Friday, September 8, 2017

Seorang Bapak di Pesawat

No comments

Dari Bandara Sentani, saya bersua pandang dengan bapak itu. Dia duduk dua deret di depan saya. Setelah sampai di Sorong, tadinya saya berpikir ia akan turun. Tapi ia tak beranjak dari kursinya.

Pesawat yang saya tumpangi untuk pulang ke Gorontalo, selain transit di Sorong, selanjutnya menuju Manado. Uda Syof, salah seorang sesepuh di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, yang sederet kursi dengan saya, turun di Manado. Uda Syof berasal dari Padang. Sebelumnya Uda sama-sama dengan saya menghadiri undangan perayaan hari lahir Tabloid Jubi di Jayapura. Sementara saya masih melanjutkan perjalanan pulang ke Gorontalo.

Perjalanan menuju Gorontalo dari Manado itulah yang mempertemukan saya dengan bapak itu. Usianya hampir seperti usia ayah saya ketika saya SMA. Kira-kira 60an.

Ia mengenakan jaket wol abu-abu, dengan celana kain hitam yang tampak longgar. Sendal yang ia pakai, hampir sewarna dengan kulitnya. Rambut beruban di kepalanya tinggal sedikit. Ia tersenyum ketika saya duduk di sampingnya. Beberapa giginya telah tanggal. Karena senyumnya itu, saya seperti menemukan celah nyaman untuk bertanya.

"Bapak dari Jayapura tadi, ya?"

"Iya. Kamu?"

"Saya juga dari Jayapura. Satu pesawat terus sama bapak. Saya perhatikan, memang hanya saya dan bapak yang pergi ke Gorontalo."

"Oh, ya? Bikin apa di Jayapura?"

"Mengunjungi keluarga di Hamadi." Saya memutuskan belum mau jujur bahwa saya seorang jurnalis.

"Sama. Saya juga mengunjungi anak saya di Abepura."

Kami mulai terlibat tanya jawab. Beruntung meski hanya empat hari di Jayapura, saya banyak bertanya soal nama tempat. Jadi alamat yang saya sebutkan, ialah alamat saudara saya di Hamadi yang kebetulan pantainya, sebelumnya jadi tempat piknik kru Tabloid Jubi.

Bapak itu mulai akrab dengan saya. Ia kemudian bercerita banyak tentang Papua, selama 25 tahun menetap di sana. Selama tinggal di Papua, ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Hampir semua wilayah Papua bagian utara telah ia jelajahi. Kecuali bagian selatan, seperti Merauke dan Timika.

"Dulu orang-orang asli Papua itu tidak begitu. Orang-orangnya tidak mabuk-mabukan di jalan. Tapi pendatanglah yang mulai mengajari mereka minum alkohol," tuturnya.

Ia mengatakan hidup di Papua sekarang kurang nyaman. Sebab kasus demi kasus seperti penjambretan, pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan kerap terjadi. Bahkan anak-anak muda semakin tidak karuan. Mabuk-mabukan di jalanan, sampai menghirup lem di tempat umum.

"Saya tahu persis perkembangan di Papua. Dulu tidak begini. Kota semakin ramai dengan pendatang yang menularkan hal-hal negatif."

Sewaktu bekerja di BMKG, ia mengaku sering turun ke lapangan untuk keperluan pendataan. Dari situlah ia banyak menjaring pengalaman dengan orang asli Papua.

"Kalau kamu beli barang jualan, kamu bisa ambil barang itu lalu meletakkan uang di meja, jika pedagangnya tidak ada di tempat. Tak ada satu pun orang yang berani mengambil uang itu."

Ia juga sering melihat, ketika dagangan mama-mama Papua tidak laku, mama-mama itu akan membuang dagangan mereka di sungai.

"Dagangan mereka seperti sayur-sayuran akan dibuang. Besok baru cari lagi untuk dijual. Memang mereka belum paham konsep jual beli."

Orang-orang Papua, tidak khawatir dengan untung rugi berjualan kala itu. Sebab menurut bapak itu, orang-orang Papua tidak akan kelaparan. Ingin makan, tinggal pangkur sagu dan sisanya bisa disimpan berbulan-bulan. Hutan, sungai, danau, dan laut juga menyediakan lauk yang berlimpah. Buah-buahan dan sayur mayur tinggal main petik.

Mungkin sama halnya dengan suku Badui atau Kasepuhan Ciptagelar, mereka yang tak mengenal konsep jual beli. Beras dilarang diperjual-belikan. Sebab budaya gotong royong dan berbagi, masih begitu kental. Jika hasil alam melimpah, kenapa harus serakah?

Perbincangan kami sempat terhenti saat pramugari mulai membagikan dus kue. Kemudian berlanjut dan kian merambat ke persoalan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Ia bercerita, ketika hendak mendata di salah satu wilayah terpencil, ia dan seorang temannya harus berjalan kaki selama dua hari.

"Saya bawa kopi, gula, rokok, pinang, dan kapur sirih. Ketika sampai di kampung, kami menyampaikan maksud, bahwa hendak mencari data apakah di tempat itu pernah terjadi gempa. Selama berbincang saya menawarkan apa saja yang saya bawa tadi."

Setelah dipertemukan dengan ketua adat, mereka duduk berbincang sambil minum kopi. Maksud kedatangan mereka pun mendapat respons baik, sebab di wilayah tersebut pernah dilanda gempa besar.

Pada malam berikutnya, ia dipertemukan dengan seorang pria berjanggut putih dan rambut keritingnya sebahu. Pria paruh baya itu mengajaknya masuk hutan. Hanya sekilo saja jaraknya dari kampung, dan sudah tampak seberkas cahaya obor.

"Teman saya memilih tidur karena lelah mendata seharian. Di tempat yang kami tuju, sudah berbaris sekitar ratusan anggota OPM," tuturnya dengan suara setengah berbisik.

Selanjutnya ia diajak duduk di salah satu pondok. Ia mengeluarkan bungkusan kopi dan gula. Dua bungkus rokok diletakkan di lantai kayu. Tak berselang lama, tawa menebal di hutan malam itu.

"Saya baru tahu kalau pria berjanggut itu ternyata ketuanya. Mereka baik. Bahkan ketika kami mau pulang, barang bawaan kami semua dipikul oleh mereka. Saya menolak barang kami dipikul, takut merepotkan, tapi kami dipaksa. Padahal sebenarnya berat juga ransel dan alat-alat yang kami bawa," kenangnya sambil tertawa.

Pesawat sebentar lagi mendarat di Gorontalo. Bapak itu izin ke toilet. Sebelum pesawat benar-benar pada posisi landing, ia sudah kembali ke kursi lalu coba mengenakan sabuk pengaman. Setelah tiga kali mencoba karena mungkin faktor usia, akhirnya ia bisa mengenakan sabuk itu.

Setelah pesawat mendarat di Bandara Jalaluddin, saya pamitan dengan bapak itu. Ia dijemput mobil avanza sewarna dengan jaketnya. Dari jendela mobil, ia melambaikan tangan yang segera saya balas pula dengan beberapa kali lambaian, hingga mobil itu mengecil dan hilang di ujung pintu keluar bandara.

Dan ... saya baru sadar, kami tidak saling bertukar nama dan alamat.

Wednesday, September 6, 2017

Opa Pe Nama Marlon, Tapi Biasa Dipanggil Maria

No comments
Ilustrasi Mojok.co

Opa Marlon dan Oma Maria pasutri yang tinggal dan menua di Dumoga. Dumoga adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.

Mereka berdua hingga usia senja dikenal paling suka bercanda oleh warga sekitar. Meski banyak masalah, rumah tangga mereka awet. Pasutri ini memegang teguh tagline tandingan Pegadaian: mengatasi masalah dengan bercanda.

Ada banyak cerita yang beredar tentang perjalanan hidup Opa Marlon dan Oma Maria, hingga salah seorang dari mereka berpulang lebih dulu menghadap Yang Maha Kuasa. Semuanya akan dirangkum dalam enam mop berikut.

Opa Nae Kalapa

Opa meski sudah 70 tahun, raganya sehat dan jiwanya sentosa. Suatu hari Oma ingin sekali minum air kelapa muda. Oma lalu meminta Opa memanjat pohon kelapa setinggi tiang listrik di samping rumah. Tentu saja Opa tidak bisa menolak. Tidak ada anak atau cucu pula di rumah yang bisa disuruh, semuanya telah hidup masing-masing.

“Hati-hati mo ciri,” kata Oma.

“Jangan pandang enteng, biar tua bagini mar Opa masih kuat bapanjat. Apalagi bapanjat pa Oma,” canda Opa.

Oma tertawa mendengar pernyataan bodoh Opa barusan meski dalam hatinya tetap khawatir. Apalagi melihat celana Opa kedodoran saat memanjat.

“Eh, Opa! Ngana pe calana somo ta lucur. Ngana pe bolpoin so mo kaluar!” teriak Oma.

“Bekeng kage jo ngana ini. Ndak lama kita turung kong coret-coret pa ngana deng ni bolpoin!” sahut Opa.

Oma yang merasa diserang balik, membalas, “Stel le ngana. Tinta so kering le!”

Opa Minta Susu

Karena ada urusan mendadak, Opa harus berangkat ke Kota Kotamobagu. Opa ketika itu naik mikrolet.

Di dalam mikrolet, di sebelah Opa ada seorang ibu yang sedang menyusui anaknya.

“Capat jo basusu. Kalo ndak Mama’ mo kase pa Opa di sabalah,” bujuk ibu itu.

Tapi anak itu tetap enggan menyusu.

“Oh, kase biar, Mama’ so mo kase pa Opa jo,” ancam ibu itu.

Wajah Opa memerah. Rambut peraknya seakan ikut tersemir menjadi merah. Jantung Opa deg-degan, sebab sebentar lagi mikrolet akan memasuki kota, tapi ibu dan anak itu masih terlibat adu tolak-bujuk.

Saking tidak tahannya, akhirnya Opa bersuara, “Maaf, Ibu, coba cepat ambil keputusan ne. Soalnya Opa so mo turung ini.”

Lubang Buaya

Suatu hari Opa ketahuan selingkuh. Di hape Opa ada beberapa SMS dari selingkuhannya yang luput dihapus. Oma membacanya saat Opa terlelap.

Oma akhirnya memutuskan pisah ranjang dengan Opa. Oma mengungsi ke rumah anaknya.

Saat berada di rumah anaknya, Oma mengirim SMS berisi pantun kepada Opa.

“Buah matoa jatuh di kebaya. Biar so tua mar buaya.”

Opa menerima SMS tersebut, “Oh, mo baku balas pantun dang.”

Opa membalas SMS-nya Oma dengan pantun juga.

“Keladi tua rasa pepaya. Biar so tua, mar kita le so bosan deng lubang buaya.”

Oma naik pitam setelah membaca SMS dari Opa. Ia segera membalas SMS dari Opa.

“So ini lubang buaya ini yang makang korban jendral-jendral. Satu kali deng ngana pe kopral kacili itu.”

Nama Sapa?

Setelah rujuk dan tinggal bersama lagi, Opa dan Oma kembali merajut benang-benang kasih sayang.

Suatu malam, baru saja mereka berdua melangkah menuju kamar, tetiba mereka dicegat oleh dua pria bertopeng di depan pintu. Ternyata kedua perampok itu sudah lebih dulu masuk kamar dengan mencungkil jendela.

“Dudu situ ngoni dua!” bentak salah satu perampok, sambil menunjuk kasur dengan sebilah parang.

Dengkul Opa dan Oma bergetar seirama ketika melangkah menuju kasur.

“Ngana pe nama sapa?” tanya perampok kepada Oma.

“Maria,” jawab Oma.

Tetiba perampok yang ternyata kakak beradik itu berkata, “Adoh, Oma pe nama sama deng torang dua pe Mama’ pe nama. Oma kaluar jo sana.”

Kedua perampok itu lanjut bertanya kepada Opa, “Kong ngana pe nama sapa?”

Opa dengan pelan dan gemetar menjawab, “Marlon … mar anak kompleks biasa pangge Maria.”

Nama Sayang-Sayang

Setelah selamat dari perampokan malam itu, Opa dan Oma dikunjungi semua anak dan cucunya. Rumah jadi ramai.

Setiap kali ada anak atau cucu berkunjung, Opa pasti memanggil Oma dengan sebutan darling, honey, dan my love. Itu untuk menunjukkan aura kasih sayang dalam rumah tangga mereka.

Salah seorang cucu perempuan berusia 18 tahun mendekati Opa lalu bertanya, “Opa, kiapa Opa jaga pangge pa Oma dengan nama darling, honey, deng my love? Romantis skali Opa ini. Apa de pe rahasia dang?”

Opa lalu mengajak cucunya itu mendekat.

“Badiam ne … Jaga ni rahasia. Sebenarnya … Opa so lupa Oma pe nama sapa,” kata Opa Marlon yang sudah mulai pikun.

Pinjam Hape

Tahun demi tahun berlalu. Opa mulai sakit-sakitan, begitu juga Oma. Tapi ternyata fisik Oma masih jauh lebih kuat tinimbang Opa.

Sore. Hujan mewarnai lanskap desa menjadi abu-abu. Oma kala itu sedang berteduh di salah satu rumah anaknya, tak jauh dari rumahnya. Oma baru saja dari apotek, membeli obat untuk Opa. Ia menitipkan Opa kepada salah seorang cucu laki-lakinya.

Saat menunggu hujan reda, dari kejauhan Oma melihat cucu laki-lakinya berlari di tengah deras hujan. Ada yang janggal di hati Oma.

“Omaaaaaa! Opa so ndak bangon-bangon. Birman so banya di rumah. Dorang bilang Opa so meninggal!”

Bungkusan obat di genggaman Oma terlepas. Anak dan cucu lainnya di rumah itu segera memeluk Oma.

“Sapa yang ada hape? Oma mo pinjam dulu,” pinta Oma terisak-isak.

“Mo bekeng apa so Oma? Pake hape ini jo,” kata salah seorang cucunya sambil menyodorkan hape android.

“Oma mo buka pesbuk. Mo ganti status dari menikah jadi lajang.”


(Tulisan ini sebelumnya dimuat di Mojok.co)

Kalau Adam dan Hawa Orang Minahasa, Kita Pasti Masih Tinggal di Surga

No comments
Ilustrasi Mojok.co

Akhir Juli dan awal Agustus jadi pekan yang menyibukkan bagi saya. Baru saja kembali dari Kota Manado yang berada di lengan Pulau Sulawesi pada pertengahan Juli, saya harus melanjutkan perjalanan ke kaki Sulawesi, tepatnya ke Kota Makassar. Mudah-mudahan tidak lanjut ke selangkangan, eh!

Ada beberapa agenda pertemuan yang tak perlu dibentang di sini. Dari pertemuan-pertemuan itu, telinga saya kerap kali menangkap mop yang dituturkan kengkawan-kengkawan dari pelosok negeri. Berikut kisah-kisahnya.

Untung Adam dan Hawa Bukang Orang Minahasa

Pagi itu kami bergegas ke Pasar Beriman di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, yang juga dijuluki Pasar Ekstrem.

Dari Kota Manado, jaraknya hanya 30-an menit. Di pasar tersebut di-display berbagai macam daging binatang. Bagi pengunjung yang belum terbiasa, harus kuat imannya. Mungkin itu alasannya pasar itu dinamakan Pasar Beriman.

Di sana kita bisa temui daging kelelawar, tikus hutan, anjing, kucing, babi hutan, hingga ular sanca yang nama lokalnya ular patola.

Saat perjalanan menuju pasar itulah, di dalam mobil, salah seorang kawan saya menceritakan mop yang terkait dengan kunjungan kami kali ini. Sebut saja nama kawan itu Fay.

“Ngoni so pernah dengar ini mop tentang ular patola?” tanya Fay. Saya sendiri sudah berkali-kali, tapi kengkawan semobil lainnya yang berasal dari Jambi, Bantaeng, Lembata, dan Maluku belum pernah mendengarnya.

“Oke, lanjut cirita saja!” kata saya.

“Begini, torang manusia kan punya nenek moyang itu Adam dan Hawa, dorang dua tinggal di surga to?”

“Ya, ya, ya,” kata kawan dari Maluku.

“Kenapa mereka berdua dibuang ke bumi? Lantaran iblis yang berubah jadi ular goda to?”

“Iya, baru dorang dua makang buah apel di pohong terlarang,” sambung kawan dari Lembata.

Gayung bersambut, Fay segera menuntaskan mopnya, “Nah, coba kalu Adam dan Hawa itu orang Minahasa. Pasti yang ada makang bukang apel, tapi ularnya! Dan kitorang manusia masih tinggal di surga.”

Sontak seisi mobil riuh dengan tawa. Saya yang sudah pernah mendengar mop itu pun masih tergelitik dan ikut tertawa.

Pancasila Ada Berapa Sila?

Mop kali ini diceritakan kawan dari Larantuka. Kawan ini menceritakannya ketika kami sudah berada di Kota Makassar.

Sebut saja nama kawan ini, Om Bin. Ketika itu, ada sesi tanya jawab pada acara bertema lingkungan hidup. Om Bin menyisipkan satu mop sebelum mulai bertanya. Ice breaking, katanya.

“Ada teman saya pergi bertemu Pak Camat,” Om Bin mulai bercerita.

“Kemudian, saat bertemu Pak Camat, teman saya ini ditanyai, ada berapa sila di Pancasila?”

“Teman saya itu menjawab tiga. Ia kemudian ditampar Pak Camat,” lanjut Om Bin.

“Setelah itu teman saya pulang, lalu bertemu dengan saya. Ia kemudian bercerita, Pak Camat baru saja menamparnya.”

“Itu kenapa? Saya bertanya. Lalu kata teman saya, Pak Camat bertanya berapa sila di Pancasila. Ternyata teman saya menjawab tiga. Karena itulah dia ditampar,” kata Om Bin.

“Saya kemudian bilang, kenapa tidak dijawab lima. Lalu teman saya menyahut, tiga saja sudah ditempeleng, apalagi dijawab lima!”

Om Bin sukses membikin seisi ruang pertemuan membahana oleh tawa peserta.

Kuda Muntah

Kali ini mop datang dari teman saya asal Palu. Saya ganti namanya jadi Mawar saja, eh, kerna dia laki-laki, sebut saja Mukmun.

Mukmun mengisahkannya saat perjalanan menuju kawasan karts di Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dari Kota Makassar jaraknya hanya sejam naik bus. Mukmun teringat mop ini kerna melihat tugu jagung yang kami lewati.

Di dalam bus, Mukmun bercerita, suatu hari ada orang Manado bertemu orang Makassar bertemu di perjalanan dalam sebuah mobil.

“Orang Makassar bertanya kepada orang Manado … kalu di Manado apa nama makanan favorit di sana?” tutur Mukmun.

“Orang Manado menjawab, kalau di tempat asalnya ada namanya Tinutuan dan itu ada campuran jagung.”

Mukmun serius bercerita, kendati bising lalu-lalang kendaraan sedikit meredam volume suaranya.

“Kase kuat sadiki bacirita!” teriak seorang teman di deretan kursi sebelah.

Mukmun mengeraskan suaranya, “Nah, orang Manado itu bilang, jagung juga makanan andalan di Manado. Tapi, orang Makassar itu bilang, kalau di Makassar, jagung itu buat makanan kuda.”

Ada beberapa kawan di dalam bus yang cekikikan.

“Orang Manado diam saja. Kemudian di tengah perjalanan ini orang Makassar mulai mabuk jalan. Kemudian ia muntah dan isinya jagung semua,” lanjut Mukmun.

“Orang Manado lalu teriak ke sopir, agar mobilnya disetop dulu. Sopir lantas bertanya, ada apa gerangan? Lalu kata orang Manado … ini ada kuda so muntah!”

Mukmun juga sukses membuat bus berguncang.

Malam Pertama

Dua kisah berikut, meski bukan panenan mop dari perjalanan Manado—Makassar tadi, hendaknya bisa menjadi pamungkas mop kita kali ini. Keduanya tentang Alo’ dan Mince.

Setelah lama berpacaran, akhirnya Alo’ dan Mince memutuskan menikah. Pernikahan mereka dihelat begitu sederhana.

Usai prosesi pernikahan, malam harinya Alo’ dan Mince akan menikmati malam pertama. Itu malam yang ditunggu-tunggu. Maklum, mereka berdua selama pacaran memang berkomitmen untuk tidak berhubungan intim jika belum sah menikah.

Malam itu Alo’ tanpa sengaja memakai celana dalam yang dijahit dari karung tepung terigu. Alo’ memang hidup kekurangan, bahkan untuk menikah saja ia harus menabung selama tujuh tahun.

Setelah mereka berdua berada di dalam kamar, Alo’ mulai mencumbu Mince. Satu per satu pakaian tanggal dan berserakan di lantai.

“Ooo … Tuhan!” Tiba-tiba Mince teriak kemudian jatuh pingsan. Alo’ kebingungan.

Sampai akhirnya Alo’ sadar, Mince ternyata kaget melihat celana dalamnya yang tertulis: BERAT BERSIH 25 KG.

Behel

Setelah lama menikah dan memiliki putri satu-satunya berusia 5 tahun, Alo’ dan Mince mulai dibanjiri rezeki.

Warung kecil-kecilan mereka laris manis. Sampai akhirnya mereka bisa membeli dua buah ruko. Kehidupan mereka pun akhirnya sejahtera.

Pada suatu malam Alo’ mengajak Mince masuk ke kamar.

“Mince sayang, manjo kwa ka kamar.”

“Sabar kwa, sadiki le,” jawab Mince.

Raut wajah Alo’seperti menuntut, “Sayang, mari jo kwa!”

Akhirnya Mince tidak bisa menolak bujukan suaminya itu, “Manjo dang, sayang.”

Mereka berdua bergegas menuju kamar. Kebetulan anak mereka sudah pulas.

“Sayang, coba kase mati tu lampu,” pinta Alo’.

Mince beranjak lalu memadamkan lampu.

Setelah lampu padam, terdengar suara Alo’, “Mince sayang, coba ngana lia ne kita pe behel … glow in the dark.”

“Ku**cu** deng ngana, Alo’. Jadi cuma mo kase tunjung akang ngana pe behel dang?”

Tinju Mince melesat ke “biji” Alo’.


(Tulisan ini sebelumnya dimuat di Mojok.co)