Friday, September 27, 2019

#BebaskanDandhy

No comments

Dandhy Dwi Laksono bagi kami bukan hanya seorang teman, abang, atau sesama jurnalis yang pernah sama-sama bernaung di organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Ia melampaui itu. Bukan pula guru. Meski ia banyak mengajarkan kepada kami tanpa pamrih. Mungkin bila dipanggil guru, ia akan menepisnya. Dandhy memang terlalu rendah hati untuk kita tinggikan.

Dandhy, bagi saya, sudah memikirkan matang apa yang dikerjakannya selama ini. Terjun menjadi jurnalis yang kerap menyuarakan akar rumput, memang harus ikut menjadi rumput. Diinjak-injak, atau bahkan dikeringkan lalu dibakar. Risiko menjadi seperti Dandhy, memang ditanggung oleh setiap jurnalis. Sudah banyak jurnalis yang dibunuh karena berita. Dipukul, diintimidasi, diteror, dan segala rintang jika kita hendak menyuarakan kebenaran. Di negeri ini, orang benar memang kerap masuk daftar hitam para pembesar.

Kita telah belajar sejarah. Di belahan dunia, orang-orang yang memperjuangkan nasib rakyatnya dan kemanusiaan akan selalu berakhir di terungku. Bahkan bapak-bapak bangsa kita menjadikan penjara serupa kamar sewa. Hatta, sampai dibuang ke Boven Digoel. Dikelilingi nyamuk-nyamuk malaria pemangsa nyawa. Ia bertahan. Tapi tidak bagi Marco Kartodikromo, jurnalis yang dibuang Belanda ke Boven Digoel karena tulisan-tulisannya yang kritis. Mas Marco, panggilannya, meninggal di kamp pembuangannya itu pada 1932. Malaria menyesap ruhnya.

Seperti juga tokoh-tokoh itu, Dandhy telah sadar betul risiko profesinya. Memang, tak ada berita seharga nyawa. Tapi aral selalu ada. Baik ketika berbalut mantel profesi atau tidak. Bukan hanya kami, jurnalis. Tapi bagi siapa saja yang berdiri bersama orang-orang kecil, akan selalu dihardik oleh penguasa. Tengoklah tudingan kepada Dandhy. Dugaan sementara karena cuitannya soal Papua. Saya mencoba memindai beberapa unggahannya tentang kejadian di Papua baru-baru ini. Semua berdasarkan fakta yang telah diberitakan oleh media.

Dandhy, tak akan seceroboh itu membikin celah. Argumennya dan apa yang selalu ia utarakan berdiri kokoh. Saya tahu betul kehati-hatiannya. Apalagi setelah perangkap pasal-pasal karet telah diberlakukan. Saya sempat menulis status belum lama ini, tentang sebagian kawan yang memilih meninggalkan media sosial, karena semakin rentannya media sosial dijadikan perangkap oleh penguasa. Perisai kita hanyalah fakta. Itu saja.

Apa yang diunggah Dandhy soal Papua, mungkin hampir semuanya seragam dengan apa yang diunggah oleh sebagian banyak orang Papua, dan mereka yang memperhatikan Papua. Seandainya itu dipidanakan semua, maka penjara akan penuh oleh kasus yang sama. Sayangnya, pelapor Dandhy bernama Asep Sanusi ini, memang sudah menyasar baik siapa targetnya. Mungkin bagi pembenci Dandhy, Alpha yang ditaklukkan akan membuat lebih mudah meredam nyali kawanannya. Sama seperti penangkapan sejumlah aktivis pro-West Papua. Pun para aktivis KNPB yang ditangkapi satu demi satu. Mereka ini, bernyali sama dengan Dandhy. Mereka sangat tahu apa yang mereka hadapi.

Namun, Dandhy tak pernah memilih menjadi Alpha. Ia tak punya kawanan. Tapi ia memiliki banyak kawan. Sama seperti para pembela Papua lainnya. Mereka ada dan berlipat ganda!

Thursday, September 26, 2019

Ajak Cucu Jalan-jalan

No comments

Pagi cerah. Rusa-rusa meloncat berlarian di halaman seluas semesta. Jaring-jaring laba-laba di pepohonan diselimuti embun. Seorang kakek yang belum renta turun dari tangga istana. Ia menggendong cucunya yang mungil dan tampak menggigil.

"Kakek ajak jalan-jalan ke Taman Bangsa ya," katanya kepada cucunya.

Istana itu berada di puncak. Taman Bangsa yang baru disebutnya itu, ialah taman luas di halaman belakang. Di sana ada miniatur pulau-pulau.

Ia menurunkan cucunya lalu mereka jalan-jalan. Pertama dikunjungi adalah pulau di mana istana itu berdiri.

"Ini Pulau Jawa," tunjuknya.

"Lihat di sana ada petani Kendeng. Mereka itu membosankan. Selalu berdemo menuntut agar pabrik semen milik teman-teman baik kakek, diusir karena merusak persawahan mereka," ceritanya.

Cucunya hanya mengangguk. Sesekali bocah itu menggaruk punggung tangannya.

Kakek itu kembali menunjuk jalan lebar nan panjang. "Itu tol yang lahan-lahan petani juga kakek gusur. Gerah kakek sama petani."

Meski di masa kecil rumahnya pernah digusur, itu malah membuatnya gemar menggusur rumah-rumah warga. Bukan sadar bahwa itu adalah pengalaman terbaik. Ia malah ingin membalas dendam dengan menggusur. Aneh memang.

Ia lanjut ke pulau seberang. Ada Bali di sana. Ia berkisah kembali kepada cucunya, bahwa di sana ada masyarakat adat yang tak henti-hentinya berjuang, agar Teluk Benoa tidak direklamasi.

"Padahal bagus. Nanti teman kakek bangun gedung-gedung mewah di sana. Buat kita liburan. Masak cuma Kuta, Sanur, Seminyak, Nusa Dua, Ubud. Bosan! Kita butuh yang baru. Peduli apa dengan kerusakan lingkungan," katanya.

"Horeeee! Nanti kalau sudah jadi, bilang papa mama bikin hotel di sana. Kolam yang luaaaaassss! Biar bisa berenaaaaaaang!" kata cucunya dengan gestur lucu.

Dicubitnya pipi cucunya itu, "Jelas, Cuuuuuuk."

Ada pulau-pulau mungil lain di seberang. Tapi ia lewatkan. Meski di sana juga ada masalah antara warga dengan pemerintah, tentang lokasi wisata Pulau Komodo. Ia segera melompat jauh ke Sumatra. Ia lantas bercerita, di pulau ini sering kebakaran hutan. Perusahaan pembakar hutan juga kawan-kawan baik dari kawan baiknya.

"Kakek bilang ke kawan, urus saja itu. Bilang saja peladang yang bakar."

"Di sana anak seusiamu menghirup asap terus tiap tahun. Tapi tenang, asalkan kamu sehat, di sini udaranya segar. Lihat saja pagi indah ini. Langit biru. Di sana pernah jadi merah langitnya. Itu kuasa Tuhan," lanjutnya.

Pulau besar di seberang, juga sering kebakaran hutan, ceritanya kepada cucunya. Namanya Kalimantan. Kalau pulau ini, dulu hutannya begitu luas. Tapi sekarang dipenuhi sawit.

"Sawit itu baik. Mensejahterakan masyarakat sekitar. Daripada hutan, cuma jadi tempat binatang? Kamu pilih mana, manusia atau binatang yang lebih penting?" tanyanya.

"Hmmm... Binatang! Saya suka lele. Ada lele juga di sana?" jawab dan tanya cucunya.

"Lha, kenapa binatang. Sana, empang di rumah banyak lele. Dulu kakek pernah jatuh di situ. Kepala terbentur di batu. Otak kakek sebagian jatuh di sana," katanya.

"Kakek punya otak sebagian di sana? Kok, kakek belum mati?"

"Tenang, lele itu fana, kakek abadi." jawaban yang disusul tawa oleh cucunya.

Berlanjut, mereka menuju Sulawesi. Di sini ada perusahaan pertambangan. Baik gas bumi dan logam mulia. Kakek itu kembali bercerita, di mana ada investor selalu saja ada penolakan dari masyarakat adat.

"Tidak tahu adat baru bilang masyarakat adat. Lawan pemerintah terus!"

"Kakek jangan marah. Kalau marah, dengar lagu metal saja," kata cucunya. Ia lantas mengikuti saran cucunya. Album Metallica, And Justice for All, segera diputar di ponsel pintarnya.

Setelah itu, ia melompat jauh lagi ke sebuah pulau besar. Ia melewati pulau-pulau kecil yang sebenarnya juga banyak bermasalah dengan pemerintah.

Pulau besar yang ia tunjuk kali ini adalah Papua. Ia berkisah di sana ada perusahaan tambang emas terbesar di dunia. Selain itu, perusahaan sawit juga mulai meluas.

"Nanti kalau mau bukan lahan lagi. Bakar saja. Biar ada temannya Sumatra dan Kalimantan," katanya.

Ia berkisah, Papua ini sering menuntut penentuan nasib sendiri. Mereka ingin merdeka. Banyak pelanggaran HAM terjadi di sana. Penjahatnya rata-rata kawan baiknya. Malah dipilih jadi orang yang berwenang untuk bicara hukum dan keamanan.

"Mau sampai di PBB, kek, tetap tidak boleh pisah. Itu lumbung Jakarta. Makanya kakek kirim ribuan pasukan ke sana. Biar aman dan mulus perusahaan-perusahaan yang baik hati di sana," katanya.

Puas mengajak cucunya jalan-jalan, ia kemudian mengajak cucunya itu kembali ke istana. Ada pesan terakhir yang dikatakan kepada cucunya.

"Nanti jangan mau sekolah di STM, ya Cuk."



Cerita di atas hanya fiktif belaka. Kalau pun ada kesamaan kejadian dan tempat, labeli saja itu sebagai hoaks. Sebab fakta itu fana, yang abadi itu hoaks.

Tuesday, September 24, 2019

Wa(m)ena

No comments

raga kadung musnah
mati menjadi api
ingatan abadi
menantang punah

Tuesday, September 10, 2019

Wajah Kemanusiaan

1 comment
Siang itu, mungkin bagi Ramah, akan seperti hari-hari biasanya ketika ia hendak menjahit wawancara demi wawancara, menjadi sebuah berita. Ramah adalah jurnalis Jubi, sepayung kerja dengan saya, dan seorang pendatang dari Buton, Sulawesi Tenggara. Tapi tak ternyana, Kamis itu akan tragis. Demonstrasi kedua mengutuk rasisme terhadap mahasiswa Papua di luar sana, berujung amuk massa.

Ramah, seperti yang ia tuturkan dengan narasi menyentuh di grup kantor kami, berada tepat di antara segitiga bara. Aparat, massa Orang Asli Papua (OAP), dan massa pendatang yang mendaku sebagai masyarakat nusantara (selanjutnya disingkat manus). Kebanyakan dari massa manus itu dari BBM, kepanjangan dari Bugis, Buton, Makassar. Gelombang ketiga massa pendemo tak tahu, pada gelombang sebelumnya, terjadi amuk massa yang membakar sejumlah tempat usaha di sekitar Entrop. Massa OAP yang juga terdiri dari perempuan dan anak-anak ini, terjebak di antara aparat dan massa manus.

Jiwa kemanusiaan Ramah meronta, ketika melihat perempuan dan anak-anak itu panik dan ketakutan di atas tanah mereka sendiri. Seketika mereka menjadi asing di negeri sendiri. Menengok ke belakang, ada aparat yang represif. Di depan, ada manus yang marah karena tempat mereka mengais rezeki hangus. Sehitung detik, Ramah berusaha melindungi mama-mama dan anak-anak mereka, dari aparat dan manus yang mulai bertindak kasar. Ramah kemudian mengantar mereka dengan sepeda motor ke titik teraman di Skyland. Tempat sebelumnya yang sudah dilalui massa aksi. Berkali-kali ia bolak-balik.

Mama-mama itu mengaku berangkat dari Sentani, Expo, Kotaraja, dan Furia. Ketika mengamankan mereka dari aparat dan manus itu, Ramah menanggalkan profesi jurnalisnya. Ia tak mengaku seorang wartawan. Baginya, kali ini kemanusiaan harus paling depan. Hanya kepada mama-mama itulah ia bilang, ia seorang jurnalis.

"Melihat senyum mereka ketika aman, saya merasa ikut bahagia," kata Ramah.

Ramah, bisa jadi salah satu dari sebagian kecil pendatang yang mafhum, ia bukan sekadar mencari makan di tanah Papua. Ia yang sadar bahwa di mana bumi dipijak, di sana langit kemanusiaan dijunjung. Ia bahkan tak memikirkan keselamatannya. Pinta istrinya agar ia segera pulang, tak diindahkannya kali itu.

Kisah Ramah ini, direkam dengan wajah jurnalisme damai yang apik oleh kawan-kawan CNN Indonesia. Saya berada di kantor Jubi ketika potongan wawancara Ramah direkam. Dari durasi yang panjang, kawan-kawan CNN mengemasnya menjadi singkat, tapi begitu tebal narasi kemanusiaan di sana-sini. Beberapa bagian penting dijahit, dan yang paling mengharu-biru, ketika Ramah begitu sedih mengingat perca demi perca kejadian kala itu.

Kawan-kawan CNN membikin video berdurasi 6.50 menit itu, begitu seadanya. Saya segera ingat ketika banjir bandang yang menerjang Sentani belum lama ini, beberapa jurnalis foto dan video dari Jakarta berdatangan. Mereka mulai menemui para korban dan mendramatisir fakta. Para korban diatur sedemikan rupa, agar hasil foto dan video menjadi tragis. Meski sebenarnya para korban saat itu sedang berusaha tegar dari tangis.

Meski belum berselang lama kejadian banjir bandang di Sentani, demonstrasi yang sengaja digeser oleh beberapa massa siluman menjadi konflik antarsipil ini, sebenarnya adalah dua kutub yang begitu cepat saling bertolak. Di Sentani kemarin, kita bisa melihat bagaimana sirnanya sekat antara OAP dan non-OAP. Mereka saling bantu. Namun secepat itu, amukan Robhongholo tak bersisa pemaknaan. Bertahun-tahun merakit kebersamaan, sekali diterjang gelombang, rusak sudah sekali jalan.

Belum lama ini, saya pergi menemui kerabat dari kampung, salah satu anggota Brimob yang ditugaskan di Jayapura. Ketika pulang dari Tanah Hitam, titik penjagaan mereka, saya memilih menggunakan jasa ojek di sekitar situ. Sekalian sepanjang jalan saya hendak bertanya-tanya, tentang suasana genting beberapa lalu di sekitar Tanah Hitam.

Pengendara ojek itu dari Bugis. Ia bercerita tentang malam ketika mereka berjaga-jaga.

"Ada informasi massa dari arah Abe Pantai sana mau serang kami," kisahnya.

"Tapi tidak ada serangan, kan?" tanya saya.

"Iya, semalaman tidak tidur, ternyata aman-aman saja. Tidak tahu dari mana informasi itu," katanya.

Dari mana informasi itu? Ia mengatakan dari mulut ke mulut. Bagaimana agar informasi seperti itu bisa cepat ditangkal? Selain dari pemberitaan media, bisa dari media sosial yang saat ini jaringan internet masih diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Ketika banjir bandang di Sentani, kita bisa menyaksikan bagaimana internet sangat membantu. Ada beberapa hoaks tentang runtuhnya beberapa jembatan, bisa sekilat terang oleh masyarakat sendiri di lokasi. Meski yang ini adalah duka bencana, sementara bara di Jayapura adalah amuk massa, internet hanyalah alat yang bergantung kepada penggunanya. Pisau bisa digunakan membunuh, tapi bisa juga digunakan untuk melindungi diri atau sekadar mengiris bawang. Seandainya hoaks tersebar ketika rusuh di Jayapura, maka masyarakat bisa terlibat untuk menangkalnya lewat media sosial. Bahkan mungkin, narasi seperti yang Ramah tuturkan, akan bermunculan satu demi satu.

Pengendara ojek ini mengaku lahir dan besar di Tanah Hitam. Baginya, rusuh seperti itu sudah pernah ia lewati beberapa dekade. Sedang pendatang yang baru satu dua tahun datang, ada yang memilih pulang.

"Selama di sini kami aman-aman saja dengan orang Papua. Saya tiga puluh tahun lebih di sini. Teman-teman ojek juga ada orang Papua. Jadi kalau orang baru datang, ya pasti ketakutan lihat macam kemarin," katanya.

Sesampai di lingkaran Abepura, saya dihubungi lagi oleh saudara Brimob. Ia akan menyusul dengan temannya, untuk mengajak saya makan. Ketika ia datang, baru kali itu ia berjalan-jalan di keramaian Abepura, yang juga dipenuhi Brimob di beberapa titik. Sehabis makan, kami masih berkeliling di pusar Abepura. Ia hendak melihat-lihat noken. Saya menunjuk puluhan noken yang dijajar mama-mama di depan ruko-ruko yang sebagian kacanya hancur, sisa amuk massa kemarin.

Ia sempat heran, karena mama-mama itu berderet di sepanjang trotoar dan bermandi debu jalanan. Tanda herannya yang kedua, adalah harga-harga noken akar anggrek yang mencapai lima jutaan. Saya menjelaskan pencarian bahan dan proses pembuatannya, sampai kenapa harganya begitu. Ketidaktahuan tentang suatu daerah, budayanya, kebiasaannya, terkadang membawa seseorang pada penilaian yang keliru. Saya hendak mengenalkan sedikit demi sedikit tentang Papua kepada saudara saya. Setidaknya ia bisa memiliki gambaran sedikit demi sedikit.

Tak jarang, ketidaktahuan seperti itu yang membawa petaka. Sama seperti yang terjadi di Deiyai baru-baru. Kasus berdarah yang menambah daftar pelanggaran Hak Asasi Manusia di negeri ini. Kala itu, massa aksi tengah mengadakan waita, salah satu tradisi penyemangat yang ditandai dengan orang-orang membentuk pusaran sembari berteriak-teriak. Aparat menganggap mereka akan memulai kericuhan. Salah satu mobil menabrak para pendemo. Pengemudinya seorang aparat. Massa marah dan terjadilah kericuhan. Kemudian, satu demi satu nyawa luruh oleh peluru.

Betapa ketidaktahuan itu adalah satu-satunya musuh yang harus dimusnahkan di tanah Papua ini. Saya ingat seorang kawan kos dari Jawa Timur. Ia seorang sarjana lulusan Universitas Surabaya, yang setelah berhenti dari pekerjaannya di salah satu diler mobil, memilih menjadi sopir rental mobil untuk mengisi waktu luangnya. Ia membaca buku saya, Kisah Hidup Tokoh-tokoh Papua. Di situ ada nama Jesua Nehemia Jikwa. Orang yang sering memakai jasanya.

"Kalau saya tahu dia, saya tidak akan meminta uang untuk jasa saya mengantarnya. Hanya sewanya saja. Saya baca kisahnya, sedih. Pernah ia lapar dan hanya membakar jambu," katanya, setelah tahu siapa tokoh itu dan kisah perjalanan hidupnya.

Dalam buku itu, ada pula ditulis ujaran kebencian yang mendera Jikwa selama Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang. Ia ikut ayahnya yang melanjutkan sekolah di sana kala itu. Menjadi satu-satunya orang Papua di sekolah, ia kerap dipanggil 'monyet', 'kanibal', 'kamu makan orang', dan lain sebagainya. Pada akhirnya, orang yang sering mereka ejek itu sekarang menjadi salah satu tokoh yang dihormati dan dikagumi di Papua, di antara deretan nama Amelia Jigibalom, Benny Giay, Willem Rumsawir, Obed Komba, Marjono Murib, Helena Mantuan, Octovianus Mote, Uma Markus Kilungga, Noakh Nawipa, Herman Arom, Nicholas Jouwe, dan masih banyak panutan-panutan lainnya.

Sesungguhnya, orang-orang Papua yang hingga saat ini tetap menuntut hak penentuan nasib sendiri, telah belajar sejarah dengan sebaik-baiknya, dan sehormat-hormatnya.

Ketika mengetahui tentang Papua, maka Anda akan segera beranjak dari kubangan ketidaktahuan. Berjalan dari satu tanda heran ke tanda heran lainnya, hingga menemui seperti apa wajah kemanusiaan itu.

Tuesday, September 3, 2019

Selamat Hari Raya Usia Jubi

No comments

Indonesia dan Jubi sama-sama lahir Agustus. Indonesia telah 74 tahun. Sudah renta. Jubi 18 tahun. Baru mau beranjak dewasa.

Hampir tiga tahun sa bekerja di Koran Jubi dan media daringnya jubi.co.id. Tapi baru mau dua tahun sa tinggal di Papua, semenjak dipindahkan di redaksi koran.

Pada 31 Agustus 2019 kemarin, Jubi merayakan usianya yang ke-18. Namun kali ini tak seriuh biasanya. Kami hanya berdiam di rumah atau di kamar sewaan. Jayapura tengah membara. Kami merayakan hari ulang tahun dalam senyap.

Catatan ini sudah sa bikin sejak Sabtu menjelang pagi, 31 Agustus 2019. Di kamar kos, hampir semua penghuni tak bisa lelap. Kabar-kabar burung hinggap di ponsel yang telah mundur peradaban. Semua tentang suasana mencekam. Sejak internet diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 19 Agustus 2019, ponsel pintar kami hanya bisa untuk menelepon dan berkirim pesan singkat. Jika ada kejadian di satu tempat, kami terlambat tahu. Kami serupa katak dalam tempurung yang siap diinjak retak.

Saat menulis ini, sa sempat menunda meneruskannya akibat suara tembakan terdengar memecah pagi. Kami saling bertukar kabar, tentang situasi di masing-masing tempat. Ada yang di tempat tinggalnya listrik dipadamkan dan orang-orang mulai berjaga-jaga, ada yang mendengar suara teriakan bersahut-sahutan, ada juga yang baru mendapat kabar bahwa konflik sudah menjalar menjadi antar-orang Papua dan pendatang.

Semua kabar yang datang dikemas dalam cemas. Nyala pagi, jadi satu-satunya yang dinanti agar bisa bebas dari keterjagaan. Lonceng gereja saja kerap membuat kaget, karena dianggap dentang tiang listrik. Tinggal berdekatan dengan rumah sakit, kami juga sering terkejut oleh sirene ambulans. Jalanan begitu sunyi, sudah sejak langit mulai gelap.

Di kosan sa yang baru, ada berbagai macam latar belakang daerah yang berdiam. Ada dari Jawa, Toraja, Bima, Wamena, Batak, dan kamar-kamar lainnya yang penghuninya belum saling mengenal. Bahkan para penghuni di kosan sa sebelumnya, sering bertukar tanya.

Para pendatang yang memiliki paguyuban, saling berkirim kabar agar berhimpun dan mengungsi ke tempat-tempat aman. Sa seketika menjadi asing di sini. Meski warga Bolaang Mongondow ada juga paguyubannya di Jayapura, sa tak pernah membangun silaturahmi dengan mereka. Karena sa kerap berpikir, untuk apa jauh-jauh ke Papua hanya untuk berkumpul dengan orang sedaerah? Tapi ketika ada kejadian ini, sa jadi sadar, penting juga untuk mengenal orang-orang sedaerah di sini.

Meski tinggal di salah satu sudut Kota Jayapura, kami tidak tahu pasti apa yang terjadi di Abepura, Kotaraja, Entrop, dan Kota Jayapura, yang hanya berjarak beberapa kilo dari kos. Bukan hanya jaringan internet di ponsel yang diblokir, tapi Wi-Fi ikut mati. Jika ingin mengakses informasi lewat internet, kami harus memberanikan diri ke hotel-hotel yang menyediakan jaringan internet satelit. Sa sudah pernah merasakan sebulan lebih tak bisa mengakses internet di Jayapura, karena fiber optik bawah laut putus tahun lalu. Tapi saat itu kondisi kota aman-aman saja. Sekarang? Bahkan keluar mencari warung yang buka saja susahnya minta ampun.

Setiap kali terkoneksi dengan internet, sa berkesempatan mengunduh beberapa informasi di grup kantor, Youtube, dan media sosial. Semua sebagai bekal ketika pulang ke kos agar informasi masih bisa terserap. Semua kabar yang pernah sa terima, beberapa di antaranya mulai terang. Ada yang benar. Ada yang keliru. Tapi ketika membaca bahwa ada korban berjatuhan, sa makin tambah khawatir. Sempat terpikir, untuk jenak pergi dari Jayapura sampai kondisi kondusif.

Koran terpaksa terhenti produksi. Hanya media daring yang tetap jalan, meski dengan terbatasnya jaringan internet. Berita masih bisa diunggah. Sebelum aksi kedua yang rusuh tempo hari, kami masih berjuang agar koran tetap terbit. Melompat dari hotel ke hotel, hanya agar bisa mengakses berita-berita. Tapi sejak rusuh, jadi berisiko bagi kami yang terbiasa keluyuran mencari jaringan internet. Banyak humor yang terlontar saat itu, seperti bagaimana cara mengakses internet di kafe hotel dengan hanya memesan air hangat. Sampai sa sempat berujar, "Kegilaan-kegilaan kecil ini, kelak akan tercatat di buku sejarah pers Papua."

Tiga hari setelah kerusuhan di Kota Jayapura dan sekitarnya, baru sa bisa menyaksikan di media sosial seperti apa letupan demi letupan amarah kala itu. Banyak ruko dan tempat usaha terbakar. Kaca-kaca kantor berguguran. Beberapa kantor tersisa puing.

Beruntung, saat aksi kedua sa tidak turun ke jalan untuk liputan seperti saat aksi pertama. Salah satu alasan sa, saat itu kamera yang biasa sa pinjam ke kawan sekantor, sedang dipakainya untuk liputan di Jakarta dan Surabaya bersama gubernur Papua. Kedua, ketika diajak kawan wartawan Jubi yang orang Papua, sa sudah diingatkan agar tidak turun liputan oleh beberapa teman.

Seorang kawan di Entrop berkisah, ia terjebak dengan massa aksi ketika pulang dari pasar membeli ikan. Ia merogoh saku untuk mengambil ponsel bermaksud menelepon, tapi disangka hendak memotret. Ia ditampar. Ponselnya mau direbut untuk dibanting. Parang sempat mengikis kepalanya. Ia selamat dari amuk itu. Kaca distronya bertebaran dilempari batu. Distro yang di dalamnya ada Bintang Kejora terpampang. Orang tuanya pendatang dari Sulawesi Selatan. Ia lahir dan besar di Jayapura.

Mendengar kisahnya, sa sadar, membela hak-hak orang Papua atau setia berdiri di samping mereka, tak menjamin kita tak akan disakiti. Ada ribuan orang Papua di luar sana yang tak tahu sepak terjang kita. Tapi apakah dengan begitu, kita lantas segera beralih membenci mereka? Jawabannya ada ketika kawan ini menceritakan kisahnya lewat pesan singkat, tapi diselingi "ha-ha-ha". Mungkin, di saat-saat seperti itulah, kukuh kita bersama mereka benar-benar diuji.

Sampai saat ini, Jubi adalah media di Papua yang tetap bersetia dengan orang Papua. Isinya bukan hanya orang Papua, meski didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Papua. Di Jubi-lah sa banyak belajar bagaimana susahnya menjadi jurnalis di Papua. Sebagai redaktur, kau mungkin bisa memberi kuliah berjam-jam kepada wartawan orang Papua, tentang bagaimana caranya menembus narasumber. Tapi ketika kita turun sendiri ke lapangan, baru kita akan merasakan betapa segala kanuragan yang pernah kita bagi, tiba-tiba menguap begitu saja.

Selain Jubi dan suarapapua.com, tak ada lagi media lain di Papua yang mampu menjahit perca-perca yang hilang tentang Papua secara utuh. Berharap kepada media di Jakarta, mungkin hanya ada satu atau dua media saja yang masih menyediakan ruang khusus untuk Papua. Selebihnya, hanyalah media-media yang penuh parade para jenderal dan penguasa.

Selama di sini, sa bersyukur mulai mengenal Papua keping demi keping, meski memang masih begitu luas dan dalam lagi yang siap untuk kita arungi dan selami. Tapi setidaknya sa mengerti, merekalah yang mengajari sa bagaimana caranya memuliakan harga diri dan menghargai sebuah nyawa.

Menghormati hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, bukanlah jalan untuk memanusiakan mereka. Tapi itu adalah jalan untuk memanusiakan kita.

Terima kasih Jubi untuk kesempatan yang tak ternilai ini. Selamat hari raya usia. Tetap menjadi bintang sebagai penunjuk arah, agar orang-orang tak tersesat mencari kebenaran di Tanah Mama ini.