Saya tak sedang bertutur laku luhur. Bukan pula menebar amal yang, seharusnya lebih terasa ikhlas jika tak disebar. Namun di sini, saya ingin membagi, apa yang menggelinjang dalam dada, setelah kunjung Berbagi Kasih Radar Bolmong, Kepala Unit BRI Boroko Jefri Abbas, bersama komunitas pengajian One Week One Juz (OWOJ) yang dinakhodai Sakti.
Ini keping demi keping kisah yang, sepatutnya menjadi cermin, bahwa beterima-kasihlah kepada mereka yang tak berpunya. Sebab jika hidup ini dipenuhi orang berpunya, apalagi arti berbagi.
Kisah bermula dari gubuk yang didiami seorang Babay (bahasa lokal Bolmut, sebutan untuk nenek), yang pertama kali kami kunjungi. Sesuai deretan daftar penerima sembako, rata-rata memang mereka yang uzur. Kakay (kakek) telah di pusara.
Dari sebagian penerima yang terdiri dari 15 orang. Beberapa di antaranya, cukup memprihatinkan. Yang melekat di relung, yakni Babay Mitu di Desa Kuala Utara Kecamatan Kaidipang, Bolmut. Babay ini penderita tunarungu. Meski renta, kepulan asap masih me-rajawali di atas kepala berubannya, di tengah temaram bohlam. Setelah sadar ia kedatangan tamu, kursi-kursi ia rapikan. Rokok di jemari keriputnya bergegas direbahkannya ke asbak. Tak jelas apa yang dikatakannya saat menyambut. Kami pun diberitahu salah satu anggota komunitas OWOJ. Babay ini tak bisa mendengar. Bicaranya pun terganggu.
Kemudian gestur dan suara tetap berusaha kami nyaringkan, mengisyaratkan paket sembako ini untuk Babay. Bungkusan ia rengkuh dengan rengsa. Dipaksa dibuka. Kami hanya terus mengawasi. Setelah dibantu membuka simpul lapis pertama bungkusan. Ia memaksa merobek lapisan kedua. Kami heran, entah apa yang akan dilakukan Babay.
Setelah sobek menganga, Babay menyentuh isi bungkusan. Hanya menyentuh. Lalu lengan hitam legam berkerut itu menengadah dengan kedua telapak tangan terbuka. Babay berdoa. Rapal yang entah. Saya baru sadar, ia hanya ingin menyentuh isi bungkusan untuk melanjutkan puja ke Yang Kuasa. Jauh menembus langit-langit rumahnya yang reyot. Kemudian menggetarkan semesta.
Jabat tangannya mengusai sudah pertemuan. Di dalam mobil, Pak Jefri hanya singkat berujar.
"Doanya itu yang membuat meteor-meteor jatuh ke bumi."
Kalimat itu terlontar begitu saja. Selanjutnya, kunjung bergulir ke Babay dan Kakay lainnya. Di dalam mobil, saya hanya bisa tercenung. Mungkin itulah ucap Bung Karno; Tuhan bersemayam di gubuknya orang miskin. Tapi saya tidak mendengar ada suara Tuhan di gubuk Babay Mitu.
Di gubuk berikutnya, satu lagi, kami dipertemukan dengan Babay yang namanya lupa kutanyai kepada Sakti. Babay ini penderita tunanetra. Ia memohon maaf sebab tak bisa mengenali kami. Ada nada sesal merangkul tutur katanya. Kemudian sebait doa ia rapalkan. Di gubuk ini, saya pun tak melihat Tuhan yang, katanya sedang bersemayam di sini.
Pamit untuk melanjutkan kunjungan, Babay terus berterima-kasih, sampai langkah kami melewati pekarangannya.
Kembali di dalam mobil saya termenung. Di gubuk tunarungu saya tak mendengar suara Tuhan di sana. Di gubuk tunanetra pun saya tidak melihat Tuhan. Bukan keimanan dalam diri saya, yang sedang saya pertanyakan. Tapi iman yang bersemayam dalam diri kedua Babay itu.
Babay Mitu bukan hanya tak pernah mendengar kabar tentang keberadaan Tuhan, agar imannya teguh. Ia tak pernah bisa mendengar sabda. Sama seperti Babay penderita tunanetra, yang tak pernah bisa menyaksikan alam semesta, apalagi keberadaan Tuhan agar imannya kokoh.
Cinta itu... cinta tanpa pernah mendengar keindahan sabda dan ayat-ayat suci. Cinta tanpa pernah melihat rupa. Cinta mulia Babay kepada Tuhan.
Tuhan memang sedang bersemayam dalam lapuk tiang kayu gubuk kalian.
Tidak dalam megah bangunan masjid bermarmer italia.
Terima-kasih telah berbagi kasih dan cinta Babay. Kepada Tuhan.
Ini keping demi keping kisah yang, sepatutnya menjadi cermin, bahwa beterima-kasihlah kepada mereka yang tak berpunya. Sebab jika hidup ini dipenuhi orang berpunya, apalagi arti berbagi.
Kisah bermula dari gubuk yang didiami seorang Babay (bahasa lokal Bolmut, sebutan untuk nenek), yang pertama kali kami kunjungi. Sesuai deretan daftar penerima sembako, rata-rata memang mereka yang uzur. Kakay (kakek) telah di pusara.
Dari sebagian penerima yang terdiri dari 15 orang. Beberapa di antaranya, cukup memprihatinkan. Yang melekat di relung, yakni Babay Mitu di Desa Kuala Utara Kecamatan Kaidipang, Bolmut. Babay ini penderita tunarungu. Meski renta, kepulan asap masih me-rajawali di atas kepala berubannya, di tengah temaram bohlam. Setelah sadar ia kedatangan tamu, kursi-kursi ia rapikan. Rokok di jemari keriputnya bergegas direbahkannya ke asbak. Tak jelas apa yang dikatakannya saat menyambut. Kami pun diberitahu salah satu anggota komunitas OWOJ. Babay ini tak bisa mendengar. Bicaranya pun terganggu.
Kemudian gestur dan suara tetap berusaha kami nyaringkan, mengisyaratkan paket sembako ini untuk Babay. Bungkusan ia rengkuh dengan rengsa. Dipaksa dibuka. Kami hanya terus mengawasi. Setelah dibantu membuka simpul lapis pertama bungkusan. Ia memaksa merobek lapisan kedua. Kami heran, entah apa yang akan dilakukan Babay.
Setelah sobek menganga, Babay menyentuh isi bungkusan. Hanya menyentuh. Lalu lengan hitam legam berkerut itu menengadah dengan kedua telapak tangan terbuka. Babay berdoa. Rapal yang entah. Saya baru sadar, ia hanya ingin menyentuh isi bungkusan untuk melanjutkan puja ke Yang Kuasa. Jauh menembus langit-langit rumahnya yang reyot. Kemudian menggetarkan semesta.
Jabat tangannya mengusai sudah pertemuan. Di dalam mobil, Pak Jefri hanya singkat berujar.
"Doanya itu yang membuat meteor-meteor jatuh ke bumi."
Kalimat itu terlontar begitu saja. Selanjutnya, kunjung bergulir ke Babay dan Kakay lainnya. Di dalam mobil, saya hanya bisa tercenung. Mungkin itulah ucap Bung Karno; Tuhan bersemayam di gubuknya orang miskin. Tapi saya tidak mendengar ada suara Tuhan di gubuk Babay Mitu.
Di gubuk berikutnya, satu lagi, kami dipertemukan dengan Babay yang namanya lupa kutanyai kepada Sakti. Babay ini penderita tunanetra. Ia memohon maaf sebab tak bisa mengenali kami. Ada nada sesal merangkul tutur katanya. Kemudian sebait doa ia rapalkan. Di gubuk ini, saya pun tak melihat Tuhan yang, katanya sedang bersemayam di sini.
Pamit untuk melanjutkan kunjungan, Babay terus berterima-kasih, sampai langkah kami melewati pekarangannya.
Kembali di dalam mobil saya termenung. Di gubuk tunarungu saya tak mendengar suara Tuhan di sana. Di gubuk tunanetra pun saya tidak melihat Tuhan. Bukan keimanan dalam diri saya, yang sedang saya pertanyakan. Tapi iman yang bersemayam dalam diri kedua Babay itu.
Babay Mitu bukan hanya tak pernah mendengar kabar tentang keberadaan Tuhan, agar imannya teguh. Ia tak pernah bisa mendengar sabda. Sama seperti Babay penderita tunanetra, yang tak pernah bisa menyaksikan alam semesta, apalagi keberadaan Tuhan agar imannya kokoh.
Cinta itu... cinta tanpa pernah mendengar keindahan sabda dan ayat-ayat suci. Cinta tanpa pernah melihat rupa. Cinta mulia Babay kepada Tuhan.
Tuhan memang sedang bersemayam dalam lapuk tiang kayu gubuk kalian.
Tidak dalam megah bangunan masjid bermarmer italia.
Terima-kasih telah berbagi kasih dan cinta Babay. Kepada Tuhan.
No comments :
Post a Comment