Lelaki itu berjalan tanpa alas kaki. Tanah, menjadikan telapak kakinya setebal harapannya. Ia terus berjalan. Sampai telapak kakinya terasa menginjak awan. Ia ingin mencari persoalan-persoalan yang, mungkin mampu membunuh induk persoalan dalam hidupnya. Cinta.
Dalam perjalanan, ia menjumpai seloyang telaga yang airnya datar dan sunyi. Jenak, selain sore, telaga itu menjadi perhentiannya. Pohon rebah di tepi telaga berubah menjadi bangku memanjang. Ia duduk separuh istirah.
Sore itu begitu hening. Seperti sebuah kecupan ibu di kening. Seketika ia ingat secarik kertas yang diberikan ibunya.
"Dilau hak kuja huk." Lelaki itu merapal pelan kata-kata yang tertulis pada kertas, usai satu lipatan merekah. Itu sepotong mantra yang ditulis tangan, dengan tinta biru di atas kertas putih.
Ia sebenarnya telah hafal empat kata itu, pun artinya yang malah terdiri dari lima kata.
Ingatan kembali pada cakap-tanya bersama ibunya.
"Itu bahasa apa, Ibu?"
"Ibu juga tidak tahu. Mantra itu dibisik turun-temurun bersama artinya saja. Sedangkan bahasa itu, entah bahasa apa. Nenek hanya menyebut itu bahasa 'ibu'."
Kertas itu tak sendiri terbungkus plastik bening. Ada lima helai daun perdu turut di dalamnya. Perdu pendek bernama latin mimosa pudica. Nama yang mengingatkan ia pada segaris lorong di kotanya. Lorong Mimosa. Akronim dari tiga suku yang mendiami lorong itu; Minahasa, Mongondow, dan Sangir. Daun itu lebih dikenal sebagai putri malu.
Ia tidak pernah bertanya kepada ibunya, kenapa ada lima helai daun putri malu di dalam plastik. Ia hanya menerka hubungan antara mantra itu dan daun putri malu. Sangat erat.
Satu helai daun putri malu ditariknya dari dalam kantong plastik. Jika manusia, maka daun itu adalah jasad hijau. Daun itu diam, kendati seiring waktu ia terus bergerak menuju rupa yang berbeda.
"Apakah AKU akan seperti daun ini?" Lelaki itu berbisik pada dirinya sendiri.
Mantra, daun putri malu, dan keraguan kini bertengger di atas pahanya. Ia lantas bangkit menuju ke tepi telaga. Kertas selebar bungkus permen itu disobeknya menjadi dua bagian. Ia melarung bagian mantra yang tertulis arti dalam bahasa Indonesia.
Setelah perjalanan panjang itu, akhirnya ia berani memisahkan bahasa 'ibu' dan 'Indonesia'.
"Biarkan bahasa 'ibu' menjadi misteri."
Lelaki itu memang tumbuh dengan keragu-raguan. Sepanjang perjalanan, beberapa kali ia mencoba untuk membuang mantra itu. Tapi akhirnya ia memilih hanya menyobeknya menjadi dua bagian. Lalu menyimpan bagian yang berisi bahasa 'ibu'.
Dan potongan kertas yang terkulai pada kulit air itu, ialah arti dari sekumpulan cinta yang tak satu pun sanggup dicintainya.
Ia kembali menyimpan mantra itu. Kali ini, di kantong kaus sebelah kiri.
Celana pendek dan kaus berlengan pendek yang dikenakannya, mulai iba pada tubuhnya sebab malam telah tiba. Ia menuju pohon yang rebah, lalu penuh istirah. Malam yang hitam, perlahan menelan warna-warna di sekitar lelaki itu. Yang tersisa hanya kelabu dari warna telaga. Lalu kelopak mata lelaki itu lambat-lambat mengatup.
"Ibu selalu senang ketika menyebut namamu, Saga."
"Kenapa, Ibu?"
"Ibu hanya senang saja ketika nama panjangmu, Sadra Gadirkum, menjadi lebih pendek."
"Kenapa tidak dipanggil Sadra saja? Atau, seperti anak-anak lain, yang nama kesayangan mereka bisa jauh berbeda dari nama panjang mereka?"
"Sebab nama seperti puisi. Dan setiap orangtua memilih puisinya sendiri-sendiri. Semakin pendek, semakin kau mengenal cinta."
Lelaki itu terhenyak. Tubuhnya kini berada di atas tanah. Ia menyeka bagian kulit dan pakaiannya yang penuh tanah. Kantuk masih menyimpulnya, yang membuat ia berbaring lagi di atas pohon itu. Mimpi itu berlanjut. Masih bersama ibu.
"Saga ingin bertanya tentang mantra itu, Ibu."
"Dilau hak kuja huk?"
"Iya."
"Saga sudah pernah bertanya soal itu, bukan?"
"Tapi, Saga masih penasaran."
"Kenapa?"
"Sampai sekarang Saga tidak pernah menemukan cinta."
"Cinta dalam mantra itu harus Saga maknai seluas semesta."
"Saga tidak perlu semesta. Saga hanya ingin MENGAMBIL satu cinta saja. Satu saja, Ibu."
Ibunya lama membisu. Saga masih menunggu. Ia ingin tahu mengapa satu cinta saja tidak pernah hadir dalam hidupnya.
"Saga, cinta tidak pernah datang, tapi ia menunggu untuk ditemukan."
Suara ibunya perlahan merangkak masuk ke dalam liang telinganya. Kata-kata itu mengganggunya.
"Tapi, buktinya, Saga tidak pernah menemukannya. HATI ini terus tersiksa. Seandainya Saga menemukannya, Saga ingin membunuhnya saja. Ibu punya mantra untuk membunuh cinta?"
Kelopak mata lelaki itu tak lagi terkatup. Ia tidak sedang berhadap-hadapan dengan ibunya lagi. Tatapannya kini menjadi penyanggah antara bumi dan langit. Ia tercenung lalu coba mengingat kembali potongan-potongan mimpi itu. Kenapa tiba-tiba ia terbangun? Ia mencoba untuk kembali tidur. Tapi mimpi itu tidak hadir untuk ketiga kalinya.
Ia kembali bangkit lalu berjalan menuju ke tepi telaga. Kertas yang sebelumnya mengapung diam, tak ada lagi di sana. Ia kemudian melepaskan kausnya. Kulitnya tampak sekelabu telaga. Kaus hitam itu ia biarkan jatuh ke tanah. Celana pendek yang juga berwarna hitam ia lepaskan. Ia telanjang.
"Saga, mantra itu ada di kantong kausmu." Suara ibunya sayup-sayup terdengar.
Lambat-lambat, suara itu semakin keras.
"SEMUA cinta ada di situ, kau bisa memilihnya!"
Suara itu semakin dekat. Tapi tak ada sesosok pun mahluk yang tampak. Lelaki itu terus berjalan tanpa alas kaki. Ia tak lagi menginjak sekumpulan awan. Awan-awan itu telah berubah menjadi salju.
"Aku ORANG yang kini tahu. Cinta adalah kematian."
"Saaaagaaaaaa!" Teriak ibunya tanpa wujud.
Tapi air telah sejajar dengan telinga lelaki itu.
Dilau hak kuja huk...