Penulis: Kristianto Galuwo
Gelora Ambang, stadion yang pernah menjadi
kebanggaan kita. Saya yakin, ada banyak kenangan, pengalaman, kisah, dan
prestasi yang pernah terukir di sini, oleh kita orang Bolaang Mongondow.
Bukan sedikit cerita yang pernah saya dengar tentang Gelora Ambang dari mereka yang di era 80 hingga 90-an adalah remaja-remaja yang aktif dan penuh kenangan di stadion ini. Ada lomba renang, pertunjukan sandiwara, teater, pacuan kuda, ragam perlombaan seni budaya, kejuaran atletik, dan pameran. Bahkan arena konser artis-artis lawas seperti: Nike Ardila, Poppy Merkuri, Andy Liani, Power Metal, Andromeda Band, Nicky Astria, Gito Rollis, Ikang Fauzi, dan sederet artis ibukota lainnya termasuk yang paling jadul, Euis Darliah. Saya salah satu yang pernah menyaksikan langsung konser Power Metal, saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
Waktu melaju cepat, kekuasaan berganti, stadion yang dibangun pada era kepemimpinan Bupati Drs Jambat Damopolii (alm) yang dahulunya dikunjungi ribuan manusia, kini sepi dari riuh kegiatan, bak bentangan belantara belukar yang mengubur ribuan kenangan pada masa keemasan di jaman 80 hingga 90-an.
Tapi stadiun ini, di awal millenium, seolah kembali menemukan roh-nya lewat aksi Persibom yang seolah hadir sebagai pengganti kuda-kuda pacu yang ‘mati’, pertunjukan seni budaya yang hilang, perlombaan ragam jenis olah raga atletik, entertain, serta pameran pembangunan yang dahulu biasa di gelar pemerintah kabupaten di tempat ini.
Saya mungkin adalah generasi penghabisan yang, masih sempat menyaksikan langsung kejayaan Persibom berlaga. Baru-baru ini, saat mencoba menengok kembali gambaran-gambaran yang pernah ada di stadion yang kini merana, sontak ada rasa sedih mengharu-biru dan menggulung dalam benak; dulu kami berdesak-desakan di sini, mengantri tiket masuk, menyoraki Persibom, dan pulang dengan rasa bangga meski seringkali juga dengan kepala tertunduk.
Tapi pekan kemarin, ketika memacu sepeda motor ke tempat ini, mulut saya ternganga melihat Gelora Ambang yang kini bak hutan belantara; tribun depan yang digulung semak-belukar, puluhan mess atlit yang raib entah kemana hingga menyisakan reruntuhan pondasi pondok yang berbentuk semacam batu kubur yang tak dikenali. Lapangan basket yang digagahi belukar, arena teater yang menyimpan bau pesing jaman ‘purba’, dan pemandangan lain menyerupai bangunan bangunan ‘mati’ di Chernobyl Ukraina.
Saya lantas berkendara ke area tribun sebelah barat yang dibangun pada masa kejayaan klub sepakbola Fajar Bulawan era kepemimpinan Bupati Marlina Moha Siahaan. Tribun yang dulu disesaki para Bom Mania kini lebih mirip gudang kayu yang jadi santapan rayap. Tinggal tunggu topan meniup maka bablaslah sudah. Belukar juga ganas menggerayangi onggokan kayu yang rapuh.
Saat sedang miris dengan pemandangan ini, telinga saya menangkap sayup suara anak-anak yang sepertinya datang dari arah kolam renang. Saya bahkan hampir tidak bisa menemukan jalan ke arah itu sebab belukar rimbun di mana-mana. Sejenak sempat usil berpikir, jangan-jangan itu suara penunggu Gelora Ambang. Maklum, suasana horror entah kenapa cepat menyergap tatkala berada di sini.
Bukan sedikit cerita yang pernah saya dengar tentang Gelora Ambang dari mereka yang di era 80 hingga 90-an adalah remaja-remaja yang aktif dan penuh kenangan di stadion ini. Ada lomba renang, pertunjukan sandiwara, teater, pacuan kuda, ragam perlombaan seni budaya, kejuaran atletik, dan pameran. Bahkan arena konser artis-artis lawas seperti: Nike Ardila, Poppy Merkuri, Andy Liani, Power Metal, Andromeda Band, Nicky Astria, Gito Rollis, Ikang Fauzi, dan sederet artis ibukota lainnya termasuk yang paling jadul, Euis Darliah. Saya salah satu yang pernah menyaksikan langsung konser Power Metal, saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
Waktu melaju cepat, kekuasaan berganti, stadion yang dibangun pada era kepemimpinan Bupati Drs Jambat Damopolii (alm) yang dahulunya dikunjungi ribuan manusia, kini sepi dari riuh kegiatan, bak bentangan belantara belukar yang mengubur ribuan kenangan pada masa keemasan di jaman 80 hingga 90-an.
Tapi stadiun ini, di awal millenium, seolah kembali menemukan roh-nya lewat aksi Persibom yang seolah hadir sebagai pengganti kuda-kuda pacu yang ‘mati’, pertunjukan seni budaya yang hilang, perlombaan ragam jenis olah raga atletik, entertain, serta pameran pembangunan yang dahulu biasa di gelar pemerintah kabupaten di tempat ini.
Saya mungkin adalah generasi penghabisan yang, masih sempat menyaksikan langsung kejayaan Persibom berlaga. Baru-baru ini, saat mencoba menengok kembali gambaran-gambaran yang pernah ada di stadion yang kini merana, sontak ada rasa sedih mengharu-biru dan menggulung dalam benak; dulu kami berdesak-desakan di sini, mengantri tiket masuk, menyoraki Persibom, dan pulang dengan rasa bangga meski seringkali juga dengan kepala tertunduk.
Tapi pekan kemarin, ketika memacu sepeda motor ke tempat ini, mulut saya ternganga melihat Gelora Ambang yang kini bak hutan belantara; tribun depan yang digulung semak-belukar, puluhan mess atlit yang raib entah kemana hingga menyisakan reruntuhan pondasi pondok yang berbentuk semacam batu kubur yang tak dikenali. Lapangan basket yang digagahi belukar, arena teater yang menyimpan bau pesing jaman ‘purba’, dan pemandangan lain menyerupai bangunan bangunan ‘mati’ di Chernobyl Ukraina.
Saya lantas berkendara ke area tribun sebelah barat yang dibangun pada masa kejayaan klub sepakbola Fajar Bulawan era kepemimpinan Bupati Marlina Moha Siahaan. Tribun yang dulu disesaki para Bom Mania kini lebih mirip gudang kayu yang jadi santapan rayap. Tinggal tunggu topan meniup maka bablaslah sudah. Belukar juga ganas menggerayangi onggokan kayu yang rapuh.
Saat sedang miris dengan pemandangan ini, telinga saya menangkap sayup suara anak-anak yang sepertinya datang dari arah kolam renang. Saya bahkan hampir tidak bisa menemukan jalan ke arah itu sebab belukar rimbun di mana-mana. Sejenak sempat usil berpikir, jangan-jangan itu suara penunggu Gelora Ambang. Maklum, suasana horror entah kenapa cepat menyergap tatkala berada di sini.
Saya bergerak mencari ringkih suara yang tersisa itu dan akhirnya menemu jalan tikus yang menuntun saya memasuki area kolam renang. Gerimis turun ketika itu. Ada empat orang bocah laki-laki dan dua perempuan yang sedang mandi. Ada dua fasilitas kolam renang di sini; yang berukuran besar tinggal menambah kemirisan tatkala pemandangan yang ditampilkan adalah ubin raksasa tempat berkubangnya rawa dan tetumbuhan yang akan cepat benakmu mengambil prasangka bahwa, jangan-jangan ada anakonda bersemayam di situ, atau mungkin buaya, soa-soa (biawak), patola (ular piton) dan binatang berbisa lainnya. Sedangkan kolam yang satunya lagi, di mana para bocah sedang latihan berenang, itu satu-satunya fasilitas yang dirawat seadanya oleh seorang perempuan berumur 50-an yang biasa disapa Tanta Ebi.
Ia adalah penjaga kolam. Suaminya “juru kunci” Gelora Ambang. Perempuan ini membuka kantin seadanya di tepi kolam yang menawarkan pisang goroho goreng sebagai menu andalan. Sebagai penjaga kolam yang luput perhatian dari pemerintah, ia cukup meminta Rp 3.000 kepada setiap orang yang datang mandi sepuasnya.
Usai bercakap-cakap sejenak dengan Tanta Ebi, saya pamit pulang dan menyempatkan diri bersinggah di Kantor Pemkot Kota Kotamobagu hendak menemui Asisten III, Dra Djumiati Makalalag, untuk bertanya seputar status Stadion Gelora Ambang yang masih terhitung sebagai aset Pemkab Bolmong.
Ia tak berada di tempat sehingga saya mengontaknya melalui telepon selular. Makalalag, menyampaikan bahwa saat pemekaran dan Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow pindah ke Lolak, aset itu masih terhitung sebagai aset milik Pemkab Bolmong dan hingga kini belum ada penyerahan secara resmi.
“Memang baru-baru ini antara Pemkot dan Pemkab, ada rencana pembahasan untuk penyerahan aset secara resmi. Tapi waktunya belum disepakati kapan persisnya,” kata Makalalag melalui pesan singkat via handphone, Rabu 30/10/2013, lalu ia menyarankan saya selaku wartawan lintasbmr.com supaya bertemu langsung dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kotamobagu Mustafa Limbalo, atau menemui Kepala Dinas PPKAD.
Pada sebuah kesempatan saat Dialog Publik yang dilangsungkan HMI Bolmong pada, Sabtu 16/11/2013, di Restoran Lembah Bening Sinindian, saya sempat bertemu Sekda Kota Kotamobagu Mustafa Limbalo dan menanyakan soal status Gelora Ambang. Dikatakan oleh Limbalo bahwa, Gelora Ambang memang terhitung sebagai salah satu aset di antara 39 aset milik Pemkab Bolmong yang masih berada di wilayah Kotamobagu. Ia mengatakan, persoalan aset ini akan segera diselesaikan dalam waktu dekat ini.
Untuk diketahui, persoalan aset milik Pemkab Bolmong yang berada di wilayah pemerintahan Kotamobagu, hingga kini masih terkatung-katung pengelolaanya semenjak Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow pindah ke Lolak tahun 2010 silam. Mengemuka wacana agar aset yang tertinggal, diserahkan saja pihak Pemkab Bolmong ke Pemkot Kotamobagu. Para pemangku kebijakan antara kedua belah pihak telah ada kata sepakat. Akan tetapi realisasi penyerahan aset tersebut hingga saat ini urung dilakukan. Alhasil, banyak aset terbengkalai, termasuk bekas Kantor Pemkab Bolmong dan sejumlah kantor SKPD, termasuk Rumah Jabatan Bupati di Bukit Ilongkow yang santer dijadikan lokasi judi sabung ayam oleh masyarakat.
Akan halnya dengan Stadion Gelora Ambang, aset yang satu ini memang sudah lama terbengkalai melewati hitungan 1 dekade bahkan sebelum pemekaran terjadi dan jauh hari sebelum pemerintah kabupaten Bolaang Mongondow pindah alamat ke Lolak, kondisi stadion Gelora Ambang memang sudah ‘sakit’ kronis.
Ah, Gelora Ambang. Riwayatmu kini....
(Tulisan ini pernah dimuat di media elektronik www.lintasbmr.com, waktu saya masih sebagai reporter di media itu. Saya bermaksud ingin mengabadikan tulisan ini di blog pribadi saya.)
No comments :
Post a Comment