Seorang gadis jangkung berkulit gelap berjalan penuh keyakinan ke halaman sekolahnya. Sekumpulan anak laki-laki berkulit putih mengitarinya dengan menunjuk, tertawa, dan menjulurkan lidah. Ia terlihat tegar sampai ke ruang kelas yang menebal dengan kebiadaban. Udara di sana seolah-olah hanya berpusar di atas rambut keritingnya.
Sepotong kisah di atas, ada dalam montase film dokumenter "I Am Not Your Negro" yang saya tonton tahun lalu. Saya mengingat perca demi perca dalam film itu, sebaik ingatan James Baldwin—sang penulis naskah berkebangsaan Amerika Serikat—kala mengenang peluru-peluru menyasar dada-dada hitam sepertinya. Film ini berasal dari naskah asli berjudul "Remember This House" dan disutradarai Raoul Peck. Rilis di Amerika Serikat pada 3 Februari 2017.
James tak hanya berkisah tentang intimidasi dan kekerasan yang menimpa warga kulit hitam di Amerika, atau di kota kelahirannya di New York. Tapi ia menuliskan dengan sangat kelabu tentang pembunuhan tiga karibnya: Medgar Evers, Malcolm X, dan Martin Luther King, Jr. Tripel M ini ialah para revolusioner yang memperjuangkan hak-hak warga kulit gelap di Amerika Serikat. Mereka yang merelakan napasnya demi perjuangan kemanusiaan.
Berpulang pada 1987, di Saint-Paul, Prancis, kota yang kerap ia sebut sebagai tempat menepi agar ketika menulis tak lagi diitari rasa khawatir terus menerus, James Baldwin meninggalkan 30 halaman naskah "Remember This House". Sutradara Raoul Peck mengatakan buku James Baldwin ini tak pernah selesai. Bahkan ketika belum selesai, naskah ini sudah mampu menghancurkan hati siapa saja yang menontonnya, serupa cermin yang jatuh ke lantai.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, ras kulit hitam mulai mendapat tempat di Amerika Serikat. Mantan Presiden Barack Obama menjadi bukti. Meski sampai sekarang, masih ada kasus kekerasan terhadap warga kulit hitam, namun tak ditemui lagi mayat-mayat yang terbakar atau bergelantungan di pepohonan.
Kendati dirundung duka berkali-kali, James Baldwin selalu mengusap dadanya, ketika ada permintaan maaf dari para pejabat publik, tentang kekerasan yang telah menimpa sesamanya. Raoul Peck cukup apik menghadirkan montase dari permintaan maaf para tokoh-tokoh ternama di Amerika Serikat. Dalam sebuah narasi, James Baldwin mengatakan apa pun yang berbicara tentang Amerika, ia tak akan pernah lepas dari mereka yang berkulit hitam. Barangkali, itulah makna dari judul naskah "Remember This House".
Jauh menjalar dari Amerika Serikat, viral sebuah video kasus bullying atau perisakan yang menimpa anak laki-laki bernama Rizal. Momo, sapaan karibnya ini, terjengkang dari sepeda tuanya, setelah seorang remaja laki-laki mengganggunya. Wadah dagangan kuenya ikut rebah di tanah lapang dengan sepedanya. Momo mencium rerumputan. Kabarnya ini terjadi di Pangkep, Sulawesi Selatan.
Menyusul gambar kedua dalam video, ia dihempaskan sekali lagi ke tepian beton di tanah lapang, oleh seorang remaja laki-laki. Apa yang menimpa Momo, diakui sudah sering terjadi meski ia kerap diam setelah sampai di rumah. Yang ingin ia kabarkan hanya soal jalangkote buatan ibunya laku terjual. Momo hanya ingin melihat ibunya tersenyum, sembari memendam apa saja perlakuan buruk terhadapnya.
Melihat videonya dibagikan beberapa kawan di media sosial, siapa saja yang berempati pasti ingin segera berada di samping Momo, untuk membelanya. Saya, kamu, kalian memang harus ada di sana. Kekerasan, apa pun wujudnya, harus ditentang agar kita tak terus berada di dalam lingkarannya. Kita harus memutus garis yang mengitarinya lalu keluar dari sana. Saya bertambah sedih setelah membaca tulisan orang Pangkep, kalau Momo juga menderita down syndrome.
Setelah melihat kejadian yang menimpa Momo, saya kembali membayangkan apa yang sering menimpa orang Papua. Mereka yang paling tertindas di negeri ini. Tapi apakah akan sama, empati kita kepada Momo dan kepada orang-orang Papua?
Maaf hanyalah sepatah kata. Namun ada semesta rasa yang bisa terungkap oleh kata itu. Bangsa kita, tak akan pernah lepas dari sejarah kekerasan sepanjang negara tak meminta maaf, serupa tontonan permintaan maaf pelaku yang merisak Momo, atau Youtubers yang menzalimi transpuan di Bandung. Di negeri yang saya cintai ini, terlalu banyak sejarah kelam yang butuh kata: maaf.
"Sejarah tak pernah berada di masa lalu. Sejarah ada saat ini. Ia terus mengikuti kita. Karena kita adalah sejarah itu sendiri."
Kalimat dari James Baldwin itu terus terngiang-ngiang ...