... Sekejap sebuah lengan melayang dengan telapak tangan terbuka. Plak! (Baca sebelumnya: Bagian 2)
Usai menampar, ibu itu menatap nanar. Yang ditampar jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan marah, malu, dan kesal berkecamuk di wajahnya. Semua pandangan tertuju padanya. Aku yang kebetulan menyusul juga ke rumah sakit, merangsek di antara kerumunan lalu segera menarik lengan wartawan itu. Aku menyeretnya keluar dari penghakiman.
"Kau cukup nekat mewawancarainya," ujarku.
"Aku juga tidak berani tadi. Tapi, tapi... Aku ditelepon redaktur pelaksana kami, bahwa harus dapat mewawancarai ibu itu," jelasnya sambil mengurut pipinya.
"Jika kau mendapat perintah seperti itu lagi, kau bisa menolaknya. Risikonya seperti tadi nanti."
Kami terlibat perbincangan begitu lama. Ternyata dia wartawan magang. Namanya Ojan. Di tengah pembicaraan, aku melirik kembali arloji. Tinggal sejam lagi, adzan subuh akan berkumandang.
Aku lantas pamit pulang ke kos yang sedari tadi terus saja tertunda. Hanya memacu sepeda motor beberapa menit, pintu kamar telah di depan mata. Di dalam kamar, tubuhku seketika jatuh terbenam di kasur. Dan perlahan-lahan aku diseret jauh ke dalam alam bawah sadar. Terlelap.
***
Langit berjelaga dan mentari pagi perlahan memolesnya menjadi terang. Gladys telah segar sepagi itu. Rambut hitamnya digelung dan terikat ke samping. Putih punggung lehernya tampak diterjuni beberapa helai rambut. Di depan cermin, dia sibuk mewarnai bibirnya. Merah tegas.
Sepasang sepatu Converse yang warna merahnya mulai memudar, diliriknya. Tak berselang lama, Gladys seperti gasing di depan cermin, dengan kaos putih polos berlengan pendek, dipadu celana panjang denim berwarna abu-abu yang sobek di bagian paha dan dengkul. Ransel merah menggantung di punggungnya.
Gladys mendekatkan wajahnya ke cermin. Alisnya dibiarkan tumbuh alami. Kulit wajahnya pun tanpa polesan bedak. Bibir jadi satu-satunya yang disentuh kosmetik. Hanya gincu merah tegas. Hanya itu.
"Kau sudah siap?" Suara itu datang dari depan kamar. Lalu pintu kamar menganga. Temannya, Lina, juga telah siap dengan ransel di punggung.
"Kita jalan kaki saja ya?" tawar Gladys.
"Iya. Terminalnya juga dekat kok."
"Eh, Ririn ditahan semalam?" tanya Gladys.
"Sepertinya tadi pagi dia sudah ada. Mungkin sedang tidur."
"Baguslah."
Mereka berdua hanya menyusuri beberapa lorong dari kos-kosan, kemudian sebuah terminal yang hiruk telah di depan mata. Sebulir keringat menuruni hidung bangir Gladys, yang seketika saja ditepisnya. Pipinya tampak memerah. Menempuh jarak beberapa ratus meter dengan jalan kaki, membuat napasnya tersengal-sengal.
"Kan, kau yang bilang jalan kaki saja," ejek Lina saat melihat Gladys keringatan.
"Biar sehat!" silat Gladys.
Menunggu mikrolet yang akan mereka tumpangi penuh, Gladys memanggil seorang loper koran yang kebetulan lewat. Dia membeli satu. Saat membaca, di headline tak ada berita soal razia semalam. Lekas dia memilah per halaman, lalu menemukan berita soal razia di kos-kosannya.
"Kamar kos mahasiswi ditemukan botol miras. Saat digelandang malah memaki wartawan," baca Gladys. Judul dan sub-judulnya membuat Gladys segera merogoh ponsel di saku. Dia segera menghubungi Sigid.
Setelah beberapa nada kereta api, suara Sigid terdengar memelas, "Ada apa, Dys?"
"Berita Ririn muncul di koran. Brengsek! Judulnya juga persis dugaanku semalam. Kau lupa mengingatkan teman-temanmu?"
"Gladys, tidak semua wartawan akrab denganku. Semalam aku sempat mengirim pesan singkat ke beberapa teman, tapi aku tidak bisa menjamin semuanya."
"Kasihan Ririn. Aku khawatir cepat atau lambat orangtuanya akan tahu."
"Aku juga turut prihatin. Tapi itu media milik mereka. Aku tidak bisa berbuat banyak."
"Baiklah. Lanjut tidur sana! Eh, aku dan Lina mau mudik nih! mungkin seminggu di kampung."
"Mendadak sekali?"
"Iya, tiba-tiba rindu kampung karena kejadian semalam."
"Hmm... Hati-hati di jalan ya. Salam buat bapak dan ibu."
"Iya, terima kasih. Nanti aku sampaikan."
Gladys mengulum bibir bawahnya setelah menyudahi percakapan. Dia kembali menyimak koran di pangkuannya. Di samping berita soal Kikan, ada juga berita kecelakaan tunggal. Korban meninggal.
Dia kembali sibuk membolak-balik setiap halaman. Berita-berita lainnya, hanya berisi sampah-sampah tentang laku luhur para pejabat. Yang lain, kritikan berisi sinyal-sinyal uang saku. Sedangkan di headline yang sempat dilewatkannya tadi, ada berita tentang koruptor yang katanya dikriminalisasi. Judulnya pun seperti tirai yang membikin laku bejat si koruptor jadi kian samar.
Terdengar teriak si sopir yang menyampaikan bahwa daftar penumpang telah penuh. Gladys meninggalkan koran itu di bangku terminal. Dia dan Lina segera masuk ke dalam mikrolet.
"Lin, menurutmu, aku cocok tidak jadi jurnalis?" tanya Gladys, setelah mikrolet mulai melaju.
"Memang kalau jadi jurnalis bisa menjamin masa depanmu?" Lina kembali serius dengan ponselnya.
"Yang kau maksudkan dengan masa depan?"
"Ya... soal karir dalam pekerjaanmu yang bisa memenuhi segala kebutuhan hidupmu."
"Aku kira bisa. Digaji secukupnya juga aku terima. Aku ingin belajar banyak soal jurnalistik."
"Tapi, tidak selamanya belajar, kan? Kau juga nanti akan menikah dan memiliki anak."
"Aku kira, itu ada pada tahap selanjutnya untuk dipikirkan."
"Dan jika kau telah ditahap itu?" Lina terus memburu. "Tahap ketika kau sudah menikah dan memiliki anak?"
"Saya mengerti maksudmu. Tapi, karier seorang jurnalis pun tak selamanya hanya menjadi pemburu berita. Selain itu, kalau mau kaya jangan jadi jurnalis. Tapi jadi pengusaha."
"Aku tidak berkata kalau menjadi jurnalis itu tidak bakal kaya."
"Lin, jika jurnalis itu digaji layak, aku kira masih bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka."
Rambut sebahu Lina diterpa angin yang leluasa masuk dari kaca mikrolet yang dibiarkannya terbuka. Dia mengangguk tanda sepakat dengan pernyataan Gladys. Kemudian pandangannya kembali terpaku pada ponsel.
"Di media online berita soal Ririn sudah ramai. Bahkan sudah menjadi viral di media sosial," kata Lina.
"Aku sudah membacanya sedari pagi. Tapi aku memilih untuk tidak mengabari Ririn."
"Sebaiknya memang begitu." Lina melempar pandangannya ke hijau persawahan.
Kendaraan yang mereka tumpangi terus melaju. Menuju satu desa di wilayah Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow. Sebuah desa yang menjadi miniatur akan tingginya toleransi antar umat beragama. Dan di mana begitu eratnya rasa kebersamaan.
Usai menampar, ibu itu menatap nanar. Yang ditampar jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan marah, malu, dan kesal berkecamuk di wajahnya. Semua pandangan tertuju padanya. Aku yang kebetulan menyusul juga ke rumah sakit, merangsek di antara kerumunan lalu segera menarik lengan wartawan itu. Aku menyeretnya keluar dari penghakiman.
"Kau cukup nekat mewawancarainya," ujarku.
"Aku juga tidak berani tadi. Tapi, tapi... Aku ditelepon redaktur pelaksana kami, bahwa harus dapat mewawancarai ibu itu," jelasnya sambil mengurut pipinya.
"Jika kau mendapat perintah seperti itu lagi, kau bisa menolaknya. Risikonya seperti tadi nanti."
Kami terlibat perbincangan begitu lama. Ternyata dia wartawan magang. Namanya Ojan. Di tengah pembicaraan, aku melirik kembali arloji. Tinggal sejam lagi, adzan subuh akan berkumandang.
Aku lantas pamit pulang ke kos yang sedari tadi terus saja tertunda. Hanya memacu sepeda motor beberapa menit, pintu kamar telah di depan mata. Di dalam kamar, tubuhku seketika jatuh terbenam di kasur. Dan perlahan-lahan aku diseret jauh ke dalam alam bawah sadar. Terlelap.
***
Langit berjelaga dan mentari pagi perlahan memolesnya menjadi terang. Gladys telah segar sepagi itu. Rambut hitamnya digelung dan terikat ke samping. Putih punggung lehernya tampak diterjuni beberapa helai rambut. Di depan cermin, dia sibuk mewarnai bibirnya. Merah tegas.
Sepasang sepatu Converse yang warna merahnya mulai memudar, diliriknya. Tak berselang lama, Gladys seperti gasing di depan cermin, dengan kaos putih polos berlengan pendek, dipadu celana panjang denim berwarna abu-abu yang sobek di bagian paha dan dengkul. Ransel merah menggantung di punggungnya.
Gladys mendekatkan wajahnya ke cermin. Alisnya dibiarkan tumbuh alami. Kulit wajahnya pun tanpa polesan bedak. Bibir jadi satu-satunya yang disentuh kosmetik. Hanya gincu merah tegas. Hanya itu.
"Kau sudah siap?" Suara itu datang dari depan kamar. Lalu pintu kamar menganga. Temannya, Lina, juga telah siap dengan ransel di punggung.
"Kita jalan kaki saja ya?" tawar Gladys.
"Iya. Terminalnya juga dekat kok."
"Eh, Ririn ditahan semalam?" tanya Gladys.
"Sepertinya tadi pagi dia sudah ada. Mungkin sedang tidur."
"Baguslah."
Mereka berdua hanya menyusuri beberapa lorong dari kos-kosan, kemudian sebuah terminal yang hiruk telah di depan mata. Sebulir keringat menuruni hidung bangir Gladys, yang seketika saja ditepisnya. Pipinya tampak memerah. Menempuh jarak beberapa ratus meter dengan jalan kaki, membuat napasnya tersengal-sengal.
"Kan, kau yang bilang jalan kaki saja," ejek Lina saat melihat Gladys keringatan.
"Biar sehat!" silat Gladys.
Menunggu mikrolet yang akan mereka tumpangi penuh, Gladys memanggil seorang loper koran yang kebetulan lewat. Dia membeli satu. Saat membaca, di headline tak ada berita soal razia semalam. Lekas dia memilah per halaman, lalu menemukan berita soal razia di kos-kosannya.
"Kamar kos mahasiswi ditemukan botol miras. Saat digelandang malah memaki wartawan," baca Gladys. Judul dan sub-judulnya membuat Gladys segera merogoh ponsel di saku. Dia segera menghubungi Sigid.
Setelah beberapa nada kereta api, suara Sigid terdengar memelas, "Ada apa, Dys?"
"Berita Ririn muncul di koran. Brengsek! Judulnya juga persis dugaanku semalam. Kau lupa mengingatkan teman-temanmu?"
"Gladys, tidak semua wartawan akrab denganku. Semalam aku sempat mengirim pesan singkat ke beberapa teman, tapi aku tidak bisa menjamin semuanya."
"Kasihan Ririn. Aku khawatir cepat atau lambat orangtuanya akan tahu."
"Aku juga turut prihatin. Tapi itu media milik mereka. Aku tidak bisa berbuat banyak."
"Baiklah. Lanjut tidur sana! Eh, aku dan Lina mau mudik nih! mungkin seminggu di kampung."
"Mendadak sekali?"
"Iya, tiba-tiba rindu kampung karena kejadian semalam."
"Hmm... Hati-hati di jalan ya. Salam buat bapak dan ibu."
"Iya, terima kasih. Nanti aku sampaikan."
Gladys mengulum bibir bawahnya setelah menyudahi percakapan. Dia kembali menyimak koran di pangkuannya. Di samping berita soal Kikan, ada juga berita kecelakaan tunggal. Korban meninggal.
Dia kembali sibuk membolak-balik setiap halaman. Berita-berita lainnya, hanya berisi sampah-sampah tentang laku luhur para pejabat. Yang lain, kritikan berisi sinyal-sinyal uang saku. Sedangkan di headline yang sempat dilewatkannya tadi, ada berita tentang koruptor yang katanya dikriminalisasi. Judulnya pun seperti tirai yang membikin laku bejat si koruptor jadi kian samar.
Terdengar teriak si sopir yang menyampaikan bahwa daftar penumpang telah penuh. Gladys meninggalkan koran itu di bangku terminal. Dia dan Lina segera masuk ke dalam mikrolet.
"Lin, menurutmu, aku cocok tidak jadi jurnalis?" tanya Gladys, setelah mikrolet mulai melaju.
"Memang kalau jadi jurnalis bisa menjamin masa depanmu?" Lina kembali serius dengan ponselnya.
"Yang kau maksudkan dengan masa depan?"
"Ya... soal karir dalam pekerjaanmu yang bisa memenuhi segala kebutuhan hidupmu."
"Aku kira bisa. Digaji secukupnya juga aku terima. Aku ingin belajar banyak soal jurnalistik."
"Tapi, tidak selamanya belajar, kan? Kau juga nanti akan menikah dan memiliki anak."
"Aku kira, itu ada pada tahap selanjutnya untuk dipikirkan."
"Dan jika kau telah ditahap itu?" Lina terus memburu. "Tahap ketika kau sudah menikah dan memiliki anak?"
"Saya mengerti maksudmu. Tapi, karier seorang jurnalis pun tak selamanya hanya menjadi pemburu berita. Selain itu, kalau mau kaya jangan jadi jurnalis. Tapi jadi pengusaha."
"Aku tidak berkata kalau menjadi jurnalis itu tidak bakal kaya."
"Lin, jika jurnalis itu digaji layak, aku kira masih bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka."
Rambut sebahu Lina diterpa angin yang leluasa masuk dari kaca mikrolet yang dibiarkannya terbuka. Dia mengangguk tanda sepakat dengan pernyataan Gladys. Kemudian pandangannya kembali terpaku pada ponsel.
"Di media online berita soal Ririn sudah ramai. Bahkan sudah menjadi viral di media sosial," kata Lina.
"Aku sudah membacanya sedari pagi. Tapi aku memilih untuk tidak mengabari Ririn."
"Sebaiknya memang begitu." Lina melempar pandangannya ke hijau persawahan.
Kendaraan yang mereka tumpangi terus melaju. Menuju satu desa di wilayah Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow. Sebuah desa yang menjadi miniatur akan tingginya toleransi antar umat beragama. Dan di mana begitu eratnya rasa kebersamaan.
(Bersambung)
No comments :
Post a Comment