Tato di punggung Bro Donna. Foto: Koleksi pribadi |
Bangku dan meja di SMP Negeri 2 Passi kala itu kerap dipenuhi coretan nama. Selain tinta pena, spidol, Tipp-Ex, nama-nama itu juga diukir menggunakan paku atau benda tajam lainnya. Saya salah satu yang gemar mengukir nama di bangku, meja, dinding, atau pintu kelas.
Saya belum mengenal seni tato sewaktu SMP. Nanti setelah SMA, saya mulai mengenal band-band cadas bertato seiring ramainya VCD player. Dari sanalah, kami yang terbiasa mengukir nama-nama di bangku, meja, dinding, atau toilet sekolah, mulai bersulih mencoret kemeja sekolah.
Logo-logo band luar negeri seperti Guns N' Roses, Metallica, Scorpion, Sepultura, dan masih banyak lagi, kerap kali kami ukir di bagian bawah kemeja sekolah. Satu-satunya bagian paling aman, sebab jika hendak ke sekolah kami diwajibkan memasukkan bagian bawah kemeja serapi-rapinya ke dalam celana.
Seiring waktu, di desa Passi (Eropassi), saya mulai mengenal seorang kerabat yang bernama Fidel Pranata Damopolii. Ayahnya bernama Syahrial Damopolii, salah satu politikus yang cukup dikenal. Nama Fidel mirip dengan nama tokoh revolusioner asal Kuba, Fidel Castro yang kerap disiarkan di televisi. Kebetulan, selain disapa Donna, ia juga memiliki a.k.a Fidel atau Castro.
Bahkan, di punggungnya bertengger tato bertuliskan Castro. Meski gaya hidupnya dikenal cukup hedonis kala itu sebab ayahnya menjadi Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Utara, Bro Donna tidak pernah berjarak dengan warga di desa kami. Bukan itu saja, pergaulannya dikenal hingga di pasar-pasar, lingkungan kumuh, bahkan di mana saja.
Sejak itulah, saya mulai tertarik dengan tokoh Fidel Castro yang menjadi panutannya. Kala itu, membaca buku-buku tentang Fidel Castro cukup sulit. Apalagi zaman itu belum ada internet masuk desa, apalagi gadget berfasilitas internet. Cara satu-satunya berkumpul dengan kerabat-kerabat yang lebih tua, dan yang sudah banyak tahu tentang Sang Comandante itu.
Dari cerita-cerita itulah, saya mulai mengenal Fidel Castro, Che Guevara, Mao Zedong, Pol Pot, Lenin, Ho Chi Minh, yang hampir tidak pernah saya temui dalam mata pelajaran sejarah di sekolah.
Sampai suatu hari, saya berkesempatan duduk melingkar dengan beberapa senior di desa saya. Salah satunya Bro Donna. Ia ramah dan suka tertawa. Ia tidak mau dituakan atau dianggap lebih tinggi derajatnya dengan siapapun. Ia sangat egaliter.
Seiring waktu, Bro Donna akhirnya mengikuti langkah ayahnya di dunia politik. Ia terpilih menjadi salah satu anggota legislatif di DPRD Provinsi Sulawesi Utara. Meski begitu, jika sesekali ia pulang ke desa kami, ia tetap menyempatkan diri untuk duduk bercengkerama dengan warga, pun dengan teman-teman sebayanya.
Kemudian, sakit merenggut usianya yang masih terlalu muda, pada Selasa, 28 September 2010. Ia masih berstatus anggota legislatif ketika berpulang. Pada hari pemakamannya, saya belum pernah melihat pelayat sebanyak itu. Mobil-mobil berderet di tanah lapang di depan rumahnya, pun mengular di sepanjang jalan hingga ratusan meter.
Hari ini, Sang Comandante, Fidel Castro, juga berpulang. Antara Kuba dan Eropassi. Saya seketika ingat dengan Bro Donna. Ia salah satu yang menjadi inspirasi untuk mengukir tubuh saya dengan wajah Sigi, Donal Bebek, dan Nietzsche.
Selamat jalan Comandante, semoga kalian bertemu di sana, reriungan bersama teman-teman lainnya. Dan merayakan pertemuan itu sembari membakar cerutu...
No comments :
Post a Comment