Kotamobagu, kota mungil sekali kitar, pasti kelar. Jika pulang ke Desa Passi, malam-malam panjang lebih banyak saya habiskan di kota yang hanya berjarak sebatang rokok pupus, dari desa saya.
Beberapa bulan lalu, saya dikabari seorang karib, ada acara literasi dan musik di Kedai Kampung Bogani, di Kotamobagu. Kami diminta tampil di acara bertajuk Literasik itu.
Setelah latihan selama beberapa jam saja, kami bersiap menuju kedai. Saat memasuki pelataran kedai, saya ditemui seorang pria dengan logat kental dari dataran tinggi Kecamatan Modayag.
"Sigidad, kang?"
"Oh, iyo, ini Vicky to?"
"Iyo."
Pria bernama Vicky itu lantas menganjurkan saya untuk segera mendaftarkan nama band ke panitia. Saya memberitahunya, jika nama band kami yang inalillahi kerennya itu, sudah terdaftar. Siapa yang tidak kenal Saung Layung Arus Balik (SLAB), band indie teraneh di Bolaang Mongondow, yang hanya terbentur, eh, terbentuk, dan tampil setahun sekali, lalu bubar lagi itu?
Literasik malam itu berlangsung syahdu. Kami tampil dengan segala kekurangan dan kelebihan, yang sebetulnya lebih banyak kelebihannya daripada kekurangannya. Maksud saya, kelebihan gugup.
SLAB membawakan musikalisasi Derai-Derai Cemara dari versi Banda Neira, yang kami improvisasi menjadi persembahan yang tiada tara jeleknya.
"Eh, bagus ngoni tadi no," kata salah satu kawan.
Testimoninya, kendati sudah sering kami dengar setiap tampil, malam itu cukup membuat dada saya mekar seketika, sebelum terkatup dan layu setelah menyaksikan hasil rekaman video. Bangsat! Kaki saya terlalu banyak gerak, pertanda gugup, dan beberapa kali suara saya sumbang.
Siapa yang tak malu, sebab malam itu, ada band indie lokal yang benar-benar band, sedang mengisi jeda acara. Namanya mengingatkan saya ketika masa krisis pangan, selama tinggal di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo. Saking sekaratnya, kami terpaksa hanya makan mangga seharian yang pohonnya tumbuh lebat tepat di depan sekretariat. Nama band itu, Beranda Rumah Mangga, atau disusutkan menjadi Braga.
Suara vokalisnya teduh. Iringan musiknya merdu. Ditambah suara dua yang mendayu-dayu. Dibandingkan SLAB, tentu Braga adalah Ungu, dan kami Pasha, eh, maksudnya payah.
Saya yang baru sekali melihat penampilan mereka, segera gugling di yucup. Benar sudah, ada klip video mereka dengan lagu berjudul "Di Kedai Ini". Saya mendengarkannya. Apik.
Lagu "Di Kedai Ini", berlatar kedai yang sedang kami tempati saat itu. Berkisah tentang seorang gadis yang menanti kekasihnya, yang bedebahnya tak kunjung datang.
Vicky, gitaris sekaligus pencipta lagu, sebelumnya memang saya kenal dari pertemanan pesbuk. Saya malah penggemar film-film pendeknya. Belakangan, saya baru tahu kalau mereka juga punya band. Jelas saja SLAB merasa tersaingi.
Selanjutnya, setelah malam itu, lagu "Di Kedai Ini" saya donlot dari yucup. Berkali-kali saya dengarkan jelang tidur. Sayangnya lagu itu tidak bisa menjadi lullaby atau pengantar tidur. Soalnya saya sering kepikiran kopi. Iya, saya jika minum kopi pada malam hari, bawaannya jadi susah tidur.
Setelah beberapa bulan kemudian, saya kembali ke Gorontalo. Pekan lalu, Braga kembali merilis single kedua berjudul "Patah Menjadi Air Mata". Saya menontonnya di yucup, dan seketika suka dengan lagu itu. Liriknya puitis dan sarat makna mistis, eh, filosofis.
Lagu itu seperti diceritakan Vicky, terinspirasi dari sebatang pohon di sekitar Danau Tondok. Pohon kering itu, diibaratkannya sebagai petapa tua. Kira-kira begitu yang saya bacai dari hasil curhatannya, sepanjang tiga edisi di Tribun Manado online.
Saya sebenarnya merasa kesal kali pertama membaca curhatannya itu. Kesal sebab tulisan itu menggantung, dan harus menunggu edisi lanjutan. Seperti sedang menunggu apdetan Game of Thrones saja.
Saya pikir, ada jeda terlalu lama dalam tulisan yang superkeren itu. Padahal seharusnya bisa dijadikan satu tulisan utuh, sebab catatannya juga tidak panjang-panjang amat. Payah betul Tribunnya. Mau ngejar klik?
Dari tulisan yang berjeda itu, saya membacai ada jarak cipta yang terlalu jauh dari lagu satu ke lagu berikutnya. Tahun bukan waktu yang pendek. Saya kira, Braga, kendati di tengah kesibukan pekerjaan masing-masing personel, harus banyak meluangkan waktu, agar satu album bisa tercipta. Sialan, masak hanya dua lagu saja. Tambah dong!
Namun, laiknya sebuah karya memang butuh proses. Saya lebih menghargai karya yang memakan waktu lama, sebab tentu saja karya tersebut dibalut kontemplasi yang dalam. Itu mungkin jadi alasan kenapa saya menyukai lagu dari Braga.
Saya, juga tidak terlalu suka dengan karya yang instan. Semisal puisi, yang bisa diproduksi puluhan dalam sepekan. Atau, puisi-puisi yang diminta dibuatkan. Bagi saya, puisi lahir dari salah satu sudut ruang imajinasi, yang mana butuh kedalaman renung untuk bisa menemuinya. Begitu pun lirik lagu.
Entahlah, masing-masing orang punya penilaian, bukan?
Saya tunggu lagu berikutnya dari Braga. Mungkin tahun depan, tak mengapa. Asal jangan ada lagi mangga di antara kita.