Kamis, 23 Mei 2013

Selamat Tinggal Bali

Tidak ada komentar

Sabtu 25 Mei pukul 06:00 pm, akhirnya tiba juga waktu untuk kembali. Di sini, di Bali, terlalu banyak cerita, begitu banyak hingga kantongku penuh sesak dengan kisah-kisah. Tujuh bulan bukan waktu yang singkat. Petualangan di sini sudah seperti janin yang rasanya mau lekas keluar dan menikmati dunia lainnya.
Selama di sini, lumayan dapat tambahan list teman, jalan-jalan bersama, melancong sana-sini di terik matahari, dan melancung di suasana malam "Bali After Dark".
Sesekali ada beberapa teman dari Kotamobagu yang sempat bertandang ke sini. Bahkan kemarin teman sekampung yang juga sekadar berlibur kemari. Mencundangi rutinitas monoton mereka, lalu terbang menuju sorga dunia. Menghamburkan penat di udara dari ketinggian pesawat, mendarat di pulau ini dengan senyuman segar.
Sekali kau menginjakkan kaki di bandara Ngurah Ray, maka aroma dupa yang kau hidu adalah aroma yang dipenuhi mantra dan kau akan terus merasa untuk kembali lagi ke sini. Itu baru aroma dupanya, setelah kau menyaksikan panorama alamnya. Entah mungkin yang ada dalam benakmu hanya... ingin punya sebidang tanah dan rumah di atas sorga ini. Beranak-pinak dan selamanya memupus usia di sini.

Balinesia, ini negeri sorga. Jika sorga yang kelak dijanjikan untuk kita adalah serupa ini saja. Aku sudah cukup puas. Ini sepertinya negeri Tuhan. Melihat mereka, penduduk di sini dengan kearifan lokalnya yang terus terjaga. Pusaran doa yang tak pernah berhenti bergumam dari bibir-bibir mereka. Keseragaman warna pakaian sembahyang mereka dengan udeng terbungkus melingkar di kepala, tak ketinggalan sekuntum bunga kamboja terjepit di daun telinga. Jalanan yang selalu dipenuhi sesajen, dan rumah-rumah dengan bale tempat mereka bertukar cerita sehari-hari. Pemandangan seperti ini hampir setiap hari menggantung di pelupuk matamu. Mereka adalah pemuja dan penyembah Tuhan yang paling taat dan teratur. Aku pikir, Hindu adalah agama yang paling mempunyai estetika budaya.

Meski kota-kota lainnya di sini sudah tak purba lagi, seperti dalam catatan-catatanku kemarin. Tapi itu tak meninggalkan kesan akan budayanya yang begitu kental. Modernitas di sini selalu diimbangi dengan tetap menjaga kelestarian budayanya. Bali akan tetap purba meski jaman menggerusnya dengan lancang.

Aku berharap, bisa pulang dengan sebuah senyuman pula, seperti sewaktu pertama kali tiba di sini. Kisah-kisah yang terserak, dari mulai yang nakal, binal, dan jenaka. Ah, Bali.
Tak banyak yang ingin kubagi malam ini. Pulang, adalah kata yang selalu bisa menggerus sebuah petualangan. Rumah adalah sorga yang tak akan pernah bisa tergantikan. Dan kembali---pulang---ke rumah, menyongsong bulan suci Ramadhan bersama-sama dengan kedua orang tua kita, adalah rasa yang tak akan pernah tertebus oleh apapun itu.

Selamat tinggal Bali. Kembali lagi jika sebidang tanah sorgamu bisa kubeli.


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 17 Mei 2013

Hari Spesial

Tidak ada komentar
Kemarin seorang bayi laki-laki mungil hadir sudah di tengah keluarga baru ini. Pasangan keluarga Decky Prakoso dan keponakan perempuanku Sri Dindra Mokodongan. Mereka yang selama aku di Bali dengan baik hati berkenan menampung dan menjadi persinggahan sementaraku dari perjalanan ini. Akhirnya peluit untukku kembali, tertiup sudah. Tangis bayi mungil ini adalah pertanda bahwa aku harus kembali. Karena selama aku di Bali, kelahiran ini yang aku tunggu-tunggu. Sekadar melihat senyum malaikat kecil ini.

Setelah sebelumnya diprediksi akan terlahir normal mungkin tepat pada gerhana matahari cincin kemarin. Atau juga tepat pada pemilihan Gubernur Bali yang baru, tanggal 15 Mei kemarin biar momennya lebih terasa spesial. Akhirnya tanggal 16 Mei tepat pukul 15:30, bayi ini lahir dengan operasi caesar. Tak ada pilihan lain karena itu jalan yang terbaik. Tapi, untuk memprediksi bahwa kelahiran bayi ini jatuh pada momen gerhana atau pun pemilihan Gubernur, bagiku tak tepat. Karena sebenarnya kapanpun waktunya, harinya, bulannya, atau tahun kelahirannya, itu yang menjadi hal yang begitu spesial bagi kedua orang tua sang bayi. Detik itu tak akan pernah terbayarkan oleh kehadiran purnama, gerhana, bahkan oleh riang keramaian jutaan para pendukung kandidat Gubernur. Spesial selalu subjektif.

Sebuah proses kelahiran yang akhirnya dengan sehat walafiat kedua ibu dan bayi ini sekarang bisa menghirup oksigen gratis lagi dari Yang Maha Esa. Oksigen yang selama ini tak pernah kita sadari bahwa begitu besar nilai kasih Tuhan yang terkandung di antara udara yang melebur besama kehidupan kita. Dan setelah 9 bulan lebih dikandung, bayi ini akhirnya bisa menghidu aroma dunia. Datang ke kefanaan dengan telanjang dan tanpa berdosa. Hadir dengan kekosongan semacam lembaran kertas putih tanpa setitikpun noda. Satu keajaiban yang dianugerahi Tuhan kepada kita manusia. Keajaiban yang tiada tara.

Bayi mungil, coba kalau bisa kau lihat malam ini bulan di langit melengkung membentuk senyuman. Menyabit langit dan menyambutmu dengan keindahan malamnya. Meski bintang tak bertaburan pada malam ini. Bintang-bintang itu hanya menunggu untuk kau temukan nanti. Menunggu kau menggeledah langit, kemudian menemukan bintangmu. Jangan takut dengan dunia ini, karena miliyaran manusia telah membuktikan mampu berpijak di atas bumi ini. Kamu akan menjadi ksatria kelak.

Kemarin itu, aku menyaksikan pelukan-pelukan yang penuh arti. Melihat buliran air mata yang jatuh oleh kebahagian. Air mata oleh tantenya, oleh nenek, ayah dan ibundanya. Aku menyaksikannya dengan mata buram, karena mataku pun penuh tertutup air mata. Tak ada kalimat yang terlisan selain puji dan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Selamat datang keponakan baruku. Pamanmu ini yang mungkin tak akan sempat melihatmu tumbuh besar dan bermain dengan riang, meninggalkan satu hadiah mainan berupa miniatur motor kecil Ayahmu, untukmu.

Powered by Telkomsel BlackBerry®



Senin, 13 Mei 2013

Pondok Patah Hati

Tidak ada komentar
Awal September 2012, ada seorang pincang coba melaju di antara kerak-kerak bumi. Sesekali tersandung di antara bebatuan cadas yang mencuat dari tanah kemarau sebuah negeri. Ia ingin mencari sebuah jawaban atas pertanyaan yang mengungkungnya selama berbulan-bulan dalam kamar hitamnya. Pertanyaan yang sama pernah terlisan bertahun-tahun yang lalu. Siapa kita?

Tiga bulan sebelum ia merangsek beranjak dari ranjang itu. Ia terbaring karena musibah yang entah kenapa tak henti-hentinya menggerogoti jasadnya  dan karena kesialannya itu, julukan si Donal Bebek dilekatkan kakak perempuannya sejak mereka mempunyai hobby yang sama membaca komik-komik Paman Gober. Hampir semua koleksi komik Paman Gober milik kakak perempuannya dilahap dengan ketawa. Jelas saja, si Komikus pencipta bebek-bebek lucu itu berhasil menyusupkan rentetan cerita-cerita yang hingga sekarang masih tersimpan di memori jangka panjang mereka.

Lanjut... ke perjalanannya yang diawali dengan menunggangi beratus-ratus potongan besi yang membentuk seekor burung dan terbang mengalahkan teori gravitasi bumi. Seperti berat hanyalah sesuatu yang bisa dimodifikasi hingga bisa saling bersedekap dengan udara. Di atas sana, pemandangan yang ia lihat dari ketinggian sungguh indah. Awan-awan perak yang berarak-arak di hamparan benteng biru lazuardi langit. Pun samudera tenang serupa ubin biru mengkilat yang siap menanti jika saja potongan-potongan besi ini dilepaskan seketika oleh udara dari dekapannya. Jatuh lalu diketawai Newton. Terbang tanpa sayap kita sendiri itu... seperti baru saja menyetorkan nyawa kita dengan bayaran sejuta pula.

Sejam lebih saja, daratan tanah Daeng sudah terlihat datar di bawah sana, tampak seperti kita membuka google map di ponsel. Berpetak-petak, terkotak-kotak, semrawut, dan diiris meliuk-liuk oleh jalanan dan belataran sungai-sungai yang seperti irisan pisau seorang anak kecil di atas kue tart, anak kecil yang baru saja belajar memegangi pisau.
Burung besi ini pun mendarat empuk di atasnya. Sempurna.

Panas meruap seketika, ini kota yang bermatahari lebih dari satu, pikirnya. Jemputan dari saudaranya datang juga, seperti biasanya jika seseorang baru saja menyambangi sebuah kota baru. Kepalanya pasti menempel di kaca mobil dengan pandangan menyapu habis jalanan yang dilewati.
Tak selang berapa lama, tiba juga ia di satu areal perumahan. Hanya dua hari ia di sana, kemudian pamit dan berterima kasih atas kebaikan hati saudaranya yang berkenan menjemputnya di bandara, dan mau menampungnya selama dua hari.
Lalu ia segera mengabari teman-temannya, mereka yang menjadi tujuannya ke kota Daeng ini.
Jemputan kedua berlangsung di anjungan pantai Losari. Rama nama si penjemput itu. Baru kali ini ia bertemu dengan Rama, setelah sebelumnya mereka berdua sering komunikasi di BBM.

Dua jam, setelah mereka mampir dulu di Asrama Bogani, sebuah asrama yang dikhususkan untuk para pelajar dari Bolaang-Mongondow. Akhirnya mereka berdua sampai juga di kos-kosan anak-anak Kotamobagu. Kosan ini diberi nama PPH, akronim dari Pondok Patah Hati. Dari namanya bisa kita tebak, ada yang sedang patah hati lantas dengan segera melekatkan nama itu di kosan ini. Mungkin saja si pemberi nama sedang patah hati karena masalah-masalah kompleks dari sekumpulan mahasiswa yang hidup jauh dari rumah dan kampung halaman. Masalah belum dapat kiriman uang, masalah perkuliahan, atau mungkin masalah percintaan. Entahlah, tapi PPH adalah destinasinya, dan sekarang ia sudah berada di sana.

Hanya ada beberapa anak-anak kos di sini yang ia kenal dan sudah sering ketemu di Kotamobagu. Ada Galing, Ipay, Rizqi, Abol, dan Aan. Yang lainnya sudah berteman di BBM tapi baru sekarang berkesempatan bersua secara langsung. Si Sandry, Rian, Eky, Wawan, dan Oi. Ada juga Dito yang meluangkan waktunya dari Jakarta untuk bisa ke sini, juga Ipan yang karena terdorong fanatisme berlebihnya atas aliran musik yang diusung sebuah band ibukota bernama Noah yang dimotori Ariel dkk. Ia sempat diajak Ipan untuk menonton konser band Noah ini, menyaksikan euforia berlebihnya si Ipan ketika screaming melihat band pujaannya itu konser adalah pemandangan yang paling absurd di muka bumi (ini fitnah yang menyehatkan, ketawa).

Mereka ramah, humoris, interaktif, dan begitu cepat berbaur. Sehari dua hari saja, mereka sudah seperti kawan lama. Meski ada beberapa dari mereka yang masih butuh waktu untuk bisa saling mengenal lebih jauh. Mereka-mereka yang kosannya berbeda, tapi seringkali meluangkan waktu untuk berkumpul di PPH. Ada Andry yang diberi julukan Cecunguk karena seringkali kalah cepat menghitung jika sedang bermain 24 (permainan kartu dengan menjumlahkan secara cepat angka-angka di kartu hingga berjumlah 24), yang ini bukan fitnah. Juga ada Oky, Afra, Tessar, Regi, Tri, Iwan, dan Tiing.
Yang perempuan-perempuannya hanya Viny dan Puput yang sempat akrab dengannya, yang lainnya terlalu jarang mampir ke PPH. Hanya sesekali menongkrong sama-sama di Asrama Bogani, Mall, atau Pantai Losari. Indah, Ika, Ea, Rizi, Iga, dan Tirsa, tak terlalu akrab tapi jika sebuah senyum terlempar sudah dari paras-paras cantik mereka, itu sudah lebih dari cukup. Dan jika kita sedang berada di luar kota, bertemu dengan orang yang sedaerah, dengan sendirinya tali persaudaraan itu akan terjalin. Dan saling tegur sapa.

Soal pertanyaan yang membawanya ke sini. Jawaban dari sebuah pertanyaan yang ia cari itu hanya butuh waktu. Pertanyaan mengenai, siapa kita?

Dan di sini, ia mulai mempelajari awal mula kenapa pertanyaan itu ada. Filsafat bisa menjawabnya, atau mungkin sekadar membantu kita untuk bisa memahami. Kajian filsafat pun di mulai. Hanya butuh waktu 2 bulan untuk ia belajar di sini, karena itu dasar-dasar pengenalan filsafat saja yang ia pelajari, dilanjutkan dengan kajian tauhid, membaca buku, pula berdiskusi. Interval waktu yang sempit, juga diselang-selingi padat kesibukan mereka sebagai pelajar sekaligus pengajar, tapi toh akhirnya kajian itu tuntas juga. Dan menumbuhkan tunas-tunas pertanyaan baru lagi setelah itu. Tapi setidaknya, untuk sebuah jawaban atas pertanyaan, secawan gelas terisi air sudah, diteguk dan kembali kosongkan gelas untuk disiapkan menampung air lagi. Pertanyaan-pertanyaan di benak kita tak terhingga banyaknya. Terlalu banyak.

Seiring waktu yang begitu singkat ini, tiba saatnya untuk sebuah perpisahan lagi. Di suatu subuh yang senyap, ditemani Wawan yang bersedia mengantarnya ke bandara. Ia meninggalkan PPH dengan sedikit lega. Ada yang terjawab sudah di sini. Meski tak banyak tapi cukup membekalinya untuk melanjutkan perjalanan yang masih begitu panjang. Sebenarnya ia tak berpikiran untuk mencari kebenaran. Tapi ia sedang membenarkan cara berpikirnya.

Setelah bersalaman dan pamitan dengan Wawan, ia menitipkan salamnya juga buat teman-teman lainnya yang masih terlelap dibuai sepoi-sepoi belaian kipas angin. Makassar mataharinya memang lebih dari satu.
Pesawat mengudara, tapi bukan kembali, tapi ke Bali. Menjenguk pulau yang katanya sorga. Di negeri ini, adakah sorga itu? Batinnya...
Dengan wajah menempel di tebalnya jendela kaca pesawat, sebuah senyum terukir sudah di wajahnya.
Pertanyaan itu, siapa kita?
Kita makhluk berpikir, karena itu kita bertanya... Siapa kita?
Di Pondok Patah Hati, ia datang dan pergi tanpa sedikit pun patah hati.

Powered by Telkomsel BlackBerry®









Jumat, 03 Mei 2013

Kopi “Nuklir” Kotamobagu

Tidak ada komentar
Saya menetap di Bali sekarang. Sudah sejak bulan November tahun 2012 lalu. Pada awal Januari tempat wisata terakhir di Bali yang belum saya kunjungi adalah Kintamani. Daerah puncak dengan pemandangan Danau Batur dan Gunung Batur.

Setelah melakukan perjalanan kurang lebih hampir tiga jam. Udara sejuk itu mulai terhidu, meski masih sangat siang karena saat itu jam baru menunjukan pukul 13:00, kabut yang meruap tampak mulai menyarukan pemandangan di bawah sana.

Di tengah udara yang dingin ini satu hal yang paling cepat melesak dalam pikiranku adalah secangkir kopi. Selain tujuanku kemari untuk menyaksikan panorama alam ini, lidahku ingin merasakan gigitan kopi Kintamani yang katanya cukup menggigit layaknya gigitan anjing Kintamani.

Di sebuah rumah makan yang posisinya terletak paling di atas, namanya rumah makan Gunawan (entah kenapa namanya tidak 'kebali-balian'), kami selonjoran sembari pandangan menyapu segala yang memesona di depan mata. Kabut yang sesekali datang, kemudian hilang kembali entah kemana.

Kata orang-orang sini, pada pukul 15:00 nanti, kabut itu akan menutupi pandangan kita hingga malam menjelang. Untunglah masih tersisa dua jam untuk kami berpuas diri. Pesanan kopi Kintamani datang juga, tapi ini bukan kopi Luwaknya, hanya kopi biasa yang kalau dilihat warnanya cukup hitam pekat. Kopi ini dibuat dengan air yang dijerang bersamaan dengan kopi dan gula. Mirip dengan caraku membuat kopi Kotamobagu di rumah.

Setelah menyeruput sebelum keburu dingin, karena udara di sini cukup cepat membuat makanan dan minuman hangat menjadi beku sekejap. Sekali seruput, rasa pahitnya menyeruak menebal di dinding langit-langit mulutku. Rasa manis yang hadir belakangan, kemudian mengalir hangat melewati tenggorokan dengan rasa yang begitu sempurna. Rasanya tak perlu ke surga. Setiap menikmati minum kopi, pikirku adakah tanaman ini di surga kelak.

Tapi satu hal yang membuatku merasa istimewa adalah sekejap saja tubuh saya seperti berdislokasi, dari puncak Kintamani ini, lalu bertukar tempat kembali ke kota asalku, Kotamobagu. Rasa kopi ini memetik momen-momen di mana saya masih berada di sana.

Di salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Utara, kabupaten Bolaang-Mongondow adalah tempat lahirku. Kotamobagu dulunya adalah nama Ibukota Kabupaten ini, tapi setelah pemekaran terjadi, Kotamobagu kini menjadi Kotamadya atau Kota, karena untuk sekarang istilah Kotamadya telah dirubah menjadi Kota. Kemudian Ibukota Kabupaten berpindah tempat di kota Lolak, salah satu kota di pinggiran pantai di daerah utara. Sedangkan Kotamobagu adalah kota yang jauh dari pantai dan dikelilingi pegunungan, ada satu gunung yang paling mencuat dari sekian banyak barisan gunung dan perbukitan, Gunung Ambang namanya. Dan desa saya, desa Passi berada di daerah puncak. Dari desa kami bisa terlihat pemandangan kota Kotamobagu terhampar luas. Hanya butuh sepuluh menit untuk turun ke kota.

Dulu kopi Kotamobagu ini adalah tanaman yang wajib ditanam oleh penduduk sini, di desaku saja masih ada sebagian penduduk yang tetap mempertahankan tanaman kopi peninggalan jaman penjajahan Belanda itu.

Ada satu kisah yang sangat menohok hatiku, cerita ayahku bahwa di setiap lesung yang terparkir di rumah-rumah penduduk, di dasar ceruk lesung selalu dikasih plakat dari tembaga yang berguna agar penjajah waktu itu bisa mengetahui kalau kita, telah memakai lesung itu untuk menumbuk sendiri biji kopi atau padi. Dan siapa saja yang ketahuan akan dihukum tembak mati.

Bayangkan saja, untuk menikmati secangkir kopi saja nyawa menjadi taruhan. Di hitam cangkir kopi kita sekarang, selalu ada cerita kelam dan perjuangan dibaliknya. Ada kisah penindasan juga kisah heroik yang tenggelam di hitam kopi. Karena dengan tindakan sewenang-wenang penjajah saat itu, bangkit jiwa untuk melawan dari rakyat.

Minuman kopi pun bisa menciptakan sebuah revolusi. Sebagian dari kita mungkin tahu, bahwa di setiap rovolusi yang terjadi di dunia, ada gelas-gelas kopi yang ikut andil menghadirkan buah-buah pemikiran. Minuman ini purba dan bersejarah.

Sesudah masa kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, hingga kini kopi Kotamobagu masih tetap bertahan dari segala perubahan jaman. Dari mulai hanya tanaman kopi yang wajib ditanam di lahan belakang rumah atau di lahan perkebunan penduduk setempat. Meski banyak juga yang telah menggantinya dengan tanaman yang lebih menjanjikan seperti tanaman vanilli dan cengkeh, karena waktu itu harga vanilli dan cengkeh sempat melambung tinggi.

Tapi, hingga sekarang tanaman kopi ini  masih terus kokoh menancapkan akar purbanya di daerah kaki Gunung Ambang yang saya sebutkan tadi di atas, tepatnya di kecamatan Modayag, desa-desa di kecamatan ini masih menjadi pusat penghasil kopi Kotamobagu terbanyak di daerah ini. Desa seperti Purwerejo dan Liberia, juga desa-desa lainnya.

Mungkin bagi orang Jawa nama desa Purwerejo tak begitu asing di telinga. Karena memang di kecamatan Modayag ini ada beberapa desa yang menjadi daerah transmigrasi penduduk dari pulau Jawa. Mereka turut melestarikan tanaman kopi ini hingga sekarang. Kopi Kotamobagu adalah jenis kopi arabica, tumbuh pada ketinggian 600-2200 m di atas permukaan laut, di kaki dan punggung Gunung Ambang yang menjulang jangkung.                

Kopi Kotamobagu ini sudah go International dan menjadi minuman dalam acara gala dinner antara pemerintah Republik Ceko dan Kedutaaan Besar Indonesia di sana. Menjadi trade mark provinsi Sulawesi Utara, kopi Kotamobagu menjadi satu-satunya produk kopi pilihan dan cukup berkualitas di Sulawesi Utara yang tidak kalah dengan jenis kopi-kopi lainnya di Indonesia ataupun di dunia. Meski kita tahu bahwa soal cita rasa mungkin lebih bersifat objektif, tapi untuk bisa berkomentar lebih anda harus mencoba kenikmatan kopi Kotamobagu ini.

Ada kedai kopi di Kotamobagu yang sekarang cukup populer meski tempatnya agak kecil layaknya kedai-kedai kopi biasa. Terletak di Desa Sinindian yang tak jauh dari pusat kota Kotamobagu. Tepat di depan lapangan sepakbola desa Sinindian. Tak sulit untuk menemukannya karena kota ini tak terlalu besar. Namanya juga mirip dengan nama tempat minum kopi di kota Manado yakni Jarod (jalan roda).

Tapi ini bukan sederetan kedai-kedai kopi, tapi hanya satu kedai kopi saja. Mungkin hanya meminjam kepopuleran nama Jarod, tapi menurutku sebaiknya nama kedai kopi itu adalah Kedai Kopi Abak (sebutan di sini untuk orang tua yang artinya sama dengan sebutan 'Abah'), karena Abak adalah pemilik dan sekaligus menjadi peramu minuman kopinya cukup familiar juga di seantero kota Kotamobagu.

Kedai kopi ini dilengkapi juga dengan koneksi jaringan internet wi-fi, dengan dipungut biaya langganan hanya Rp 10.000 setiap bulannya untuk perorangan. Abak tak ketinggalan zaman meski usianya hampir menginjak 50 tahun. Selain untuk menarik pelanggan, Abak cukup tahu apa yang dibutuhkan orang-orang saat ini untuk bisa mengakses informasi selain tumpukan koran di meja rotannya.

Banyak mahasiswa dan wartawan yang sering mangkal di sini. Atau segelintir orang yang ingin duduk minum kopi sembari bertukar cerita. Sesekali juga ada pejabat-pejabat kabupaten yang berkesempatan datang dengan para wartawan di sini, kemudian berbincang-bincang soal isu-isu hangat perkembangan politik di daerah ini, pun di negara ini. Untuk secangkir kopi dan roti bakarnya, harganya cukup murah meriah karena uang limabelas ribuan tak akan tandas di kantongmu.

Sebenarnya selain di kedai kopinya Abak ada beberapa tempat tongkrongan lainnya juga yang menyajikan minuman kopi di kota ini tapi tak sepopuler tempatnya Abak. Mungkin karena rasanya yang khas mampu meringkus hasrat orang-orang untuk selalu kembali ke sini. Kopi ini dibikin dari sejuta pengalaman hidup Abak dengan cerek kopinya.

Cara membuatnya pun begitu sederhana karena cukup menjerang air dengan campuran kopi Kotamobagu dan gula yang hanya Abak sendiri tahu takarannya. Karena orang-orang yang datang sibuk berdiskusi begitu pun juga saya. Jadi komposisinya tak begitu saya ketahui dan biar saja menjadi rahasia perusahaannya Abak. Minuman itu tersaji begitu cepat dan cekatan seperti bukan seorang tua renta yang membikinnya.

Sempat saya berpikir, jika Abak nanti mangkat, posisinya akan digantikan oleh siapa, karena tak pernah saya lihat ada orang lain di sana selain tubuh ringkih tapi cekatan ini. Semoga saja Abak selalu dianugerahi kesehatan dan umur panjang agar kami masih tetap bisa menjadi bala seruputnya. Satu yang Abak tak bisa lakukan adalah menahan tidur dengan lebih lama, pukul 01.00 lewat tengah malam ia sudah dibuat menyerah oleh kantuknya. Dan kami pun memakluminya.

Hingga hari ini saya cukup lega karena meski telah menetap di Bali, tapi masih saja sering dikirimi kopi Kotamobagu oleh keluarga saya. Tapi untuk minum kopi sepertinya meski kita meminum kopi jenis apapun, selalu ada hal yang istimewa di setiap rasanya. Ada keselarasan antara rasa pahitnya yang begitu intim melebur dalam hitamnya. Minuman yang selalu membuat kita tenang dan berpikir positif, membuat otak kita berputar dan selalu segar.

Pernah saya membaca bukunya Dewi Lestari, Filosofi Kopi. Di situ saya bersama seorang teman tergerak hati kemudian berencana ingin membuka rumah kopi sekaligus rumah baca di kota Lolak. Kami memilih kota itu karena selain tak ingin bersaing dengan kedai kopinya Abak, atau kalah bersaing dengan Abak, lahan di sana yang akan digunakan untuk membangun rumah kopi itu adalah satu-satunya lahan yang tersedia dan milik teman saya. Selain untuk menghemat biaya yang akan keluar nanti dengan tidak perlu menyewa tempat atau lahan. Tapi nanti sekembalinya kami dari perjalanan mengelilingi Nusantara untuk bertemu sejuta barista. Teman saya pun masih akan menyelesaikan studinya di kota Makassar. Semoga saja terwujud. Karena apapun soal minuman yang satu ini, itu adalah mimpi yang menunggu untuk diaduk kemudian disajikan bahwa mimpi itu ada dan bisa terwujud jika kita berkemauan keras.

Pikirku, jika saja presiden Korea Utara dan Korea Selatan mau meluangkan waktu untuk duduk bersama ditemani cangkir-cangkir kopi. Mungkin saja tidak akan ada peperangan itu. Karena sebenar-benarnya seni perang telah dianalogikan secara sederhana oleh secangkir kopi. Dari dua sisi, pahit dan manis. Dikotomi antara hitam dan putih tak perlu ada. Secangkir kopi telah memadukan keduanya menjadi sesuatu yang begitu nikmat. Bahwa pahit dan manis hanyalah dua rasa yang bisa disinergikan dan menjadi minuman yang begitu nikmat. Bukankah hidup ini untuk dinikmati. Dan perang dalam diri manusia adalah bagaimana kita mampu mengendalikan diri kita kemudian bisa hidup damai dalam segala bentuk perbedaan. Keseimbangan hidup ada dalam secangkir kopi, dan seni perang dari segala perang bisa kita rasakan ketika menyeruput minuman ini. Seni perang adalah kedamaian.

Secangkir kopi adalah mimpi. Hitamnya adalah warna pembuka kita saat bermimpi. Hari ini, mau pagi, siang, sore atau malam. Saya masih berkesempatan beranjak untuk sekadar menjerang segelas air, dengan dua sendok kopi Kotamobagu, satu sendok gula pasir "Persia", diaduk melawan atau pun searah jarum jam hingga uapnya berfatamorgana. Kopi "Nuklir" Kotamobagu siap diseruput. Meledak begitu nikmat di dalam mulut. Lengkaplah sudah komposisi hari ini. Sederhana.

Artikel ini saya kirim di http://www.minumkopi.com/