Satu kakak laki-laki saya penambang. Namanya Cucu'. Ia menghidupi anak-istrinya dari hasil menambang. Membangun rumah dari hasil menambang. Ia putus SMA karena menambang. Baginya, ketika uang banyak bisa didapat dengan cepat, buat apa sekolah?
Pernah sekali saya pergi ke lokasi tambang liar tempat ia mengais emas. Lokasi tambangnya di Tatelu, Minahasa Utara. Karena penasaran, saya meminta izin kepadanya untuk ikut masuk ke dalam lubang tambang. Kedalamannya puluhan meter. Ia akhirnya mengizinkan.
Rencananya yang akan turun kami berenam. Termasuk kakak saya. Sebelum turun, ia dan empat orang kawannya menuturkan apa saja pantangan ketika berada di dalam. Yang pertama, jangan sekali-kali mengucapkan kata "lapar". Yang kedua, jika kebelet BAK atau BAB tak perlu mengatakannya. Kedua pantangan ini jika dilanggar, maka orang yang mendengar ucapan kita akan tersugesti dan ikut merasa lapar atau kebelet. Yang ketiga, jangan sampai tertidur, karena untuk mendeteksi zat asam kita harus terjaga. Apalagi, tidur di dalam dengan suhu dingin sangat berisiko untuk kesehatan. Saya mengingat saksama pesan-pesan ini.
Setelah bersiap-siap, kami sarapan. Sebagai bekal, kami membawa puluhan telur rebus tanpa nasi. Tak lupa kami membawa beberapa bungkus rokok. Kami turun sekitar pukul 9 pagi. Tiga kawan kakak saya turun pertama ke dalam lubang seukuran Lubang Buaya. Disusul kakak saya. Kemudian saya. Lalu seorang lagi menyusul. Kakak saya sengaja memilih di bawah saya, agar jika terjadi apa-apa kepada saya, ia tepat berada di bawah.
Di dinding lubang atau pantongan, ada balok-balok kayu terpancang setiap setengah meter. Kami menuruni balok demi balok yang dingin dan licin, diterangi head lamp. Ada seutas tali menjulur ke bawah untuk berjaga-jaga jika ada yang terpeleset. Biasanya tali ini dipakai untuk mengangkat karung berisi bebatuan mengandung emas atau disebut: rep. Kami turun sekitar dua puluh meter. Setelah mencapai dasar, kaki saya gemetar. Ada lubang lebih kecil lagi di samping kanan kaki. Perlahan-lahan, kami harus melewati lubang serupa perosotan anak TK itu. Dalamnya sekitar lima meter. Kami meluncur pelan sambil berpegangan di dinding tanah.
Di dasar 'lubang perosotan' itu, kami harus merangkak sejauh belasan meter. Lorongnya agak menurun. Di sini, nafas saya mulai tersengal-sengal. Udara semakin menipis. Suhu juga semakin dingin. Seperti sedang berada di kamar hotel berpendingin ruangan. Setelah lolos dari 'lubang merangkak', kami sudah bisa dengan posisi berdiri. Lubang kali ini lebih luas. Seperti sebuah lorong. Kami menyusuri lorang dan menuruni tangga. Setelah berjalan beberapa meter, saya menemui lubang yang semakin besar lagi. Di sana, ada bercabang-cabang lorong. Loteng tanah jauh di atas. Lubang ini sebesar lapangan futsal.
"Di sini torang," kata kakak saya.
Ternyata, lubang di kedalaman sekitar 40-an meter inilah yang menjadi serupa terminal bagi para penambang. Selanjutnya, setiap penambang bebas memilih ke mana saja ia mau menggali, sesuai kemahiran masing-masing mengejar urat-urat emas.
Saya diminta duduk di sebuah lorong. Lilin dipasang. Saya bertanya kepada kakak saya, apakah bisa merokok. Ia mengiyakan. Kemudian, mereka satu per satu memanjat di dinding-dinding bebatuan. Ada yang masuk ke lubang di dinding. Ada pula yang memilih menuruni lubang. Lalu terdengar suara logam menghantam bebatuan.
Sambil menunggu mereka, saya terus memperhatikan lilin. Di samping lilin, penuh dengan bekas lelehan yang membeku. Saya terpikirkan untuk mengukir nama di bebatuan di samping lilin. Saya mengeluarkan timah dari pembungkus rokok. Saya memilinnya. Kemudian saya membentuknya menjadi nama: Ya'. Saya menempelkan nama itu di bebatuan, lalu melelehkan lilin di atasnya.
Di belakang saya hanya ada lorong jauh memanjang. Di kanan-kiri dan atas saya hanyalah bebatuan. Saya merebahkan tubuh. Saya membayangkan sedang berada di dalam lubang kubur. Kemudian saya menutup mata. Tapi tetap terjaga.
Tak lama kemudian, saya dibuat terkejut oleh salah satu teman kakak saya. Tubuhnya seperti baru diguyur hujan. Ia meminta air dan dua telur rebus. Ia sempat melihat ukiran nama saya yang mengkilap disambar cahaya lilin.
"Tanda kalu pernah ka sini e?" katanya.
"Kadang-kadang bagini," jawab saya, sambil tertawa.
Ia meminta sebatang rokok. Kemudian ia bercerita mengenai warna nyala lilin. Tapi saya lupa detail ceritanya menyoal perbedaan warna nyala lilin jika siang dan malam. Apakah jika siang nyala lilinnya kuning sedangkan malam berubah biru, atau sebaliknya. Katanya, mereka bisa tahu sudah malam atau belum di luar sana, hanya dari warna nyala lilin.
Setelah ia selesai dengan rokoknya, ia kembali memanjat dinding. Satu orang lagi berganti turun. Kali ini, orangnya jail. Ia berkisah tentang hantu-hantu di dalam 'lubang terminal' ini.
"Di sini so ada yang mati. Biasanya dia jaga kase tunjung," kisahnya.
Saya coba tegar dan tertawa. Ia ikut tertawa. Dari sorot matanya, saya tahu ia sedang mengerjai saya. Tapi setelah ia pamit kembali bekerja, saya jadi sering menegok ke belakang. Saya coba duduk menyamping agar tak memunggungi lorong. Di sebelah memang ada 'lubang terminal' yang begitu luas, tapi gelap. Satu atau dua nyala lilin tak mampu meneranginya.
Tiba-tiba, saya kebelet pipis. Saya menyalakan head lamp lalu melompat ke 'lubang terminal'. Kakak saya bisa melihat jelas ke arah saya. Posisinya tak jauh. Ia lantas berteriak, "Bae-bae dari banyak lubang!"
"Kalu mo bakincing di mana?" Saya coba bertanya, karena saya tak mau mengencingi tempat yang nantinya akan diduduki penambang lain. Saya lupa, ini salah satu pantangan.
"Kalu mo bakincing ka dalam lubang di sablah kiri. Biasa itu so jadi WC!" jawabnya.
Lubang yang kakak saya maksud, berisi berbagai macam sampah plastik. Ada botol-botol plastik berisi air seni dan kantong-kantong plastik berisi tinja. Selesai kencing saya kembali ke tempat semula. Kakak saya terlihat turun. Ia berjalan menuju 'lubang WC'. Tak lama kemudian, dua orang teman kakak saya, ikut turun lalu menuju 'lubang WC'. Saya jadi merasa bersalah.
Berjam-jam saya menunggu, diselingi mereka yang datang hanya untuk makan telur, minum, dan jenak merokok. Entah sudah berapa lilin berganti nyala. Kemudian, satu per satu turun membawa karung berisi rep. Mereka beristirahat. Sembari merokok, mereka mulai bercerita mengenai bebatuan yang mereka buru. Kemudian mereka kembali membawa karung kosong. Kembali memanjat. Kembali nasib dipahat.
Berjam-jam mereka menambang, lalu karung berikutnya kembali diturunkan. Kali ini, sudah cukup kata kakak saya. Ada sekitar delapan karung berisi rep yang harus kami bawa ke atas, melalui rute tadi. Yang tersulit, ketika kami berada di 'lubang merangkak'. Karung itu harus digulingkan perlahan-lahan di dalam lubang sempit. Setelah di 'lorong perosotan' karungnya harus diikat untuk ditarik. Dari dasar lubang, karung tinggal ditarik dari atas.
Sambil memanjat pantongan, telinga saya mulai menangkap suara jangkrik. Seketika saya lega. Sewaktu kepala saya mencapai dunia luar, saya berhenti sejenak lalu menghidu udara. Sudah pukul 3 pagi.
"Eeeeehhhhhuuuuuuuuuu!"
Bersahut-sahutan teriak...
No comments :
Post a Comment