M Fahri Damopolii |
Penggalan dialog itu dikutip dari novel "Candide", karya termasyhur Voltaire, yang ditulis pada tahun 1751 di tengah zaman yang penuh optimisme. Yang menarik dari novel ini adalah cara Voltaire menyajikan itu. Bahwa ruang optimisme yang pada akhirnya muncul ke permukaan, diraih dengan sederet rasa pesimis. Bahwa pelita adalah omong kosong ketika tak pernah ada ruang gelap. Dan orang-orang mungkin benar; dalam setiap optimisme, ada se-titik keraguan.
Kita mungkin tak pernah tahu dalam batas apa ketika optimisme harus mekar, dan di titik mana ketika keraguan datang meredup. Tapi broadcast BBM yang saya terima Sabtu siang pekan lalu, dari Buyung Algiffari Potabuga, seorang sahabat di ujung Timur Bolmong Raya, cukup menggugah rasa, pun menohok harapan sekaligus ilusi; "Jika Bukan Provinsi BMR Maka Kami Negara BMR". Di dalamnya ada pengumuman terbuka—untuk tak menyebut radikal—dari para pemuda yang menuntut pembentukan Provinsi Bolmong Raya, hingga batas menghibahkan nyawa. Singkatnya; jika Provinsi Bolmong Raya tidak direstui Pemerintah Pusat, elemen pemuda ini akan memperjuangkan BMR menjadi Negara sendiri, meski nyawa adalah taruhan.
Gaung provinsi Bolmong Raya memang sedang menggema, merasuk, mencumbu tiap insan Mongondow—tak terkecuali kaum muda, yang telah butuh waktu cukup panjang menggantung asa di atas langit ketidakpastian. Saya, yang hampir 13 tahun lalu, pernah menuliskan pemekaran wilayah Bolmong Raya, pun ketika itu tak bisa mangkir dari rasa itu; bercengkrama dengan ketidakpastian, sekaligus ilusi. Sebuah ketidakpastian memang mengandung optimisme dan keraguan, termasuk ilusi.
Tapi perjuangan panjang untuk membentuk Provinsi Bolmong Raya; dari wacana, konsepsi serta aksi, terutama dari Panitia Pemekaran Provinsi Bolmong Raya yang mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat, telah cukup membungkam ilusi. Yang tersisa kemudian adalah rasa optimis, meski keraguan masih saja tak bisa ditelungkup. Dan kita tahu setiap perjuangan adalah perhelatan, dan tiap perhelatan menghadirkan panggung bagi siapa saja untuk menggelar eksistensi.
Aksi hibah nyawa yang digagas teman-teman dari wilayah Bolaang Mongondow Timur, bagi saya juga adalah sebuah panggung dengan segala rupa eksistensi yang hendak dipertontonkan. Rasa optimis dan pesimis sering membuka ruang bagi orang-orang untuk melahirkan laku, bahkan nekat. Dan keduanya sering saling mendesak diantara panggung-panggung yang tersedia. Tak kala sebagian besar orang optimis atas kunjungan tim DPOD ke Kota Kotamobagu untuk memantau kesiapan calon ibu kota provinsi, lengkap dengan gegap gempitanya panggung yang tersaji, di timur Bolmong Raya pesimisme hadir dengan panggung yang cukup menghentak, menuntut, mengancam—juga menggugah, yang dicetus kaum muda. Dari ujung timur itu mereka berteriak tentang ketidakpastian. Di sana mereka menggagas sebuah cita-cita. Di sana mereka menghibah nyawa sambil menggelegar; Merdeka atau Mati!
Hibah nyawa tentu bukan perkara sembarang. Kita tahu nyawa tak pernah dipajang di etalase pertokoan atau dijual ecer di lapak pedagang. Sebagaimana kita tahu juga anak-anak muda memang penuh dengan letupan jiwa, bahkan misteri ketika mereka hendak menghentak sebuah panggung. Mungkin untuk itu Chairil Anwar lantang berteriak; "Sekali berarti sudah itu mati". Bisa jadi karena itu pula Voltaire mengatakan; "anak-anak muda itu belum diajar oleh usia menua, dan belum mau berbagi keinsafan tentang kelemahan manusia". Tapi bukankah setiap panggung yang tersaji harus tetap dihargai? Termasuk panggung yang digelar seorang Buyung Algiffari Potabuga; "Di jalan ini tiada tempat berhenti, sikap lamban berarti mati. Siapa bergerak dialah yang di depan, yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas. Kami tak perlu mengemis mata orang lain untuk melihat, kami melihat dunia dengan mata kami sendiri. Itulah semboyan perjuangan kami".
Panggung ketidakpastian memang sering mengguncang, bahkan jika nyawa menjadi syarat utama suksesnya sebuah pentas. Yang belum—dan mungkin sering lalai—kita sadari adalah; apakah dengan taruhan nyawa dan "Abrakadabra" optimisme seketika menjulang tinggi? Ataukah kematian bisa jadi peretas jalan menghilangkan keraguan. Bukankah dunia ini hanya sementara? Termasuk manusia-manusia didalamnya dengan pemikiran maupun tindakan yang juga sementara. Dan kesementaraan ini pula yang sering kali menyebabkan sebuah panggung yang menghentak bisa tiba-tiba bisu, tanpa suara, tanpa gerak, tapi membekas jejak—bertahan atau ditinggalkan.
Tak kala wartawan Colombia, Eduardo Santos diusir dari negerinya di penghujung tahun 1955, Albert Camus menuliskan sebuah kalimat; "Di hari-hari ini kemerdekaan tak punya banyak sekutu". Namun ikhtiar harus terus dikedepankan; "You can't cross the sea merely by standing and staring at the water", kata Rabindranath Tagore. Dan mengutip penyair Edgar Allan Poe; "Hari ini aku memakai rantai ini, dan aku di sini. Besok aku akan lepas—tapi di mana?". Semoga masih di sini, di Indonesia.
Oleh : M. Fahri Damopolii
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment