Keluh dari balik jendela bening. Bulan datang mengecup hening. Di bibir jalan, bayanganmu tak pernah tiba. Hanya lampu-lampu kendaraan yang berganti rupa.
Hampa yang kita tunggu, terkadang hantu. Tak pernah benar-benar ada. Waktu seperti tungku tak berapi. Dingin dan diam tanpa diang.
Obrol kita sering menengkarkan hal-hal sepele. Tentang pilihan yang terkadang keliru dicerna. Hanya agar hari-hari semakin tebal dengan cengkerama. Hanya agar hidup dirasai hidup.
Lalu pernahkah kau benar-benar pergi? Sementara aroma tubuhmu masih memenuhi segala ruang. Aroma sederhana yang kerap meminta wangi para pandit. Padahal seribu utaramu ialah guru.
Indah malam, namun bulan hilang dan bukit berduka. Awan menghiburnya dengan memoles sedikit warna pada punggungnya. Lalu membisikkan kalimat, "Bulan pasti kembali". Lalu siapa yang menghiburku?
Saat itu, deru jadi polusi suara. Padahal kita sering membayangkan bising itu, sebagai air terjun yang menjuntai di samping jendela. Sesekali kita mengusirnya dengan seruling bambu Gus Teja. Sampai dengkur bertukar nada.
Nirwana sepi malaikat, sebab mereka datang mengawasi tidurmu. Mereka gemar mengusap tubuhmu yang lelap. Tapi lengkara mereka masuk ke mimpimu. Karena kau memagarinya dengan cahaya.
Untuk sebuah kisah, belum cukup ini dusta. Karena ini yang membikin segalanya indah tanpa jeda. Kelak sungai di tepi rumahmu akan jadi muara kata-kata. Hingga seorang bocah meloncat ke dalamnya tanpa busana.
Ragamu terbenam abadi di sini. Meski setiap kali kau mengukur waktu kepulangan dengan dengkur. Sampai aku sadari, untuk apa kita bertukar kabar, sedang kita tak pernah berjarak. Apalagi untuk saling menunggu.