Kerabat yang satu ini akrab ketika kami bocah. Ia yang tumbuh besar di Kepulauan Sangihe Talaud, kala itu sesekali menjenguk langit pikir Mongondownya. Kami yang sebahasa tanah, saling bertukar cerita tentang tempat yang sama-sama asing. Ia berkisah tentang Tahuna, saya berkisah tentang tanah mama. Kisah kami tak putus, meski pada 1980-an, ponsel pintar masih barang yang berada dalam lingkar imajinasi. Kami kerap surat menyurat.
Waktu terus menggelinding, hingga membawanya ke bangku kuliah di Manado. Di sana, kami dari bocah berleleh ingus, menjelma menjadi bocah-bocah dewasa yang sedang mencari arah hidup. Hidup kami tersita banyak di jalanan berlanskap lampu-lampu kota yang riuh. Manado, di era 2000-an, seolah kuali yang dipenuhi air berbusa yang gelembungnya saja mampu menenggelamkan kami. Tapi anak-anak Passi selalu bertahan, dengan saling menjadi pelampung untuk satu sama lainnya.
Di Kampung Kodo, kami pernah tinggal bersama. Di Kleak, kami pernah serumah. Manado, bukan hanya sekadar kota yang mengisi penuh tabung kenangan kami: para begundal desa yang tengah mengadu nasib, yang jarak dari rumah hanya empat jam berkendara. Kami bocah-bocah yang masih sering dikirimi beras oleh orangtua. Tapi Manado adalah kota yang akhirnya mengasah kami, tentang bagaimana kerasnya hidup di kota. Kami belum berkelana sejauh ingin kala itu. Manado, masih merantai kaki.
Zaman tak hanya memoles tabiat kami. Tapi telah berkali-kali menanggalkan nama-nama akrab. Ia, dari yang bernama Sut Mamonto, berubah menjadi Sutha. Saya dari Yanto, berubah menjadi Ya'. Kemudian sekali lagi, panggilan Mitra melekat kepadanya. Dan saya berubah menjadi Sigidad, setelah Sigi merangkak dari gua garba ibunya. Nama-nama busuk kami pun ada. Tentu saja, nama-nama itu hanya terucap dari kami yang menamakan diri: anak-anak pertigaan. Itu spot berkumpul kami, di simpang tiga desa.
Ketika saya menjadi jurnalis di salah satu koran di Kotamobagu tahun 2015, ia pernah sekantor dengan saya sebagai fotografer. Sampai sekarang, ia bertahan di sana. Kemudian kemarin, saya mendengar kabar ia telah memilih seorang perempuan yang dicintainya, Amelia Adampe, untuk menjadi pendamping hidupnya.
Menikah adalah pilihan masing-masing. Tiada seorang pun yang bisa mengendap masuk ke dalam pikiran orang lain, lantas menyumpahinya karena masih hidup sendiri. Tapi bagi kami: anak-anak pertigaan, soal pasangan hidup tetap menjadi rempah-rempah lelucon, yang selalu merawat keakraban. Sutha, adalah kawan sepantar saya yang terakhir memilih jalan untuk menikah. Sebuah jalan panjang menuju rimba yang rimbun oleh berbagai cobaan.
Selamat menikah. Akur hingga uzur, Mitra...
Waktu terus menggelinding, hingga membawanya ke bangku kuliah di Manado. Di sana, kami dari bocah berleleh ingus, menjelma menjadi bocah-bocah dewasa yang sedang mencari arah hidup. Hidup kami tersita banyak di jalanan berlanskap lampu-lampu kota yang riuh. Manado, di era 2000-an, seolah kuali yang dipenuhi air berbusa yang gelembungnya saja mampu menenggelamkan kami. Tapi anak-anak Passi selalu bertahan, dengan saling menjadi pelampung untuk satu sama lainnya.
Di Kampung Kodo, kami pernah tinggal bersama. Di Kleak, kami pernah serumah. Manado, bukan hanya sekadar kota yang mengisi penuh tabung kenangan kami: para begundal desa yang tengah mengadu nasib, yang jarak dari rumah hanya empat jam berkendara. Kami bocah-bocah yang masih sering dikirimi beras oleh orangtua. Tapi Manado adalah kota yang akhirnya mengasah kami, tentang bagaimana kerasnya hidup di kota. Kami belum berkelana sejauh ingin kala itu. Manado, masih merantai kaki.
Zaman tak hanya memoles tabiat kami. Tapi telah berkali-kali menanggalkan nama-nama akrab. Ia, dari yang bernama Sut Mamonto, berubah menjadi Sutha. Saya dari Yanto, berubah menjadi Ya'. Kemudian sekali lagi, panggilan Mitra melekat kepadanya. Dan saya berubah menjadi Sigidad, setelah Sigi merangkak dari gua garba ibunya. Nama-nama busuk kami pun ada. Tentu saja, nama-nama itu hanya terucap dari kami yang menamakan diri: anak-anak pertigaan. Itu spot berkumpul kami, di simpang tiga desa.
Ketika saya menjadi jurnalis di salah satu koran di Kotamobagu tahun 2015, ia pernah sekantor dengan saya sebagai fotografer. Sampai sekarang, ia bertahan di sana. Kemudian kemarin, saya mendengar kabar ia telah memilih seorang perempuan yang dicintainya, Amelia Adampe, untuk menjadi pendamping hidupnya.
Menikah adalah pilihan masing-masing. Tiada seorang pun yang bisa mengendap masuk ke dalam pikiran orang lain, lantas menyumpahinya karena masih hidup sendiri. Tapi bagi kami: anak-anak pertigaan, soal pasangan hidup tetap menjadi rempah-rempah lelucon, yang selalu merawat keakraban. Sutha, adalah kawan sepantar saya yang terakhir memilih jalan untuk menikah. Sebuah jalan panjang menuju rimba yang rimbun oleh berbagai cobaan.
Selamat menikah. Akur hingga uzur, Mitra...
No comments :
Post a Comment