanan saya.

Setelah saya duduk di bangku SMP, ketika sedang berada di kebun karena musim durian, patahan kayu yang digunakan kakak laki-laki saya untuk melempar durian, jatuh tepat di kepala saya. Darah mengucur deras. Tapi saya masih selamat.

Beberapa tahun kemudian, saya hampir saja dibunuh keroyokan di desa tetangga, jika saja seseorang yang mengendarai motor tidak lewat malam itu, dan membentak para pelaku sambil mengaku dia polisi. Lagi-lagi, kepala saya terluka tapi yang ini akibat pukulan botol.

Seperti kesialan tak pernah mau pupus, 2012 lalu, saya jatuh dari lantai dua sebuah gedung dengan ketinggian 7-8 meter. Tulang panggul dan paha saya retak, yang membuat saya harus berdiam di kamar selama setengah tahun. Untung bukan kepala yang lebih dulu membentur ubin.

Masih ada beberapa kejadian yang nyaris menelan nyawa saya. Seperti kecelakaan motor dan mobil yang biasa-biasa tapi hampir saja membuat saya terluka parah, atau akibat serangan penyakit yang pernah membuat saya pingsan selama 5 jam di kamar, dan saya siuman sendiri. Saya juga pernah overdosis. Tapi selamat. Mungkin ada beberapa kejadian lagi yang saya lupa.

Setelah banyak kejadian itu, malam ini saya pun baru sadar, ternyata saya sukar sekali mati. Mungkin karena itu, kematian menawarkan hal-hal lain, seperti kesialan yang tak kunjung berakhir. Misal, kali ini saya tak bisa mencium ibu dan Sigi di hari lebaran nanti.

Thursday, June 7, 2018

Langit Anak Rantau

No comments

Ini bukan kali pertama saya berada jauh dari rumah, yang direncanakan dalam waktu yang lama. Tahun 2012, saya pernah menetap lama di Bali. Tapi ketika lebaran tiba, rasanya tak khusyuk diri ini ketika tak bersimpu maaf kepada orangtua, selagi mereka masih ada.

Seorang anak, akan selalu mendoakan agar bisa bersama-sama orangtua, setiap kali lebaran tiba. Bahkan ketika mereka telah berpulang, makam menanti untuk ditangisi.

Berada di Jayapura, Papua, tentu adalah pilihan saya. Negeri ini amat sangat saya cintai. Bulan-bulan sebelumnya, saya dan kerabat yang pertaliannya teramat dekat, Fandi, bersepakat untuk berlebaran di sini. Ia akan mengabaikan cutinya. Kontrak kerjanya baru selesai akhir tahun ini.

Tahun kemarin, ketika kali pertama berkunjung ke Papua, dia memang sudah bekerja di sini hampir setahun. Sampai akhirnya tahun ini, saya kembali ke Papua untuk bekerja di sini, dan kami bersua lagi.

Namun kabar lain datang. Ia akan berangkat ke Jepang lagi. Jiwanya sebagai seorang pelaut yang pernah mengelilingi dunia, terlalu besar. Berada di pantai dan sesekali menatap ombak kecil, baginya tak menantang. Samudra selalu menyediakan gelombang rezeki yang lebih besar.

Tawaran untuk kembali bekerja di kapal Jepang, diterimanya. Kemarin, ia berkesempatan pulang ke desa, hanya untuk berpamitan dengan orangtua, istri, dan anak satu-satunya. Hari ini, ia akan terbang ke Jepang, dan berlebaran di tengah samudra.

"Saya pernah membaca statusmu di facebook, jika kita menanam pohon di akhir tahun, maka biasanya pohon-pohon itu akan memberi tanda-tanda di mana kita akan mengais rezeki kelak," kata saya.

"Ah, kau lupa? Itu kamu yang mengatakan kepada kami dulu," jawabnya.

Saya pun ingat, dulu saya pernah berbual soal menanam pohon ketika malam pergantian tahun. Dan pohon itu bisa memberi isyarat tentang kehidupan kita kelak.

Kisah itu bermula, ketika kerabat saya yang ikut seleksi Bintara Polri di Manado, namanya Hendi, membawa dua temannya ke rumahnya. Wawan dari Jawa Timur dan Benu dari Jawa juga (lupa Jawa apa tepatnya). Kami berkawan. Dan ketika akhir tahun, mereka menanam masing-masing pohon rambutan di sekitar rumahnya Hendi.

Mereka bertiga akhirnya lulus. Setelah pendidikan, Hendi, yang menanam pohon rambutan di dekat genangan air, ditugaskan di Polairud Bitung. Wawan, yang menanam pohon rambutan terlalu dekat dengan tembok rumah, ditugaskan tak jauh-jauh dari rumahnya Hendi, hanya di Kotamobagu saja. Benu, yang menanam pohon terlalu jauh dari posisi tanam Hendi dan Wawan, ditugaskan di Makassar.

Kisah itu yang terus diingat Fandi. Ia pernah menanam pohon, yang letaknya di samping telaga. Nasib sering membawanya, tak jauh-jauh dari air. Bahkan, di tengah samudra.

Mungkin, kejadian-kejadian itu hanya kebetulan semata. Tapi, bagi saya yang penyembah pohon ini percaya, alam memiliki ikatan dengan kita. Kalau pun nanti kalian mencoba dan yang kalian temui bertolak belakang, setidaknya kalian telah menanam satu pohon.

Oh, ya, semoga pelayarannya diberkati. Sukses selalu, Utat Fandi!

Sebelum menua. Pergi sudah!