Minggu, 12 Maret 2017

Selamat Datang di Rimba, Kawan!

Tidak ada komentar

Duka bertebaran. Begitu pula suka. Kabar keluarga yang berpulang hanya bisa  saya tangisi dari kejauhan. Kabar kawan yang berbahagia pun turut saya rayakan dari sini, Gorontalo.

Pekan lalu, kawan Wawan Gobel mengirimi saya pesan. Selembar foto undangan bertinta emas terukir nama Wawan Gobel Mokoginta dan Irawati Makalungsenge-Mokodongan. Setelah itu, kami saling berbalas pesan.

“Maaf ya kawan, kali ini saya tidak bisa hadir.” Hanya itu yang dengan berat hati bisa saya sampaikan.

Jarak Gorontalo ke Kotamobagu memang tak setengah hari perjalanan. Tapi bukan soal jarak, kali ini waktu yang menjerat kaki. Sebab jika tak disibukkan dengan pekerjaan, saya telah berlari kencang menuju desa tercinta, ketika mendengar kakak perempuan dari ibu saya berpulang tempo hari.

Wawan, seperti beberapa kawan yang menamakan kelompok mereka Pondok Patah Hati (PPH), hanya saling kenal dari jejaring sosial. Kendati kami tinggal tak berjauhan. Mereka semuanya belajar di negeri seberang, tanah tempat Fort Rotterdam memancang kokoh, Makassar. Saya pernah dijamu di pondok itu, selama tiga bulan, sebelum saya melanjutkan perjalanan ke pulau para dewata bermukim.

Di Makassar itulah, saya belajar banyak tentang arti kebijaksanaan. Bagaimana seorang murid yang terbiasa kencing berlari, bisa menjadi seorang yang bijak bestari.

Wawan yang tinggi badannya seperti galah bambu pencongkel langit, cukup akrab dengan saya. Sama akrabnya dengan kawan-kawan lainnya. Mereka memang lunak berkawan.

Saya mengenal Wawan, sebagai manusia yang terlalu sibuk dengan layar komputer tinimbang buku-buku. Meski buku-bukunya berjejer di lemari, hasil dari memilah uang jajan dan ongkos kuliah. Wajarlah ia begitu. STMIK Dipanegara, Makassar, tempatnya menjaring ilmu yang mendidiknya menjadi seperti itu.

Kami pernah bicara tentang sebagian manusia yang serupa kelinci dari topi sang penyulap, yang tak pernah mempertanyakan dari mana ia berasal.

Kami pernah bertukar pikir tentang agama-agama yang dicari dengan peluh, bukan dari warisan para sepuh.

Kami pernah berbantah-bantahan tentang kelahiran hingga kematian, dan apa yang menyambut kami setelah kematian.

Dan kami pernah pula sepakat, bahwa kebijaksanaan tak seharusnya dicangkok dari satu kepala ke kepala lain. Sebab kebijaksanaan tak perlu diajarkan. Yang perlu dilakukan hanyalah memberi petunjuk, agar orang itu bisa menemukan kebijaksanaannya sendiri. Toh, kita sendiri juga belum menemukan kebijaksanaan, bukan?

Pada suatu senja pula, ia pernah bertanya tentang bagaimana masa depan yang cerah bisa dibagi-bagikan percuma. Orang-orang tak perlu susah memikirkan masa depan yang gemilang, jika orang lain saling berbagi nasib baik. Tapi seperti itulah nasib kata Chairil Anwar: kesunyian masing-masing.

Kemudian waktu terus menjalar dan satu per satu menggugurkan apa yang pernah kami genggam erat. Kami meringkuk dan dibuat menggigil oleh waktu. Kami mulai percaya, bahwa hidup memang adalah kesunyian masing-masing.

Wawan, akhirnya seperti kawan lainnya, memutuskan untuk memasuki rimba yang pernah dan gagal saya lewati. Rimba yang tak melulu sunyi. Sebab di sana, ada beragam suara yang mengajak kita dengan terpaksa harus mencari jalan keluar.

Dan hari ini, ia memilih masuk ke dalam rimba dengan seorang perempuan yang tentu saja harus ia jaga dan hidupi.

Selamat menikah, kawan…

Selamat datang di rimba…

Gagal boleh, mati jangan!

Jumat, 03 Maret 2017

BLACKBERRY

Tidak ada komentar

Bebe ini begitu bersejarah. Wadah saya menulis. Beberapa bulan lalu, tombol delete-nya copot. Tapi masalah itu masih bisa diatasi. Saya tinggal menandai huruf yang typo lalu menekan huruf yang benar, maka typo akan terganti secara otomatis.

Saya jarang menulis di ponsel android. Sering typo dan tidak nyaman. Laptop saya keyboard-nya juga bermasalah. Harus ditekan kuat-kuat setiap huruf, angka, simbol, dan fungsi lainnya.

Hari ini, kondisi Bebe ini semakin parah. Layarnya mulai menghitam. Seperti hidup saja dan luka di layar yang pecah, mengeluarkan bercak darah menghitam. Semakin hari semakin bertambah lebar. Saya yang biasa menulis di memo, mulai merasa tidak nyaman.

Banyak tulisan lahir dari Bebe ini. Baik itu berita, puisi, artikel, dan cerpen. Rasanya, lebih cepat dan praktis menulis di sini. Saya bisa menulis di mana saja, mau saat perjalanan di dalam bus, mobil, atau boncengan di motor. Bisa di tempat-tempat nongkrong, di leput, dego-dego, rumah kopi, pinggir telaga, pantai, puncak, bahkan di kuburan teman. Saya merasa lebih produktif menulis ketika Bebe ini baik-baik saja.

Nomor ekor 5161 (SIGI) saya, hari ini dipindah di ponsel android. Tanpa nomor, kali ini fungsinya hanya sebagai alarm bangun pagi.

Terima kasih Bebe Onix 2, juga untuk Gemini yang terpaksa dijual ke teman yang lihai membujuk, katanya: anak pertamanya mau lahir dan ingin merekam video atau memotretnya. Kabarnya Gemini itu juga sudah rusak.

Seperti manusia, mungkin sudah saatnya kalian berpulang. Sekali berarti, sudah itu mati.