Dari Bandara Sentani, saya bersua pandang dengan bapak itu. Dia duduk dua deret di depan saya. Setelah sampai di Sorong, tadinya saya berpikir ia akan turun. Tapi ia tak beranjak dari kursinya.
Pesawat yang saya tumpangi untuk pulang ke Gorontalo, selain transit di Sorong, selanjutnya menuju Manado. Uda Syof, salah seorang sesepuh di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, yang sederet kursi dengan saya, turun di Manado. Uda Syof berasal dari Padang. Sebelumnya Uda sama-sama dengan saya menghadiri undangan perayaan hari lahir Tabloid Jubi di Jayapura. Sementara saya masih melanjutkan perjalanan pulang ke Gorontalo.
Perjalanan menuju Gorontalo dari Manado itulah yang mempertemukan saya dengan bapak itu. Usianya hampir seperti usia ayah saya ketika saya SMA. Kira-kira 60an.
Ia mengenakan jaket wol abu-abu, dengan celana kain hitam yang tampak longgar. Sendal yang ia pakai, hampir sewarna dengan kulitnya. Rambut beruban di kepalanya tinggal sedikit. Ia tersenyum ketika saya duduk di sampingnya. Beberapa giginya telah tanggal. Karena senyumnya itu, saya seperti menemukan celah nyaman untuk bertanya.
"Bapak dari Jayapura tadi, ya?"
"Iya. Kamu?"
"Saya juga dari Jayapura. Satu pesawat terus sama bapak. Saya perhatikan, memang hanya saya dan bapak yang pergi ke Gorontalo."
"Oh, ya? Bikin apa di Jayapura?"
"Mengunjungi keluarga di Hamadi." Saya memutuskan belum mau jujur bahwa saya seorang jurnalis.
"Sama. Saya juga mengunjungi anak saya di Abepura."
Kami mulai terlibat tanya jawab. Beruntung meski hanya empat hari di Jayapura, saya banyak bertanya soal nama tempat. Jadi alamat yang saya sebutkan, ialah alamat saudara saya di Hamadi yang kebetulan pantainya, sebelumnya jadi tempat piknik kru Tabloid Jubi.
Bapak itu mulai akrab dengan saya. Ia kemudian bercerita banyak tentang Papua, selama 25 tahun menetap di sana. Selama tinggal di Papua, ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Hampir semua wilayah Papua bagian utara telah ia jelajahi. Kecuali bagian selatan, seperti Merauke dan Timika.
"Dulu orang-orang asli Papua itu tidak begitu. Orang-orangnya tidak mabuk-mabukan di jalan. Tapi pendatanglah yang mulai mengajari mereka minum alkohol," tuturnya.
Ia mengatakan hidup di Papua sekarang kurang nyaman. Sebab kasus demi kasus seperti penjambretan, pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan kerap terjadi. Bahkan anak-anak muda semakin tidak karuan. Mabuk-mabukan di jalanan, sampai menghirup lem di tempat umum.
"Saya tahu persis perkembangan di Papua. Dulu tidak begini. Kota semakin ramai dengan pendatang yang menularkan hal-hal negatif."
Sewaktu bekerja di BMKG, ia mengaku sering turun ke lapangan untuk keperluan pendataan. Dari situlah ia banyak menjaring pengalaman dengan orang asli Papua.
"Kalau kamu beli barang jualan, kamu bisa ambil barang itu lalu meletakkan uang di meja, jika pedagangnya tidak ada di tempat. Tak ada satu pun orang yang berani mengambil uang itu."
Ia juga sering melihat, ketika dagangan mama-mama Papua tidak laku, mama-mama itu akan membuang dagangan mereka di sungai.
"Dagangan mereka seperti sayur-sayuran akan dibuang. Besok baru cari lagi untuk dijual. Memang mereka belum paham konsep jual beli."
Orang-orang Papua, tidak khawatir dengan untung rugi berjualan kala itu. Sebab menurut bapak itu, orang-orang Papua tidak akan kelaparan. Ingin makan, tinggal pangkur sagu dan sisanya bisa disimpan berbulan-bulan. Hutan, sungai, danau, dan laut juga menyediakan lauk yang berlimpah. Buah-buahan dan sayur mayur tinggal main petik.
Mungkin sama halnya dengan suku Badui atau Kasepuhan Ciptagelar, mereka yang tak mengenal konsep jual beli. Beras dilarang diperjual-belikan. Sebab budaya gotong royong dan berbagi, masih begitu kental. Jika hasil alam melimpah, kenapa harus serakah?
Perbincangan kami sempat terhenti saat pramugari mulai membagikan dus kue. Kemudian berlanjut dan kian merambat ke persoalan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Ia bercerita, ketika hendak mendata di salah satu wilayah terpencil, ia dan seorang temannya harus berjalan kaki selama dua hari.
"Saya bawa kopi, gula, rokok, pinang, dan kapur sirih. Ketika sampai di kampung, kami menyampaikan maksud, bahwa hendak mencari data apakah di tempat itu pernah terjadi gempa. Selama berbincang saya menawarkan apa saja yang saya bawa tadi."
Setelah dipertemukan dengan ketua adat, mereka duduk berbincang sambil minum kopi. Maksud kedatangan mereka pun mendapat respons baik, sebab di wilayah tersebut pernah dilanda gempa besar.
Pada malam berikutnya, ia dipertemukan dengan seorang pria berjanggut putih dan rambut keritingnya sebahu. Pria paruh baya itu mengajaknya masuk hutan. Hanya sekilo saja jaraknya dari kampung, dan sudah tampak seberkas cahaya obor.
"Teman saya memilih tidur karena lelah mendata seharian. Di tempat yang kami tuju, sudah berbaris sekitar ratusan anggota OPM," tuturnya dengan suara setengah berbisik.
Selanjutnya ia diajak duduk di salah satu pondok. Ia mengeluarkan bungkusan kopi dan gula. Dua bungkus rokok diletakkan di lantai kayu. Tak berselang lama, tawa menebal di hutan malam itu.
"Saya baru tahu kalau pria berjanggut itu ternyata ketuanya. Mereka baik. Bahkan ketika kami mau pulang, barang bawaan kami semua dipikul oleh mereka. Saya menolak barang kami dipikul, takut merepotkan, tapi kami dipaksa. Padahal sebenarnya berat juga ransel dan alat-alat yang kami bawa," kenangnya sambil tertawa.
Pesawat sebentar lagi mendarat di Gorontalo. Bapak itu izin ke toilet. Sebelum pesawat benar-benar pada posisi landing, ia sudah kembali ke kursi lalu coba mengenakan sabuk pengaman. Setelah tiga kali mencoba karena mungkin faktor usia, akhirnya ia bisa mengenakan sabuk itu.
Setelah pesawat mendarat di Bandara Jalaluddin, saya pamitan dengan bapak itu. Ia dijemput mobil avanza sewarna dengan jaketnya. Dari jendela mobil, ia melambaikan tangan yang segera saya balas pula dengan beberapa kali lambaian, hingga mobil itu mengecil dan hilang di ujung pintu keluar bandara.
Dan ... saya baru sadar, kami tidak saling bertukar nama dan alamat.