Sunday, December 27, 2020

Sabar

No comments
lampu-lampu kota membesar
dari balik kaca mobilmu
seperti itukah sabar
tiada jemu meramu rindu

Saturday, December 19, 2020

Tunggu

No comments
Aku mulai belajar bersabar dengan kata: tunggu. Karena aku yakin kau akan membukakan pintu.

Friday, December 4, 2020

Kau

No comments
siang dan malam melambat. aku bersabar pada jarak yang ikut bergerak. matahari berpendar, seiring wujudmu memudar. tapi kerlip bintang memahat senyummu. kau, benih disemai pelita dalam sunyi biara. benderang di hatiku, tak terbilang.

pergi mencarimu hingga nyala pagi serupa bara. aku menemukanmu di ujung petang. lihat kesabaran doa yang menunggu dilafalkan. ada butir namamu dan namaku saling memagut. berdebur pada musim terindah. mengguruh penuh seluruh.

Tuesday, September 22, 2020

Apa Kabar?

No comments
Apa kabar catatan-catatanku? Maaf, sebulan lebih tak menyapa kalian.

Eropassi memang selalu punya cerita. Entah itu kisah yang membuatmu merangkul dengkul atau tentang tawa yang tak akan pernah usai. Tapi aku selalu menyukai apa pun yang diberi oleh desa ini kendati itu ialah luka. Karena di sinilah aku bertumbuh meski nanti akan menua dan rengsa di tempat berbeda.

Pada 30 Agustus kemarin, aku kecelakaan. Tapi luka di desa atau di kota mungil ini, ialah bagian dari kisah-kisahku. Seberapa bedebah kami di sini mengagumi air-air suci. Seberapa biadabnya kami mendustai pagi.

Lingkaran pertemanan di sini terus berubah. Ada yang pergi, menghilang, tumbuh dewasa, menikah, menua, dan segala siklus hidup yang pasti. Tapi ada yang tetap menolak untuk beranjak dewasa, menikmati hidup seolah-olah kita hanya terlahir ke dunia sekadar untuk mampir menikmati bir.

Aku bersua lagi dengan cerita-cerita baru meski yang lampau sesekali mengulang. Bagaimana kami membunuh kesepian desa, dengan telapak tangan yang menggenggam api. Sekali lagi desa ini menuliskan banyak hal untuk menambah tabung ingatan.

Sampai di sini, sudah sejauh apa jalan yang kalian tempuh? Tapi apakah kalian pernah berpikir, kalian hanya terus kembali ke permulaan, setiap kali menemui hal-hal yang melebihi apa yang telah kalian lalui. Maka jika hidupmu mulai terasa bajingan, jalani saja sebedebah mungkin. Sampai kau merasa tak ada satu pun manusia yang sama kisah denganmu.

Sebab, jika hidup memiliki batas, kenapa kau tak bersenang-senang?

Friday, July 31, 2020

Seandainya ...

No comments
Seandainya keadaan benar-benar kembali normal, aku ingin berjalan-jalan di kota raksasa itu. Melewati lorong bertiang-tiang hijau di Stasiun Gambir, tanpa memikirkan berita-berita yang masuk di posel. Menatap runcing Monas menusuk bulan di langit Jakarta yang kotor dari parkiran stasiun, tapi enggan melangkah mengunjungi tempat itu untuk berswafoto.

Seandainya keadaan benar-benar kembali normal, aku ingin memesan dua porsi Bakmi GM di Stasiun Gambir, lalu melahapnya di ruangan bebas merokok sedang hanya dua meter dari tempatku duduk ada papan tertulis "Dilarang Merokok". Sungguh kebebasan memang harus berbayar. Bahkan sering kali dengan nyawa.

Seandainya keadaan benar-benar kembali normal, aku ingin menyelipkan tiket-tiket terpakai di buku-buku yang kerap tak tuntas aku bacai. Kemudian melihat lembar demi lembar sawah yang tersisa dari balik jendela kereta api, dangau-dangau yang di sana ada orang sedang bersenda gurau, dan petani yang meniti jembatan kayu bergetar karena laju kereta.

Seandainya keadaan benar-benar kembali normal ...

Thursday, July 16, 2020

Pulang Kampung

No comments

Tiga puluh ribu kaki meninggi. Empat ribu kilometer mengudara. Hanya untuk satu kata: Ibu.

Apa jadinya ketika hal yang ikut kau tentang, akhirnya terpaksa harus kau jalani? Pulang kampung. Saya harus melintasi setengah langit Indonesia dari Timur menuju Barat. Kemudian melanjutkan lagi setengah perjalanan udara dari Selatan ke Utara.

Selama masa pandemi Covid-19, perjalanan pulang kampung memang cukup berbahaya. Apalagi ketika kita dari dan akan memijak wilayah-wilayah yang virusnya tengah mengganas. Seandainya Ibu tidak sakit, saya memilih untuk tetap mengurung diri di kamar kos. Bahkan lebaran kemarin, saya memutuskan tak pulang karena tahun baru kemarin saya baru dari kampung.

Perjalanan ke luar Papua cukup menguras energi dan saku. Tenaga bisa pulih, uang bisa dicari, tapi kesempatan merawat orang tua yang sakit tak ternilai. Saya yang bekerja di Jayapura dan tidak mengantongi Kartu Tanda Pengenal (KTP) Papua, harus mengikuti aturan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.

Syarat pertama bagi non-KTP Papua, saya harus membuat surat pernyataan untuk tidak kembali ke Papua selama setahun. Surat ini bisa dibikin sendiri, tapi ditanda-tangani di atas materai 6.000. Ini alternatif atau pilihan tercepat, daripada mengurus Surat Persetujuan Keluar Masuk (SPKM) yang harus melewati ruangan Sekretaris Daerah Pemprov Papua lalu Dinas Perhubungan Pemprov Papua. Jika mengurus SPKM butuh berhari-hari dan biasanya ini bagi yang ber-KTP Papua atau yang melakukan perjalanan dinas.

Saya yang berniat kembali Papua, memang bisa mengurus SPKM dengan menyertakan surat keterangan dari kantor. Tentu saja saya tidak akan sempat mengurusnya, sebab tiket pesawat sangat sulit mendapatkannya dan kebetulan tiga hari berikutnya, dengan dibantu seorang kerabat saya, kami berhasil mendapatkan tiket karena ada yang menunda perjalanannya. Saya dan dia yang tinggal di Boven Digoel, yang juga hendak pulang ke kampung yang sama, sempat berniat melalui jalur laut dan mengunjungi kantor Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) Jayapura, namun antrean panjang dan tiket cepat habis.

Kedua, saya harus melakukan tes cepat atau rapid test. Pukul 9 pagi, saya sudah berada di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) di Rumah Sakit (RS) Dok II Jayapura. Tapi pagi itu antrean seperti orang-orang ini sudah berdatangan sejak matahari baru saja semburat. Penuh. Biaya tes cepat di sini, berkisar antara Rp 150 ribu. Saya memutuskan melakukan tes di RS Provita. Di RS ini antrean tidak seular di Labkesda. Hanya beberapa orang saja. Setelah mengisi formulir, saya ditanyai tiket pesawat. Sebaiknya sebelum melakukan tes cepat, kita sudah memesan tiket pesawat atau kapal laut.

Setelah membayar Rp 400 ribu di loket, saya disuruh ke ruang lab untuk mengambil darah. Saya pikir, tes cepat hanya meneteskan darah di alat rapid dan hasilnya segera diketahui. Tapi di sini, saya diambil darah hampir setabung jarum suntik ukuran sedang. Tiga jam kemudian hasilnya diketahui. Saya sempat cemas, karena kondisi tubuh saya sedang dalam masa pemulihan karena sakit. Beberapa hari sebelumnya saya dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Dian Harapan, karena asam lambung naik. Awalnya saya mengira akan serangan jantung karena dada sakit dan sulit bernapas. Kata dokter, selain karena pola makan dan tidur tidak teratur, asam lambung naik juga dipicu stres. Berkurung diri di kamar selama berbulan-bulan dan dikabari orang tua sakit keras memang menambah beban pikiran. Beruntung, hasil tes cepat menyatakan saya nonreaktif.

Ketiga, syarat ini sudah jauh-jauh hari saya urus. Surat keterangan yang menyatakan Ibu sedang sakit, dari Kepala Desa Passi, tempat asal saya. Tapi karena pembatasan akses terus diperpanjang, surat ini baru bisa terpakai sekarang. Ibu juga memang kembali dirawat cukup lama hingga berminggu-minggu di RS.

Keempat, saya tinggal memfotokopi KTP yang ikut dilampirkan di surat pernyataan tidak kembali ke Papua. Bisa juga tiket ikut dicetak agar semua berkas menyatu. Tapi saya tidak mencetak tiket, nanti hanya menunjukkannya lewat email kepada petugas bandara.

Saat hari keberangkatan tiba, sebaiknya kita tiga jam sebelum berangkat sudah berada di bandara. Ini sebenarnya mungkin hanya berlaku di Papua. Karena penerbangan antardaerah Papua ikut dibuka, maka antrean memanjang. Saya direkomendasikan nomor seorang petugas di Bandara Sentani, oleh kerabat saya yang lebih dulu pulang sehari sebelum keberangkatan saya. Petugas bandara yang orang Papua ini, membantu saya membawa berkas-berkas untuk diparaf. Surat pernyataan harus ada paraf dari Dinas Perhubungan yang sudah menyediakan petugasnya di bandara.

Selanjutnya, kita harus bersabar untuk mengantre, karena ada sekitar 50-an orang berjajar untuk menunjukkan berkas mereka ke petugas Dinas Kesehatan. Semua dokumen kelengkapan akan diparaf dan dicap lagi. Serasa seperti sedang ke luar negeri lalu melewati pintu-pintu imigrasi. Sambil menunggu antrean, saya mengisi data di aplikasi eHAC Kementerian Kesehatan. Nanti barcode-nya akan di-scan di setiap bandara karena itu wajib diisi. Usai berlama-lama mengantre dan urusan selesai, suhu tubuh kita diukur dengan thermal scanner. Kemudian kita bisa melenggang bebas ke dalam bandara.

Saat mengurus boarding pass, kelengkapan berkas akan diperiksa lagi. Jika lengkap, maka kita bisa menuju ruang tunggu dan bernapas lega. Saat pesawat akan berangkat, saya kira semua urusan selesai. Ternyata masih ada satu formulir yang dibagikan petugas maskapai Garuda Indonesia yang saya tumpangi, untuk diisi. Penjelasan dalam formulir, tentang kelengkapan berkas saja selain kita kembali mengisi data pribadi. Kalau ada yang tidak lengkap kita harus menanggung semua risikonya, termasuk pembatalan penerbangan.

Bagian tengah kursi di pesawat sengaja dikosongkan untuk menjaga jarak antarpenumpang. Di sandaran kursi tertulis tagar #BecauseYouMatter. Karena penerbangan sore dan diperkirakan saya tiba di Makassar pukul 5 sore, saya tidak bisa mendapatkan tiket langsung ke Manado di hari yang sama. Tidak ada penerbangan malam. Penerbangan dari Jayapura ke Manado juga tidak ada, karena itu banyak yang harus ke Makassar dulu, lalu melanjutkan penerbangan ke daerah tujuan selanjutnya.

Hampir tiga jam mengudara dengan cuaca buruk, saya tiba di Makassar. Di Bandara Sultan Hasanuddin, kita disuruh mengisi formulir berwarna kuning atau biasa mereka sebut kartu kuning yang sudah disiapkan petugas, baru bisa ke luar bandara. Sebenarnya ini kalau sudah mengisi data di aplikasi eHAC, tinggal di-scan saja barcode-nya. Tentunya dengan menunjukkan kembali kelengkapan berkas termasuk hasil rapid test.

Saya segera mencari loket penjualan tiket di bandara, tapi semuanya tutup sore hari. Saat memesan hotel transit di bandara, untuk bermalam di Makassar, petugasnya membantu menghubungi kenalannya yang biasa menjual tiket. Saya mendapat tiket Citilink pukul 4 sore esok hari. Lion Air siang hari pelit jatah bagasi. Harganya juga hanya selisih 200-an ribu rupiah. Setelah memesan tiket, saya akhirnya bisa rebah di hotel transit yang harganya terjangkau, hanya 300 ribu rupiah semalam kita sudah dijemput dan diantar lagi ke bandara esoknya.

Pukul 1 siang keesokan harinya, saya sudah ke bandara. Di Bandara Sultan Hasanuddin ternyata ada pemeriksaan mirip di Papua. Meski antrean tidak panjang. Berkas kita harus diparaf lagi oleh Dinas Perhubungan dan Dinas Kesehatan setempat. Suhu tubuh diukur. Barcode eHAC di-scan. Lalu bisa masuk bandara.

Penerbangan dari Makassar ke Manado hanya sejam lebih. Saat tiba di Bandara Sam Ratulangi, bagi yang tidak mengisi eHAC harus mengisi data di formulir mirip kartu kuning di Bandara Sultan Hasanuddin. Barcode eHAC di-scan. Suhu tubuh diukur. Baru kita bisa keluar. Alangkah bahagianya ketika melihat lambaian tangan kawan dan kerabat saya yang datang menjemput. Akhirnya bisa tiba di Manado.

Namun perjalanan panjang belum berakhir. Sebab dari Manado menuju Kabupaten Bolaang Mongondow atau ke desa saya, masih menjalari daratan selama empat jam. Kami istirahat sejenak di rumah kerabat di Manado. Dua jam kemudian, kami pulang ke kampung.

Pukul 3 pagi, cuaca Eropassi yang berkabut menyambut ... 

Wednesday, July 1, 2020

Terima Kasih

No comments

Sa bersua dengan Hari Suroto ketika Festival Makan Papeda di Sempe, di Kampung Abar, Sentani, Kabupaten Jayapura. Kami mendaki punuk-punuk bukit di tepi Danau Sentani, untuk melihat lokasi di mana warga Abar biasa mengambil tanah liat untuk dibuat gerabah. Kampung Abar memang dikenal dengan kerajinan tangan dari tanah liat.

Hari bekerja di Balai Arkeologi Papua. Ia banyak tahu tentang apa yang purba di Papua. Sebelum bertemu kami memang saling bertukar nomor kontak dan email lewat rekomendasi teman. Ia kerap mengirim artikel untuk Jubi.

Kemarin, Hari mengirimi kami buku Ufuk Timur. Sa menduga ia sedang berada di Gorontalo, karena seingat sa ia berdomisili di sana. Tiga buku untuk teman-teman Jubi yang biasa berinteraksi dengan dia. Penulis buku Ufuk Timur, Christofel Paino, juga kawan sewaktu sa masih di AJI Kota Gorontalo. Chris memang pernah setahun di Papua, mengelilingi hutan Papua karena ia jurnalis lingkungan di Mongabay. Sampul kerennya dilukis kawan AJI Kota Gorontalo juga, Syam Terrajana, yang juga sesama editor dengan sa di Jubi. Jika buku dibentang tampak utuh Pulau Papua.

Buku ini bisa menjadi hiburan di masa penyembuhan, karena sa baru saja terbaring sakit. Pola makan dan tidur yang buruk, ditambah pikiran karena tak bisa pulang sedangkan ibu di kampung dirawat di rumah sakit, memicu Gastroesophageal reflux disease (GERD), penyakit kronik pada sistem pencernaan. GERD terjadi ketika asam lambung naik kembali ke kerongkongan. Cukup menyiksa. Sa sempat masuk IGD RS Dian Harapan karena sa pikir gejala-gejala serangan jantung. Dada seperti ditindih segalon air. Susah bernapas. Setelahnya demam, pun sakit tenggorokan ketika menelan makanan.

Sekarang, sa memasuki Era Rebus. Semua makanan dianjurkan yang direbus. Jagung, kentang, pisang, dll. Sa juga baru tahu, ketika makan kita tak boleh banyak meminum air karena membuat lambung susah mencerna makanan. Makanan harus dikunyah sampai hancur baru ditelan, apalagi jeroan. Makan dengan porsi banyak juga menyiksa lambung, alangkah baiknya makan dengan porsi sedikit tapi beberapa jam kemudian makan lagi. Berkali-kali asal porsi sedikit lebih baik daripada sekali makan dengan porsi banyak. Buah-buahan yang mengandung asam juga tidak dianjurkan seperti jeruk.

Alhamdulillah, sakit berangsur pulih. Terima kasih untuk keluarga dan teman-teman atas doanya. Juga kawan-kawan Jubi yang terus menyemangati sa. 

Terima kasih untuk Hari atas bukunya. Semoga kita berjumpa lagi ...

Sunday, June 28, 2020

Cipta

No comments
nabi-nabi berjudi
tuhan menari
manusia digembala
ke lantai dansa

Monday, May 18, 2020

Maaf

No comments

Seorang gadis jangkung berkulit gelap berjalan penuh keyakinan ke halaman sekolahnya. Sekumpulan anak laki-laki berkulit putih mengitarinya dengan menunjuk, tertawa, dan menjulurkan lidah. Ia terlihat tegar sampai ke ruang kelas yang menebal dengan kebiadaban. Udara di sana seolah-olah hanya berpusar di atas rambut keritingnya.

Sepotong kisah di atas, ada dalam montase film dokumenter "I Am Not Your Negro" yang saya tonton tahun lalu. Saya mengingat perca demi perca dalam film itu, sebaik ingatan James Baldwin—sang penulis naskah berkebangsaan Amerika Serikat—kala mengenang peluru-peluru menyasar dada-dada hitam sepertinya. Film ini berasal dari naskah asli berjudul "Remember This House" dan disutradarai Raoul Peck. Rilis di Amerika Serikat pada 3 Februari 2017.

James tak hanya berkisah tentang intimidasi dan kekerasan yang menimpa warga kulit hitam di Amerika, atau di kota kelahirannya di New York. Tapi ia menuliskan dengan sangat kelabu tentang pembunuhan tiga karibnya: Medgar Evers, Malcolm X, dan Martin Luther King, Jr. Tripel M ini ialah para revolusioner yang memperjuangkan hak-hak warga kulit gelap di Amerika Serikat. Mereka yang merelakan napasnya demi perjuangan kemanusiaan.

Berpulang pada 1987, di Saint-Paul, Prancis, kota yang kerap ia sebut sebagai tempat menepi agar ketika menulis tak lagi diitari rasa khawatir terus menerus, James Baldwin meninggalkan 30 halaman naskah "Remember This House". Sutradara Raoul Peck mengatakan buku James Baldwin ini tak pernah selesai. Bahkan ketika belum selesai, naskah ini sudah mampu menghancurkan hati siapa saja yang menontonnya, serupa cermin yang jatuh ke lantai.

Berpuluh-puluh tahun kemudian, ras kulit hitam mulai mendapat tempat di Amerika Serikat. Mantan Presiden Barack Obama menjadi bukti. Meski sampai sekarang, masih ada kasus kekerasan terhadap warga kulit hitam, namun tak ditemui lagi mayat-mayat yang terbakar atau bergelantungan di pepohonan.

Kendati dirundung duka berkali-kali, James Baldwin selalu mengusap dadanya, ketika ada permintaan maaf dari para pejabat publik, tentang kekerasan yang telah menimpa sesamanya. Raoul Peck cukup apik menghadirkan montase dari permintaan maaf para tokoh-tokoh ternama di Amerika Serikat. Dalam sebuah narasi, James Baldwin mengatakan apa pun yang berbicara tentang Amerika, ia tak akan pernah lepas dari mereka yang berkulit hitam. Barangkali, itulah makna dari judul naskah "Remember This House".

Jauh menjalar dari Amerika Serikat, viral sebuah video kasus bullying atau perisakan yang menimpa anak laki-laki bernama Rizal. Momo, sapaan karibnya ini, terjengkang dari sepeda tuanya, setelah seorang remaja laki-laki mengganggunya. Wadah dagangan kuenya ikut rebah di tanah lapang dengan sepedanya. Momo mencium rerumputan. Kabarnya ini terjadi di Pangkep, Sulawesi Selatan.

Menyusul gambar kedua dalam video, ia dihempaskan sekali lagi ke tepian beton di tanah lapang, oleh seorang remaja laki-laki. Apa yang menimpa Momo, diakui sudah sering terjadi meski ia kerap diam setelah sampai di rumah. Yang ingin ia kabarkan hanya soal jalangkote buatan ibunya laku terjual. Momo hanya ingin melihat ibunya tersenyum, sembari memendam apa saja perlakuan buruk terhadapnya.

Melihat videonya dibagikan beberapa kawan di media sosial, siapa saja yang berempati pasti ingin segera berada di samping Momo, untuk membelanya. Saya, kamu, kalian memang harus ada di sana. Kekerasan, apa pun wujudnya, harus ditentang agar kita tak terus berada di dalam lingkarannya. Kita harus memutus garis yang mengitarinya lalu keluar dari sana. Saya bertambah sedih setelah membaca tulisan orang Pangkep, kalau Momo juga menderita down syndrome.

Setelah melihat kejadian yang menimpa Momo, saya kembali membayangkan apa yang sering menimpa orang Papua. Mereka yang paling tertindas di negeri ini. Tapi apakah akan sama, empati kita kepada Momo dan kepada orang-orang Papua?

Maaf hanyalah sepatah kata. Namun ada semesta rasa yang bisa terungkap oleh kata itu. Bangsa kita, tak akan pernah lepas dari sejarah kekerasan sepanjang negara tak meminta maaf, serupa tontonan permintaan maaf pelaku yang merisak Momo, atau Youtubers yang menzalimi transpuan di Bandung. Di negeri yang saya cintai ini, terlalu banyak sejarah kelam yang butuh kata: maaf.

"Sejarah tak pernah berada di masa lalu. Sejarah ada saat ini. Ia terus mengikuti kita. Karena kita adalah sejarah itu sendiri." 

Kalimat dari James Baldwin itu terus terngiang-ngiang ...

Tuesday, May 12, 2020

Corona

No comments
Melewati masa pandemi virus corona ini tidaklah mudah. Apalagi ketika kita harus berpura-pura sedang baik-baik saja.

Kami di Kota Jayapura sudah sejak awal Maret 2020 dianjurkan tak keluar rumah atau kos-kosan. Sebagian orang terutama kami yang bermukim sementara di sini karena pekerjaan, yang rindu berjumpa dengan sanak saudara di kampung dan berharap sehat-sehat saja, tentu mau tidak mau harus mengurung diri. Sebagian orang-orang tetap beraktivitas seperti biasa.

Pekerjaan saya sebagai editor di Jubi.co.id. Sisa waktu dipergunakan menjadi kontributor di media apa saja, yang membuka peluang untuk proposal liputan. Sebelum wabah ini menjalar dari jarak ribuan kilometer lalu tiba-tiba hanya beberapa meter dari kita tanpa terlihat, saya dan seorang kawan coba mengirim proposal liputan untuk media luar negeri. Ada tiga proposal yang kami kerjakan dan menunggu disetujui. Tapi setelah wabah ini mendunia, terpaksa kami hanya bisa saling menjaga diri masing-masing. Liputan ditunda sampai ruang gerak benar-benar bisa leluasa.

Hampir setiap perusahaan termasuk yang bergelut di media, terpukul akibat wabah ini. Kami mulai merasakan dampaknya. Masalah-masalah mulai berdatangan. Gaji tertunda. Kami harus memikirkan bagaimana cara mencari uang, selain berharap pada bantuan teman-teman. Beruntung, ada beberapa kawan yang berbagi pekerjaan dan mengupah saya meski lembar rupiahnya hanya bertahan sehari dua hari di saku.

Pada akhir April, saat memasuki Ramadan, puasa dimanfaatkan untuk berhemat sehemat-hematnya hemat. Menu makanan bersulih rupa menjadi tempe, tahu, telur ayam, ikan kaleng, dan ikan asin. Sesekali ada daging ayam dan sayuran segar, hasil sumbangan beberapa kawan. Mi instan berbungkus-bungkus sebagai pengganjal perut diupayakan ada, begitu juga stok pangan lokal seperti ubi kayu. Alat-alat mandi dan kebutuhan ruang belakang lainnya harus tersedia. Kebersihan menjadi utama ketika yang kita lawan adalah karib dari yang jorok. Bahkan pakaian kotor tak boleh bertumpuk karena setelah dipakai harus segera dicuci. Saya benar-benar kembali merasakan arti sesungguhnya menjadi anak kos.

Bagi saya yang perokok, merasakan sepekan tanpanya menjadi keharusan. Pulsa data wajib karena pekerjaan mengedit berita harus mengakses internet, sekaligus sebagai hiburan berselancar di rimba digital selama terkurung. Beberapa teman dan kerabat sempat beberapa kali membantu untuk ini. Selebihnya, uang-uang honor dari menulis artikel disisihkan untuk pulsa internet, setelah uang listrik, beras, sembako, dan sebagainya terpenuhi.

Sewaktu gelombang protes Agustus 2019 kemarin, buntut dari rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya, kami memang harus berdiam di tempat tinggal masing-masing. Jalanan sepi sejak aksi-aksi protes di beberapa kota di Papua berubah menjadi api. Akses internet diputus. Hampir sebulan lebih. Tapi saat itu keuangan baik-baik saja, karena banyak sekali bahan untuk menulis laporan. Kantor-kantor perusahaan pun tak bermasalah. Satu-satunya kendala yakni akses internet untuk mengirim atau mengedit berita. Kami harus bergerilya mencari tempat untuk mengakses internet seperti hotel atau kafe. Paling sering dan lancar adalah di hotel-hotel, sebab jaringan internet mereka terkoneksi langsung dengan 'langit'.

Saat ini, setelah dua bulan berlalu dan tak ada tanda-tanda wabah ini mereda, saya benar-benar belajar bagaimana caranya mengikat perut. Sesekali melihat unggahan makanan orang-orang di medsos dengan air liur tertelan. Terutama unggahan orang-orang di kampung. Mereka tampaknya baik-baik saja, sedang kita yang berada jauh dari rumah hanya bisa menahan diri. Pulang, menjadi kata yang berbahaya. Bandara dan pelabuhan ditutup, dan kiriman barang tak akan pernah sampai ke sini. Saya harus memotong lidah untuk mencicipi masakan ibu dari kampung, karena pengiriman barang tak ada.

Untuk sekarang, medsos memang sangat menghibur, tapi sesekali menyiksa. Kita dilecut oleh hal-hal yang tak bisa kita tepis. Kita diracuni kepanikan oleh deretan angka-angka kematian di mana-mana. Sampai-sampai ketika melangkah ke toko atau warung, seolah-olah maut telah berada di ubun-ubun. Pengobat kekhawatiran berlebih ini hanyalah berusaha serajin mungkin memindai konten-konten lucu. Kita harus tertawa meski sedang menghadapi tragedi. Jika tidak, mungkin kegilaan sudah terdorong semakin dalam. Bahkan mimpi-mimpi buruk semakin sering hadir dan untungnya ingatan seperti itu cepat sirna.

Catatan-catatan kecil seperti ini mungkin penting kelak, sebagai pengingat jika kita selamat, bahwa ada bencana besar yang pernah kita lewati.

Sekarang sudah pertengahan Mei. Tinggal menghitung jemari menyambut Idulfitri. Tapi masih berapa lama lagi kita harus berjuang? Tentunya, tanpa berharap pada negara apalagi kebaikan bapak dan ibu kos.

Monday, April 27, 2020

Sembilan

No comments
Di matamu ada dua nisan terpancang: satu bertulis ibu, satu bertulis ayah. Masing-masing nisan hilang, setiap kali ada yang pulang. Lalu tumbuh lagi ketika ada yang pergi.

Monday, April 20, 2020

Bait-bait Yang Bicara

No comments
Kabut ialah tirai paling tipis yang dimiliki alam. Namun ia mampu menyembunyikan gunung.

Terang tak mengajarkan banyak hal. Tapi gelap menajamkan akal.

Memuliakan pagi tak melulu dengan kopi. Di luar sana ada embun yang tak perlu dibeli.

Sunday, April 12, 2020

Seandainya ...

No comments
Tepat di hari raya usia yang kebetulan seiring perayaan Paskah oleh kawan-kawan nasrani, saya terbangun dan menemukan berbagai bentuk ucapan. Saat membuka Instagram, WhatsApp, Facebook, dan Telegram, yang berserakan hanya kebahagiaan. 

Saya seketika membayangkan, di tengah pandemi global ini, seandainya setiap orang yang positif Covid-19, mendapat ucapan serupa dengan narasi berbeda-beda yang terus menyemangati mereka? Mungkin, stigma kepada mereka akan pudar. Yang ada hanya kebahagiaan membedaki langit-langit kamar mereka atau ruang di mana mereka dirawat. Mereka yang masih bisa mengakses ponsel mungkin bisa membaca setiap dukungan kita. Mereka yang berventilator dengan mata yang masih terbuka, mungkin bisa ditunjukkan oleh perawatnya bahwa di luar sana ada banyak orang yang menyemangatinya.

Kemarin saya membaca berita yang menuliskan Ikatan Dokter Indonesia tak mempermasalahkan jika data pribadi para pasien dibuka. Beberapa hari sebelum berita ini saya baca, saya dan seorang kawan sempat berbincang tentang ini. Bisa jadi, stigma kepada mereka yang suspect, PDP, ODP, dan segala deret istilah yang dilekatkan pemerintah kepada mereka, berandil menciptakan stigma itu, atau ketika para pasien diubah menjadi angka. Saya dan kawan ini pun bersepakat, bahwa data pribadi mereka memang tak perlu disembunyikan.

Penolakan-penolakan terhadap jenazah yang meninggal akibat Covid-19, menyiratkan bahwa sebagian orang belum benar-benar memahami apa yang mereka hadapi. Ketika melihat video-video pemakaman, saya bersedih bukan karena tak ada orang atau keluarga yang hadir, tapi karena beberapa di antaranya dimakamkan di sudut tanah lapang, seolah-olah terkucilkan hingga mereka berpulang. Apa tidak sebaiknya pemerintah menganjurkan agar jenazah bisa dimakamkan di pemakaman umum atau pemakaman keluarga berdampingan dengan orang-orang yang mereka kasihi. Lahan khusus pemakaman jenazah Covid-19 mungkin bisa dipakai jika sehari atau sepekan jumlah kematian mencapai puluhan.

Beredar pula video ketika seorang perawat perempuan melangkah keluar dari tempat tinggalnya menuju mobil yang terparkir. Di punggung jaketnya tertulis: ambulance. Ia terkejut ketika tiba-tiba suasana menjadi riuh. Gelegar tepuk tangan dari tetangganya, mengiringi niatnya untuk bertugas di masa-masa wabah ini mengancam setiap yang bernyawa. Wajahnya seketika memerah. Ia menangis. Peran-peran kemanusiaan seperti ini layak menjalar dari setiap jemari kita.

Setiap akun media sosial adalah bayangan wajah kita dalam cermin. Kita bisa memindai kepribadian atau masalah seseorang hanya dari unggahan mereka. Di masa-masa sulit seperti ini, kita bisa membaca kawan-kawan kita yang harus mengemasi meja kerja mereka, bukan karena harus bekerja di rumah, tapi karena di-PHK perusahaan tempat ia bekerja. Sebagian orang mungkin bersedih ketika mata pencaharian hilang begitu saja, tapi jauh lebih dalam, ada orang-orang yang lebih bersedih sebab kantor itu adalah tempat ia bisa berkarya. Tempat ia selama berminggu-minggu menyiapkan apa saja dengan penuh semangat.

Sebelum pandemi ini terasa mengintai kita lebih dekat, saya dan seorang kawan di sela-sela pekerjaan, coba menyiapkan usulan-usulan liputan untuk media lain. Hampir sebulan kami menyiapkannya. Saya sampai melakukan detoks media sosial atau menon-aktifkan beberapa akun hampir sebulan, agar fokus dengan pekerjaan ini. Sebagai jurnalis lepas, beginilah cara kami menyiasati agar saku kami tak melulu kosong. Tapi ketika pandemi ini tiba, semuanya tertunda. Beruntung ada saja kawan yang rela membagi pekerjaan mereka untuk kami kerjakan dan diupah.

Bukan hanya pedagang kaki lima, mama-mama penjual pinang dan penganan lokal, warung-warung makan, atau kedai-kedai kopi yang merasakan dampak buruk dari pandemi ini. Segala jenis usaha diliputi awan kelabu. Setiap orang mengecek isi dompetnya, rekeningnya, atau bahkan terpaksa membanting celengan mereka.

Setiap yang agamais juga diajak menepi. Barangkali, Tuhan memang ingin kita merenung, bahwa riuh doa di rumah-rumah ibadah kita yang berkilauan, atau di tanah lapang yang disesaki ribuan umat, tak sebanding ketika kita bersunyi-sunyi dengan-Nya dalam doa dan ibadah.

Seandainya kita bisa selamat dari pandemi ini, kita perlu sadar bahwa kita tak bisa hidup tanpa saling mendukung satu sama lain dalam kemanusiaan. Hal yang sebenarnya telah berkali-kali diajarkan orang-orang Papua kepada kita.

Friday, April 10, 2020

Bocah

No comments

Apa yang kau inginkan jika di hari ulang tahunmu, kau diberi satu permintaan keajaiban?

Aku ingin kembali menjadi bocah dan tak pernah tumbuh dewasa.

Usia yang paling aku impikan adalah ketika menjadi balita. Mungkin empat tahun. Karena ketika lima tahun, aku sudah mulai berseragam dan dipaksa bangun lalu mandi pagi. Pergi ke sekolah dasar tanpa melewati masa taman kanak-kanak, karena di usia lima aku sudah bisa membaca dan berhitung.

Kanak-kanak adalah masa keajaiban yang terampas saat kita perlahan-lahan tumbuh. Masa yang belum memikirkan tentang cinta, segala keributan orang-orang dewasa, atau keharusan untuk pergi bersekolah. Kita hanya hidup dalam dunia bermain.

Sesekali aku mencuri dengar kakak-kakak perempuanku berkisah tentang cinta monyet mereka di sekolah, sambil aku sibuk menghabiskan permen. Aku tak terganggu dengan kisah mereka, sebab yang ada di kepalaku hanya: apa yang harus kumakan setelah permen ini habis?

Aku termasuk anak yang dimanjakan karena bungsu dari banyak kakak. Mereka akan bergantian mencubit pipiku, memangkuku, atau membawaku pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah kujangkau. Tentu saja, ketika mereka memiliki sisa jajan sekolah, aku kerap diberi jatah meski tak pernah meminta. Pemilik warung-warung akan selalu tersenyum kepadaku, ketika kakakku membawaku berbelanja apa yang aku suka.

Nenek dari sebelah ibuku yang tinggal di rumah kami adalah idolaku. Nenek sering menyelipkan uang pemberian kerabat di gulungan sarungnya. Ia tak pandai berbelanja dan membagi uangnya kepada kami cucu-cucunya. Jika nilai uangku banyak, kadang kakak-kakakku kerap menipuku. Mereka akan berbelanja makanan ringan atau kue, lalu uang kembalian berlembar-lembar atau koin yang lebih banyak meski nilainya sedikit, akan mereka kembalikan kepadaku.

"Ini, uangnya jadi banyak, kan?"

Aku senang dan tidak merasa tertipu. Betapa menyenangkan menjadi anak-anak, bukan? Seandainya aku tumbuh dewasa dan menjadi seperti mereka, rasa-rasanya aku akan berbuat hal serupa.

Tapi kakak-kakakku kerap mengalah jika menyoal makanan. Bagi mereka, mulut mungil dan usus pendekku tentu membuatku lebih dulu kenyang. Sisa-sisa kue atau buah yang tak habis aku makan, selalu menjadi rebutan mereka. Aku kadang memutuskan kepada siapa sisa makanan kuberikan.

Semua hal di atas, tentu tak akan terulang lagi. Fisik kita terus bertumbuh, lalu berhenti ketika dewasa. Selanjutnya yang menjalar adalah pikiran dan hati. Kita mulai dikenalkan dengan cinta, sampai akhirnya menikah, lalu memiliki anak. Terasa aneh saat kita masih mengingat kenangan masa kanak-kanak, lantas melihat masa-masa itu dalam wujud berbeda dan kali ini ialah anak kita.

Mengenai percintaan, aku memiliki seorang kerabat laki-laki yang meski ia jauh lebih muda dariku, kami sering berbincang tentang dunia cinta. Aku kagum kepadanya, meski pernah sekali aku menyelamatkan kisah cintanya yang nyaris berakhir. Sampai suatu hari, kami tiba pada percakapan yang aku anggap puncak dari segala riuh sebuah hubungan.

"Kau tahu, kenapa banyak kawan-kawanku iri kepadaku?" katanya.

"Soal pacaran?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Mereka merasa iri, karena sedahsyat apa pun masalahnya, sampai aku ketahuan dengan cewek lain, pacarku tetap memilih bersamaku."

Aku kemudian ingat dengan beberapa film yang pernah aku tonton. Aku memaknainya bahwa sebuah hubungan yang berkali-kali diterpa badai namun bertahan olehnya, kelak hubungan itu akan sekokoh gunung. Bahkan ketika gunung menghancurkan dirinya sendiri, ia masih bisa disebut sebuah gunung.

"Seperti itu. Aku pikir, ketika masalah-masalah ini telah kami lalui, masalah berikutnya yang akan kami temui ketika menikah, hanya akan menjadi receh. Karena semua yang terberat sekalipun, berhasil kami lewati," katanya.

Itulah yang membuat aku kagum kepadanya. Ada banyak pasangan di luar sana, bahkan hidup bersama selama bertahun-tahun, baru mereka memutuskan untuk menikah. Mereka melewati dulu segala badai bersama, karena pernikahan bagi mereka begitu sakral untuk diakhiri dengan sebuah perpisahan.

Pacarmu adalah kawan terbaikmu. Nietzsche bersabda, "It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages."

Dua Pusara

No comments
Di matamu ada dua pusara terpancang: satu bertulis ibu, satu bertulis ayah. Masing-masing pusara hilang, setiap kali ada yang pulang. Lalu tumbuh lagi ketika ada yang pergi.

Thursday, April 2, 2020

Peludah Langit

No comments
Mungkin benar kata beberapa kawan, ada rasa senang ketika melihat satu demi satu penyembah rezim ini, jadi berguguran rasa percaya mereka ketika kasus pandemi Covid-19. Bagaimana saat pandemi dipolitisasi macam pilpres. Sentimen politik di sana-sini. BuzzeRp yang menebar rumor bahwa "lockdown" adalah siasat untuk menggulingkan pemerintahan, jika ekonomi kian terpuruk.

Sebagian media menyediakan panggung pula, kepada tokoh-tokoh yang mempercayakan kekebalan tubuh orang-orang bisa menangkal Covid-19. Mungkin maksud mereka kebebalan mulut. Sebab jika mempercayakan imun tubuh seseorang tanpa ada upaya pemerintah untuk mencegah, sama saja membuka arena tanding buat kita dan virus tersebut.

Belum lagi berbagai macam lelucon dari mulut-mulut yang nasib kita dipercayakan kepada mereka. Sapiens macam apa yang nyawanya dijadikan guyonan, tapi tetap memuja para peludah langit ini? Segelintir penyembah yang tetap percaya ini, telah bermuka-muka dengan fakta sedemikian terang. Namun mereka menyanggah, inilah contoh kaum bebal yang nyata-nyata menjadi budak politikus.

Tak akan berubah nasib suatu kaum, jika kaum itu mempercayakan hidupnya kepada orang-orang yang, sebenarnya tidak peduli dengan nasib mereka. Jelas sudah, akhirnya pandemi Covid-19 membersihkan mata kita dari lumut-lumut, yang selama ini sengaja dipelihara dan dipupuk oligarki. Terparah, ialah bidang kesehatan kita yang ternyata selama ini lemah.

Di saat-saat seperti ini, rasa-rasanya mereka yang paling berbahagia adalah orang-orang di pedalaman. Mereka yang tak menonton televisi, tak membaca berita atau mengakses internet, dan hidup mereka berjalan seperti tak pernah terjadi apa-apa. Mereka inilah yang kerap disebut orang-orang kota: primitif. 

Ada yang mengancam hidup mereka di pedalaman, tapi bukan pandemi. Melainkan virus oligarki yang sedang kalian puja selama ini. Dan sudah sebagian dari orang-orang pedalaman ini, telah merasakan bagaimana keserakahan menelan nyawa-nyawa mereka.

Tuesday, March 10, 2020

Bencana

No comments

Sesudah bencana, sebaiknya wartawan menghindari dulu mewawancarai keluarga korban yang meninggal. Apalagi bencananya baru kemarin, liputan soal kesedihan keluarga korban ditayangkan hari ini. Bayangkan perasaan keluarga korban ketika wartawan menggali-gali ingatan itu?

Saya jadi ingat ketika meliput bencana banjir bandang di Sentani tahun lalu. Korban jiwa ratusan dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Setelah hampir seminggu berada di Sentani, saya dan seorang kawan tidak sengaja bertemu seorang bapak, ketika menyusuri Kali Kemiri. Ini lokasi terparah. Bapak ini kebetulan berteman dengan kawan saya. Ia hendak melihat rumahnya yang telah hancur. Dan dia berkenan diwawancarai.

Saat bertanya tentang seekor anjing yang sering membuntutinya, saya sudah memikirkan angle liputan saya, tentang bagaimana ia dipertemukan kembali dengan anjing peliharaannya itu, yang terpisah selama beberapa hari. Tapi secara tidak sengaja lagi, pembicaraan kami yang mengalir begitu saja, bermuara pada kisah satu putri dan satu putranya yang terseret banjir. Putrinya meninggal. Putranya belum ditemukan kala itu. Meski angle dalam tulisan itu terhubung ke anjing miliknya, anjing pelacak, dan bangkai anjing yang ditemukan tim SAR, kisah tentang anak-anaknya juga terselip di sana.

Sejak ditayangkan, ada yang menelepon ke kantor menanyakan alamat bapak itu. Katanya mereka ingin memberi bantuan kepadanya. Namun selain memberikan bantuan, ternyata beberapa wartawan lain kembali mewawancarainya. Menggali-gali kembali lukanya. Saya jadi merasa bersalah.

Alangkah baiknya, jurnalis fokus kepada korban-korban yang membutuhkan bantuan, mencari tahu penyebab bencana, apakah lokasi atau kampung-kampung yang terdampak bencana punya sistem peringatan dini berbasis masyarakat, misal: memukul kentongan, meniup cangkang keong, dan lain sebagainya. Ini baik untuk mengedukasi masyarakat agar tanggap bencana di lain waktu.

Semoga kawan-kawan di Bolaang Mongondow dan Bolaang Mongondow Utara yang terdampak banjir bandang, bisa melewati dampak bencana ini dengan hati yang kuat.

Lekang

No comments
cinta berapi-api
lekas hilang
tak menua apalagi
bersanding liang

Saturday, January 18, 2020

Rahasia

No comments
paling rahasia
dari manusia
bukan diam
tapi binar mata
terpatah-patah
lalu padam

Wednesday, January 15, 2020

Gie

No comments
Aku tak pernah bersetuju dengan Soe Hok Gie ketika selarik puisinya berkata, "Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta."

Gie, ketika kau mencintai seseorang, apa yang ia rasakan akan berbeda dengan caramu mencintainya. Adalah sebuah kekhilafan jika kau menjadikannya: sama. Sebab perasaan, ialah kabut-kabut yang bertudung di bukit-bukit yang berbeda.

Wednesday, January 1, 2020

Las Vegas di Tanah Melayu

No comments
Perjalanan udara saya dari Jayapura - Jakarta - Kuala Lumpur - Bangkok - Singapura, lanjut berkendara bus menuju Melaka dan kembali ke Kuala Lumpur cukup melelahkan. Saya sempat demam ketika berada di Bangkok.

Ann yang sudah berkali-kali mengunjungi beberapa negara di Asia hanya menertawai saya, sambil berceletuk, "Bagaimana kalau keliling Eropa ya?"

Saya membalasnya, "Eropassi?"

Eropassi adalah penamaan kami untuk tanah lahir: Desa Passi. Karena cuacanya yang mirip Eropa. Kadang-kadang di desa kami bisa turun salju.

Saat kembali ke Kuala Lumpur dari Melaka, kami diajak mengunjungi Genting Highlands (selanjutnya ditulis: GH). Tempat ini adalah surga bagi para penjudi di Asia, kerap disebut pula sebagai Las Vegas di Tanah Melayu.

Saya mendengar saksama ketika Mel--guide kedua kami di Kuala Lumpur setelah Anwar--menjelaskan tentang GH. Mel adalah guide perempuan paling favorit. Ia humoris. Meski ia bertutur dengan bahasa Melayu, kami paham dan tertawa dengan leluconnya. Anwar sebenarnya juga ada sedikit lucu-lucunya yang malah tak disadarinya. Seperti ketika dia mengatakan kepada kami silakan beristirahat di bus selama perjalanan, nanti sampai tujuan akan dia kejutkan (bangunkan).

Dituturkan Mel, GH sebenarnya adalah proyek yang hampir tak mungkin. Bagaimana mungkin bisa membangun sebuah tempat yang bakal dikunjungi banyak orang, apalagi berada di pucuk-pucuk Pegunungan Titiwangsa.

Lokasi GH bisa ditempuh sejam lebih dari Kuala Lumpur. Tempat ini berada di perbatasan negara bagian Pahang dan Selangor. Saat kami menuju ke sana, hari sudah sore. Jadi, kata Mel, kabut sudah mulai meliputi pegunungan. Jika ingin melihat pemandangan dari puncak, memang sebaiknya berangkat pagi.

Saat bus mulai berkelok-kelok menanjak, Mel menunjuk hutan lebat yang sudah berusia ratusan tahun dan dilarang dirusak. Katanya, masih ada suku asli yang berdiam di sana, namanya suku Semang. Suku ini juga suka menghindar jika ada orang lain.

Menarik ketika Mel berkisah tentang Lim Goh Tong, pengusaha kaya raya dari Fujian, China, yang membangun GH pada awal 1960-an. Lim Goh Tong bertemu dengan Sultan Pahang kala itu, lalu menyampaikan niatnya untuk membeli lokasi itu. Sultah Pahang hanya tertawa dan bertanya-tanya apa yang bisa dibuat di atas gunung. Lalu sultan menjual lokasi itu kepada Lim Goh Tong.

Lim Goh Tong sempat berkongsi dengan dua menteri Malaysia. Namun saat proyek dimulai, berjatuhan korban tewas dari para pekerja, yang membuat dua menteri itu menarik modalnya. Lim Goh Tong tetap melanjutkan proyek itu. Usahanya berhasil. Ia menyulap lokasi yang berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut itu, menjadi Skytropolis. Sebuah pusat hiburan dan perbelanjaan yang ramai dikunjungi orang. 

Ada dua rute yang bisa ditempuh menuju ke GH. Darat dan udara. Kereta gantung atau Genting Skyway yang dinaiki menuju GH, saat ini merupakan yang tercepat di dunia dan terpanjang di Asia Tenggara.

Tak puas, Lim Goh Tong kembali memohon kepada Sultan Pahang agar bisa membangun kasino. Permintaannya ditolak. Judi dilarang. Tak kehabisan akal, ia membujuk sultan bahwa dijaminnya tak ada satu pun orang Malaysia bisa masuk ke kasino itu, hanya khusus untuk tamu-tamu dari luar Malaysia. Ia sekali lagi berhasil. Tempat itu menjadi Las Vegas-nya Malaysia. Kasino dioperasikan oleh Resorts World Bhd, anak perusahaan Genting Group atau Genting Bhd. 

Tak hanya itu, dijelaskan Mel, di GH dibangun pula sejumlah hotel di antaranya Hotel Genting, Hotel Highlands, Hotel Resort, Hotel Theme Park, Awana Genting, dan Hotel First World. Hotel yang terakhir disebut ini memiliki 6.118 kamar dan menjadi hotel kedua terbesar di dunia saat ini. Fasilitas lainnya ada theme park, lapangan golf, mal, simulator sky diving, hall konser dan masih banyak lagi.

Ratusan orang mengantre untuk naik kereta gantung menuju ke GH. Jika tiket premium, bisa lurus-lurus saja. Kami sepertinya hampir sejam berjalan mengular seperti game Snake di ponsel Nokia 3310.

Saat sampai di kereta gantung, kami bergegas masuk karena 'karpet terbang' ini hanya berhenti sekitar lima detik, lalu perlahan-lahan bergerak lagi. Tak ada yang bisa kami saksikan saat perjalanan itu. Hanya kabut dan gerimis. Sesekali ada lampu berkedip di tengah kabut pertanda kereta gantung berlawanan arah mendekat. Meski hanya kabut semata, saya menikmatinya. Seperti sedang melakukan perjalanan ke negeri dongeng.

Pada perhentian pertama kami diinstruksikan tidak turun. Di sana ada Kuil Chin Swee dan Masjid Yayasan Mohammad Noah. Jika ingin beribadah bisa turun. Kalau cerah, biasanya lokasi ini bisa disinggahi untuk berfoto-foto. 

Semenit, kereta gantung kembali bergerak. Hanya sekejap, kami sudah di perhentian kedua sekaligus yang terakhir. Saya hanya bisa terkesima. Lim Goh Tong memang gila.

Wahana indoor yang semarak lampu berwarna-warni bertebaran. Langit-langit gedung dipenuhi efek pencahayaan yang mempesona. Seolah-olah gedung itu tak bertembok karena dipenuhi layar LED raksasa beragam rupa. Beberapa di antaranya bertema Natal dan Tahun Baru. Kabarnya, wahana outdoor juga sedang dirancang versi terkini.

Jika ingin ke kasino, harus naik lift lagi. Kasino Genting Highlands menjadi World's Leading Casino Resort in Nov 2005  oleh World Travel Awards. Di pusat perbelanjaannya yang beratap langit, berbagai macam brand fashion ternama berjajar. Namun harganya lebih miring. Karena itu banyak yang datang berbelanja di sini. Orang-orang lalu-lalang di tengah kabut tipis yang turun.

Mel mengatakan Lim Goh Tong berpulang 23 Oktober 2007 pada usia 89. Makam pengusaha yang mengawali kesuksesannya dari tukang kayu itu, berada di kaki bukit yang bisa dilewati saat memasuki area GH. Sampai sekarang hartanya masih diperebutkan anak-anaknya. 

"Jadi orang susah pelik, jadi orang kaya pun pelik," kata Mel yang disusul tawa menebal di dalam bus.