|
wikipedia.org |
Sore di Ramadan itu masih benderang. Lapar dan dahaga memuncak. Namun ada segeliat anak-anak muda, tampak sibuk di sebuah taman kota. Mereka memajang buku-buku pada sepenggal rak mini. Menyulap taman kota berlumut itu jadi taman bacaan.
Panggung mungil berkesan sederhana dihiasi pajangan-pajangan. Dari mulai; nukilan-nukilan penyair dan penulis besar yang mengapur berwarna-warni pada papan-papan tulis hitam, kotak-kotak kayu dan buku-buku yang bertebaran, juga seuntai lampu hias dan kertas berwarna merambat bersilangan di atasnya.
Bangku tua, cajon, dan dua stand mic, mempertegas kesan kesederhanaan pentas seni yang bertajuk 'Buka Puisi' di sore itu. Tenda, tikar-tikar kain bermotif kotak-kotak dan bantal-bantal mungil bertebaran di sekitar panggung. Photo booth yang didesain serupa bingkai Instagram, melengkapi komposisi tema acara 'Dekorasi Piknik'.
Inisiator pentas seni itu, adalah anak-anak muda Kelompok Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow (KPMIBM) cabang Makassar. Juga diramaikan KPMIBM cecabang lainnya dari Jogja dan Bandung. Mereka mahasiswa dan mahasiswi yang tengah mencari remah-remah pengetahuan, untuk dibawa pulang ke tanah leluhur, Bolaang Mongondow.
Mereka mengatalis kegelisahan atas pembiaran ruang-ruang publik di Kotamobagu, menjadi ide untuk menggagas sebuah pentas seni. Kegelisahan yang sama, yang dirasakan oleh anak-anak muda yang mafhum, bahwa ruang-ruang publik di Kotamobagu, telah menjadi ruang hampa kreatifitas.
Proyek-proyek taman kota di Kotamobagu selama ini, terkesan asal-asalan dan miskin ide. Seperti sepotong taman kota di Gelanggang Olahraga (Gelora) Ambang, yang hanya ditongkrongi dedemit. Gelora Ambang jadi sarang hantu, setelah bertahun-tahun ditelantarkan.
Taman kota yang dicat biru-putih itu, yang mungkin nanti akan diubah catnya menjadi merah, adalah sepotong taman yang angker bin mokoondok (menakutkan). Manusia mana yang berkenan melepaskan penat di sana?
Sedangkan taman kota tempat dilangsungkannya pentas seni 'Buka Puisi', yang berada di titik terindah di pusat kota, sudah menjadi rahasia umum bahwa selain jadi ring kelahi, juga menjadi tempat perempuan-perempuan malam menjajakan birahi demi sesuap nasi. Mereka yang berada di kelas terbawah, yang tak tahu lagi harus mengais uang rempah-rempah, lauk, dan beras di mana.
Taman kota juga menjadi sasaran empuk razia-razia. Siapa yang mau menongkrong di sana, jika razia-razia jadi momok menakutkan bagi anak-anak muda? Bahkan ruang seprivasi kos-kosan dan hotel-hotel, tak luput dari geruduk.
Maka pentas seni yang membingar di taman kota itu, sekadar protes atas segala pembiaran dan pembuyaran yang terjadi. Di mana lagi anak-anak muda ingin menumpah-ruahkan kreatifitas mereka? Di kedai-kedai kopi yang menjamur dan mahal itu? Tempat di mana cangkir-cangkir kopi pajangan difoto, ditebar, lalu meruap sia-sia?
Di 'Buka Puisi', bait-bait puisi karya penyair-penyair Bolmong, meninju congkak para orang-orang tua berkepala batu. Meminta agar kebodohan-kebodohan mereka disingkirkan lalu di-upgrade. Mata mereka dibuka, dan telinga-telinga mereka dilebarkan agar bisa menangkap pesan-pesan.
Tema 'Dekorasi Piknik' juga jadi bentuk kritikan kepada para pemangku kebijakan. Seperti hendak mengatakan, "Piknik dulu sana!"
Iya, piknik sebenar-benarnya piknik. Biar pikiran segar dan ide-ide cemerlang hadir. Bukan piknik berupa: studi banding, kunjungan kerja, dan pasiar-pasiar yang sia-sia, yang hanya menghabiskan uang negara, uang rakjat!
Selain protes atas razia-razia yang marak terjadi, segala keluhan anak-anak muda juga terlontar di sana. Dari internet yang katanya gratis di taman kota Kotamobagu, yang ternyata tidak bisa diakses. Taman kota yang penerangannya tidak memadai dan memang pantas jadi ring kelahi. Toilet yang gelap, licin, dan baunya seperti mulut pejabat-pejabat pengumbar janji.
Dan, ketika taman kota beralih fungsi menjadi tempat esek-esek, maka jangan salahkan perempuan-perempuan malam itu. Mereka bermaksiat karena nasib mereka sekarat. Mereka melacur karena pengingkaran janji-janji negara untuk menjamin hak hidup mereka.
Jika taman kota menjadi wadah kreatifitas anak-anak muda, bukan tidak mungkin perempuan-perempuan malam itu akan diajak bertukar-tangkap pengetahuan, lalu ditulari pikiran-pikiran merdeka; bahwa hidup tak selekas separuh malam, yang mereka lewati dengan para lelaki hidung belang. Hidup ini panjang dan begitu luas untuk dipenuhi dengan mimpi-mimpi besar.
Mencuri kata-kata penyair Chairil Anwar pada poster ketika kemerdekaan Indonesia 1945 yang, ternyata kata-kata itu dipungutnya dari ucap-ajak para pelacur di Jakarta di masa itu...
Boeng, ajo boeng!
Kita reboet kembali!
'Buka Puisi' adalah hatur hormat kami pada Kotamobagu. Kami mencintai kota yang mungil ini. Sebab kota ini adalah laci tempat dimana tersimpan kenangan-kenangan.