Sebelum berangkat ke Gorontalo, saya menziarahi makam Boneng (Onang) dan makammu, Bedew. Saya meminta Ucil, adik laki-lakinya Boneng untuk menemani saya. Saya tahu, tidak lama lagi hari kelahiranmu tiba. Tepat hari ini, 15 Januari.
Ibumu membukakan pintu dapur yang mengarah ke makammu. Ia berusaha tersenyum, tapi kesedihan terlalu berkabut di wajahnya.
Di makammu, masih ada karangan bunga yang telah hancur diremas panas matahari dan air hujan. Ada juga potongan demi potongan kenangan, ketika kami menemanimu selama tujuh malam di pondok samping makammu.
Beberapa batang rokok kami habiskan di pondokmu. Kerabatmu, Adit, juga datang menyusul. Dan seperti biasa, kesedihan itu berulang seperti kamu baru saja berpulang.
"Torang so mo pigi ne, Bedew."
Di depan, ibumu mencegat kami. Kali ini, raut wajahnya tak lagi berkabut kesedihan. Namun diliputi mendung yang dengan segera menjatuhkan bulir demi bulir air mata. Ia terisak-isak. Dan tanpa disadari, air mata kami juga telah ikut mengalir begitu saja.
"Tanggal 15 ini dia pe ulang tahun. Kong mo bekeng apa? Saki skali ini hati... Da pa inga skali." Tangis ibumu pecah. Saya jadi merasa bersalah telah mengundang kesedihan itu lagi di wajah ibumu.
Kemudian ibumu bercerita, kalau ia dan ayahmu telah bersepakat untuk menjual mobilmu. Ada satu niat mulia di balik itu. Selain itu, ibu dan ayahmu merasa tersiksa terus menerus ketika setiap terbangun di pagi hari, kerap kali mendapati mobilmu terpakir di garasi.
Tak ingin berlama-lama memupuk kesedihan ibumu, kami pun pamitan. Ia mengucapkan terima kasih. Punggung tangannya masih terus mengusap air mata, ketika kami beranjak pergi.
Ah, Bedew, maaf sudah membuat ibumu bersedih lagi.
Selamat hari ulang tahun, Bedew. Cheeerrsss!
Banggalah karena kamu menjemput kematian tanpa pernah menjadi orang dewasa.
No comments :
Post a Comment