Dulu ia pernah menjadi aib, tapi sekarang ia adalah segala iba. Aku menamainya Sigi, akronim dari nama panjangnya, Sistha Ghasyafani.
Tiga tahun sudah Sigi meliar di lorong-lorong dekat rumahnya. Digendong, dibiarkan berlari, terjatuh dan tersungkur di kerikil-kerikil yang tega. Sigi selalu bangkit meski dengan jerit tangis, tapi satu bujukan permen selalu membikinnya kembali tersenyum.
Setahun aku tinggalkan, membuatnya semakin berjarak denganku. Hanya disaat Sigi pulas, aku bisa memeluknya, menciuminya dengan leluasa. Sigi sangat "mahal" sekarang, mungkin itu sebuah harga yang pantas kubayar, sebab aku tak pernah ada disaat ia ingin mengenali wajah seorang ayah.
Sigi memiliki dua wajah. Mirip wajah ibunya saat keduanya sedang foto bersama. Dan mirip wajahku disaat ia berfoto denganku. Anak ini lihai berpose. Itu bakat dari ibunya. Kukira iya.
Sigi tak mau tahu dengan sekelilingnya tadi. Ia hanya ingin menangis saat mimpinya direnggut, karena dibangunkan hanya untuk meniupi lilin di kue ulang tahun. Kalau soal tidur yang tak mau diganggu, mungkin ini bakat dari ayahnya. Iya.
Sigi, wajahmu begitu kusut tadi. Aku ingin mengungkai rautmu, menyulamkan kembali menjadi senyum indah. Aku ingin mengacak-ngacak keriting rambutmu dan ingin mendengar tawamu. Meski hanya sekali, tawamu selalu terngiang abadi.
Tadi, saat menciuminya. Napasnya memburu seakan ingin mengejar kembali mimpinya. Ah, Sigi, tidur lagi saja. Yang Maha Tak Tidur masih mau memberi kita usia untuk bersua lagi.
Terima kasih untuk satu kecupan engganmu tadi. Itu sudah lebih dari cukup. Tidurlah lagi. Dan selamat ulang tahun yang ke-3. Jangan pernah dewasa...
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Sunday, April 27, 2014
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment