Saung Layung Arus Balik. Lahir dari rahim semesta. Sebuah manifestasi dari kesadaran kolektif akan pentingnya pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan yang membebaskan.
Saung Layung Arus Balik ialah bentuk tangkisan tatkala hegemoni budaya populer membombardir sendi-sendi masyarakat kota dan pedesaan lewat asupan tontonan-tontonan yang hampir tidak memiliki nilai edukasi dan tak bergizi.
Saung Layung Arus Balik adalah semangat. Luapan gairah untuk menyelamatkan generasi muda dari gerus jaman yang kian beringas. Layaknya Jugernault, jaman modern melahap setiap manusia yang berpayung kebodohan. Mencernanya dan memuntahkannya kembali bersama jutaan orang gagal dan putus asa di atas muka bumi. Hidup di lantai terbawah --- terdalam dari sebuah kota, tak pernah nampak mereka ada. Bahkan tak terpikirkan.
Di lindap subuh yang sepi. Sebagian anak terbangun tepat pukul 05.00. Mereka bersujud untuk menunaikan tugas sebagai mahluk Tuhan. Saat itu belum ada yang tampak beda pada anak-anak ini. Tunggu hingga mereka mulai duduk di samping meja makan untuk sarapan; mengisi penuh perutnya dengan nasi, daging, serta susu. Sementara yang lain sedang memakan singkong, pisang, dan segelas air putih untuk disesap.
Ada anak yang berseragam merah putih lengkap dengan topi dan dasi. Sementara anak yang lainnya bangun dengan pakaian rombeng, lusuh, dan berhari-hari melekat di raga mereka.
Anak yang satunya berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan. Sedangkan anak ini melangkah gontai dan terpaksa menuju tempat pembuangan sampah dengan karung terkulai di atas pundak.
Anak yang sedang menikmati pelajaran sekolah sebagai hak anak bangsa. Dan satunya lagi mengais sampah sebagai tulang punggung keluarga.
Anak yang beruntung itu mampu memanjakan akal mereka dengan sains. Namun bagaimana dengan posisi anak yang menenteng karung dan kurang beruntung itu? Anak yang sarapannya singkong rebus dan berbalut pakaian bekas dan lusuh? Si anak yang bukunya adalah tumpukan sampah plastik dan pensilnya adalah pengait?
Si anak yang butuh pelukan dan kewajiban kita untuk mengajarkan apa yang telah Tuhan lebihkan kepada kita. Anak-anak ini wajib kita selamatkan.
Pendidikan adalah gerbangnya, partisipasi teman-teman adalah kuncinya. Berikan mereka kesempatan untuk hidup layak di kemudian hari dengan bekal ilmu pengetahuan yang kita bagi. Pendidikan untuk mengagungkan kemanusiaan. Dan anak-anak ini ialah mahluk yang bernama, MANUSIA.
Makassar. Juli 2014 ...
Oleh: Sandry Anugerah
(Salah satu inisiator Rumah Belajar: Saung Layung Arus Balik)
Saung Layung Arus Balik ialah bentuk tangkisan tatkala hegemoni budaya populer membombardir sendi-sendi masyarakat kota dan pedesaan lewat asupan tontonan-tontonan yang hampir tidak memiliki nilai edukasi dan tak bergizi.
Saung Layung Arus Balik adalah semangat. Luapan gairah untuk menyelamatkan generasi muda dari gerus jaman yang kian beringas. Layaknya Jugernault, jaman modern melahap setiap manusia yang berpayung kebodohan. Mencernanya dan memuntahkannya kembali bersama jutaan orang gagal dan putus asa di atas muka bumi. Hidup di lantai terbawah --- terdalam dari sebuah kota, tak pernah nampak mereka ada. Bahkan tak terpikirkan.
Di lindap subuh yang sepi. Sebagian anak terbangun tepat pukul 05.00. Mereka bersujud untuk menunaikan tugas sebagai mahluk Tuhan. Saat itu belum ada yang tampak beda pada anak-anak ini. Tunggu hingga mereka mulai duduk di samping meja makan untuk sarapan; mengisi penuh perutnya dengan nasi, daging, serta susu. Sementara yang lain sedang memakan singkong, pisang, dan segelas air putih untuk disesap.
Ada anak yang berseragam merah putih lengkap dengan topi dan dasi. Sementara anak yang lainnya bangun dengan pakaian rombeng, lusuh, dan berhari-hari melekat di raga mereka.
Anak yang satunya berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan. Sedangkan anak ini melangkah gontai dan terpaksa menuju tempat pembuangan sampah dengan karung terkulai di atas pundak.
Anak yang sedang menikmati pelajaran sekolah sebagai hak anak bangsa. Dan satunya lagi mengais sampah sebagai tulang punggung keluarga.
Anak yang beruntung itu mampu memanjakan akal mereka dengan sains. Namun bagaimana dengan posisi anak yang menenteng karung dan kurang beruntung itu? Anak yang sarapannya singkong rebus dan berbalut pakaian bekas dan lusuh? Si anak yang bukunya adalah tumpukan sampah plastik dan pensilnya adalah pengait?
Si anak yang butuh pelukan dan kewajiban kita untuk mengajarkan apa yang telah Tuhan lebihkan kepada kita. Anak-anak ini wajib kita selamatkan.
Pendidikan adalah gerbangnya, partisipasi teman-teman adalah kuncinya. Berikan mereka kesempatan untuk hidup layak di kemudian hari dengan bekal ilmu pengetahuan yang kita bagi. Pendidikan untuk mengagungkan kemanusiaan. Dan anak-anak ini ialah mahluk yang bernama, MANUSIA.
Makassar. Juli 2014 ...
Oleh: Sandry Anugerah
(Salah satu inisiator Rumah Belajar: Saung Layung Arus Balik)