DI BIBIR dermaga malam itu, laut terhampar serupa karpet hitam. Tapi itu bukan sebagai tanda penyambutan, melainkan pertanda sebentar lagi kami harus segera mengarungi Teluk Tomini.
Pukul 9 malam, kapal feri yang kami tumpangi bertolak dari pelabuhan Gorontalo menuju Luwuk Banggai. Itu kali pertama saya berkunjung ke sana.
“Nanti kita berlabuh di Pelabuhan Pagimana,” kata salah satu teman.
Kami berangkat 8 Januari 2016. Perjalanan akan kami tempuh semalaman. Kapal feri biasanya berlabuh sekitar pukul 6 pagi di Pelabuhan Pagimana.
Saat itu, ada kami bertujuh yang berangkat dari Gorontalo. Saya, Jufri, Chris, Opan, Ivol, dan Andri. Mat berasal dari Batui. Ia yang mengajak kami. Batui adalah salah satu desa dan kecamatan di Kabupaten Banggai. Mat selama ini kuliah di Gorontalo, dan setelah tamat ia memilih bekerja pula di Gorontalo.
Alasan kami ke Batui, ingin menyaksikan salah satu prosesi adat yang sudah turun temurun di sana. Namanya tradisi Tumpe. Selain itu, ada sebuah niat tulus yang hendak kami utarakan kepada masyarakat di sana.
“Sebenarnya, ritual Tumpe ini diadakan setiap penghujung tahun. Akhir 2015 seharusnya semua prosesi telah dilaksanakan. Tapi kali ini ditunda dan dilaksanakan pada awal 2016. Itu karena kami kesulitan mengumpulkan telur maleo untuk ritual,” cerita Mat.
Percakapan kami jenak terhenti. Kami satu per satu pergi memesan kopi di kafetaria mungil di sudut buritan kapal.
Saat saya berjalan menuju kafetaria, saya menyaksikan kesenjangan sosial yang sangat tampak. Kami beruntung bisa mendapat kelas VIP, setelah sepakat urunan karena barang-barang kami kurang aman di luar. Sementara penumpang lain, harus berdesak-desakan tidur di buritan selebar setengah lapangan futsal. Selain dingin, keadaan di buritan sangat bising.
Di kapal memang terbagi berbagai kelas. Dari kelas kardus, kasur, sampai yang berbilik. Dan mereka yang tidur di buritan adalah kelas kardus.
Bau keringat dan logam menyatu, meruap dan menebal sepanjang jalan saya menuju kafetaria. Orang-orang dengan segala nasib berserakan di lantai, di antara kafetaria mungil dan deretan kursi seadanya yang juga harus berebutan. Orang-orang yang duduk berjejer, seperti sedang menonton pementasan nasib dari mereka yang rebah di atas kardus-kardus.
Setelah masing-masing memesan kopi, kami melanjutkan percakapan. Tapi tidak lama, saya memilih menuju kamar untuk istirah.
Saya dibangunkan pukul 5 pagi oleh Opan. Kami bergegas menuju buritan lagi, untuk mengabadikan matahari terbit. Deretan bukit-bukit di pulau seberang dan awan-awan seakan menyatu. Dan matahari dengan cantiknya menyembul perlahan dari balik bukit.
Pukul 9 malam, kapal feri yang kami tumpangi bertolak dari pelabuhan Gorontalo menuju Luwuk Banggai. Itu kali pertama saya berkunjung ke sana.
“Nanti kita berlabuh di Pelabuhan Pagimana,” kata salah satu teman.
Kami berangkat 8 Januari 2016. Perjalanan akan kami tempuh semalaman. Kapal feri biasanya berlabuh sekitar pukul 6 pagi di Pelabuhan Pagimana.
Saat itu, ada kami bertujuh yang berangkat dari Gorontalo. Saya, Jufri, Chris, Opan, Ivol, dan Andri. Mat berasal dari Batui. Ia yang mengajak kami. Batui adalah salah satu desa dan kecamatan di Kabupaten Banggai. Mat selama ini kuliah di Gorontalo, dan setelah tamat ia memilih bekerja pula di Gorontalo.
Alasan kami ke Batui, ingin menyaksikan salah satu prosesi adat yang sudah turun temurun di sana. Namanya tradisi Tumpe. Selain itu, ada sebuah niat tulus yang hendak kami utarakan kepada masyarakat di sana.
“Sebenarnya, ritual Tumpe ini diadakan setiap penghujung tahun. Akhir 2015 seharusnya semua prosesi telah dilaksanakan. Tapi kali ini ditunda dan dilaksanakan pada awal 2016. Itu karena kami kesulitan mengumpulkan telur maleo untuk ritual,” cerita Mat.
Percakapan kami jenak terhenti. Kami satu per satu pergi memesan kopi di kafetaria mungil di sudut buritan kapal.
Saat saya berjalan menuju kafetaria, saya menyaksikan kesenjangan sosial yang sangat tampak. Kami beruntung bisa mendapat kelas VIP, setelah sepakat urunan karena barang-barang kami kurang aman di luar. Sementara penumpang lain, harus berdesak-desakan tidur di buritan selebar setengah lapangan futsal. Selain dingin, keadaan di buritan sangat bising.
Di kapal memang terbagi berbagai kelas. Dari kelas kardus, kasur, sampai yang berbilik. Dan mereka yang tidur di buritan adalah kelas kardus.
Bau keringat dan logam menyatu, meruap dan menebal sepanjang jalan saya menuju kafetaria. Orang-orang dengan segala nasib berserakan di lantai, di antara kafetaria mungil dan deretan kursi seadanya yang juga harus berebutan. Orang-orang yang duduk berjejer, seperti sedang menonton pementasan nasib dari mereka yang rebah di atas kardus-kardus.
Setelah masing-masing memesan kopi, kami melanjutkan percakapan. Tapi tidak lama, saya memilih menuju kamar untuk istirah.
Saya dibangunkan pukul 5 pagi oleh Opan. Kami bergegas menuju buritan lagi, untuk mengabadikan matahari terbit. Deretan bukit-bukit di pulau seberang dan awan-awan seakan menyatu. Dan matahari dengan cantiknya menyembul perlahan dari balik bukit.
Matahari terbit saat mendekati pelabuhan Pagimana. Foto: Sigidad |
Akhirnya kami tiba juga di Pelabuhan Pagimana. Kami dijemput dua orang kawan asal Batui juga, Kadir dan Abdi. Perjalanan kami lanjutkan dengan mobil. Di perjalanan, kami menyempatkan singgah di air terjun Salodik.
Salodik sangat indah. Ada belasan atau mungkin puluhan air terjun setinggi satu sampai tiga meter yang bersusun-susun. Tapi saya sempat terenyuh dengan kondisi gazebo-gazebo yang telah reyot dimakan rayap. Beberapa di antaranya telah roboh. Seorang penjaga menjelaskan, bahwa pemerintah setempat memang kurang memperhatikan objek pariwisata Salodik. Sangat disayangkan memang. Padahal tarifnya cukup murah, hanya dua ribu per pengunjung dengan menawarkan keindahan alam yang begitu asri dan sejuk.
Kami tak berlama-lama, karena harus melanjutkan perjalanan ke Batui. Setelah dari Salodik, perjalanan terlewati dengan lelah dan lelap. Bahkan lanskap Kota Luwuk tidak sempat saya saksikan, sebab saya ketiduran di mobil.
Saya terbangun dan mobil kami masih terus melaju menuju Batui. Sejam kemudian, perusahaan Liquefied Natural Gas (LNG) dengan cerobong api besar seperti obor raksasa menyambut kami. LNG adalah blok minyak dan gas milik Medco Grup yang bekerja sama dengan Pertamina.
“Kita sudah di Kecamatan Batui,” kata Mat.
Hanya beberapa menit kemudian, kami tiba di Desa Batui. Rumah kerabatnya Mat, menjadi persinggahan selama kami berada di sana. Setelah saling bertukar nama dan saling kenal dengan pemilik rumah, kami diajak makan.
Saat makan, pembicaraan kami selain tentang perkenalan, dilanjutkan dengan percakapan serius tentang apa yang harus diperbuat masyarakat Batui, untuk mempertahankan tradisi Tumpe, yang mulai tergerus industri. Karena memang itulah tujuan kami.
Dari perbincangan itu, saya mulai mafhum apa itu tradisi Tumpe dan kenapa harus dipertahankan. Prosesi Molabot Tumpe sudah ada sejak tahun 1500-an. Dari catatan buku berwarna kusam yang hanya diketik dan dicetak seadanya, yang diperlihatkan Mat, diceritakan dulu ada seorang lelaki bernama Adi Cokro, dari kerajaan Jawa di Kediri, datang ke tanah Banggai. Kemudian orang Banggai mulai memanggilnya Adi Soko.
Di tanah Banggai, sejak 1200-an Islam sudah ada yang dibawa dan disiarkan oleh Syeh Djabar dari Hadramaut. Tujuan kedatangan Adi Soko di Banggai, hendak memperdalam agama Islam.
Orang-orang Banggai mulai menyukai Adi Soko, yang berperilaku arif dan bijak. Karena itu, Adi Soko diangkat menjadi Raja Banggai. Ia dinikahkan pula dengan putri Raja Motindok di Batui bernama Sitti Aminah. Setelah menikah, lahirlah putra mereka yang diberi nama Abu Kasim.
Saat Abu Kasim lahir, sang kakek, Raja Motindok, menghadiahi sepasang burung maleo. Tapi seiring waktu berjalan, Adi Soko yang juga sebagai Raja Banggai, berkeinginan untuk kembali ke tanah Jawa.
Ketika Adi Soko kembali ke tanah Jawa, sepasang maleo itu turut dibawanya, sementara istri dan anaknya ditinggal dan menetap di Gunung Tatandak.
Tampuk kerajaan saat itu kosong. Masyarakat Banggai ingin mencari raja baru, setelah ditinggal pergi Adi Soko. Kemudian pilihan jatuh kepada Abu Kasim.
Setelah diputuskan, para petinggi kerajaan pergi menjemput Abu Kasim, akan tetapi ia menolak menjadi raja karena teringat pesan ibunya. Isi pesan ibunya mengatakan: agar Abu Kasim jangan menjadi raja, sebab jika kelak menjadi raja, maka seumur hidup mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
Sesuai pesan itulah, Abu Kasim memilih untuk menolak menjadi raja, lalu memutuskan pergi ke tanah Jawa untuk menemui ayahnya, Adi Soko. Setelah berhasil menemukan ayahnya, ia diamanahi agar segera pergi menemui saudaranya Mandapar di Ternate. Mandapar juga anak Adi Soko dari istrinya yang berdarah Portugis di Maluku Utara.
Abu Kasim akhirnya sepakat dengan ayahnya. Dan ketika pulang, sepasang maleo yang pernah diberikan kakeknya, Raja Matindok, kepada Adi Soko, dibawa kembali ke Banggai. Sebab, di tempat Adi Soko, burung maleo tidak bisa beranak-pinak.
Selanjutnya, Abu Kasim pergi menemui Mandapar di Ternate. Setelah dibujuk, Mandapar akhirnya bersedia menjadi Raja Banggai.
Bagaimana nasib sepasang maleo yang dibawa Abu Kasim? Burung itu dibawa ke Batui dan dilepas di Bakiriang. Abu Kasim juga menitipkan pesan kepada sang kakek, agar telur pertama dari sepasang maleo itu, dibawa ke Kerajaan Banggai.
Proses pengantaran telur maleo pertama itulah yang disebut Tumpe. Hingga sekarang, amanah untuk mengantar telur dilaksanakan setiap tahunnya dengan prosesi adat.
“Tapi sekarang telur maleo susah didapat di Batui dan sekitarnya,” terang Mat.
Hal itu disebabkan ekspansi besar-besaran dari perusahaan-perusahaan. Di antaranya, LNG Donggi Senoro yang menguasai Suaka Margasatwa Bakiriang, juga perkebunan sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), yang telah menanam sawit di Bakiriang sejak 1999.
Akibat habitat maleo terganggu, masyarakat Batui harus pergi ke Kabupaten Morowali untuk membeli telur sebanyak 160-an butir, guna keperluan ritual.
“Kami harus membeli dengan harga lima puluh ribu per butir,” terang Mat.
Kendati dalam prosesi adat Tumpe mereka menggunakan telur maleo, masyarakat Batui turun temurun diajarkan untuk menjaga kelestarian habitatnya. Mereka mengambil telur maleo seperlunya saja. Tapi sejak perusahaan-perusahaan masuk di lokasi tanah adat dan merusak habitat burung maleo, akhirnya masyarakat Batui harus berpikir keras untuk menemukan telur maleo.
Sebenarnya, masyarakat adat Batui pernah melawan demi mempertahankan tanah adat. Tahun 2004, pepohonan di wilayah Kusali Bola Totonga, ditebang oleh perusahaan kayu. Marah dengan penebangan itu, masyarakat berbondong-bondong mengepung kantor polisi di kecamatan, untuk menuntut keadilan.
Akan tetapi, pihak kepolisian terkesan membela pihak perusahaan kala itu. Bahkan pelaku bebas berkeliaran. Merasa tuntutan mereka tidak dipenuhi, masyarakat mulai terpancing emosi dan melempari kantor polisi dengan batu. Keadaan ricuh.
"Bahkan ada yang membawa martil dan coba merobohkan kantor polisi. Kantor itu nyaris rata dengan tanah,” kenang Mat.
Beberapa hari kemudian, yang melakukan demo mulai diciduk satu per satu, termasuk Mat. Ada 28 orang ditangkap, salah satunya ketua lembaga adat. Mereka dituntut penjara 7 tahun dan dikenakan pasal perbuatan makar dan perusakan fasilitas umum.
“Kami menjalani hukuman penjara 6 bulan saja, termasuk saya karena dianggap provokator. Lainnya, penjara 4 bulan," tutur Mat, yang sewaktu memimpin demo, ia masih berstatus mahasiswa semester tiga di salah satu universitas di Gorontalo.
Pada Oktober 2010, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah menyurati Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), yang isinya menyebutkan: petugas BKSDA Sulteng menemukan perambahan Suaka Margasatwa Bakiriang menjadi perkebunan sawit milik PT. KLS seluas 562,08 hektar. Perambahan tersebut dilakukan sejak 2000. Padahal, Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut Nomor 394/kpts-II tahun 1998 tanggal 21 April 1998 dengan luas 12.500 hektar.
Sore pun tiba. Kami harus mengusai pembicaraan itu, lalu menyiapkan diri untuk menuju lokasi pelaksanaan ritual Monsawe.
SEPOTONG langit terlihat seperti terpanggang obor raksasa, sepanjang perjalanan kami menuju lokasi. Fenomena itu berasal dari cerobong api perusahaan LNG. Sepanjang tahun, langit di Batui selalu seperti itu. Berwarna tembaga pada malam hari.
Kami menggunakan mobil, menyusuri jalan berkerikil. Ritual Monsawe akan segera dilaksanakan, sebagai ucapan sukur atas selesainya pelaksanaan Tumpe.
Proses pengantaran telur sudah dilaksanakan sejak 24 Desember 2015. Dituturkan oleh Mat, pada prosesi itu, puluhan orang memakai baju adat merah, sembari memegang dua butir telur maleo yang terbungkus daun menyerupai lontar dan telah didoakan tetua adat.
Orang-orang itu beriringan menuju muara sungai, tempat perahu adat yang terpasang bendera bersandar. Perahu dilengkapi gong dan rebana, yang dibunyikan untuk menyambut mereka.
“Sekitar seratus lebih telur maleo dibawa ke Pulau Peling, lokasi Kerajaan Banggai. Perjalanan ini ditempuh sehari semalam dengan perahu,” kata Mat.
Asyik mendengarkan cerita Mat, tak sadar, kami sudah sampai di lokasi prosesi adat. Di lokasi yang jarak tempuhnya menggunakan mobil sekitar dua puluh menit, masyarakat Batui telah ramai memenuhi Kusali. Kusali adalah bangunan tempat pelaksanaan prosesi Monsawe. Tampak orang-orang tua, muda, dan anak-anak sibuk merapikan Kusali.
Ada empat Kusali yang letaknya saling berjauhan, di antaranya Kusali Loa, Kusali Kuop, Kusali Bola Totonga, serta Kusali Matindok. Malam itu, kami berada di Kusali Bola Totonga, yang menjadi tempat ketiga puncak perayaan Tumpe.
Kami meletakkan barang bawaan di pondok yang dibangun warga di sekeliling Kusali. Ada beberapa pondok yang dibangun permanen berbahan kayu beratap seng. Sementara bangunan lain, dibangun sederhana dengan bambu dan terpal. Yang muda, biasanya mendirikan tenda.
Selain umbul-umbul merah putih, ada pula tiang bendera memancang di depan Kusali. Di atasnya dikibarkan bendera merah putih. Padahal dulu, bendera yang digunakan harusnya berwarna merah. Bendera mulai diganti sejak terjadinya peristiwa 1965.
Salodik sangat indah. Ada belasan atau mungkin puluhan air terjun setinggi satu sampai tiga meter yang bersusun-susun. Tapi saya sempat terenyuh dengan kondisi gazebo-gazebo yang telah reyot dimakan rayap. Beberapa di antaranya telah roboh. Seorang penjaga menjelaskan, bahwa pemerintah setempat memang kurang memperhatikan objek pariwisata Salodik. Sangat disayangkan memang. Padahal tarifnya cukup murah, hanya dua ribu per pengunjung dengan menawarkan keindahan alam yang begitu asri dan sejuk.
Air terjun Salodik. Foto: Sigidad |
Kami tak berlama-lama, karena harus melanjutkan perjalanan ke Batui. Setelah dari Salodik, perjalanan terlewati dengan lelah dan lelap. Bahkan lanskap Kota Luwuk tidak sempat saya saksikan, sebab saya ketiduran di mobil.
Saya terbangun dan mobil kami masih terus melaju menuju Batui. Sejam kemudian, perusahaan Liquefied Natural Gas (LNG) dengan cerobong api besar seperti obor raksasa menyambut kami. LNG adalah blok minyak dan gas milik Medco Grup yang bekerja sama dengan Pertamina.
“Kita sudah di Kecamatan Batui,” kata Mat.
Hanya beberapa menit kemudian, kami tiba di Desa Batui. Rumah kerabatnya Mat, menjadi persinggahan selama kami berada di sana. Setelah saling bertukar nama dan saling kenal dengan pemilik rumah, kami diajak makan.
Saat makan, pembicaraan kami selain tentang perkenalan, dilanjutkan dengan percakapan serius tentang apa yang harus diperbuat masyarakat Batui, untuk mempertahankan tradisi Tumpe, yang mulai tergerus industri. Karena memang itulah tujuan kami.
Dari perbincangan itu, saya mulai mafhum apa itu tradisi Tumpe dan kenapa harus dipertahankan. Prosesi Molabot Tumpe sudah ada sejak tahun 1500-an. Dari catatan buku berwarna kusam yang hanya diketik dan dicetak seadanya, yang diperlihatkan Mat, diceritakan dulu ada seorang lelaki bernama Adi Cokro, dari kerajaan Jawa di Kediri, datang ke tanah Banggai. Kemudian orang Banggai mulai memanggilnya Adi Soko.
Di tanah Banggai, sejak 1200-an Islam sudah ada yang dibawa dan disiarkan oleh Syeh Djabar dari Hadramaut. Tujuan kedatangan Adi Soko di Banggai, hendak memperdalam agama Islam.
Orang-orang Banggai mulai menyukai Adi Soko, yang berperilaku arif dan bijak. Karena itu, Adi Soko diangkat menjadi Raja Banggai. Ia dinikahkan pula dengan putri Raja Motindok di Batui bernama Sitti Aminah. Setelah menikah, lahirlah putra mereka yang diberi nama Abu Kasim.
Saat Abu Kasim lahir, sang kakek, Raja Motindok, menghadiahi sepasang burung maleo. Tapi seiring waktu berjalan, Adi Soko yang juga sebagai Raja Banggai, berkeinginan untuk kembali ke tanah Jawa.
Ketika Adi Soko kembali ke tanah Jawa, sepasang maleo itu turut dibawanya, sementara istri dan anaknya ditinggal dan menetap di Gunung Tatandak.
Tampuk kerajaan saat itu kosong. Masyarakat Banggai ingin mencari raja baru, setelah ditinggal pergi Adi Soko. Kemudian pilihan jatuh kepada Abu Kasim.
Setelah diputuskan, para petinggi kerajaan pergi menjemput Abu Kasim, akan tetapi ia menolak menjadi raja karena teringat pesan ibunya. Isi pesan ibunya mengatakan: agar Abu Kasim jangan menjadi raja, sebab jika kelak menjadi raja, maka seumur hidup mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
Sesuai pesan itulah, Abu Kasim memilih untuk menolak menjadi raja, lalu memutuskan pergi ke tanah Jawa untuk menemui ayahnya, Adi Soko. Setelah berhasil menemukan ayahnya, ia diamanahi agar segera pergi menemui saudaranya Mandapar di Ternate. Mandapar juga anak Adi Soko dari istrinya yang berdarah Portugis di Maluku Utara.
Abu Kasim akhirnya sepakat dengan ayahnya. Dan ketika pulang, sepasang maleo yang pernah diberikan kakeknya, Raja Matindok, kepada Adi Soko, dibawa kembali ke Banggai. Sebab, di tempat Adi Soko, burung maleo tidak bisa beranak-pinak.
Selanjutnya, Abu Kasim pergi menemui Mandapar di Ternate. Setelah dibujuk, Mandapar akhirnya bersedia menjadi Raja Banggai.
Bagaimana nasib sepasang maleo yang dibawa Abu Kasim? Burung itu dibawa ke Batui dan dilepas di Bakiriang. Abu Kasim juga menitipkan pesan kepada sang kakek, agar telur pertama dari sepasang maleo itu, dibawa ke Kerajaan Banggai.
Proses pengantaran telur maleo pertama itulah yang disebut Tumpe. Hingga sekarang, amanah untuk mengantar telur dilaksanakan setiap tahunnya dengan prosesi adat.
“Tapi sekarang telur maleo susah didapat di Batui dan sekitarnya,” terang Mat.
Hal itu disebabkan ekspansi besar-besaran dari perusahaan-perusahaan. Di antaranya, LNG Donggi Senoro yang menguasai Suaka Margasatwa Bakiriang, juga perkebunan sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), yang telah menanam sawit di Bakiriang sejak 1999.
Lokasi perusahaan LNG. Foto: Sigidad |
Akibat habitat maleo terganggu, masyarakat Batui harus pergi ke Kabupaten Morowali untuk membeli telur sebanyak 160-an butir, guna keperluan ritual.
“Kami harus membeli dengan harga lima puluh ribu per butir,” terang Mat.
Kendati dalam prosesi adat Tumpe mereka menggunakan telur maleo, masyarakat Batui turun temurun diajarkan untuk menjaga kelestarian habitatnya. Mereka mengambil telur maleo seperlunya saja. Tapi sejak perusahaan-perusahaan masuk di lokasi tanah adat dan merusak habitat burung maleo, akhirnya masyarakat Batui harus berpikir keras untuk menemukan telur maleo.
Sebenarnya, masyarakat adat Batui pernah melawan demi mempertahankan tanah adat. Tahun 2004, pepohonan di wilayah Kusali Bola Totonga, ditebang oleh perusahaan kayu. Marah dengan penebangan itu, masyarakat berbondong-bondong mengepung kantor polisi di kecamatan, untuk menuntut keadilan.
Akan tetapi, pihak kepolisian terkesan membela pihak perusahaan kala itu. Bahkan pelaku bebas berkeliaran. Merasa tuntutan mereka tidak dipenuhi, masyarakat mulai terpancing emosi dan melempari kantor polisi dengan batu. Keadaan ricuh.
"Bahkan ada yang membawa martil dan coba merobohkan kantor polisi. Kantor itu nyaris rata dengan tanah,” kenang Mat.
Beberapa hari kemudian, yang melakukan demo mulai diciduk satu per satu, termasuk Mat. Ada 28 orang ditangkap, salah satunya ketua lembaga adat. Mereka dituntut penjara 7 tahun dan dikenakan pasal perbuatan makar dan perusakan fasilitas umum.
“Kami menjalani hukuman penjara 6 bulan saja, termasuk saya karena dianggap provokator. Lainnya, penjara 4 bulan," tutur Mat, yang sewaktu memimpin demo, ia masih berstatus mahasiswa semester tiga di salah satu universitas di Gorontalo.
Pada Oktober 2010, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah menyurati Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), yang isinya menyebutkan: petugas BKSDA Sulteng menemukan perambahan Suaka Margasatwa Bakiriang menjadi perkebunan sawit milik PT. KLS seluas 562,08 hektar. Perambahan tersebut dilakukan sejak 2000. Padahal, Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut Nomor 394/kpts-II tahun 1998 tanggal 21 April 1998 dengan luas 12.500 hektar.
Sore pun tiba. Kami harus mengusai pembicaraan itu, lalu menyiapkan diri untuk menuju lokasi pelaksanaan ritual Monsawe.
SEPOTONG langit terlihat seperti terpanggang obor raksasa, sepanjang perjalanan kami menuju lokasi. Fenomena itu berasal dari cerobong api perusahaan LNG. Sepanjang tahun, langit di Batui selalu seperti itu. Berwarna tembaga pada malam hari.
Kami menggunakan mobil, menyusuri jalan berkerikil. Ritual Monsawe akan segera dilaksanakan, sebagai ucapan sukur atas selesainya pelaksanaan Tumpe.
Proses pengantaran telur sudah dilaksanakan sejak 24 Desember 2015. Dituturkan oleh Mat, pada prosesi itu, puluhan orang memakai baju adat merah, sembari memegang dua butir telur maleo yang terbungkus daun menyerupai lontar dan telah didoakan tetua adat.
Orang-orang itu beriringan menuju muara sungai, tempat perahu adat yang terpasang bendera bersandar. Perahu dilengkapi gong dan rebana, yang dibunyikan untuk menyambut mereka.
“Sekitar seratus lebih telur maleo dibawa ke Pulau Peling, lokasi Kerajaan Banggai. Perjalanan ini ditempuh sehari semalam dengan perahu,” kata Mat.
Asyik mendengarkan cerita Mat, tak sadar, kami sudah sampai di lokasi prosesi adat. Di lokasi yang jarak tempuhnya menggunakan mobil sekitar dua puluh menit, masyarakat Batui telah ramai memenuhi Kusali. Kusali adalah bangunan tempat pelaksanaan prosesi Monsawe. Tampak orang-orang tua, muda, dan anak-anak sibuk merapikan Kusali.
Ada empat Kusali yang letaknya saling berjauhan, di antaranya Kusali Loa, Kusali Kuop, Kusali Bola Totonga, serta Kusali Matindok. Malam itu, kami berada di Kusali Bola Totonga, yang menjadi tempat ketiga puncak perayaan Tumpe.
Kami meletakkan barang bawaan di pondok yang dibangun warga di sekeliling Kusali. Ada beberapa pondok yang dibangun permanen berbahan kayu beratap seng. Sementara bangunan lain, dibangun sederhana dengan bambu dan terpal. Yang muda, biasanya mendirikan tenda.
Selain umbul-umbul merah putih, ada pula tiang bendera memancang di depan Kusali. Di atasnya dikibarkan bendera merah putih. Padahal dulu, bendera yang digunakan harusnya berwarna merah. Bendera mulai diganti sejak terjadinya peristiwa 1965.
Kusali, tempat prosesi adat digelar. Foto: Sigidad |
Alasan diganti, menurut orang-orang Batui, dikarenakan mereka sempat dituduh bagian dari komunis oleh komando distrik militer setempat.
Malam itu, Kusali menjelma menjadi perayaan yang menyerupai malam pesta pernikahan. Dapur umum dibangun. Asap menebal. Suasana riuh oleh senda gurau masyarakat Batui.
Puluhan ibu-ibu di dapur umum, seperti hasil kloningan dari ibu saya sendiri. Mereka sangat ramah, penuh tawa, dan kerap mengajak makan setiap kali kami lewat.
Setelah lelah berkeliling Kusali dan pondok-pondok, saya rebah sejenak di pondok keluarganya Mat. Dan... kemudian saya pun terlelap.
Duuuunnnnggg … duuuunnnngggg ... duuuunnnngggg...
Suara mendengung itu terdengar sayup-sayup. Riuh orang lalu-lalang pun berdengung serupa sekumpulan lebah. Saya mungkin sedang bermimpi. Sampai ketika mata saya terbuka, ternyata suara yang masuk ke alam bawah sadar saya, berasal dari dalam Kusali.
"Sudah dimulai?" tanya saya kepada kakak perempuannya Mat.
"Iya, baru dimulai," jawabnya.
Saya melirik jam di ponsel. Sudah pukul 10 malam. Saya bergegas menuju tempat ritual, yang sebenarnya hanya berjarak seperlemparan gundu dari pondok. Saat masuk ke dalam, bunyi gong yang ditabuh, memenuhi seisi ruangan. Gemuruh dua kalimat syahadat selaras dengan ketukan-ketukan gong. Meski memakai jaket, dingin perlahan merangkul.
Di ritual ini, kabarnya nanti ada beberapa orang dari berbagai usia, yang akan dibuai oleh roh leluhur, yang mereka sebut Tontembang--bukan kemasukan yang lebih berkonotasi pada roh jahat.
Sepuluh menit kemudian, dua orang nenek di samping sebuah altar, tubuhnya mulai bergetar. Dalam posisi bersila, keduanya seperti sedang dibuai. Tubuh mereka bergoncang mengikuti irama gong dan syahadat.
"Itu sudah Tontembang?" tanya saya penasaran, pada seorang perempuan di samping saya.
"Iya, sudah."
"Apakah pernah ada anak-anak yang Tontembang?"
"Iya, ada. Biasanya yang anak-anak hanya bermain ketika Tontembang."
Jawabannya itu, membikin saya merinding. Tapi karena gemuruh syahadat, rinding perlahan berubah jadi rasa haru. Nuansa islami sangat terasa malam itu. Satu per satu, dari yang muda hingga renta, mulai tertarik masuk ke dalam pusaran syahadat.
Tubuh mereka satu per satu dirasuki roh-roh leluhur. Kain berwarna merah menutupi pundak, sebagai penanda bahwa lima panca indra mereka telah dikendalikan roh. Beberapa orang ibu yang Tontembang, sembari gemulai menari, berjalan keluar beriringan untuk mengambil air wudu.
"Itu, yang keluar ambil wudu, masih Tontembang?"
"Iya, nanti mereka masuk kembali," jawabnya. Tak tergurat sedikit pun kesal di wajahnya, saat meladeni setiap pertanyaan-pertanyaan saya.
"Terus, bagaimana jika yang masuk nanti roh jahat?"
"Ada yang bisa mengusir, nanti ‘kan ditanyai, kalau memang bukan roh leluhur, pasti diusir," jelasnya.
Tiba-tiba, di tempat para kaum laki-laki berjejer, ada seseorang yang dengan posisi bersila lantas tubuhnya terangkat ke udara. Seperti sebuah loncatan. Semua orang kaget. Meski hanya sekitar lima detik di udara, dengan tinggi loncatan satu meter, saya coba menalar, bagaimana bisa orang dalam posisi bersila, bisa meloncat setinggi itu?
Malam itu, Kusali menjelma menjadi perayaan yang menyerupai malam pesta pernikahan. Dapur umum dibangun. Asap menebal. Suasana riuh oleh senda gurau masyarakat Batui.
Puluhan ibu-ibu di dapur umum, seperti hasil kloningan dari ibu saya sendiri. Mereka sangat ramah, penuh tawa, dan kerap mengajak makan setiap kali kami lewat.
Setelah lelah berkeliling Kusali dan pondok-pondok, saya rebah sejenak di pondok keluarganya Mat. Dan... kemudian saya pun terlelap.
Duuuunnnnggg … duuuunnnngggg ... duuuunnnngggg...
Suara mendengung itu terdengar sayup-sayup. Riuh orang lalu-lalang pun berdengung serupa sekumpulan lebah. Saya mungkin sedang bermimpi. Sampai ketika mata saya terbuka, ternyata suara yang masuk ke alam bawah sadar saya, berasal dari dalam Kusali.
"Sudah dimulai?" tanya saya kepada kakak perempuannya Mat.
"Iya, baru dimulai," jawabnya.
Saya melirik jam di ponsel. Sudah pukul 10 malam. Saya bergegas menuju tempat ritual, yang sebenarnya hanya berjarak seperlemparan gundu dari pondok. Saat masuk ke dalam, bunyi gong yang ditabuh, memenuhi seisi ruangan. Gemuruh dua kalimat syahadat selaras dengan ketukan-ketukan gong. Meski memakai jaket, dingin perlahan merangkul.
Di ritual ini, kabarnya nanti ada beberapa orang dari berbagai usia, yang akan dibuai oleh roh leluhur, yang mereka sebut Tontembang--bukan kemasukan yang lebih berkonotasi pada roh jahat.
Sepuluh menit kemudian, dua orang nenek di samping sebuah altar, tubuhnya mulai bergetar. Dalam posisi bersila, keduanya seperti sedang dibuai. Tubuh mereka bergoncang mengikuti irama gong dan syahadat.
"Itu sudah Tontembang?" tanya saya penasaran, pada seorang perempuan di samping saya.
"Iya, sudah."
"Apakah pernah ada anak-anak yang Tontembang?"
"Iya, ada. Biasanya yang anak-anak hanya bermain ketika Tontembang."
Jawabannya itu, membikin saya merinding. Tapi karena gemuruh syahadat, rinding perlahan berubah jadi rasa haru. Nuansa islami sangat terasa malam itu. Satu per satu, dari yang muda hingga renta, mulai tertarik masuk ke dalam pusaran syahadat.
Tubuh mereka satu per satu dirasuki roh-roh leluhur. Kain berwarna merah menutupi pundak, sebagai penanda bahwa lima panca indra mereka telah dikendalikan roh. Beberapa orang ibu yang Tontembang, sembari gemulai menari, berjalan keluar beriringan untuk mengambil air wudu.
"Itu, yang keluar ambil wudu, masih Tontembang?"
"Iya, nanti mereka masuk kembali," jawabnya. Tak tergurat sedikit pun kesal di wajahnya, saat meladeni setiap pertanyaan-pertanyaan saya.
"Terus, bagaimana jika yang masuk nanti roh jahat?"
"Ada yang bisa mengusir, nanti ‘kan ditanyai, kalau memang bukan roh leluhur, pasti diusir," jelasnya.
Tiba-tiba, di tempat para kaum laki-laki berjejer, ada seseorang yang dengan posisi bersila lantas tubuhnya terangkat ke udara. Seperti sebuah loncatan. Semua orang kaget. Meski hanya sekitar lima detik di udara, dengan tinggi loncatan satu meter, saya coba menalar, bagaimana bisa orang dalam posisi bersila, bisa meloncat setinggi itu?
Beberapa orang sudah Tontembang. Foto: Sigidad |
Sudah puluhan orang mulai dibuai roh leluhur. Kain merah sebagai tanda bahwa orang-orang ini sudah Tontembang. Yang unik, roh leluhur menguasai tubuh tidak harus sesuai gender. Ada roh leluhur perempuan, yang masuk ke dalam tubuh laki-laki. Ada pula sebaliknya, roh leluhur laki-laki, yang masuk ke raga perempuan.
Seorang perempuan, tampak memakai kopiah, merokok, dan duduk bersila dengan tegap layaknya seorang laki-laki. Perangainya berubah total menjadi laki-laki. Ia juga menyulut sebatang rokok kretek dan mengisapnya.
Prosesi itu berlangsung sepanjang malam. Tapi, orang-orang yang Tontembang tak sedikit pun terlihat lelah.
Pukul 4 pagi, kantuk kembali menyergap. Saya memilih kembali ke pondok. Dari dalam pondok, hampir setiap saat, saya melihat orang-orang tampak berlari mengerumuni tempat ritual. Mereka yang hanya di luar, bergelantungan di jendela.
Kemudian, terdengar kabar dari yang sempat menyaksikan, bahwa ada seekor burung maleo terbang masuk ke dalam Kusali. Padahal di sekitar situ, tidak bakalan lagi ditemui burung maleo.
Lantunan syahadat, tabuhan gong dan gendang, membikin mata saya cepat meredup...
Seorang perempuan, tampak memakai kopiah, merokok, dan duduk bersila dengan tegap layaknya seorang laki-laki. Perangainya berubah total menjadi laki-laki. Ia juga menyulut sebatang rokok kretek dan mengisapnya.
Prosesi itu berlangsung sepanjang malam. Tapi, orang-orang yang Tontembang tak sedikit pun terlihat lelah.
Pukul 4 pagi, kantuk kembali menyergap. Saya memilih kembali ke pondok. Dari dalam pondok, hampir setiap saat, saya melihat orang-orang tampak berlari mengerumuni tempat ritual. Mereka yang hanya di luar, bergelantungan di jendela.
Kemudian, terdengar kabar dari yang sempat menyaksikan, bahwa ada seekor burung maleo terbang masuk ke dalam Kusali. Padahal di sekitar situ, tidak bakalan lagi ditemui burung maleo.
Lantunan syahadat, tabuhan gong dan gendang, membikin mata saya cepat meredup...
Mereka yang Tontembang menari dan bersyahadat hingga pagi hari. Foto: Sigidad |
Pukul 7 pagi, mata saya menyala terang. Saya kembali masuk ke dalam tempat ritual. Semakin bertambah orang yang mengenakan kain merah. Mereka berdiri berpasang-pasangan, menari-nari. Saya hanya tidak habis pikir, sebab beberapa di antaranya usianya sudah renta. Tapi mereka tahan menari selama berjam-jam.
Dan, kawan saya, Mat, yang sedari malam ikut dalam pusaran ritual, tubuhnya tiba-tiba bergetar. Saya segera merogoh ponsel di kantong. Saya coba merekam momen itu. Ia tiba-tiba masuk ke dalam arena ritual, yang berada paling tengah. Setiap yang Tontembang, pasti akan menuju atau dibimbing ke tengah arena.
Hamparan karpet merah dibuat kusut oleh liuk tubuhnya. Gesturnya seperti orang bersilat, kemudian berganti menyerupai seorang panglima sambil berkacak pinggang. Kemudian kedua lengannnya terbentang dan berayun-ayun, seperti mengisyaratkan ajakan agar lafadz syahadat lebih dikeraskan.
Tak lama, tubuhnya lunglai bersujud. Ia dituntun untuk keluar arena. Ia lantas memilih keluar dari tempat ritual dan menuju pondok. Saya yang saat itu sudah kembali ke pondok, diajaknya untuk menjauh dari tempat ritual.
"Ayo, ikut saya."
"Mau ke mana?"
"Agak sedikit menjauh dari sini. Jika mendengar lantunan syahadat itu, saya seperti ditarik kembali ke alam lain," ceritanya, sembari terus melangkah menuju sebuah pondok berlantai dua, di dekat gerbang masuk Kusali.
Di belakang pondok, ia terus mengusap wajahnya yang masih pucat pasi. Dua orang laki-laki turut serta bersama kami saat itu. Salah satunya, ternyata adalah kerabat dekatnya.
"Bagaimana perasaanmu tadi? tanyaku.
"Aduh, saya tidak tahu lagi. Saya tidak dalam keadaan sadar." Ia coba mengingat.
Melihat raut wajahnya, saya coba mengalihkan pembicaraan. Saya bertanya kepada kerabatnya itu, apakah di wilayah sekitar Kusali, sudah ada perkebunan sawit. Saya mendapati jawaban yang membuat selengkung senyuman di wajah saya.
"Jaraknya tidak jauh dari sini, tapi saya sudah memagari batasnya. Saya mengingatkan kepada mereka, kalau sampai lewat batas tanah adat ini, maka nyawa saya jadi taruhan!"
Bangga saya dibuatnya. Di tengah gempuran perusahaan-perusahaan rakus, masih ada semangat-semangat melawan seperti itu, meski yang lainnya lebih memilih jatuh dalam pelukan korporasi. Nasib abadinya ritual ini ada di tangan orang-orang seperti mereka.
Mat memilih kembali ke pondok, setelah ritual berakhir, pukul 9 pagi. Saat melangkah menuju pondok, sebuah lantunan tembang terdengar begitu menyayat.
"Itu yang menyanyi laki-laki, tapi roh perempuan yang masuk," jelasnya.
Saya berlari menuju pengeras suara, untuk merekam tembang itu. Nyanyian itu melurut hati saya.
Bait-bait sabda dari alam yang transendental itu kira-kira mengartikan: kebersamaan harus dijaga, sebab prosesi adat ini hanya digelar sekali dalam setahun. Maka tradisi Tumpe diharapkan menjadi momen untuk tetap menjaga sikap gotong-royong, saling membantu, dan mempererat persaudaraan.
Selarik pesan moral yang datang menembus dari alam Mulk yang tidak terukur oleh indra jasad.
Dan, kawan saya, Mat, yang sedari malam ikut dalam pusaran ritual, tubuhnya tiba-tiba bergetar. Saya segera merogoh ponsel di kantong. Saya coba merekam momen itu. Ia tiba-tiba masuk ke dalam arena ritual, yang berada paling tengah. Setiap yang Tontembang, pasti akan menuju atau dibimbing ke tengah arena.
Hamparan karpet merah dibuat kusut oleh liuk tubuhnya. Gesturnya seperti orang bersilat, kemudian berganti menyerupai seorang panglima sambil berkacak pinggang. Kemudian kedua lengannnya terbentang dan berayun-ayun, seperti mengisyaratkan ajakan agar lafadz syahadat lebih dikeraskan.
Tak lama, tubuhnya lunglai bersujud. Ia dituntun untuk keluar arena. Ia lantas memilih keluar dari tempat ritual dan menuju pondok. Saya yang saat itu sudah kembali ke pondok, diajaknya untuk menjauh dari tempat ritual.
"Ayo, ikut saya."
"Mau ke mana?"
"Agak sedikit menjauh dari sini. Jika mendengar lantunan syahadat itu, saya seperti ditarik kembali ke alam lain," ceritanya, sembari terus melangkah menuju sebuah pondok berlantai dua, di dekat gerbang masuk Kusali.
Di belakang pondok, ia terus mengusap wajahnya yang masih pucat pasi. Dua orang laki-laki turut serta bersama kami saat itu. Salah satunya, ternyata adalah kerabat dekatnya.
"Bagaimana perasaanmu tadi? tanyaku.
"Aduh, saya tidak tahu lagi. Saya tidak dalam keadaan sadar." Ia coba mengingat.
Melihat raut wajahnya, saya coba mengalihkan pembicaraan. Saya bertanya kepada kerabatnya itu, apakah di wilayah sekitar Kusali, sudah ada perkebunan sawit. Saya mendapati jawaban yang membuat selengkung senyuman di wajah saya.
"Jaraknya tidak jauh dari sini, tapi saya sudah memagari batasnya. Saya mengingatkan kepada mereka, kalau sampai lewat batas tanah adat ini, maka nyawa saya jadi taruhan!"
Bangga saya dibuatnya. Di tengah gempuran perusahaan-perusahaan rakus, masih ada semangat-semangat melawan seperti itu, meski yang lainnya lebih memilih jatuh dalam pelukan korporasi. Nasib abadinya ritual ini ada di tangan orang-orang seperti mereka.
Mat memilih kembali ke pondok, setelah ritual berakhir, pukul 9 pagi. Saat melangkah menuju pondok, sebuah lantunan tembang terdengar begitu menyayat.
"Itu yang menyanyi laki-laki, tapi roh perempuan yang masuk," jelasnya.
Saya berlari menuju pengeras suara, untuk merekam tembang itu. Nyanyian itu melurut hati saya.
Bait-bait sabda dari alam yang transendental itu kira-kira mengartikan: kebersamaan harus dijaga, sebab prosesi adat ini hanya digelar sekali dalam setahun. Maka tradisi Tumpe diharapkan menjadi momen untuk tetap menjaga sikap gotong-royong, saling membantu, dan mempererat persaudaraan.
Selarik pesan moral yang datang menembus dari alam Mulk yang tidak terukur oleh indra jasad.
Telur-telur maleo yang direbus, dihidangkan setelah melewati proses ritual dan dibacai doa para tetua adat. Foto: Christopel Paino. |
Pukul 9 pagi, prosesi ditutup dengan makan bersama. Jamuan makanan ditebar di meja panjang. Ada beberapa butir telur maleo yang direbus menghiasi meja makan. Setelah didoakan tetua adat, warga dijatahi potongan-potongan telur maleo itu.
Setelah acara makan bersama selesai, orang-orang mulai berjibaku merapikan Kusali. Pekan depan mereka akan melanjutkan prosesi adat itu, di Kusali Matindok. Itu Kusali tempat prosesi adat terakhir.
Kami semua kembali ke rumah kerabatnya Mat. Dan malam harinya kami mengadakan diskusi bersama tokoh pemuda dan tokoh-tokoh adat. Dalam diskusi, kawan-kawan saya yang sudah berpengalaman dalam advokasi masyarakat adat, bertukar pendapat dengan mereka mengenai hak tanah adat bagi masyarakat adat.
Sejak Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 tentang Pengakuan Hak Ulayat sebagai Milik Masyarakat Adat, masyarakat adat bisa bernafas lega. Tokoh adat dan masyarakat bisa mulai membuat peta tanah adat. Hal itu sebagai penyelesaian konflik yang kerap terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun perusahaan.
Malam itu mereka sepakat untuk mulai membentuk tim dan akan menandai di mana saja batas tanah adat, yang mulai dikepung bahkan diambil alih oleh perusahaan. Diskusi diringkus dengan kesepakatan itu.
Tujuan perjalanan kami ke Batui, sesungguhnya bukan hanya ingin menyaksikan prosesi adat Tumpe. Akan tetapi, niat terbesar kami adalah membantu masyarakat adat di sana, untuk merebut kembali hak mereka.
Akhirnya, ekspedisi yang kami namai: Ekspedisi Gembira, berakhir. Kami harus segera kembali ke Gorontalo esok harinya. Perjalanan kami hanya dari 8 sampai 10 Januari.
Setelah kami pulang, ritual Tumpe hingga sekarang tetap terjaga. Kabar terakhir, masyarakat adat sudah mulai membuat peta di mana saja lokasi tanah adat. Perjuangan mereka untuk merebut tanah adat terus berkobar, mengalahkan nyala cerobong api raksasa LNG.
JAUH dari Luwuk Banggai, di kota tempat kami berada, Gorontalo, pada suatu malam dua orang kawan yang juga bersama-sama ke Batui tempo hari, Mat dan Ivol, mengalami kejadian aneh. Tubuh mereka bergetar dan salah seorang tiba-tiba bersuara serak, sembari mengucapkan bahasa yang kami tidak mengerti.
Ia mengajak kami semua mendekat dengan isyarat tangan. Kami segera mendekat dengan posisi melingkarinya. Ia kembali mengucapkan beberapa patah kata. Seketika bola mata saya basah. Saya seolah-olah paham dengan perkataannya.
“Terima kasih banyak telah membantu kami,” katanya melalui mulut Mat, yang diutarakan dengan bahasa daerah Banggai atau Silingan Banggai.
Dan Mat setelah sadar mengaku, ia tidak begitu fasih berbahasa Banggai, apalagi Silingan Banggai yang diutarakannya barusan ada kata-kata yang begitu "purba". Hanya orang-orang lanjut usia yang bisa memahami dengan saksama.
Ah, terima kasih kembali masyarakat Batui. Kami banyak belajar tentang bagaimana mencintai alam dari kalian. Semoga bisa berkunjung lagi ke sana.
Catatan: Sebagian data saya kutip dari liputan kawan Christopel Paino di mongabay.co.id, yang saat itu turut bersama kami ke Batui.
Setelah acara makan bersama selesai, orang-orang mulai berjibaku merapikan Kusali. Pekan depan mereka akan melanjutkan prosesi adat itu, di Kusali Matindok. Itu Kusali tempat prosesi adat terakhir.
Kami semua kembali ke rumah kerabatnya Mat. Dan malam harinya kami mengadakan diskusi bersama tokoh pemuda dan tokoh-tokoh adat. Dalam diskusi, kawan-kawan saya yang sudah berpengalaman dalam advokasi masyarakat adat, bertukar pendapat dengan mereka mengenai hak tanah adat bagi masyarakat adat.
Sejak Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 tentang Pengakuan Hak Ulayat sebagai Milik Masyarakat Adat, masyarakat adat bisa bernafas lega. Tokoh adat dan masyarakat bisa mulai membuat peta tanah adat. Hal itu sebagai penyelesaian konflik yang kerap terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun perusahaan.
Malam itu mereka sepakat untuk mulai membentuk tim dan akan menandai di mana saja batas tanah adat, yang mulai dikepung bahkan diambil alih oleh perusahaan. Diskusi diringkus dengan kesepakatan itu.
Tujuan perjalanan kami ke Batui, sesungguhnya bukan hanya ingin menyaksikan prosesi adat Tumpe. Akan tetapi, niat terbesar kami adalah membantu masyarakat adat di sana, untuk merebut kembali hak mereka.
Akhirnya, ekspedisi yang kami namai: Ekspedisi Gembira, berakhir. Kami harus segera kembali ke Gorontalo esok harinya. Perjalanan kami hanya dari 8 sampai 10 Januari.
Setelah kami pulang, ritual Tumpe hingga sekarang tetap terjaga. Kabar terakhir, masyarakat adat sudah mulai membuat peta di mana saja lokasi tanah adat. Perjuangan mereka untuk merebut tanah adat terus berkobar, mengalahkan nyala cerobong api raksasa LNG.
JAUH dari Luwuk Banggai, di kota tempat kami berada, Gorontalo, pada suatu malam dua orang kawan yang juga bersama-sama ke Batui tempo hari, Mat dan Ivol, mengalami kejadian aneh. Tubuh mereka bergetar dan salah seorang tiba-tiba bersuara serak, sembari mengucapkan bahasa yang kami tidak mengerti.
Ia mengajak kami semua mendekat dengan isyarat tangan. Kami segera mendekat dengan posisi melingkarinya. Ia kembali mengucapkan beberapa patah kata. Seketika bola mata saya basah. Saya seolah-olah paham dengan perkataannya.
“Terima kasih banyak telah membantu kami,” katanya melalui mulut Mat, yang diutarakan dengan bahasa daerah Banggai atau Silingan Banggai.
Dan Mat setelah sadar mengaku, ia tidak begitu fasih berbahasa Banggai, apalagi Silingan Banggai yang diutarakannya barusan ada kata-kata yang begitu "purba". Hanya orang-orang lanjut usia yang bisa memahami dengan saksama.
Ah, terima kasih kembali masyarakat Batui. Kami banyak belajar tentang bagaimana mencintai alam dari kalian. Semoga bisa berkunjung lagi ke sana.
Catatan: Sebagian data saya kutip dari liputan kawan Christopel Paino di mongabay.co.id, yang saat itu turut bersama kami ke Batui.