Monday, October 29, 2018

Terbang

No comments

Seorang kerabat mengantar saya ke Bandara Sam Ratulangi Manado, enam tahun silam. Ia menjelaskan langkah-langkah apa saja ketika berada di bandara.

"Nanti, setelah kau menunjukkan KTP dan tiket, masuk dan lewati pemeriksaan barang," kata Donni.

Selanjutnya ia menunjuk, tempat saya harus kembali menunjukkan KTP dan tiket, untuk mencetak boarding pass.

"Baru naik ke lantai dua, di sana tunggu panggilan sesuai nomor pesawat."

Saya berpamitan. Kemudian melambaikan tangan ketika memasuki ruang keberangkatan. Ia tampak masih mengawasi saya dari kejauhan. Memastikan apakah saya mendengar instruksinya. Setelah mencetak boarding pass, saya menoleh ke belakang dan masih menemukannya di sana.

Sampai di ruang tunggu, saya tak menemui kendala. Tak lama kemudian para penumpang dipanggil. Setelah memastikan itu nomor pesawatnya, saya mengekori orang-orang. Tiba di dalam pesawat, saya segera mencari kursi sesuai nomor, yang kebetulan tepat berada di samping jendela.

Sabuk pengaman saya pasang. Ponsel Blackberry saya matikan. Semua instruksi pramugari saya ikuti. Kemudian pesawat tinggal landas. Dada saya seperti ditekan sebongkah batu.

Saya bukan seorang high phobia atau takut ketinggian. Tapi sebelum saya terbang kali pertama itu menuju Makassar, saya hampir lima bulan hanya berdiam di kamar. Saya jatuh dari lantai dua gedung MCC Manado. Tulang pinggul dan paha saya retak. Dari kejadian itu, terbang perdana ini tentu membutuhkan keberanian.

Tapi, semua kecemasan itu sirna, ketika hamparan Kota Manado terlihat di bawah sana. Gedung-gedung, pepohonan, dan jalan-jalan mengecil. Gumpalan awan seperti perbukitan salju yang seolah-olah bisa dipijaki. Laut begitu biru dan menyatu dengan langit. Dari dalam, hanya deru pesawat terdengar. Tapi saya bisa merasakan ketenangan di luar sana.

Namun saya kembali cemas karena mengingat perkataan kerabat saya...

"Terbang dengan pesawat, seperti kita telah menyerahkan nyawa, dan kita pun diminta membayar."

Saya coba merenungkan kalimat itu. Ia benar, karena dari semua jenis kendaraan yang bisa membuat kita berpindah tempat, pesawat satu-satunya yang memiliki risiko paling tinggi. Kendaraan roda dua dan empat, atau kereta api, semuanya masih berpijak di daratan. Tapi pesawat, ia di udara. Satu-satunya tempat paling tidak aman, bagi makhluk yang tidak memiliki sayap seperti manusia. Mungkin itu pula kenapa ada ucapan: safe flight.

Baru-baru ini, Minggu, 28 Oktober 2018, saya terbang dari Makassar menuju Jayapura. Sebelumnya, siangnya saya sempat bercakap-cakap dengan kawan-kawan di Asrama Bogani. Kami membicarakan tentang: terbang.

Masing-masing dari kami menceritakan pengalaman ketika naik pesawat. Hampir semuanya sama. Perjalanan dari Manado ke Makassar atau sebaliknya, pasti pesawat akan melewati bagian udara Celebes yang tak bersahabat. Ada satu rute ketika melewati kawasan udara Sulawesi Barat dan Tengah, yang kerap membuat pesawat berguncang.

Konon, di lokasi itulah pesawat Adam Air DHI 574 hilang pada 1 Januari 2007 silam. Pesawat itu tinggal landas dari Bandara Juanda Surabaya, hendak menuju Bandara Sam Ratulangi Manado. Tapi pesawat itu putus kontak dengan pengatur lalu-lintas udara Bandara Hasanuddin Makassar. Baru setelah delapan bulan kemudian, pesawat itu diduga jatuh di Perairan Majene, Sulawesi Barat, berdasarkan penemuan kotak hitam di Perairan Majene pada 27 Agustus 2007.

Saya pernah mengalami penerbangan yang tak mulus itu ketika pulang menuju Manado dari Bali. Pesawat kami transit di Makassar. Setelah bertolak menuju Manado, tepat di rute yang sama itu, pesawat harus menembus awan tebal nan gelap. Pesawat berguncang hebat. Lampu di dalam pesawat dipadamkan dan jendela harus dibiarkan terbuka. Dari jendela yang buram oleh hujan, saya melihat petir berkali-kali. Beberapa penumpang merapal doa.

Hampir dua puluh menit jantung kami copot. Jantung berhasil kembali ke tempat semula setelah kami melihat sinar matahari. Tapi hanya belasan menit, kami kembali menemui cuaca buruk. Sekali lagi, doa-doa terdengar.

Pesawat akhirnya berhasil sampai di Manado. Meski di Manado pun pesawat itu harus mengitari langit kota beberapa kali, sebab bandara tertutup awan. Tapi pesawat akhirnya bisa mendarat dengan selamat. Ketika roda pesawat membentur daratan, dosa-dosa yang membayang selama di udara, sekejap sirna.

Di wilayah Papua, bagi yang sering menuju Timika pasti sering menemui cuaca buruk ketika akan mendarat. Saya dua kali hinggap di Bandara Mozes Kilangin Timika, dengan dada berdebar-debar. Tapi bagi kawan-kawan Papua, pengalaman seperti itu tak sebanding ketika naik pesawat perintis. Dan silakan memindai di internet, akan kita temui banyak kasus kecelakaan pesawat perintis di Papua.

Kemarin, satu lagi kasus kecelakaan pesawat. Kali ini menimpa maskapai penerbangan yang paling saya hindari. Lion Air memang maskapai yang memiliki rekam jejak penerbangan yang buruk. Baik dari keamanan dan pelayanan. Apalagi ketika buku-buku di dalam keril saya, pernah basah gara-gara maskapai ini.

Ketika berada di udara, saya pernah terbayang pesawat yang saya tumpangi jatuh ke samudra. Bayangan seperti itu tidak begitu saja hadir. Tapi ia berasal dari kecemasan. Meski saya coba membayangkan bahwa air bisa menyelamatkan. Dan ternyata tidak. Sebab ketika pesawat kehilangan kontrol kemudian jatuh ke lautan, maka tak ada bedanya lagi antara daratan dan lautan.

Turut berduka cita bagi para korban. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan.

Jalan pulang memang seringkali berbeda...

Sunday, October 28, 2018

Makassar

No comments

Enam tahun lalu, Makassar jadi kota terjauh pertama yang saya jejaki. Di kota ini saya merasakan atmosfer pengetahuan begitu berbeda. Di Pondok Patah Hati (PPH), ada banyak kawan-kawan baru asal Kotamobagu, yang tengah menempuh pendidikan di kota ini. Pada mereka saya banyak belajar. Yang teristimewa, blog Getah Semesta lahir di sana setelah dibidani beberapa kawan baik.

Setelah lama berlalu, kota ini beberapa kali menjadi tempat bertengger sementara, sebab ia adalah kota terbesar di Celebes yang menjadi titik transit pesawat. Tahun 2016, saya sekali transit di kota ini. Tahun 2017, saya diberi kesempatan untuk berkeliling kota ini untuk yang kedua kalinya. Kunjungan kali ini saya sial, karena sempat ketinggalan pesawat dan terpaksa kembali lagi untuk menginap semalam di PPH, yang telah bersalin tempat. Meski sial itu berujung pada pertemuan saya dengan penyair M. Aan Mansyur, yang memberikan saya buku puisinya Sebelum Sendiri, ketika berkunjung ke Kata Kerja.

Hanya berselang beberapa bulan masih di tahun 2017, saya kembali transit di Makassar hampir empat jam. Tapi saya hanya berdiam di bandara. Bayangan akan ketinggalan pesawat lagi, membikin saya tiada berani mengitari kotanya.

Akhirnya, tahun ini saya kembali berkunjung ke kota ini. Meski markas PPH tidak ada lagi, dan kawan-kawan telah tersebar di beberapa rumah kos, tapi pertemuan dengan mereka selalu berkesan. Ada beberapa yang telah melanjutkan pendidikan ke kota-kota besar di Jawa. Sebagian ada yang bertahan melanjutkan pendidikan di kota ini, dan sebagian lagi adalah generasi penerus PPH.

Tapi saya merasakan ada yang berubah. Tinggal sedikit yang tersisa dari generasi PPH. Mereka ini yang masih setia dengan buku-buku, dan kerap memancing diskusi ketika bertemu. Mereka selalu banyak tanya. Beruntung, masih ada Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow (KPMIBM) cabang Makassar di Asrama Bogani, yang menjadi wadah mereka belajar bersama.

Di asrama ini, saya sempat bertukar pikiran dengan mereka soal jurnalistik. Film Di Balik Frekuensi, mereka takzimi hingga selesai. Terus terang, film itu berdurasi hampir dua jam, tapi beberapa dari mereka bertahan. Mereka inilah yang sadar, ilmu pengetahuan akan melayani orang-orang yang meluangkan waktu untuknya. Semangat itulah, yang pernah membuat PPH riuh.

Makassar berkembang cukup pesat. Di kota ini, buku-buku dengan mudah ditemukan. Ruang-ruang belajar tersebar di mana-mana. Jujut menjujut acara bergizi digelar. Tapi itu semua menjadi pilihan, sebab kota besar akan selalu menawarkan hal-hal berkebalikan.

Saya selalu bangga pernah berlama-lama di kota ini, enam tahun lalu. Kendati hanya hampir empat bulan. Tentu tiada sebanding dengan kawan-kawan lain yang bertahun-tahun. Tapi dalam waktu yang singkat itu, saya membuka seluas-luasnya pikiran, untuk bisa menerima apa saja yang akhirnya menuntun saya hingga menjadi seperti sekarang ini.

Di kota ini pula, saya kali pertama membaca syair Imam Ali bin Ali Thalib yang tak akan pernah saya lupakan...

Kau pikir dirimu adalah sebuah tubuh yang kecil/ Namun tidak/ di dalam dirimu ada segala semesta.

Imam Ali benar, manusia bukan hanya seonggok daging alit bernyawa. Manusia dikaruniai akal yang bisa menampung pengetahuan sebanyak mungkin di dalamnya.

Kalimat itulah yang mengilhami saya untuk menamai blog saya dengan: Getah Semesta. Di blog inilah saya terus belajar dan mengasah bagaimana cara menulis. Kemudian serius terjun ke dunia jurnalistik.

Pada akhirnya, menulis, bagi saya hanyalah sebuah kerinduan akan kenangan masa kanak-kanak. Kerinduan ketika setiap kali disuruh menulis karangan bebas oleh guru. Makassarlah yang telah membuka kembali tabung kenangan itu.

Jangan pernah lupakan masa kanak-kanak, karena di masa itulah kita tiada hentinya bertanya-tanya dan belajar.

Jangan pernah dewasa...

Monday, October 22, 2018

Cepat Sembuh Ayah

No comments
Tiada satu pun yang mampu melukiskan Sigi dengan kata-kata yang begitu indah, selain lelaki ini. Aku berkali-kali membaca imajinasinya tentang Sigi dalam bentuk puisi, cerita pendek, atau novel yang masih belum selesai.

Banjir bandang menerjang Manado, 15 Januari 2014. Kampung Arab tempat tinggalnya, tiada luput dari bah. Bundelan berisi tulisan tentang Sigi, menjelma menjadi lumpur dingin. Komputer jinjingnya pun beku. Tapi ia kembali menulis tentang Sigi.

"Cukup melihat foto Sigi, aku sudah bisa melanjutkan tulisan tentangnya," kata lelaki itu.

Aku takzim memanggilnya Ayah Amato. Ini serupa panggilan yang keluar dari mulut mungilnya Sigi. Seperti yang pernah ia utarakan: Sigi adalah putriku yang diculik takdir. Saat itu, aku tidak mengerti apa maksud kalimat Ayah itu. Ia dikaruniai dua orang putra. Abang dan Ateng. Tapi mungkinkah sesederhana itu, jika Ayah hanya ingin seorang anak perempuan, sampai menyebut Sigi ialah putrinya?

Sampai pada suatu malam, sebuah tulisan panjang tentang Sigi merayap ke keranjang pesanku. Aku menadaburkan. Lalu aku mafhum, setiap penulis membutuhkan suluh untuk menerangi jalan penanya. Sigi yang dalam artiannya pun suluh atau obor, adalah cahaya yang memilihnya. Bukan sebaliknya.

Jumat, 19 Oktober 2018, dua orang kawan di Padepokan Puisi Amato Assagaf di Manado mengabariku. Ayah masuk rumah sakit. Salah satu kawan menautkan foto di media sosial. Satu kawan lagi mengirimi pesan. Aku lama melihat foto itu. Salah satu tangannya meraba lambung. Tapi tak bisa kuterka, apakah itu sakit yang sedang ia khidmati. Sebab ia tersenyum.

Ayah baru saja merayakan hari raya usia padepokannya, Sabtu 22 September 2018. Aku melihatnya begitu bahagia, diitari anak-anak padepokan yang kerap setia menemaninya. Ada banyak orang yang mencintainya. Sebab ia selalu menebar pengetahuan yang menjunjung langit pikir.

Malam ini, aku tak sengaja melihat video dari akun Instagram padepokan. Video rekaman Insta Story itu melintas begitu saja, berdesak-desakan dengan ratusan akun. Apa yang ada di sana, hanya seperti versi gerak dari foto yang dikirim kawan lima hari yang lalu. Gesturnya pun serupa. Tangannya masih meraba lambung. Istrinya mengelus-elus telapak kakinya yang bersila tak sempurna. Tapi kali ini, Ayah sedang tidak tersenyum.

Tak ada yang bisa aku utarakan mengenai sakitmu. Sebab Ayah banyak mengajarkan kami anak-anak padepokan, bagaimana cara memuliakan setiap rasa sakit.

Aku yakin Ayah baik-baik saja...

Sunday, October 14, 2018

Anak-Anak /3-AN Eropassi

No comments

Kami tumbuh besar dengan lelucon dan kebiadaban di simpang tiga Desa Passi. Tak ada batas usia di sini. Tapi ketika bercanda, kami tahu batas-batas dan cara bergayung sambut candaan. Bukan apa-apa: karena kami pernah melewati batas-batas itu semua, dan akhirnya belajar.

Saling ejek wajib. Bertengkar sudah biasa. Saling tonjok, pastinya akan berakhir dengan erat jabat-tangan. Itu semua menganugerahi kami tiga makna; tenang, kenyang, dan senang. Iya, jangan lupakan tiga makna itu. Yang menjadi filosofi /3-AN.

TENANG: Pegang batok kepalamu lalu katakan tenang. Iya, pikiran tenang akan membawa kita pada hal-hal positif. Bahkan ketika tengkar hadir, cobalah berpikir tenang. Karena ketika pertengkaran usai, dan ketika pikiran kita mulai tenang, hanya penyesalan yang hadir.

KENYANG: Pegang perutmu lalu katakan kenyang. Iya, asal kita kenyang, pikiran pasti tenang. Saling berkaitan. Di Desa Passi ini, bahkan sisa makanan yang dibuang dan berisi biji-biji cabai pasti akan tumbuh. Umbi-umbian, pisang, sagu, bebas menjalar dan meninggi di kebun-kebun belakang. Kita juga kerap berbagi. Bahkan di lindap subuh, kita pernah saling mengantar lauk atau nasi.

SENANG: Pegang anumu lalu katakan senang. Iya, senang. Dalam arti: silakan bersenang-senang dengan anumu. Itu urusanmu. Itu ruang privasimu. Tak ada urusannya dengan moral, agama, atau aturan apa pun. Silakan. Itu kesenanganmu.

Ketiga itu saling berkaitan. Saling menjahit satu sama lain. Dan semua itu telah kami lewati selama bertahun-tahun. Jadi, hanya orang bodoh yang terus memendam dendam.