Di sebuah kantor yang mungil, sepotong harapan kubawa di dalam lipatan map dokumen. Di dalamnya tersusun 'bujuk rayu' agar perusahaan media Radar Bolmong menerimaku.
Harapan itu berbuah kerja. Keesokan harinya, aku sudah bisa meliput ke lapangan ditemani seorang perempuan. Dari kartu pers yang ia kenakan, tercantum nama Roslely Sondakh. Yang akrab menyapanya Eling.
Selayaknya tandem, Eling terus menunjuk ini dan itu. Sesekali tertawa. Menjelaskan begini dan begitu. Sesekali berdengus. Kantor Polres dan Pengadilan, jadi rumah singgah kami sepanjang pagi menjelang senja. Bahkan malam hingga pagi, kami harus mengawasi apa saja peristiwa yang terjadi.
Bagi wartawan pemula yang bekerja di surat kabar harian, liputan hukum dan kriminal adalah gerbang. Di situlah kami diajarkan untuk memverifikasi data.
"Bahkan warna celana dalam korban [pembunuhan] pun kau harus tahu!" kata Eling, dengan gaya khasnya bercekak pinggang.
Eling pernah tergelak-gelak, ketika melihat caraku menyusun berita berbasis data. Ia baru mengajariku setelah diteriaki redaktur senior.
Sepekan, kemudian, sebulan bergulir. Pertemanan kami mengalir. Hampir seisi kantor tentu saja menjalin pertemanan. Namun selalu ada dua, tiga atau empat orang yang berhimpun menjadi karib.
Rumah kontrakan Eling, jadi tempat kami menghamburkan berbagai perca ingatan. Kami seperti adik kakak yang, kadang bertengkar hanya karena terlambat membeli obat magnya.
Kemudian kami diutus ke kantor raksasa Manado Post, untuk dilatih menjadi wartawan liputan khusus. Semua anak media Manado Post Group bahkan dari Luwuk sampai Maluku diundang perwakilannya. Kendati kami yang paling bandel dan sering telat hadir mengikuti materi, hasil liputan kamilah yang terpilih dan dipajang di halaman satu koran Manado Post.
Sebenarnya, alasan kenapa kami sering telat, karena kami hanya menumpang tinggal di rumah salah satu mantan pimpinan Radar Bolmong. Jarak rumahnya cukup jauh. Peserta lainnya tinggal di penginapan yang berdekatan dengan kantor Manado Post.
Waktu, tanpa disadari menyeret kami begitu cepat. Satu per satu dari kami mulai ditugaskan di daerah terpisah. Setelah itu, pesanan advetorial dan target kontrak menyeleksi kami. Padahal, menurut Dahlan Iskan, kami wartawan liputan khusus dibebaskan dari target kontrak, advetorial, dan iklan-iklan. Satu demi satu melepas kemeja hitam kebanggaan bertuliskan Radar Bolmong.
Sebelum melepas diri, kami pernah sempat bergurau bahwa suatu saat akan berada di pucuk pimpinan, duduk di ruang kerja sendiri di kantor baru nan megah yang saat itu tengah dibangun, dan menua dengan menikmati hasil kerja kami di masa muda. Kawan-kawan seangkatan kami saat pelatihan, beberapa di antaranya sekarang sudah menjadi pemimpin redaksi di masing-masing perusahaan yang menaungi mereka kemarin.
Namun akhirnya aku sendiri sadar, harta adalah teman yang aneh. Ia hanya menyenangkanmu, ketika ia meninggalkanmu. Aku lebih memilih hendak menimbun pengetahuan.
Eling mendahuluiku pergi menginjakkan kaki ke Papua Barat. Di tanah di mana Injil kali pertama menjejak di Bumi Cenderawasih. Di Manokwari, media yang masih berpayung di grup yang sama--Jawa Post Group--rencananya akan merintis nasib di sana. Tetapi, hanya beberapa bulan mereka kembali ke Manado. Saat itu, aku sudah hijrah ke Gorontalo dan bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo.
Kemudian, aku berpindah lokus liputan di Manado. Di sanalah kami dipertemukan lagi. Eling juga sudah di media yang baru dan menetap di Manado.
Di Manado inilah, hari-hari yang pernah kami lalui di masa-masa awal berkarir di media, kembali terulang. Kami bunuh diri karir. Merintis dengan nyawa yang baru lagi.
Saat ayahnya dirawat di rumah sakit di Manado, aku dan Nanang sering menemaninya. Koridor rumah sakit kadang menjadi tempat di mana kami rebah, bercanda, dan mengenang apa saja yang bisa membuat kami menertawai hidup. Pun sekadar untuk menghibur hatinya yang, kami tahu berharap besar agar ayahnya segera pulih. Pada akhirnya, Eling ikut pasrah ketika ayahnya menyerah pada sakitnya. Ayahnya berpulang.
Tak lama kemudian, kami terpisah lagi. Aku kembali ke Gorontalo. Lalu bertambah jauh lagi karena harus pindah ke Papua. Eling kembali ke Kotamobagu.
Dua tahun yang lalu, kali pertama aku kembali dari Papua saat liburan lebaran, Eling mengendarai mobil barunya saat menjemputku di rumah. Ia mengajakku jalan-jalan. Senyumku merekah. Setidaknya, apa yang telah ia bunuh dulu, telah berbuah hasil dengan nyawa baru itu.
Hari ini, perempuan yang gemar menendang, melantak, dan menyumpahi kami dengan suara kalengnya akan memupus masa lajangnya.
Sewaktu malam peminangannya beberapa pekan lalu, ia mungkin menyumpahiku lagi meski jauh nun dari rumahnya di Bolaang Mongondow Selatan. Aku tak bisa hadir karena urusan pekerjaan yang lumayan menguras energi.
Calon suaminya, Razak, ternyata dulu pernah juga bekerja di Radar Bolmong. Sempat bersua denganku belum lama ini. Sepertinya, lelaki ini mampu meredam segala apa yang bergemuruh dari dalam diri Eling.
Selamat menikah sahabat terbaik. Akur hingga uzur.