Ada yang menggelinjang di dalam dada saat dikabari Papa Attar (sapaanku buat Ahmad Alheid) sedari pagi kemarin, kalau ia akan berkunjung ke Kotamobagu untuk sekadar bertemu, bertepuk dada dan merangkul punggung kawan purbanya Katamsi Ginano yang saat ini sedang mudik Lebaran Qurban.
Aku bakalan ketemu sekaligus dengan para "Dewa" tinta ini, pikirku. Juga dengan istri dan putra semata wayangnya Papa Attar: Rini dan Attar. Aku memanggil anak ini "Attar si Penyair" sebab namanya yang mirip penyair sufi dari Persia. Melihat Attar jadi ingat Abang dan Ateng putranya Amato Assagaf yang, kemarin malam ikut begadang dengan kami di Rumah Kopi Korot.
Mereka, adalah "kebetulan-kebetulan" lainnya yang Tuhan Maha Kebetulan remah-rotikan di takdir hidupku. Cerita kisah mereka tinggal kupunguti satu-satu dan kukantongi. Selalu kusimpan untuk membantu menuntunku ke arah pulang kelak. Aku jatuh cinta dengan cara Tuhan mempertemukan kami. Direkatkan lewat tulisan yang menggetah. Getah Semesta.
Akhirnya, KG dan KG ketemu juga. Inisial KG yang pertama untuk diriku sendiri, Kristianto Galuwo. Sedangkan KG yang kedua untuk Katamsi Ginano.
"Nah, ini dia baru da cumu-cumu tadi, umur panjang skali ni Sigidad," ujarnya yang terbahasa klasik dan digagap-gemakan beberapa orang lainnya. Batinku menyahut; ini dia si empu blog Kronik Mongondow yang serupa penyakit kronis bagi para pejabat "nakal" di BMR.
Kami pun bersalaman, disusul kepalan tinju kanannya menantang akrab. Kuseruduk saja dengan kepalan childhood-ku. Tak lupa kucondongkan badanku ke samping kanannya, berjabat tangan dengan Papa Attar yang juga telah lebih dulu hadir di sana. Lanjut bersalaman dengan Abang Uling (sapaku untuk Musly Mokoginta) yang ternyata turut larut juga bersama mereka. Sementara yang lainnya, coba kulemparkan senyum satu-satu dan terbalas akrab.
Setelah dipersilakan duduk, kusapu sekeliling sekali lagi. Jarod meriuh dengan para awak media. Pembicaraan mereka yang sempat terhenti dilanjutkan. Bang KG (sapaku untuknya) dengan gaya serupa konduktor memimpin orkestra menarikku masuk ke cerita dan membaur seketika. Gestur tubuhnya menghidupkan opera di bilik bambu Jarod. Pun guyonan ala Bang KG yang versi verbalnya baru kini bisa kudengar, menggelitik urat tawa kami.
Larut luruh kami mendengar sabdanya. Dari kisah para penulis cerpen tenar lengkap dengan perjalanan hidup mereka yang tak terduga, seperti A.S Laksana dan buku kumpulan cerpennya Bidadari Yang Mengembara, dan ternyata adalah kawan baiknya. Hingga ke negeri Matahari menemui Eiji Yoshikawa dengan karya besarnya Musashi. Tak lupa wejangan bagi kami para pewarta yang masih liat.
Waktu kami reriungan di Jarod habis. Tapi tidak dengan malam ini, selanjutnya kami ditawari untuk bersantap bebek di rumahnya Syarif, salah satu kawan akrab mereka yang tadi juga duduk bersama kami. Setelah saling bertukar buku dengan Papa Attar yang meminjami aku buku: Elemen Elemen Jurnalisme, Bill Kovach & Tom Rosenstiel, kami bergegas merapat ke rumahnya Syarif.
Bang KG, Papa Attar, dan Syarif lebih dulu jalan. Dan ternyata ada tugas yang lumayan mengucurkan keringat menunggu mereka di sana. Rumah tetangga Syarif yang berdampingan dan baru saja akan dibangun, nyaris saja kebakaran.
Kami menemukan mereka dan beberapa rekan lainnya yang berjibaku memadamkan kobaran api, masih mengitari lokasi. Tampak tumpukan arang kayu berserakan masih mengepulkan asap, dan sisa jelaga menjilati dinding pagar pembatas rumah yang terbuat dari atap seng.
Di depan rumah, sambil menyeka keringat Papa Attar bercerita kepadaku; "Kitorang turung di got di muka situ ba timba aer tadi, Bang Tamsi yang lebe dulu lari ka blakang kong ba sirang."
Mendengar cerita Papa Attar dengan napas memburu, meminjam sedikit kata-kata Dewi Lestari: tampaknya selain menulis, gali kubur, narik becak, pekerjaan memadamkan kebakaran sangat membutuhkan asupan kalori yang cukup tinggi. Salut untuk sikap heroik mereka.
Setelah lelah mendaras kasus kebakaran itu. Lapar mengerang. Kini ada yang menggoda di meja makan: ubi rebus dan bebek rampah-rampah RW. Bulir-bulir keringat turun bersamaan dengan senda gurau kami yang duduk melantai di ubin dingin.
Keadaan terus sama hingga kami menandaskan segala apa yang di atas meja makan. Kemudian melanjutkan cerita yang bahkan sempat menyentuh wilayah langit Ilahi. Posisi duduk kami yang melingkar di lantai, bersila, selonjoran, dan jika saja ada beberapa nyala lilin, kami lebih mirip sekte sesat yang sedang melakukan ritual sambil mendengar rapalan mantra-mantra dari rahib.
Iblis pun disebut-sebut malam itu. Aku teringat sebuah cerita yang pernah kubaca (aku lupa judul bukunya) tentang iblis. Iblis ini kondisinya tengah sekarat. Seorang pendeta yang tak sengaja berjumpa dengannya, kemudian terkesiap dan mengeluarkan pedang. Pendeta akan membunuhnya. Iblis berkata tunggu, sebelum membunuh, biarkan ia bercerita banyak. Iblis kemudian bertutur panjang lebar tentang betapa penting arti dirinya bagi kehidupan, bagi manusia, dan juga bagi si pendeta. Iblis bertanya, "Katakan padaku wahai pendeta, apakah yang akan mendorongmu untuk tetap beribadah, jika aku mati kelak?" pendeta kebingungan menjawabnya dan akhirnya memutuskan untuk menyelamatkan si iblis. Ia membasuh luka iblis dan membopongnya ke tempat di mana ia bisa dirawat.
Yang kuingat dari cerita di atas hanya penulisnya saja, Kahlil Gibran. Jika diinisialkan maka ia KG yang ketiga.
Masih banyak lagi topik pembicaraan malam itu. Dan... waktu yang mempertemukan, waktu pula yang menyentil erat jabat agar jangan terlalu lama menggenggam. Setelah itu, apalagi yang bisa ditawarkan oleh waktu dan "kebetulan" lainnya?
Tepukan Bang KG di pundakku sembari melafadzkan sepotong kalimat suci: "Teruslah menulis, itu hidupmu" membikinku menggigil seperti ketika Ahmad pertama kali mendengar ucapan Jibril. Antara baca dan tulis. Keduanyalah yang membedakan kita dengan makhluk Tuhan lainnya di muka bumi. Superioritas kita sebagai manusia.
Kembali kepalan tinju diarahkan. Kemudian pintu geser mobil menutup pelan dengan jendela kaca yang masih terbuka. Teriakku; "Tu oto bagus pake ba culik akang Bang!" dan disahutinya, "Memang itu!"
Bang KG melaju dengan mobil itu, membelah malam Kotamobagu dan kembali pergi mencuri jutaan kata yang, siap dirajutnya menjadi selimut agar tidurnya tetap selalu lelap. Sebab apa yang paling berharga dalam hidup adalah: saat kita mampu membuat nyaman diri kita, meski itu hanya dengan sehelai selimut usang.
Damai di bumi
Damai di langit
Damai kami sepanjang hari.
Aku bakalan ketemu sekaligus dengan para "Dewa" tinta ini, pikirku. Juga dengan istri dan putra semata wayangnya Papa Attar: Rini dan Attar. Aku memanggil anak ini "Attar si Penyair" sebab namanya yang mirip penyair sufi dari Persia. Melihat Attar jadi ingat Abang dan Ateng putranya Amato Assagaf yang, kemarin malam ikut begadang dengan kami di Rumah Kopi Korot.
Mereka, adalah "kebetulan-kebetulan" lainnya yang Tuhan Maha Kebetulan remah-rotikan di takdir hidupku. Cerita kisah mereka tinggal kupunguti satu-satu dan kukantongi. Selalu kusimpan untuk membantu menuntunku ke arah pulang kelak. Aku jatuh cinta dengan cara Tuhan mempertemukan kami. Direkatkan lewat tulisan yang menggetah. Getah Semesta.
Akhirnya, KG dan KG ketemu juga. Inisial KG yang pertama untuk diriku sendiri, Kristianto Galuwo. Sedangkan KG yang kedua untuk Katamsi Ginano.
"Nah, ini dia baru da cumu-cumu tadi, umur panjang skali ni Sigidad," ujarnya yang terbahasa klasik dan digagap-gemakan beberapa orang lainnya. Batinku menyahut; ini dia si empu blog Kronik Mongondow yang serupa penyakit kronis bagi para pejabat "nakal" di BMR.
Kami pun bersalaman, disusul kepalan tinju kanannya menantang akrab. Kuseruduk saja dengan kepalan childhood-ku. Tak lupa kucondongkan badanku ke samping kanannya, berjabat tangan dengan Papa Attar yang juga telah lebih dulu hadir di sana. Lanjut bersalaman dengan Abang Uling (sapaku untuk Musly Mokoginta) yang ternyata turut larut juga bersama mereka. Sementara yang lainnya, coba kulemparkan senyum satu-satu dan terbalas akrab.
Setelah dipersilakan duduk, kusapu sekeliling sekali lagi. Jarod meriuh dengan para awak media. Pembicaraan mereka yang sempat terhenti dilanjutkan. Bang KG (sapaku untuknya) dengan gaya serupa konduktor memimpin orkestra menarikku masuk ke cerita dan membaur seketika. Gestur tubuhnya menghidupkan opera di bilik bambu Jarod. Pun guyonan ala Bang KG yang versi verbalnya baru kini bisa kudengar, menggelitik urat tawa kami.
Larut luruh kami mendengar sabdanya. Dari kisah para penulis cerpen tenar lengkap dengan perjalanan hidup mereka yang tak terduga, seperti A.S Laksana dan buku kumpulan cerpennya Bidadari Yang Mengembara, dan ternyata adalah kawan baiknya. Hingga ke negeri Matahari menemui Eiji Yoshikawa dengan karya besarnya Musashi. Tak lupa wejangan bagi kami para pewarta yang masih liat.
Waktu kami reriungan di Jarod habis. Tapi tidak dengan malam ini, selanjutnya kami ditawari untuk bersantap bebek di rumahnya Syarif, salah satu kawan akrab mereka yang tadi juga duduk bersama kami. Setelah saling bertukar buku dengan Papa Attar yang meminjami aku buku: Elemen Elemen Jurnalisme, Bill Kovach & Tom Rosenstiel, kami bergegas merapat ke rumahnya Syarif.
Bang KG, Papa Attar, dan Syarif lebih dulu jalan. Dan ternyata ada tugas yang lumayan mengucurkan keringat menunggu mereka di sana. Rumah tetangga Syarif yang berdampingan dan baru saja akan dibangun, nyaris saja kebakaran.
Kami menemukan mereka dan beberapa rekan lainnya yang berjibaku memadamkan kobaran api, masih mengitari lokasi. Tampak tumpukan arang kayu berserakan masih mengepulkan asap, dan sisa jelaga menjilati dinding pagar pembatas rumah yang terbuat dari atap seng.
Di depan rumah, sambil menyeka keringat Papa Attar bercerita kepadaku; "Kitorang turung di got di muka situ ba timba aer tadi, Bang Tamsi yang lebe dulu lari ka blakang kong ba sirang."
Mendengar cerita Papa Attar dengan napas memburu, meminjam sedikit kata-kata Dewi Lestari: tampaknya selain menulis, gali kubur, narik becak, pekerjaan memadamkan kebakaran sangat membutuhkan asupan kalori yang cukup tinggi. Salut untuk sikap heroik mereka.
Setelah lelah mendaras kasus kebakaran itu. Lapar mengerang. Kini ada yang menggoda di meja makan: ubi rebus dan bebek rampah-rampah RW. Bulir-bulir keringat turun bersamaan dengan senda gurau kami yang duduk melantai di ubin dingin.
Keadaan terus sama hingga kami menandaskan segala apa yang di atas meja makan. Kemudian melanjutkan cerita yang bahkan sempat menyentuh wilayah langit Ilahi. Posisi duduk kami yang melingkar di lantai, bersila, selonjoran, dan jika saja ada beberapa nyala lilin, kami lebih mirip sekte sesat yang sedang melakukan ritual sambil mendengar rapalan mantra-mantra dari rahib.
Iblis pun disebut-sebut malam itu. Aku teringat sebuah cerita yang pernah kubaca (aku lupa judul bukunya) tentang iblis. Iblis ini kondisinya tengah sekarat. Seorang pendeta yang tak sengaja berjumpa dengannya, kemudian terkesiap dan mengeluarkan pedang. Pendeta akan membunuhnya. Iblis berkata tunggu, sebelum membunuh, biarkan ia bercerita banyak. Iblis kemudian bertutur panjang lebar tentang betapa penting arti dirinya bagi kehidupan, bagi manusia, dan juga bagi si pendeta. Iblis bertanya, "Katakan padaku wahai pendeta, apakah yang akan mendorongmu untuk tetap beribadah, jika aku mati kelak?" pendeta kebingungan menjawabnya dan akhirnya memutuskan untuk menyelamatkan si iblis. Ia membasuh luka iblis dan membopongnya ke tempat di mana ia bisa dirawat.
Yang kuingat dari cerita di atas hanya penulisnya saja, Kahlil Gibran. Jika diinisialkan maka ia KG yang ketiga.
Masih banyak lagi topik pembicaraan malam itu. Dan... waktu yang mempertemukan, waktu pula yang menyentil erat jabat agar jangan terlalu lama menggenggam. Setelah itu, apalagi yang bisa ditawarkan oleh waktu dan "kebetulan" lainnya?
Tepukan Bang KG di pundakku sembari melafadzkan sepotong kalimat suci: "Teruslah menulis, itu hidupmu" membikinku menggigil seperti ketika Ahmad pertama kali mendengar ucapan Jibril. Antara baca dan tulis. Keduanyalah yang membedakan kita dengan makhluk Tuhan lainnya di muka bumi. Superioritas kita sebagai manusia.
Kembali kepalan tinju diarahkan. Kemudian pintu geser mobil menutup pelan dengan jendela kaca yang masih terbuka. Teriakku; "Tu oto bagus pake ba culik akang Bang!" dan disahutinya, "Memang itu!"
Bang KG melaju dengan mobil itu, membelah malam Kotamobagu dan kembali pergi mencuri jutaan kata yang, siap dirajutnya menjadi selimut agar tidurnya tetap selalu lelap. Sebab apa yang paling berharga dalam hidup adalah: saat kita mampu membuat nyaman diri kita, meski itu hanya dengan sehelai selimut usang.
Damai di bumi
Damai di langit
Damai kami sepanjang hari.
No comments :
Post a Comment