Sabtu, 30 Mei 2015

Bolmut Nan Imut

Tidak ada komentar
Hampir sebulan bertugas di Bolmut. Sekawanan awak media yang sebagiannya adalah karib, begitu ramah di setiap jumpa. Mereka  memperkenalkanku kepada si anu, si itu, dan si ini. Bolmut memang ramah, setulus dan seikhlas mamak angkatku (Mama Rendi).

Pijak pertama di Lapangan Kembar Boroko, Rendi wartawan media InfoBMR, kawannya Ebet yang juga adiknya Cakra si pemilik media yang menaungi Rendi, menjemputku di sudut lapangan. Ulur telapak kanan, mengenalkanku dengan keluarganya. Di sini, mamak Rendi adalah mamak angkatku. Bukan hanya masakannya yang enak, tapi tegur dan tawaran untuk makan, yang selalu membikinku berpikir, entah apa yang bisa membalas laku mereka.

Ikang puti. Wow! Itu lauk kesukaanku. Jikalau perang dunia berikutnya pecah, maka masakan mamak angkatlah yang akan kuselamatkan terlebih dahulu. Keluarga ini begitu santun. Ada si Rendi dan istrinya Ade. Ada anak mereka si Rein yang nama kecilnya Bibo. Ada anak indekos si Octav wartawan media online Berita Totabuan. Dan ada pula si Jana yang sesekali suka menawarkan kue.

Di Bolmut, ada begitu banyak kebaikan. Kawan-kawanku di Kotamobagu satu persatu menyembul. Di dinas-dinas yang kukunjungi, beberapa kawan lama duduk di balik meja, lalu heran berbinar di bola mata saat jumpa.

Inilah Bolmut, yang ditungkudi Bupati Depri Pontoh. Putra bupati, si Adit, juga pernah sebangku denganku, kala gelak tawa yang silam tersulam di Manado. Moi, istrinya Adit pun adalah kawan. Dunia memang kecil, apalagi hanya sepeta BMR. Wajah-wajah familiar berserakan tinggal saling mengernyit kening, mengingat.

Negeri Utara ini, bagiku adalah dunia baru. Kerja sebagai wartawan Radar Bolmong, nongkrong di kantor — mabes (markas besar) — memang melelahkan. Kami dikejar deadline, lalu pulang saat etalase finishing. Tapi di sini, usai mengirim berita — menyelesaikan tugas negara — maka leput mana yang mau kau tongkrongi, sembari memutar gelas kecut, lalu kenal sana-sini dengan jabat dan eja nama.

*

Bolmut nan imut. Kabupaten yang sedang merekah ini, masih perawan yang perlu dilirik dan dipandes investor. Pantainya begitu indah, saat kusaksikan melalui foto-foto buklet. Pantainya memang belum pernah kukunjungi, tapi potensi pariwisata di sini, bisa dibilang bakal gemilang. Ada sebut pantai di sini indah memang. Pantai dulang, pinagut, pulau bongkil, aer blanda, tanjung sidupa, dan entah apalagi sebut mereka. Semoga juga, nama pantai yang baru kuderetkan itu benar ejaannya.

Apalagi wisata puncak bohabak, dengan padang ilalang merunduk diterpa angin, menanti sentuhan para wisatawan. Indah. Beberapa pekan lalu, perancang busana batik Boroko, Yuku Moko, yang kujumpai di media sosial membuatku makin tertarik dengan negeri ini. Karyanya mendunia hingga ke Eropa dan Timur Tengah. Sempat kuwawancarai dan cetak di catatan kaki. Yuku adalah kakek usia 63 tahun, yang saking kecintaannya dengan negeri Bolmut asal kedua orang tuanya, ikan dijadikannya icon batik Boroko.

Selain itu, nama penulis Coen Pontoh lama mendengung di telinga. Coen dan kawan-kawannya yang suka mengganyang ketimpangan di negeri ini, dengan tulisan-tulisan kritis di Indoprogress.com. Atau karya hebat Coen berupa artikel "Konflik Nan Tak Kunjung Padam" pada buku Jurnalisme Sastrawi, yang bisa Anda bacai di sini: http://chasani.blogspot.com/2005/03/konflik-tak-kunjung-padam.html?m=1. Salah satu artikel terbaik.

Ah, Bolmut, banyak yang lebih di sini. Bahkan sebulan pun, bibirmu belum kukecup. Aroma pun baru bisa kuendus. Semerbak dalam kecibak pun (meminjam istilah si botak Uwin), masih kutimang dan kupilah. Ada banyak yang indah di sini, meski sebenarnya masih serupa misteri para Raja yang purba. Mistik lokal sesekali terumbar. Kisah-kisah heroik pun menebal di udara malam.

Bolmut nan imut. Yang semoga konflik nan tak kunjung padam pun segera usai. Politik penuh intrik, memantik api di sana sini, semoga bisa disadari sebagai tarung menuju Bolmut yang makin imut, dan dikerumuni para pencubit pipi.

Sabtu, 09 Mei 2015

Telunjuk Si Penuduh Santet

Tidak ada komentar
Saya seakan ingin tunduk, lalu menciumi telapak kaki ibu, kala mengingat tutur kisah tentang berpulangnya kakak perempuan Irmawaty Galuwo, saat saya di usai sekolah dasar, di tahun yang purba. Keping-keping kisah tak lagi jelas di ingatan, sebab cerita ini begitu personal dalam keluarga. Ibu pernah bertutur, kakak Ir meninggal karena disantet! Bahkan, cerita mahluk halus yang menampakkan diri di rumah usai kakak berpulang, berdengung ramai.
Iya, kakak meninggal tak wajar, sebab seluruh organ tubuhnya hancur dan menghitam. Kakak saya ini cantik, bentuk rupanya dipinjami wajah Sigi, dengan dagu meruncing serupa stalagtit mau memacak ke bumi. Binar matanya cerlang, dengan rambut keriting memahkotai. Dan ia meninggal di usia 20 tahun.
Ibu dendam tentunya. Ahli spiritual segala kutub dikejar dengan harap, agar dendam terbalas. Namun akhirnya, ibu ikhlas dan serah luruh ke hadirat. Nama si tukang santet dikantongi, tapi ibu mengucap, biarkan saja, mungkin sudah jalan kakakmu berpulang dengan kematian seperti itu.
Dari sinilah, menyoal santet selalu mengundang tanya dan sebuah hal yang irasional bagi saya. Kenapa begitu? Kenapa begini? Ah, kenapa bisa? Dan serentetan tanya, yang membikin saya menyimpul, persetan dengan itu, sebab tak masuk akal. Supranatural, yang gaib, yang transenden, memang selalu mencipta tanya. Hingga pada Sabtu (9/5) kemarin, berjejal gambar di BBM, terkait pembunuhan sadis di Kelurahan Mongkonai, Kecamatan Kotamobagu Barat, Kotamobagu. Si A menuding si B menyantet keluarganya, lalu si A memenggal kepala, jemari, dan melampiaskan kira di sekujur tubuh korban berkemeja kotak-kotak. Kepala lepas tanpa dialog kenapa begini dan begitu. Foto-foto segar pun tersebar sepersekian detik.
Usai memenggal, kepala si B dijinjing si A dengan rasa yang entah seperti apa. Mungkin saja dengan ucap; saya pembunuh sadis, saya emosi, saya mengadili, saya habis kesabaran, saya ingin membunuh! Dan entah apalagi yang sedang dirasa si A.
Korban dan si penjagal warga yang sama, dan mungkin saja pernah sederet kursi dengan kelakar akrab. Tapi kita tak pernah tahu, apa gundah yang merasuk ke relung si A, meski asupan gizi tayangan Tv kita yang berbau supranatural, atau pun segala yang gaib, jelas tentu bukan menjadi dasar pijak pikir, apa yang membuat si A itu begitu tega. Nekat tak selalu soal tontonan. See and do. Ia hadir begitu saja, mengira, lalu menghukum. Nekat itu begitu absurd.
Tentu saja, pembunuhan ini bukan terinspirasi tayangan hukuman pancung ISIS kepada sejumlah wartawan asing, atau hukuman penggal di Arab. Pun hukuman mati di Nusakambangan yang, bisa diselancari pemberitaannya di ponsel Mito, dengan begitu cepat. Jelas ada alasan yang menjadi sebab, lalu berkatalis dan segera memuncak jaya dengan kesimpulan, saya harus membunuhnya.
Apa yang dialami si A, apapun itu, jelas ia lebih mafhum, meski kita berhak menduga.
Sama seperti saat ibu bertutur tentang kakak, saya pun menduga benar lalu berniat dengan segala imajinasi superhero; saya ingin membalas dendam, serupa film superhero dan bollywood dengan segala ketertindasan. Tapi kali ini, apa yang dipikir si A yang kekar dan botak itu tak pernah bisa kita duga. Pembaca pun mungkin pernah merasa, kerabat atau siapa saja yang pernah disantet, lalu iba. Namun pembuktian selalu menjadi kendala, sebab ini adalah tentang yang jauh dari logika, pun jelas jauh dari pembuktian yang bisa diindrai.
Sekadar sebagai penimbang; kakak kandung saya perutnya membuncit. Saat ke rumah sakit, penyakitnya sukar didiagnosis. Saya memilih ke dukun, lalu kata dukun kakak saya disantet. Sebab rasa sayang terhadap kakak, saya pun sepakat lalu menghukum si penyantet.
Apakah alasan ini bisa diterima?
Dalam sidang yang kerap saya ikuti. Logika dijunjung tinggi. Apapun yang tak rasional ditelisik lalu disanggah dengan jawab yang, tentu saja rasionalitas diutamakan.
Turut berduka untuk keluarga yang ditinggalkan. Turut prihatin atas apa yang dilakukan si A dengan begitu tak manusiawi, meski hukuman untuknya tentu saja tak harus mati pula. Saya tak bisa dengan jelas merentang soal santet, meski penyakit yang sukar itu kerap tertukar dengan canda.
Satu mungkin yang bisa kita renungi di sini, bahwa yang sedang mengasuh iblis, jelas bukan si tertuduh. Tapi si penuduh dengan telunjuk yang, seharusnya ia arahkan tepat ke dahinya sendiri.

Jumat, 08 Mei 2015

Cepat Sembuh Ses

Tidak ada komentar
BENRADABEN!!! Begitu salam Om Nal, orang yang diklaim geger otak dan menjadi gila, sebab popor senjata yang menghantam batok kepalanya, di waktu yang lampau, entah karena salah apa. Inilah Bolmut, dengan kisah tragis dan kelucuan Om Nal, kala pertama-mula saya bertugas di sini sebagai biro Bolmut. Om Nal suka bicara yang tak nyambung. Ia sehari-hari lampaui durasi giat para pewarta mengunjungi kantor-kantor. Pokoknya, Om Nal itu BENRADABEN!!
Saya di Bolmut, sebab tugas dari media Radar Bolmong kepada saya yang, kata Uwin terlalu suka meringkuk di balik sarung mendiang ayah saya, yang serupa kantung kangguru. Kalimat itu melesat dari balik botak Uwin dan benjolan sastra di dahinya yang serupa benjolan di dahi dolphin, saat saya, Sigidad, Atol, 83, Yakuza, dan entah julukan apalagi, tengah merayakan ultah April kemarin. Sebuah tafsiran dari berbagai tafsiran dalam tulisannya, tentang saya yang gemar mengucap kalimat, "Jangan pernah dewasa."
Jumat tadi, sahabat saya Shandri sedang merayakan ultah. Ucapan yang sama saya utarakan, "Jangan pernah dewasa."
Iya, jangan pernah dewasa, sebab masa kanak-kanak adalah masa yang penuh keajaiban. Sifat innocence bocah, kepolosan yang selalu menjadi bara yang menguapkan keingintahuan pada pikir mereka. Coba kita melempar pandang pada cahaya bulan malam ini, pada gemintang dan benda-benda yang menggantung di angkasa. Kita sudah merasa terbiasa, sementara bocah selalu ingin tahu, apa itu bidang hitam di angkasa, pijar bintang, pucat purnama, atau arak-arakan halimun. Iya, jangan pernah dewasa kawan, agar kalian selalu merasa ingin tahu.
Malam kemarin, saat tengah berserak gemintang dan botol bir di undangan miras salah satu teman saya, di belahan 'benua' lain tepatnya di Eropassi (julukan Desa Passi); Katz julukan buat Uwin, Ses Rulli, dan kawan-kawan lain pun tengah berpesta kecut. Katz mengirim BBM, ada tulisan dari Ses Rulli, buat saya dan Darwa (Dani). Tulisan itu pun berkesempatan bersilahturahim barusan. Kubacai dan gelak tawa meledak serupa mercon, lalu membedaki langit malam Lapangan Kembar Boroko.
Ses Rulli dan cita-citanya. Ha-ha-ha-ha...
Saya tak ingin lagi ulas-oles tentang rentetan cita-citanya, yang mau jadi aktivis, atau misalnya babulang manuk dan pemabuk mamuig-mamuntag. Saya ingin dengan segera membahas julukan Ses, yang pertama kali diutarakan kawan saya Darwa, sejak Rulli asyik mencermati kusta, TBC, ola'ap, gatal-gatal, di balik bangku kuliah Akademi Keperawatan Manado, eh, Totabuan (entar kena bully lagi).
Oh, Ses, Ses.... kamu tahu kawan, mungkin beda titik koordinat antara Atol, Darwa, dan Ses, yang hidup dan besar di lingkungan Eropassi atas dan kamu di pertengahan. Kami yang di atas sudah terbiasa dengan julukan, tak lagi alergi, seperti Ses yang sekarang tengah mengidap penyakit alergi julukan. Noi kompit kai nami in tangoi, sejak paman Kupit julukan buat Ading menyematkan Darwa ke Dani, Eding dan kawan-kawan menamai saya Atol, Katz (Ketua) dan KPA Bomlest me-mintahang-kan 83, sebutan Bulog (sogili) dan Laji kepada Yunus, atau Adan kepada Anto', Sukro kepada Ewin yang bertransformasi menjadi Bedew (karena kecipratan air liur-ewe'-gidi-gidi), Pqmz kepada Eding, Badut dan Andol kepada Ardi. Juga ada julukan Pinggo', Pinky, dan Pinggirli kepada manusia kekar Ping (ha-ha-ha), Pluri kepada Didin yang karena kebiasaannya bertutur dengan kecepatan melebihi Paman Ocing (Rossi). Pluri disematkan saat Didin asyik main Counter Strike di Play Station,  dengan kecepatan verbalnya, kotak, kotak, untuk reload pluru, menjadi takkatak pluri. Didin yang, bahkan jalan rusak disingkatnya menjadi JRX!. Masih ada lagi julukan Kartolo kepada Karta, Haye untuk Rizki, dan siapa lagi yang belum saya sebut ya? Oh, ada si Ferri yang hitam legamnya membikin ia dipanggil Ale (bukan rasis ya, Ale pun gak merasa gitu). Ada pula Kiki yang dinamai Ji'i karena kelincahannya monalok kon manuk i tete naton komintan. Toput untuk Opan, Pulut buat Awi, dan ah, masih banyak lagi label akrab lainnya. Dan, kami senang....
Oh, ya, hampir lupa, Darwa nitip nih, kata Darwa mongenggeng, "Takdir bukan hukuman, tapi pilihan," ha-ha-ha-ha...
Darwa memang kawan penuh lelucon.
Oh Ses, meski julukan itu adalah kesengajaan yang diucap Darwa, namun di balik itu ada persekawanan yang, yang, yang, sangat luhur.
Label yang membuat kami anak-anak pertigaan merasa akrab, dan menjauhkan kami dari tafsir-tafsir bisik yang berbias mengira. Kami secara gagap dan sepakat, menamai Ses, karena kamu sudah menjadi bagian dari anak-anak pertigaan, biar abad-abad pertengahan, bisa memanjat jauh meninggi menuju yang atas. Tapi sebelum ke atas, Ses memang telah disaring dengan ejek-ejekan khas Darwa. Dua kerabat yang cukup 'akur'.
Semoga, kamu tak lagi alergi. Sebab sungguh aneh, jika Ses tak bisa mengobati penyakit yang sekelas CTM pun bisa memulihkannya. Biar lidah tak lagi terjulur serupa lidah penjahat kelamin, atau petinju yang kena jotos. BBM-mu semalam Ses, yang bilang selamat menikmati Bolmut dengan kesunyiannya. Lalu kubalasi, bahwa yang ramai bukan dari faktor eksternal, tapi dari dalam diri kita-internal-dengan mencipta riuh itu sendiri. Mungkin juga, Bolmut yang pernah kau rasai sebagai hukuman, kurasai seperti sebuah sorga, sebab apapun tentang pesisir pantai, gemuruh ombak selalu berbisik, "Semoga cepat sembuh ya Ses, salam dari Negeri Utara."

Senin, 04 Mei 2015

For Adew Mahasiswa from Kakaw Wartawan

2 komentar
Waduh, salut buat adew Febri. Bakat menulisnya memang ada, sejak saya sebagai admin blog Saung Laung Arus Balik, kerap dikiriminya tulisan. Isu-isu sosial budaya di Bolmong diulas cukup segar, enak dibaca pula.

Tak berapa lama, tulisan Febri (http://pondulakmongondow.blogspot.com/2015/04/galau-galau-wartawan-bolmong.html?m=1) bertengger di ruang chat saya. Waw! judulnya Galau-galau Wartawan Bolmong.

Hmm... karena saya wartawan di salah satu media di Bolmong, saya pun tertarik membacanya. Apalagi, judulnya mengenai kegalauan seorang wartawan, carut-marut, dan gundah gelisah menyesak di tenggorokan. Lantas wartawan itu bermonolog di sosial media (sosmed) dengah suara parau, sehabis menangis semalaman, inenggeng i galau na'a, lalu terciptalah dialog — curhat — ke adew Febri.

Oh, ternyata buntut dari kontrak berita pemerintah kabupaten (Pemkab), hingga berderetlah kalimat yang cukup puitis, "Belenggu itu bernama kontrak pencitraan." Oleh sebab kontrak Pemkab, akhirnya independensi wartawan dipertanyakan. Wartawan tak lagi bebas menguliti, mencerca, menerabas, me... me... meee apalagi ya?

Nah, buat adew Febri yang lagi menuntut ilmu di Makassar. Cukup elok perhatian adew kepada kakaw-kakaw wartawan di Mongondow. Betapa membikin terharu sehingga jangan heran, kalau kakaw-kakaw wartawan yang tengah ngopi di Jarod dan Korot, atau yang sedang berjibaku dengan deadline di kantor, tiba-tiba terlonjak dari kursi, saat menyimak paragraf demi paragraf tulisan.

Namun sebaiknya, ada satu yang lebih dulu adew pelajari dengan lebih matang, kalau perlu adew telanlah pil tuntas sekalian. Agar niat adew tak cumak jadi bahan lelucon kakaw-kakaw wartawan di sini yang, adew tahu, paling jago ba ajar, ba bully, deng ba poleke.

Nah, supaya niat baik tak jadi bahan bully, maka adew disarankan:

1. Adew buka KUBI atau KBBI dan lihat apa arti KONTRAK.
2. Adew cari tahu apa arti IKLAN dan BERITA.
3. Adew sedang bermain yongkit tulu', kalau untuk urusan tiga kata itu belum di atas meja hijau, tapi nekat merangsek ke ranah "penghakiman" kepada kakaw-kakaw. Nanti kena ketok palu hakim bully lagi.

Adew tahu, media dikontrak bukan berarti lidah wartawan menjulur seperti anjing, terus menjilati bokong si pejabat A dan si pejabat B. Ah, pokoknya adew kudu ke rumah kopi nanti kalau sudah mudik ke Kotamobagu. Silakan wawancara kakaw-kakaw, sebelum dibully.

Adew tahu kan? bully di Mongondow sepertinya lebih kejam dari eksekusi mati, apalagi ibu tiri. Ari Hanggara pun, enggan di-bully orang Mongondow. Ratapan Anak Tiri, akan menjelma judul jadi Ratapan Anak Bully. Di sini. Iya, di sini. Oh, sudahlah, adew juga tidak kenal Ari Hanggara. Filmnya masih zaman kakaw-kakaw.

Lalu soal standar kompetensi wartawan, adew sudah bacai semua berita mentah kakaw-kakaw di sini? Waduh, pasti jauh lebih bagus adew menulis yah? Nah, coba melamar jadi wartawan usai kuliah yah, biar adew bisa ikut berenang dan menyelam di samudera asin, tinimbang berasyik-masyuk dengan ketipak-ketipuk air di wahana pemandian, lalu menuding percik sana-sini.

Kakaw bilang, ada yang mo dapa pangge ka biru ini tante!Ada yang mo oleng ini tante!

Terus, soal media abal-abal. Coba adew deret dengan begitu rapi, nama-nama media itu, serapi dereten pagar level tujuh di Clash of Clan (CoC) yang suka adew mainkan. Juga teman adew itu, bisa berkenalan dengannya? apalagi semua wartawan di Bolmong kan, serupa kepompong kata Sindentosca. Alangkah superhero-nya dia, jika menuliskan kegundahan hatinya itu sendiri. Atau sudahlah, temanmu itu mungkin hanya ingin menjadi ghost writer.

Namun, satu saran dari adew kepadanya, alangkah lebih elok jika tidak ia terima, soal berhenti saja dari media tempat ia mengais gold, elixir, dan dark elix. Sebab nanti, dengan apalagi ia meng-upgrade wizard tower-nya? membeli air sweeper, mengecat pagar hingga berapi-api. Karena tanpa kontrak, iklan, dan berita itu, CoC-nya mungkin tak akan sampai Town hall level 9. Atau barbarian king dan archer queen-nya tak sampai memakai toga. He-he-he....

Begini dulu ya adew tersayang, kalau sudah matang mengartikan kata KONTRAK, IKLAN, dan BERITA, adew menulis lagi yah. Kakaw-kakaw wartawan ingin membaca lagi, apa yang menggelinjang dalam dada temanmu itu. Si wartawan pula.