Yang akrab dengan manga (komik Jepang) apalagi yang berlatar Ninja, pasti familiar dengan sebutan Shinobi. Shinobi atau Ninja, yang ingin saya hubungkan dengan suatu wilayah rentan rusuh, Dumoga.
Saya mendengar seorang kawan pernah melontarkan kalimat itu, "Dumoga, negeri para Shinobi," Sebulan yang lalu, jauh sebelum Doloduo dan Ikhwan saling terkam dalam rusuh tarkam pekan lalu. Pun disusul bentrok antara desa Imandi dan Tambun, dan kini dilanjutkan pula seteru yang melibatkan tiga desa. Ibolian, Tonom, dan Mogoyunggung.
Memang warga Dumoga identik dengan perangai yang keras sebab terbiasa hidup keras. Hampir sebagian penduduk Dumoga yang bermata pencaharian sebagai penambang tradisional, liar, dan seringkali tak segan mengorbankan nyawa untuk berebutan lokasi tambang, hingga terbisiklah istilah "Baninja" dari kuping ke kuping, mereka yang rela mati demi suap nasi untuk bini dan anak mereka. Terlepas dari persoalan sengketa wilayah tambang, kini betrok mulai disebabkan oleh hal-hal sepeleh, yakni pemuda-pemuda yang mabuk.
Bicara soal ninja, tak banyak memang dari para ninja-ninja Dumoga ini memiliki ninjutsu, keahlian seni beladiri di atas rata-rata, bahkan santer terdengar ilmu beladiri mereka yang tak bisa dilogiskan pun sempat menjadi ketakutan di antara para ninja-ninja lainnya. Selain kelihaian mereka memainkan samurai tentunya.
Saya ingin mendedah sedikit soal rusuh tarkam antara Doloduo dan Ikhwan. Soal penembakan aparat kepada enam orang warga yang di antaranya ada dua orang ibu rumah tangga. Sungguh tragis. Peluru yang menembus payudara ibu. Payudara yang menyusui putra-putri Dumoga. Meski dengan alasan prosedural, kenapa moncong senapan tak kalian arahkan ke kaki duluan? Melumpuhkan.
Ibu-ibu yang melahirkan putra dan putri Dumoga tak pernah ingin keturunan mereka meliar seperti sekawanan serigala. Tapi alam dan keadaan yang mendidik mereka. Air susu dari puting payudara dua ibu yang terluka oleh terjangan peluru dari aparat, tak pernah berharap otak anak-anak mereka terganggu oleh sebab gizi yang mereka asup dan membaur di air susu membikin otak anak-anak mereka bebal. Dan tentu saja, dua ibu itu tak pernah menyadari, akan diterjang oleh peluru-peluru nyasar. Sebab apapun yang nyasar, pasti selalu tentang ketidaktelitian.
Saat gejolak konflik ini merembet ke desa-desa lainnya yang juga sudah cukup mainstream kita dengar seperti bentrok antar Imandi dan Tambun, juga Ibolian dan Tonom berlanjut. Sikap pihak keamanan yang dengan sigap berjibaku menentramkan konflik, mulai awas dengan kejadian penembakan sebelumnya. Semua memang tak ingin "perang", dan kala api temu bensin, yang harus menyiapkan setimba air itu siapa?
Dalam kasus ini, saya bukan menyalahkan aparat kepolisian yang mengamankan rusuh tarkam. Siapa pun tak setuju dengan perbuatan tak memanusiakan manusia lainnya. Tapi mampukah para pihak keamanan ini bersikap netral? jika kita telaah lebih cerlang, bahwa bentrok yang terjadi selalu antara dua penganut agama yang berbeda.
Tentunya kita tak ingin di negeri Totabuan ini, sampai pecah konflik yang dilatarbelakangi oleh konflik antar agama. Solusi yang terbaik, kenapa tak menggiatkan kegiatan-kegiatan yang mempersatukan tali persaudaraan? semisal membiasakan setiap hari-hari besar masing-masing agama, agar saling turut membantu keamanan di hari-hari perayaan itu. Mari kita ciptakan kembali budaya gotong-royong. Anak-anak sedari usia dini dididik agar saling menghargai desa tetangga, dan tentunya penganut agama yang berbeda.
Sekejam-kejamnya para Shinobi, di saat sebelum membunuh, coba ditatap kembali dengan seksama lagi binar mata korban. Rasakan kehidupan di sana dan maknai bahwa kita adalah sesama manusia yang, untuk apa saling tengkar. Apalagi sebab yang selalu didasari hal sepeleh: karena alasan mabuk, teriak, dan raungan bising knalpot racing.
Saya sungguh prihatin dengan konflik yang terjadi di Dumoga. Dan jika benar kalian para Shinobi sejati, kenapa tak kalian gunakan keahlian kalian dengan sebuah prestasi? Atau kenapa tak banyak merekrut calon polisi ataupun TNI dari warga Dumoga?
Ah, ini bumi jika terbelah dua dan yang di antaranya hanya langit. Manusia akan tetap menyeberanginya untuk berperang. Kalian di Dumoga bukan bodoh, tapi tak mau belajar untuk membuka diri dengan perbedaan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Saya mendengar seorang kawan pernah melontarkan kalimat itu, "Dumoga, negeri para Shinobi," Sebulan yang lalu, jauh sebelum Doloduo dan Ikhwan saling terkam dalam rusuh tarkam pekan lalu. Pun disusul bentrok antara desa Imandi dan Tambun, dan kini dilanjutkan pula seteru yang melibatkan tiga desa. Ibolian, Tonom, dan Mogoyunggung.
Memang warga Dumoga identik dengan perangai yang keras sebab terbiasa hidup keras. Hampir sebagian penduduk Dumoga yang bermata pencaharian sebagai penambang tradisional, liar, dan seringkali tak segan mengorbankan nyawa untuk berebutan lokasi tambang, hingga terbisiklah istilah "Baninja" dari kuping ke kuping, mereka yang rela mati demi suap nasi untuk bini dan anak mereka. Terlepas dari persoalan sengketa wilayah tambang, kini betrok mulai disebabkan oleh hal-hal sepeleh, yakni pemuda-pemuda yang mabuk.
Bicara soal ninja, tak banyak memang dari para ninja-ninja Dumoga ini memiliki ninjutsu, keahlian seni beladiri di atas rata-rata, bahkan santer terdengar ilmu beladiri mereka yang tak bisa dilogiskan pun sempat menjadi ketakutan di antara para ninja-ninja lainnya. Selain kelihaian mereka memainkan samurai tentunya.
Saya ingin mendedah sedikit soal rusuh tarkam antara Doloduo dan Ikhwan. Soal penembakan aparat kepada enam orang warga yang di antaranya ada dua orang ibu rumah tangga. Sungguh tragis. Peluru yang menembus payudara ibu. Payudara yang menyusui putra-putri Dumoga. Meski dengan alasan prosedural, kenapa moncong senapan tak kalian arahkan ke kaki duluan? Melumpuhkan.
Ibu-ibu yang melahirkan putra dan putri Dumoga tak pernah ingin keturunan mereka meliar seperti sekawanan serigala. Tapi alam dan keadaan yang mendidik mereka. Air susu dari puting payudara dua ibu yang terluka oleh terjangan peluru dari aparat, tak pernah berharap otak anak-anak mereka terganggu oleh sebab gizi yang mereka asup dan membaur di air susu membikin otak anak-anak mereka bebal. Dan tentu saja, dua ibu itu tak pernah menyadari, akan diterjang oleh peluru-peluru nyasar. Sebab apapun yang nyasar, pasti selalu tentang ketidaktelitian.
Saat gejolak konflik ini merembet ke desa-desa lainnya yang juga sudah cukup mainstream kita dengar seperti bentrok antar Imandi dan Tambun, juga Ibolian dan Tonom berlanjut. Sikap pihak keamanan yang dengan sigap berjibaku menentramkan konflik, mulai awas dengan kejadian penembakan sebelumnya. Semua memang tak ingin "perang", dan kala api temu bensin, yang harus menyiapkan setimba air itu siapa?
Dalam kasus ini, saya bukan menyalahkan aparat kepolisian yang mengamankan rusuh tarkam. Siapa pun tak setuju dengan perbuatan tak memanusiakan manusia lainnya. Tapi mampukah para pihak keamanan ini bersikap netral? jika kita telaah lebih cerlang, bahwa bentrok yang terjadi selalu antara dua penganut agama yang berbeda.
Tentunya kita tak ingin di negeri Totabuan ini, sampai pecah konflik yang dilatarbelakangi oleh konflik antar agama. Solusi yang terbaik, kenapa tak menggiatkan kegiatan-kegiatan yang mempersatukan tali persaudaraan? semisal membiasakan setiap hari-hari besar masing-masing agama, agar saling turut membantu keamanan di hari-hari perayaan itu. Mari kita ciptakan kembali budaya gotong-royong. Anak-anak sedari usia dini dididik agar saling menghargai desa tetangga, dan tentunya penganut agama yang berbeda.
Sekejam-kejamnya para Shinobi, di saat sebelum membunuh, coba ditatap kembali dengan seksama lagi binar mata korban. Rasakan kehidupan di sana dan maknai bahwa kita adalah sesama manusia yang, untuk apa saling tengkar. Apalagi sebab yang selalu didasari hal sepeleh: karena alasan mabuk, teriak, dan raungan bising knalpot racing.
Saya sungguh prihatin dengan konflik yang terjadi di Dumoga. Dan jika benar kalian para Shinobi sejati, kenapa tak kalian gunakan keahlian kalian dengan sebuah prestasi? Atau kenapa tak banyak merekrut calon polisi ataupun TNI dari warga Dumoga?
Ah, ini bumi jika terbelah dua dan yang di antaranya hanya langit. Manusia akan tetap menyeberanginya untuk berperang. Kalian di Dumoga bukan bodoh, tapi tak mau belajar untuk membuka diri dengan perbedaan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment