Wednesday, July 7, 2021

Obituari Kaka Cece

No comments

"Apa bedanya sarung dan kotak?"

Pertanyaan itu terlontar di dalam mobil.

"Nyerah?" tanya Defaw kepada kami. Tebak-tebakan itu darinya.

"Kalau sarung itu bisa kotak-kotak, kalau kotak tidak bisa sarung-sarung."

Tawa kemudian menebal di dalam mobil. Malam itu, seingat saya, ada Ann, Kaka Cece, Sandi, Fawaz a.k. a Defaw (Dede Fawaz). Kami pergi mencari makan. Dalam perjalanan, akhirnya kami bertarung tebak-tebakan dan terus tertawa terbahak-bahak.

Lalu Kaka Cece tiba-tiba berujar, "Saya mampir di rumah dulu ya?" Sambil menunjuk sebuah rumah bergerbang raksasa. Jelas saja kami semua tertawa. Kaka Cece memang sering kali bergurau seperti itu. Beberapa kali ia menunjuk perumahan elite, kemudian seolah-olah ingin memutar kemudi mengarah ke pintu masuk.

Kaka Cece adalah satu-satunya saudara laki-lakinya Ann. Mereka empat bersaudara. Tiga lainnya perempuan. Jelas sekali, Kaka Cece pasti anak yang begitu dimanja sejak kecil. Gurauannya tentang rumah-rumah gedongan itu, sebenarnya ialah apa yang pernah dirasakannya. Kaka Cece beruntung terlahir dari keluarga yang mapan. Kakak tertua mereka di Makassar, Kaka Ida, punya rumah lebih dari satu dan sebesar rumah-rumah yang kerap kali dijadikannya gurauan.

Kaka Cece menetap di Tangerang. Namun ia sering kali berkunjung ke Cirebon. Karena sering ke Cirebon, saya dan Kaka Cece cukup akrab. Kami beberapa kali keluar pagi-pagi hanya untuk mencari nasi jamblang, makanan khas Cirebon. Nasi ini berwadah daun jati, kemudian lauknya bisa diambil sesukanya, ada udang goreng, telur, perkedel, hati ayam, dan masih banyak lagi. Saya sempat berujar heran, karena harganya hanya sepuluh ribu.

Pernah ketika Kaka Cece esoknya hendak kembali ke Tangerang, dan kebetulan saya juga tidak lama lagi akan kembali ke Papua, kami pergi mencari tempat makan yang terletak di puncak. Cirebon memang dekat dengan daerah puncak, lokasinya di jalan menanjak menuju Kuningan. Dokter Sukma, teman praktik Ann, datang bersama istri dan anaknya. Kami melahap hidangan di Restoran Salt dengan suguhan pemandangan malam hari Kota Cirebon yang indah, sembari bertukar cerita.

Lama tak bersua dengan Kaka Cece. Sejak wabah ini mengganas tahun lalu, saya memberanikan diri pulang dari Papua menuju kampung halaman karena ibu sakit. Itu pun dengan hati berdebar-debar karena tak ada pesawat langsung menuju Manado. Saya harus pulang lewat Makassar, sedangkan saat itu kota ini masuk zona merah Covid-19.

Kemudian ... kemarin, Rabu 7 Juli 2021, sebaris pesan dari Ann menyelinap di gerbang pagi, seusai Spanyol bertekuk lutut kepada Italia lewat adu penalti.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke rahmatullah adik kami M. Jusri Hidajat Tahir. Mohon dimaafkan segala salah dan khilafnya. Mohon doanya Kris ...

Saya sempat memastikan bertanya lagi apakah ini Kaka Cece, meski sudah mengira karena Ann menyebut 'adik kami' bersama marga. Pertanyaan saya itu seperti sebuah sanggahan. Itu bukan Kaka Cece. Berulang kali dalam hati saya coba meyakinkan bahwa itu bukan Kaka Cece.

"Ya Allah, sakit apa?"

"Covid."

Ann kemudian menyumpahi virus itu. Kejam. Iya, virus ini memang kejam. Virus ini terasa berada di depan mata karena mulai merenggut orang-orang di lingkaran terdekat. Kaka Cece sempat dirawat di ICU dua malam. Sempat membaik karena saturasi naik 90. Namun pukul 3 pagi kembali drop.

Jakarta dan sekitarnya sekarang zona hitam. PPKM Darurat sudah diberlakukan. Sayangnya, Kaka Cece belum sempat ikut vaksinasi dan memiliki komorbid atau penyakit penyerta. Bahkan ketika jatuh sakit, cukup sulit mencari rumah sakit. Hampir semua penuh. Ada yang menolak karena tabung oksigen semuanya terpakai di ICU. Sebagian pasien ada yang dirawat di tenda-tenda darurat. Selain itu, perjalanan ambulans juga memakan waktu lebih lama, karena sebagian jalan diblokade.

Kaka Cece bisa dirawat di salah satu rumah sakit pun akhirnya karena privilese. Kaka Ida menghubungi kenalan di Jakarta yang segera menghubungi direktur rumah sakit tersebut. Meski ada rasa penyesalan, karena terlambat bertindak seperti itu.

Saat menghubungi Ann lewat video call, saya terus menangis tak percaya. Ann juga terisak-isak. Air matanya seperti sudah mengering. Yang teramat biadab ketika virus ini menjemput keluarga terdekat, kita tidak tahu lagi bagaimana caranya berduka. Tidak ada pelukan terakhir. Bahkan untuk sekadar mengunjungi makam saja tak bisa dilakukan saat ini. Jakarta telah menjadi tuan rumah dari virus varian Delta. Varian terkuat.

Ketika varian Delta ini mulai menjalar di India, Ancol dibuka saat liburan lebaran. Muncul meme yang membandingkan tumpukan orang di Ancol dengan orang-orang di Sungai Gangga. Selain itu, sejumlah WNA asal India sempat masuk lewat Bandara Soetta, April 2021 lalu. Peringatan pakar-pakar epidemiologi diabaikan.

Di tengah lonjakan kasus, pemerintah mengirimkan 1.400 tabung oksigen ke India. Sekarang, banyak rumah sakit yang mengalami kelangkaan tabung oksigen. Pemerintah terkesan baru mulai awas dan menerima impor tabung oksigen dari sejumlah negara, setelah gempar kabar meninggalnya puluhan pasien di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, diduga karena krisis tabung oksigen. Publik mengutuk kejadian itu, meski bantahan dari pihak rumah sakit menyusul belakangan.

Namun, kabar Ann bahwa sejumlah rumah sakit beralasan kekurangan tabung oksigen, menandakan bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak nyawa di luar sana yang bergantung pada tabung oksigen. Tabung yang menyimpan apa yang sedang kita hirup gratis saat ini.

Selamat jalan Kaka Cece. Al-Fatihah ...

No comments :

Post a Comment