Saat ini, 28 April 2018, tepat ulang tahun Sigi yang ketujuh. Tahun-tahun terakhir masa kepemimpinan presiden ketujuh Indonesia, Jokowi. Presiden yang telah merebut suara ayah dan pendukung lainnya, dengan beberapa janji palsu.
Di tahun ini pula, presiden ketujuh itu untuk yang kedelapan kalinya berkunjung ke Papua. Kunjungannya baru-baru ini, tepat di hari ulang tahun ayah, 12 April 2018. Tak sudi ayah berjajar di tepi jalan, untuk melambaikan tangan kepadanya.
Kunjungan presiden itu tak berarti sama sekali. Janji-janjinya ketika masa kampanye pada Pilpres 2014 lalu, untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua hanya omong kosong. Kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua setiap tahunnya bertambah, dan belum ada yang tertangani serius. Seperti kasus Wamena Berdarah, Wasior Berdarah, Dogiyai Berdarah, Paniai Berdarah, dan Abepura Berdarah tempat ayah menetap sekarang.
Kenapa setiap kasus disematkan kata "Berdarah", Sigi? Karena itu sebagai pengingat bahwa kebiadaban pernah terjadi di sana. Darah, selain sebagai tanda juang, ia juga bisa berarti keji.
Pelanggaran HAM di Papua tak melulu soal penembakan atas Orang Asli Papua (OAP), ketika mereka berteriak di jalanan menuntut referendum, atau penembakan orang-orang Papua yang tidak bersalah. Tapi menyangkut "pembunuhan massal" lainnya misal; fasilitas kesehatan dan pendidikan yang buruk; infrastruktur yang tidak memadai; mahalnya berbagai macam kebutuhan pokok; dan perampokan besar-besaran sumber daya alam di Papua, yang menjadi bagian-bagian penting yang disepelekan selama ini.
Banyak ditemui kasus kematian dalam jumlah puluhan di beberapa wilayah di Papua. Korban terbanyak selalu anak-anak, seumuran kamu, Sigi. Seperti kasus kematian di Korowai, atau gizi buruk dan campak di Asmat. Tapi pemerintah sepertinya lebih memilih untuk menangani, bukan mencegahnya. Setelah sukses menangani, silakan baca media-media yang memparadekan kesan-kesan keseriusan pemerintah dalam melayani.
Rakyat Papua saat ini seperti sedang digenosida dalam senyap. Bahkan meski diteriakkan, akan tetap dibungkam. Di Jenewa, Swiss, 19 September 2017, saat sidang Dewan HAM PBB, isu pelanggaran HAM di Papua disuarakan pemerintah Solomon dan empat LSM jaringan internasional. Barret Salato, Charge de Affairs Konselor Kepulauan Solomon untuk PBB di Jenewa, menyebut populasi OAP menurun drastis, dari 96,09% di tahun 1971, menjadi 42% saat ini. Bisa diperkirakan populasi OAP akan lenyap dalam 40 tahun ke depan.
Itulah kenapa rakyat Papua menolak program Keluarga Berencana, atau transmigrasi besar-besaran penduduk dari Pulau Jawa ke Papua. Mutiara Hitam tak lagi berkilau di sini, meski ini tanah leluhur mereka. Jika ingin sensus kilat, silakan menepi ke pusat perbelanjaan atau pasar.
Saat berkunjung ke wilayah Arso di Kabupaten Keerom tempat para transmigran dari Pulau Jawa bermukim, ayah menyaksikan perkebunan sawit berhektare-hektare. Tapi dari penuturan warga sekitar, sejak pabrik pengolahan ditutup beberapa tahun lalu, perkebunan sawit terlantar. Jadi, sepertinya dulu selain program transmigrasi, para transmigran juga diselipkan program penanaman pohon sawit. Tanaman yang begitu rakus air dan egois.
Dari Keerom, hanya dengan jarak tempuh satu jam menggunakan pesawat, di Distrik Kurik, Merauke, pada 10 Mei 2015, Presiden Jokowi mengenakan helm putih dan menaiki traktor yang tengah menggelung padi-padi menguning. Di atas traktor, Jokowi mengatakan akan mencetak 1,2 juta hektare persawahan dalam tiga tahun. Dan untuk mengelolanya butuh dana triliun. Selain ditangani BUMN, proyek itu pun memakai jasa para investor.
Awalnya proyek itu dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diberi nama Merauke Integrated Rice Estate (MIRE). Kemudian diubah menjadi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Jokowi yang melanjutkan proyek ini sekarang, tapi diubah lagi menjadi Merauke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Film Dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru berjudul The MAHUZEs, cukup jelas menyajikan seperti apa proyek tersebut, berikut dampaknya bagi orang-orang Malind di sana.
Sawah pertama di Papua, dicetak Belanda pada 1954 dengan luas 96 hektare. Butuh 60 tahun untuk mencetak sawah seluas 43.000 hektare di Merauke, sejak 1954 sampai 2014. Dan coba Sigi bayangkan, Presiden Jokowi mengatakan hanya dalam tiga tahun ia akan mencetak 1,2 juta hektare. Itu setara dengan 1/4 luas Merauke. Berapa pula luas hutan yang ditebang? Jika Sigi menonton The MAHUZEs, Sigi akan bergidik dan tersingahak.
Sementara luas lahan kelapa sawit di Merauke sekitar 220.000 hektare. Orang-orang Malind di sana, tengah dikepung keserakahan. Ekspansi sawit di sana banyak mengorbankan hutan tempat mereka berburu, pun pepohonan sagu. Air sungai tempat mereka memancing jadi kotor, yang semula ikan-ikan berenang akan tampak jelas dari atas sampan.
Orang Papua juga mempertanyakan, apakah pangan hanya beras? Sebab mereka makan sagu yang pepohonannya tumbuh gratis dari tanah Mama. Sepohon sagu, ditebang, dipangkur, dan diolah bisa memberi makan sekeluarga selama enam bulan. Padi butuh berapa lama untuk proses tanam lalu bisa dipanen? Meski sebenarnya, meningkatnya pengidap diabetes di Indonesia karena terlalu banyak makan nasi. Sagu lebih menyehatkan orang Papua.
Yang ironis pula menyoal sawah, ketika di Merauke pemerintah gencar-gencarnya mencetak sawah demi swasembada pangan, di Rembang, Jawa Tengah, malah persawahan para petani Kendeng terancam pabrik semen. Dan tuntutan warga diabaikan Jokowi, meski mereka menyemen kaki di depan istana.
Padahal, para petani Kendeng dinyatakan menang gugatan terhadap PT Semen Indonesia, yang diputuskan Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016. Anehnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan izin baru untuk PT Semen Indonesia, 23 Februari 2017. Kau iqra, Sigi, betapa pemerintah itu penuh segunung tipu muslihat.
Ah, Sigi, kali ini ayah banyak bicara tentang apa yang belum kau pahami. Tapi suatu saat, kau juga akan memahaminya.
Selamat hari raya usia yang ketujuh. Selalu lucu dan ceria. Jangan pernah dewasa. Dan kelak jangan pernah percaya bahwa Jokowi itu pemimpin yang mendengar derita rakyat kecil, apalagi rakyat Papua.