Jika disuruh memilih seperti apa bentuk kematian yang akan kita alami, mungkin kebanyakan akan memilih mati pada usia senja. Tapi tidak bagi Kimitake Hiraoka. Penulis, penyair, dramawan, aktor, dan sutradara asal Jepang bernama pena Yukio Mishima itu, memilih cara kematiannya sendiri. Di hadapan seribu orang yang mendengar pidatonya, ia melakukan seppuku dengan merobek perut kirinya memakai pedang. Pada 25 November 1970, penulis yang pernah tiga kali dinominasikan Nobel Prize itu, tersungkur tak bernyawa.
Orang yang memutuskan bunuh diri, tentu menempa keberanian hingga menjadi nyali tajam. Kendati memilih terus menjalani hidup, ialah bentuk lain dari sebuah keberanian. Bagiku, seseorang yang bunuh diri bukanlah pengecut. Ada berbagai macam alasan yang melindas isi kepala mereka.
Pernahkah kalian memikirkan cara kematian dengan bunuh diri? Aku akan menceritakan beberapa kejadian yang nyaris melindangkan nyawaku. Ada beberapa kejadian yang menurut sebagian orang adalah upaya bunuh diri.
Kala itu, masih berseragam putih biru, aku berlari memasuki kamar. Tas punggung kulemparkan ke atas kasur, lalu aku melepaskan sepatu dan kaus kaki. Aku berlari menuju dapur tanpa alas kaki.
Di dapur, dua kakak perempuanku tengah membikin kue menyambut Idulfitri. Karena bulan puasa dan saat itu aku berpuasa, kue yang berjajar di atas meja hanya menjadi pemuas visual. Baru saja hendak menuju kamar mandi, lengan telapak tangan kananku menyambar seutas kabel terkelupas dari colokan pemutar musik. Arus listrik hampir menjabal habis darahku, sampai akhirnya aku seolah didorong dari dalam oleh arus listrik. Aku terhempas.
Ketika aku membuka mata. Langit-langit kamar ibuku seakan bergelombang. Dengusan kakak laki-lakiku yang pernah berlatih ilmu bela diri pernafasan Prana Sakti, terus terdengar. Hari itu, aku terpaksa membatalkan puasa dengan segelas air. Setelah sepenuhnya sadar, aku melihat kuku ibu jari tangan kananku meleleh.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, satu lagi peristiwa yang hampir merenggut nyawaku. Saat itu aku sudah berseragam putih abu-abu. Sepulang dari sekolah, musim durian menarik hidungku untuk mengunjungi kebun. Di sana sudah ada kerabat lainnya, yang tengah asyik bercanda di pondok. Sementara tak jauh dari salah satu pohon durian, kakak laki-lakiku tampak sibuk mengayuhkan potongan kayu ke langit. Ia coba menjatuhkan buah durian.
Setelah beberapa kali lemparannya gagal, akhirnya potongan kayu itu mengenai buah dan menjatuhkan beberapa. Aku berlari hendak memungutinya. Teriakan dari kakakku terdengar jelas. Ia baru saja melontarkan potongan kayu lagi. Tapi teriakan peringatannya terlambat. Potongan kayu yang pasrah dengan teori gravitasi, melesat ke arahku. Aku merasakan seperti baru saja tengkorak kepalaku ditabrak meteor. Darah mengecat rerumputan hijau di sekitarku menjadi merah. Kakakku dan kerabat lainnya berlarian ke arahku. Meski dalam keadaan sadar, aku tidak merasakan sakit. Hanya terasa kulit kepalaku menebal.
Seorang kerabat memetik beberapa daun dan melumatnya. Ia menempelkannya di kulit kepalaku. Ia takut aku kehabisan darah. Setelah itu ia membungkus kepalaku dengan kausnya. Ia menggendongku, berlari melewati kebun, tepian sawah, sampai ke desa. Secepat mungkin ia ke rumah salah satu mantri. Aku lagi-lagi terselamatkan. Beberapa tahun kemudian, kerabat yang menolongku ini, menjadi kakek dari putriku satu-satunya: Sigi.
Masih berseragam putih abu-abu, kami sekomplotan remaja yang mengklaim anak nakal dari berbagai SMA, pergi mabuk ke salah satu puncak di Desa Wangga. Desa ini bertetangga dengan desaku, Desa Passi.
Ketika kami sedang mabuk, aku berkelahi dengan seorang kawan. Karena menyesal telah bertukar tinju dengannya, aku duduk di tepi jurang. Kawan-kawan lain coba membujukku untuk kembali ke pondok tempat kami berpesta. Tapi karena mabuk berat, tubuhku limbung, terjungkir, dan jatuh ke jurang.
Aku seperti batang kayu yang meluncur di kemiringan tanah sekira 60 derajat. Tubuhku berkali-kali terantuk-antuk tunggul. Tapi sekali lagi, nasib baik masih menepuk pundakku. Tubuhku tersangkut di rerumputan yang tergelung tebal. Jika tak ada itu, tubuhku terjun bebas ke jurang 90 derajat. Kelokan sungai di bawah jurang terlihat seperti seutas benang.
Selang beberapa tahun kemudian, kejadian nyaris mati kembali menemuiku atau malah kutemui sendiri. Kali itu, bukan kabel berarus listrik, potongan kayu, atau jurang. Tapi obat-obatan keras. Dua puluh butir Dextromethorphan kutelan. Berbotol-botol minuman keras terus berputar tiada henti mengisi gelas kosong. Merasa sudah mabuk berat, kami dari desa berkendara motor menuju kota. Sesampainya di kota, kami kembali membeli minuman keras dan singgah di salah satu sudut alun-alun kota.
Pengaruh obat mulai terasa berkurang. Semakin sering memakai obat-obatan, dosis memang bertambah. Aku kembali menelan dua puluh butir. Tak sampai sejam, kedua lutut kakiku seperti digelayuti barbel. Terhuyung-huyung, akhirnya aku lempai di atas rerumputan.
Suara-suara yang memanggilku terdengar jauh sekali. Aku hanya melihat dunia serba susu. Cukup lama aku merasa tinggal di dunia berlapis-lapis susu itu, kemudian mulai tersadar ketika sekujur tubuhku terasa dingin.
Menurut penuturan kawan-kawan, aku dilarikan dari kota kembali ke desa dalam kondisi tak sadarkan diri. Mulutku berbuih. Karena takut membawaku ke rumah, mereka membawaku ke perbatasan desa. Di perbatasan itu memang ada jalan yang belum dibangun permukiman. Jadi dirasa aman jika teman-temanku terlampau gaduh karena panik.
Aku ditelanjangi sampai tersisa cawat. Karena suhu tubuhku memanas, mereka menyelimutiku dengan dedaunan berembun. Saat itulah aku mulai merasa dingin dan sadar. Tapi mulutku masih terus berbuih. Mereka akhirnya pergi membeli beberapa kaleng susu Bear Brand. Dari dunia serba putih susu, akhirnya aku diselamatkan susu kaleng.
Dari semua kejadian itu, akhirnya aku menemui satu kejadian yang benar-benar nyaris disapa malaikat maut. Ketika itu, aku belum bisa lepas dari pengaruhi obat-obatan dan minuman keras. Dalam pengaruh dua barang itu, aku dan beberapa kawan mengunjungi desa tetangga. Kala itu kami menghadiri undangan acara malam muda-mudi, di pesta pernikahan seorang teman perempuan.
Namun sial, ketika kami pulang, motor kami dicegat di desa tetangga. Tawuran terjadi. Tapi kami kalah jumlah. Ketika semua kawan berhasil kabur dengan sepeda motor, aku jatuh ke parit. Motorku dibawa lari seorang kawan yang ketakutan. Beberapa lawan melihatku. Mereka mengejarku sambil berteriak: bunuh!. Seorang lawan bertubuh mungil berlari kencang ke arahku. Botol di genggamannya pecah di tengkorak kepalaku. Saat itu, aku sempat melihat ke langit. Ada purnama pucat di sana. Aku berpikir, mungkin ini kali terakhir aku melihat bulan.
Ajaibnya, ketika tubuhku sedang diinjak-injak sekumpulan orang, seorang pengendara motor berteriak kalau dia adalah polisi. Orang-orang itu kabur. Pria itu memapahku naik ke motornya. Ia sempat bertanya, apakah sepatuku yang tertinggal di kulit jalan. Aku mengiyakan sembari menganjurkan agar sepatu itu diabaikan saja. Ia baru sadar, saat sinar purnama menerangi penglihatannya. Wajahku terus dialiri darah.
Ia berhasil membawaku ke desa. Kemudian orang-orang desa mengantarku ke rumah sakit. Aku selamat. Sampai sekarang, aku belum berterima kasih kepada pria yang menolongku itu.
Beberapa tahun kemudian, kejadian nyaris menemu ajal kembali terjadi. Tapi kejadian tragis inilah yang mengubahku menjadi seperti sekarang.
Aku bekerja di salah satu gedung yang sering disewakan untuk acara-acara besar seperti pernikahan, ulang tahun, konser, kampanye, dan lain-lain. Saat itu sedang ada yang menyewa untuk acara pernikahan. Kami dijajarkan di depan pintu, sebagai penyambut tamu.
Di tengah acara, kami bertukar jam kerja. Aku dan teman-teman lain segera ke loker untuk berganti pakaian. Saat itulah, kami bersenda gurau melepas penat, sambil merokok. Aku coba duduk di salah satu papan kayu, yang biasa menjadi tempat bersantai kami. Tapi papan yang saya duduki rapuh. Yang aku ingat, tubuhku jatuh membentur langit-langit tripleks, lalu menghantam lantai.
Ketika tergeletak di lantai, pinggang kiriku seperti disetrum kabel seukuran gelas bir. Aku tak pingsan. Aku benar-benar merasakan setiap jengkal sakit yang menjalar di sekujur tubuh. Tak lama kemudian rekan sekerja berdatangan dan segera mengangkat tubuhku. Balok es seukuran paha orang dewasa diletakkan di pinggangku. Rasa sakit sedikit berkurang. Jemari kedua kakiku diminta digerakkan. Bisa. Kata mereka, jika masih bisa digerakkan berarti tak ada tulang yang patah.
Ponselku berhasil ditemukan. Setelah baterai disatukan ke cangkang ponsel, beruntung masih bisa dihidupkan. Aku segera mengabari kerabatku di rumah kontrakan. Mereka menjemputku dengan mobil. Sampai di rumah kontrakan, seorang kerabat pergi memanggil tukang urut. Seorang ibu. Aku ditelanjangi. Bulat. Rekan-rekan kerja yang menyusulku, pun para kerabat, tak lagi aku pedulikan. Aku terus menjerit. Menurut tukang urut, paha kiriku retak. Tulang pinggang bergeser. Beruntung tak ada yang patah. Tapi kata tukang urut, seandainya aku jatuh bukan dalam posisi menyamping, tapi dalam posisi duduk, mungkin tulang punggungku patah. Kemungkinan terburuk aku buta, lumpuh, atau mati. Dari tiga pilihan itu aku memilih yang ketiga.
Kakak laki-lakiku kebetulan berada di Manado saat itu. Ia menjemputku dan membawaku pulang. Baru pada bulan keenam perawatan, aku bisa berjalan. Selama itu, waktu kuhabiskan di kamar dengan membaca buku. Aku menulis sebuah novel di buku dengan tulisan tangan. Novel itu selesai pada bulan ketiga perawatan. Aku memberinya judul: Simpul-simpul Kertas.
Setelah sembuh dan bisa berjalan, uang tabungan dari orang-orang yang datang menjengukku, aku belikan tiket pesawat. Aku pergi ke Makassar. Aku belajar filsafat barat dan timur di sana. Hampir empat bulan aku di sana. Kemudian aku mulai menulis di blog, berangkat dari usul dua orang teman baik. Mereka berdua yang pertama kali membaca tulisan perdanaku di blog.
Setelah itu, aku ke Bali. Aku hampir setahun di sana. Aku makin produktif menulis di blog. Kemudian, aku kembali ke desa dan ditawari menjadi wartawan. Dan, inilah aku sekarang. Seorang yang berkali-kali luput dari maut, lantas berani menulis obituari sendiri.
Kita, hanya sehelai ruh yang menunggu luruh...
Ketika tergeletak di lantai, pinggang kiriku seperti disetrum kabel seukuran gelas bir. Aku tak pingsan. Aku benar-benar merasakan setiap jengkal sakit yang menjalar di sekujur tubuh. Tak lama kemudian rekan sekerja berdatangan dan segera mengangkat tubuhku. Balok es seukuran paha orang dewasa diletakkan di pinggangku. Rasa sakit sedikit berkurang. Jemari kedua kakiku diminta digerakkan. Bisa. Kata mereka, jika masih bisa digerakkan berarti tak ada tulang yang patah.
Ponselku berhasil ditemukan. Setelah baterai disatukan ke cangkang ponsel, beruntung masih bisa dihidupkan. Aku segera mengabari kerabatku di rumah kontrakan. Mereka menjemputku dengan mobil. Sampai di rumah kontrakan, seorang kerabat pergi memanggil tukang urut. Seorang ibu. Aku ditelanjangi. Bulat. Rekan-rekan kerja yang menyusulku, pun para kerabat, tak lagi aku pedulikan. Aku terus menjerit. Menurut tukang urut, paha kiriku retak. Tulang pinggang bergeser. Beruntung tak ada yang patah. Tapi kata tukang urut, seandainya aku jatuh bukan dalam posisi menyamping, tapi dalam posisi duduk, mungkin tulang punggungku patah. Kemungkinan terburuk aku buta, lumpuh, atau mati. Dari tiga pilihan itu aku memilih yang ketiga.
Kakak laki-lakiku kebetulan berada di Manado saat itu. Ia menjemputku dan membawaku pulang. Baru pada bulan keenam perawatan, aku bisa berjalan. Selama itu, waktu kuhabiskan di kamar dengan membaca buku. Aku menulis sebuah novel di buku dengan tulisan tangan. Novel itu selesai pada bulan ketiga perawatan. Aku memberinya judul: Simpul-simpul Kertas.
Setelah sembuh dan bisa berjalan, uang tabungan dari orang-orang yang datang menjengukku, aku belikan tiket pesawat. Aku pergi ke Makassar. Aku belajar filsafat barat dan timur di sana. Hampir empat bulan aku di sana. Kemudian aku mulai menulis di blog, berangkat dari usul dua orang teman baik. Mereka berdua yang pertama kali membaca tulisan perdanaku di blog.
Setelah itu, aku ke Bali. Aku hampir setahun di sana. Aku makin produktif menulis di blog. Kemudian, aku kembali ke desa dan ditawari menjadi wartawan. Dan, inilah aku sekarang. Seorang yang berkali-kali luput dari maut, lantas berani menulis obituari sendiri.
Kita, hanya sehelai ruh yang menunggu luruh...