Sipatuo. Nama toko ini entah dipungut dari bahasa apa. Tapi akhirnya internet sedikit menolong. Setelah berselancar beberapa detik, arti dan makna kata Sipatuo ditemukan di Yahoo Groups. Dan hasilnya, Sipatuo berasal dari bahasa Bugis, Sulsel, yang berarti membangun silaturahim, kerja sama, dan persaudaraan, agar tercipta harmonisasi dalam menjalani kehidupan. Aih, cakep. Apalagi yang menuturkan kalimat di atas adalah seorang ustad. Ha-ha-ha.
Nah, bagi saya dan para pembaca, yang pernah berkunjung ke Sipatuo di zaman baheula. Entah saat itu di tahun 2000 pembaca masih duduk di bangku SD, SMP, SMA, pasti akan melirik ke kiri atas untuk coba mengingat. Benar, Sipatuo adalah toko emas yang beralih fungsi menjadi sorga bagi para gamers.
Saya mula-mula ingat toko Sipatuo, saat sedang memindai beberapa game di aplikasi pencarian Android, setelah mulai agak bosan dengan CoC. Salah satu game pesawat tempur menarik perhatian. Star Fighters Strom Raid namanya. Cat kuning pintu toko Sipatuo di Jalan Kartini, Kotamobagu, tiba-tiba melintas. Senyum di wajah Mas si penjaga toko pun membayang. Meski Sipatuo toko orang Bugis, kami dulu terbiasa menyapanya Mas atau malah Pak Guru. Sipatuo telah menyita begitu banyak waktu kami, dibanding mata pelajaran.
Jam delapan pagi, remaja berseragam SMA sudah berbaris di depan Sipatuo. Saya salah satunya. Sedangkan yang SD dan SMP biasanya baru tiba saat jam istirahat.
"Pagi Pak Guru!" sapa kami sing a long, saat Mas membuka pintu toko.
Seperti Pak Guru yang terkesan ramah dan baik hati, Mas tersenyum dan membalas canda kami.
"Kemejanya dimasukin ke celana. Yang rapi anak-anak!" Mas memang memiliki selera humor di atas rata-rata.
Setelah menukar lembaran seribu menjadi koin, kami duduk berjejer rapi di depan kotak-kotak game. Yang doyan Raiden (game pesawat tempur) posisinya paling berdekatan dengan tempat penukaran uang, paling ujung ruangan. Sedangkan yang gemar Tekken dan Mortal Combat (game tarung) posisinya di tengah, atau berada dekat pintu. Ada game lainnya tapi saya lupa. Seingat saya (yang kurang merawat ingatan), ada lima kotak game saling berhadapan. Jadi jumlah keseluruhan kotak game ada sepuluh, tapi yang paling mendominasi adalah Tekken, ada sekira enam kotak. Saya menyebut kotak game, sebab monitor game itu didesain di dalam kotak setinggi sekira 1 meter, dengan lebar hampir 40 cm.
Nah, seminggu dua minggu di Sipatuo sejak pertama kali berkunjung, biasanya saya merogoh kocek lima sampai sepuluh ribuan. Itu dari uang jajan yang kala itu hanya tersisa tiga ribu setelah dipakai membayar mikrolet. Sedangkan sisanya, saya dapat dari 'memalak' gadis-gadis di terminal, dengan air muka keruh seperti belum makan seharian. Ha-ha-ha.
Setiap kali main, tiga koin ratusan 'ditabung' di 'celengan'. Jangan berharap 'celengan' itu bisa kita buka semaunya, sebab hanya Mas juru kuncinya. Setiap kali koin masuk ke kotak game, wajah Mas tersenyum puas. Mas jadi seperti Paman Sam yang menunjuk ke arah kami sembari berucap, "I Want You!"
Seperti pemilik modal kebanyakan, Mas memang butuh kami agar roda usahanya terus berputar. Jika 10 orang rata-rata merogoh kocek Rp5 ribu per orang, sudah Rp50 ribu yang masuk ke karungnya Mas. Sementara, gamers di Sipatuo hampir ratusan datang silih berganti, sejak dibuka pagi hingga malam hari. Hampir setengah karung koin setiap kali Mas memanen per kotak game. Di penukaran uang, koin-koin membumbung layaknya gudang penyimpanan uang milik Paman Gober. Mas juga lumayan pelit seperti Paman Gober.
Aturan dalam setiap kotak game, tiga koin ratusan untuk tiga nyawa. Sekali kita kalah, tersisa dua nyawa. Setelah dua nyawa habis, kita harus kembali memasukkan tiga koin.
Remaja, orang dewasa, anak-anak, perempuan, laki-laki, bahkan orang-orang uzur hinggap di Sipatuo. Kala malam hari, Sipatuo begitu benderang dan bising. Beberapa kali ada perselisihan, tapi akhirnya bisa didamaikan oleh Mas.
Nah, bagi saya dan para pembaca, yang pernah berkunjung ke Sipatuo di zaman baheula. Entah saat itu di tahun 2000 pembaca masih duduk di bangku SD, SMP, SMA, pasti akan melirik ke kiri atas untuk coba mengingat. Benar, Sipatuo adalah toko emas yang beralih fungsi menjadi sorga bagi para gamers.
Saya mula-mula ingat toko Sipatuo, saat sedang memindai beberapa game di aplikasi pencarian Android, setelah mulai agak bosan dengan CoC. Salah satu game pesawat tempur menarik perhatian. Star Fighters Strom Raid namanya. Cat kuning pintu toko Sipatuo di Jalan Kartini, Kotamobagu, tiba-tiba melintas. Senyum di wajah Mas si penjaga toko pun membayang. Meski Sipatuo toko orang Bugis, kami dulu terbiasa menyapanya Mas atau malah Pak Guru. Sipatuo telah menyita begitu banyak waktu kami, dibanding mata pelajaran.
Jam delapan pagi, remaja berseragam SMA sudah berbaris di depan Sipatuo. Saya salah satunya. Sedangkan yang SD dan SMP biasanya baru tiba saat jam istirahat.
"Pagi Pak Guru!" sapa kami sing a long, saat Mas membuka pintu toko.
Seperti Pak Guru yang terkesan ramah dan baik hati, Mas tersenyum dan membalas canda kami.
"Kemejanya dimasukin ke celana. Yang rapi anak-anak!" Mas memang memiliki selera humor di atas rata-rata.
Setelah menukar lembaran seribu menjadi koin, kami duduk berjejer rapi di depan kotak-kotak game. Yang doyan Raiden (game pesawat tempur) posisinya paling berdekatan dengan tempat penukaran uang, paling ujung ruangan. Sedangkan yang gemar Tekken dan Mortal Combat (game tarung) posisinya di tengah, atau berada dekat pintu. Ada game lainnya tapi saya lupa. Seingat saya (yang kurang merawat ingatan), ada lima kotak game saling berhadapan. Jadi jumlah keseluruhan kotak game ada sepuluh, tapi yang paling mendominasi adalah Tekken, ada sekira enam kotak. Saya menyebut kotak game, sebab monitor game itu didesain di dalam kotak setinggi sekira 1 meter, dengan lebar hampir 40 cm.
Nah, seminggu dua minggu di Sipatuo sejak pertama kali berkunjung, biasanya saya merogoh kocek lima sampai sepuluh ribuan. Itu dari uang jajan yang kala itu hanya tersisa tiga ribu setelah dipakai membayar mikrolet. Sedangkan sisanya, saya dapat dari 'memalak' gadis-gadis di terminal, dengan air muka keruh seperti belum makan seharian. Ha-ha-ha.
Setiap kali main, tiga koin ratusan 'ditabung' di 'celengan'. Jangan berharap 'celengan' itu bisa kita buka semaunya, sebab hanya Mas juru kuncinya. Setiap kali koin masuk ke kotak game, wajah Mas tersenyum puas. Mas jadi seperti Paman Sam yang menunjuk ke arah kami sembari berucap, "I Want You!"
Seperti pemilik modal kebanyakan, Mas memang butuh kami agar roda usahanya terus berputar. Jika 10 orang rata-rata merogoh kocek Rp5 ribu per orang, sudah Rp50 ribu yang masuk ke karungnya Mas. Sementara, gamers di Sipatuo hampir ratusan datang silih berganti, sejak dibuka pagi hingga malam hari. Hampir setengah karung koin setiap kali Mas memanen per kotak game. Di penukaran uang, koin-koin membumbung layaknya gudang penyimpanan uang milik Paman Gober. Mas juga lumayan pelit seperti Paman Gober.
Aturan dalam setiap kotak game, tiga koin ratusan untuk tiga nyawa. Sekali kita kalah, tersisa dua nyawa. Setelah dua nyawa habis, kita harus kembali memasukkan tiga koin.
Remaja, orang dewasa, anak-anak, perempuan, laki-laki, bahkan orang-orang uzur hinggap di Sipatuo. Kala malam hari, Sipatuo begitu benderang dan bising. Beberapa kali ada perselisihan, tapi akhirnya bisa didamaikan oleh Mas.
Di Sipatuo, anak-anak SD atau SMP, biasanya harus antri untuk bisa main. Sebab seragam putih abu-abu adalah penguasa Sipatuo. Mereka pun terkadang jadi mangsa para pemalak. Merampas permen bocah-bocah ingusan memang terlalu mudah. Itu berlangsung di depan toko, sebab jika terjadi di dalam toko, Mas bakal menegur.
"Jangan lagi ke sini!"
Dilarang ke sorga memang jadi ancaman yang serius. Kala itu Sipatuo memang belum ada tandingannya.
Tapi seiring waktu, ternyata usaha ini malah bukan terus berkembang. Rasa jenuh menghinggapi gamers. Selain itu, keahlian para gamers terus meningkat dan terlatih. Dari yang biasanya butuh berpuluh-puluh koin untuk bisa mencapai level terakhir. Kini hanya butuh tiga koin, level terakhir dari Raiden, Tekken, atau Mortal Combat bisa terlewati dengan mudah. Siapa yang pernah memamerkan tendangan bayangannya Hwoarang? sampai lawan di akhir turnamen menelungkup.
Misalnya kalau dalam game Raiden, saya pun sudah bisa menebak di mana letak sasaran yang bisa memberi nyawa. Cukup disasar sebuah pohon, lalu nyawa-nyawa tambahan akan bermunculan.
Namun Mas sendiri akhirnya, jikalau melihat kami yang sudah master, suka menegur dan memberi kesempatan para newbie (pemula) untuk bermain. Dengan harapan bisa meraup untung yang lebih besar, dari para newbie yang kantongnya lebih dalam. Tapi seperti kami, newbie pun akhirnya seiring waktu akan menjadi master.
Dan.... Mas tertunduk. Ada awan gelap di luar sana, selain maraknya razia para guru dan orang tua murid, pun Playstation telah terpajang di toko-toko elektronik. Dua ribu untuk sewa per jam, dirasa lebih murah. Ko' Cao' dan Kansis jadi pilihan lain bagi para gamers. Apalagi VCD Player yang suka menyetel tontonan syur menjadi bonus. Meski begitu, Sipatuo menurut penuturan teman melalui chat BBM, saat ia di bangku SD sekira tahun 2004-2005 masih tetap eksis. Tapi akhirnya, saya menemukan toko Sipatuo kembali ke bentuk dekorasi semula, pada tahun 2009. Seingat saya, Sipatuo kembali menjadi toko emas. Sekarang, entah telah menjadi toko apa.
Tapi, benar sudah, bahwa ada begitu banyak pelajaran hidup di Sipatuo. Kebersamaan pernah berada di sana. Silaturahim antara remaja-remaja dari penjuru sekolah di Kotamobagu. Meski pernah ada tengkar antar kelompok pelajar, akhirnya damai selalu tercipta, berbaur dengan tawa, teriak, dan bising Sipatuo.
Maka beruntunglah mereka yang sempat mencecap Sipatuo.
"Masa kecil dan remaja Anda sangat bahagia."
"Jangan lagi ke sini!"
Dilarang ke sorga memang jadi ancaman yang serius. Kala itu Sipatuo memang belum ada tandingannya.
Tapi seiring waktu, ternyata usaha ini malah bukan terus berkembang. Rasa jenuh menghinggapi gamers. Selain itu, keahlian para gamers terus meningkat dan terlatih. Dari yang biasanya butuh berpuluh-puluh koin untuk bisa mencapai level terakhir. Kini hanya butuh tiga koin, level terakhir dari Raiden, Tekken, atau Mortal Combat bisa terlewati dengan mudah. Siapa yang pernah memamerkan tendangan bayangannya Hwoarang? sampai lawan di akhir turnamen menelungkup.
Misalnya kalau dalam game Raiden, saya pun sudah bisa menebak di mana letak sasaran yang bisa memberi nyawa. Cukup disasar sebuah pohon, lalu nyawa-nyawa tambahan akan bermunculan.
Namun Mas sendiri akhirnya, jikalau melihat kami yang sudah master, suka menegur dan memberi kesempatan para newbie (pemula) untuk bermain. Dengan harapan bisa meraup untung yang lebih besar, dari para newbie yang kantongnya lebih dalam. Tapi seperti kami, newbie pun akhirnya seiring waktu akan menjadi master.
Dan.... Mas tertunduk. Ada awan gelap di luar sana, selain maraknya razia para guru dan orang tua murid, pun Playstation telah terpajang di toko-toko elektronik. Dua ribu untuk sewa per jam, dirasa lebih murah. Ko' Cao' dan Kansis jadi pilihan lain bagi para gamers. Apalagi VCD Player yang suka menyetel tontonan syur menjadi bonus. Meski begitu, Sipatuo menurut penuturan teman melalui chat BBM, saat ia di bangku SD sekira tahun 2004-2005 masih tetap eksis. Tapi akhirnya, saya menemukan toko Sipatuo kembali ke bentuk dekorasi semula, pada tahun 2009. Seingat saya, Sipatuo kembali menjadi toko emas. Sekarang, entah telah menjadi toko apa.
Tapi, benar sudah, bahwa ada begitu banyak pelajaran hidup di Sipatuo. Kebersamaan pernah berada di sana. Silaturahim antara remaja-remaja dari penjuru sekolah di Kotamobagu. Meski pernah ada tengkar antar kelompok pelajar, akhirnya damai selalu tercipta, berbaur dengan tawa, teriak, dan bising Sipatuo.
Maka beruntunglah mereka yang sempat mencecap Sipatuo.
"Masa kecil dan remaja Anda sangat bahagia."
No comments :
Post a Comment