Hampir sebulan bertugas di Bolmut. Sekawanan awak media yang sebagiannya adalah karib, begitu ramah di setiap jumpa. Mereka memperkenalkanku kepada si anu, si itu, dan si ini. Bolmut memang ramah, setulus dan seikhlas mamak angkatku (Mama Rendi).
Pijak pertama di Lapangan Kembar Boroko, Rendi wartawan media InfoBMR, kawannya Ebet yang juga adiknya Cakra si pemilik media yang menaungi Rendi, menjemputku di sudut lapangan. Ulur telapak kanan, mengenalkanku dengan keluarganya. Di sini, mamak Rendi adalah mamak angkatku. Bukan hanya masakannya yang enak, tapi tegur dan tawaran untuk makan, yang selalu membikinku berpikir, entah apa yang bisa membalas laku mereka.
Ikang puti. Wow! Itu lauk kesukaanku. Jikalau perang dunia berikutnya pecah, maka masakan mamak angkatlah yang akan kuselamatkan terlebih dahulu. Keluarga ini begitu santun. Ada si Rendi dan istrinya Ade. Ada anak mereka si Rein yang nama kecilnya Bibo. Ada anak indekos si Octav wartawan media online Berita Totabuan. Dan ada pula si Jana yang sesekali suka menawarkan kue.
Di Bolmut, ada begitu banyak kebaikan. Kawan-kawanku di Kotamobagu satu persatu menyembul. Di dinas-dinas yang kukunjungi, beberapa kawan lama duduk di balik meja, lalu heran berbinar di bola mata saat jumpa.
Inilah Bolmut, yang ditungkudi Bupati Depri Pontoh. Putra bupati, si Adit, juga pernah sebangku denganku, kala gelak tawa yang silam tersulam di Manado. Moi, istrinya Adit pun adalah kawan. Dunia memang kecil, apalagi hanya sepeta BMR. Wajah-wajah familiar berserakan tinggal saling mengernyit kening, mengingat.
Negeri Utara ini, bagiku adalah dunia baru. Kerja sebagai wartawan Radar Bolmong, nongkrong di kantor — mabes (markas besar) — memang melelahkan. Kami dikejar deadline, lalu pulang saat etalase finishing. Tapi di sini, usai mengirim berita — menyelesaikan tugas negara — maka leput mana yang mau kau tongkrongi, sembari memutar gelas kecut, lalu kenal sana-sini dengan jabat dan eja nama.
*
Bolmut nan imut. Kabupaten yang sedang merekah ini, masih perawan yang perlu dilirik dan dipandes investor. Pantainya begitu indah, saat kusaksikan melalui foto-foto buklet. Pantainya memang belum pernah kukunjungi, tapi potensi pariwisata di sini, bisa dibilang bakal gemilang. Ada sebut pantai di sini indah memang. Pantai dulang, pinagut, pulau bongkil, aer blanda, tanjung sidupa, dan entah apalagi sebut mereka. Semoga juga, nama pantai yang baru kuderetkan itu benar ejaannya.
Apalagi wisata puncak bohabak, dengan padang ilalang merunduk diterpa angin, menanti sentuhan para wisatawan. Indah. Beberapa pekan lalu, perancang busana batik Boroko, Yuku Moko, yang kujumpai di media sosial membuatku makin tertarik dengan negeri ini. Karyanya mendunia hingga ke Eropa dan Timur Tengah. Sempat kuwawancarai dan cetak di catatan kaki. Yuku adalah kakek usia 63 tahun, yang saking kecintaannya dengan negeri Bolmut asal kedua orang tuanya, ikan dijadikannya icon batik Boroko.
Selain itu, nama penulis Coen Pontoh lama mendengung di telinga. Coen dan kawan-kawannya yang suka mengganyang ketimpangan di negeri ini, dengan tulisan-tulisan kritis di Indoprogress.com. Atau karya hebat Coen berupa artikel "Konflik Nan Tak Kunjung Padam" pada buku Jurnalisme Sastrawi, yang bisa Anda bacai di sini: http://chasani.blogspot.com/2005/03/konflik-tak-kunjung-padam.html?m=1. Salah satu artikel terbaik.
Ah, Bolmut, banyak yang lebih di sini. Bahkan sebulan pun, bibirmu belum kukecup. Aroma pun baru bisa kuendus. Semerbak dalam kecibak pun (meminjam istilah si botak Uwin), masih kutimang dan kupilah. Ada banyak yang indah di sini, meski sebenarnya masih serupa misteri para Raja yang purba. Mistik lokal sesekali terumbar. Kisah-kisah heroik pun menebal di udara malam.
Bolmut nan imut. Yang semoga konflik nan tak kunjung padam pun segera usai. Politik penuh intrik, memantik api di sana sini, semoga bisa disadari sebagai tarung menuju Bolmut yang makin imut, dan dikerumuni para pencubit pipi.
Pijak pertama di Lapangan Kembar Boroko, Rendi wartawan media InfoBMR, kawannya Ebet yang juga adiknya Cakra si pemilik media yang menaungi Rendi, menjemputku di sudut lapangan. Ulur telapak kanan, mengenalkanku dengan keluarganya. Di sini, mamak Rendi adalah mamak angkatku. Bukan hanya masakannya yang enak, tapi tegur dan tawaran untuk makan, yang selalu membikinku berpikir, entah apa yang bisa membalas laku mereka.
Ikang puti. Wow! Itu lauk kesukaanku. Jikalau perang dunia berikutnya pecah, maka masakan mamak angkatlah yang akan kuselamatkan terlebih dahulu. Keluarga ini begitu santun. Ada si Rendi dan istrinya Ade. Ada anak mereka si Rein yang nama kecilnya Bibo. Ada anak indekos si Octav wartawan media online Berita Totabuan. Dan ada pula si Jana yang sesekali suka menawarkan kue.
Di Bolmut, ada begitu banyak kebaikan. Kawan-kawanku di Kotamobagu satu persatu menyembul. Di dinas-dinas yang kukunjungi, beberapa kawan lama duduk di balik meja, lalu heran berbinar di bola mata saat jumpa.
Inilah Bolmut, yang ditungkudi Bupati Depri Pontoh. Putra bupati, si Adit, juga pernah sebangku denganku, kala gelak tawa yang silam tersulam di Manado. Moi, istrinya Adit pun adalah kawan. Dunia memang kecil, apalagi hanya sepeta BMR. Wajah-wajah familiar berserakan tinggal saling mengernyit kening, mengingat.
Negeri Utara ini, bagiku adalah dunia baru. Kerja sebagai wartawan Radar Bolmong, nongkrong di kantor — mabes (markas besar) — memang melelahkan. Kami dikejar deadline, lalu pulang saat etalase finishing. Tapi di sini, usai mengirim berita — menyelesaikan tugas negara — maka leput mana yang mau kau tongkrongi, sembari memutar gelas kecut, lalu kenal sana-sini dengan jabat dan eja nama.
*
Bolmut nan imut. Kabupaten yang sedang merekah ini, masih perawan yang perlu dilirik dan dipandes investor. Pantainya begitu indah, saat kusaksikan melalui foto-foto buklet. Pantainya memang belum pernah kukunjungi, tapi potensi pariwisata di sini, bisa dibilang bakal gemilang. Ada sebut pantai di sini indah memang. Pantai dulang, pinagut, pulau bongkil, aer blanda, tanjung sidupa, dan entah apalagi sebut mereka. Semoga juga, nama pantai yang baru kuderetkan itu benar ejaannya.
Apalagi wisata puncak bohabak, dengan padang ilalang merunduk diterpa angin, menanti sentuhan para wisatawan. Indah. Beberapa pekan lalu, perancang busana batik Boroko, Yuku Moko, yang kujumpai di media sosial membuatku makin tertarik dengan negeri ini. Karyanya mendunia hingga ke Eropa dan Timur Tengah. Sempat kuwawancarai dan cetak di catatan kaki. Yuku adalah kakek usia 63 tahun, yang saking kecintaannya dengan negeri Bolmut asal kedua orang tuanya, ikan dijadikannya icon batik Boroko.
Selain itu, nama penulis Coen Pontoh lama mendengung di telinga. Coen dan kawan-kawannya yang suka mengganyang ketimpangan di negeri ini, dengan tulisan-tulisan kritis di Indoprogress.com. Atau karya hebat Coen berupa artikel "Konflik Nan Tak Kunjung Padam" pada buku Jurnalisme Sastrawi, yang bisa Anda bacai di sini: http://chasani.blogspot.com/2005/03/konflik-tak-kunjung-padam.html?m=1. Salah satu artikel terbaik.
Ah, Bolmut, banyak yang lebih di sini. Bahkan sebulan pun, bibirmu belum kukecup. Aroma pun baru bisa kuendus. Semerbak dalam kecibak pun (meminjam istilah si botak Uwin), masih kutimang dan kupilah. Ada banyak yang indah di sini, meski sebenarnya masih serupa misteri para Raja yang purba. Mistik lokal sesekali terumbar. Kisah-kisah heroik pun menebal di udara malam.
Bolmut nan imut. Yang semoga konflik nan tak kunjung padam pun segera usai. Politik penuh intrik, memantik api di sana sini, semoga bisa disadari sebagai tarung menuju Bolmut yang makin imut, dan dikerumuni para pencubit pipi.