Seorang astronaut mungil mengambang berlatar langit malam bertabur bintang gemintang. Suara sengau dari gelombang radio terdengar.
Potongan imajinasi yang singkat itu diakhiri adegan seorang bocah berhelm astronaut yang sedang meloncat-loncat di kasur kamarnya. Adegan itu ada dalam pembuka film Wonder. Bocah astronaut berusia 10 tahun itu adalah August Pullman bernama kecil Auggie yang diperankan Jacob Tremblay.
Film Wonder diadaptasi dari novel karya penulis berkebangsaan Amerika Serikat, Raquel Jaramillo yang bernama samaran R. J. Palacio. Novel ini terbit pada 14 Februari 2012 dengan judul yang sama.
Auggie seperti bocah lainnya, yang gemar bermain, makan es krim, mengulum permen, dan hal-hal umum lainnya yang dilakukan anak kecil. Namun ada yang tak biasa dengannya. Ia mengidap sindrom Treacher Collins, sebuah kelainan genetik yang sering kali memengaruhi struktur wajah. Bentuk wajahnya dari tulang pipi, hidung, dan telinga terlihat berbeda. Kabarnya, R. J. Palacio terinspirasi menulis novel ini dari sebuah kejadian ketika putranya memperhatikan seorang gadis dengan wajah yang berbeda, dan ia mulai menangis.
Dalam film ini, Auggie dikisahkan sudah dioperasi sebanyak 27 kali. Tetapi itu hanya untuk membantunya agar bisa mencium, melihat, mendengar, dan berbicara. Karena keterbatasannya itu, Auggie hanya bersekolah di rumah atau home schooling. Tetapi ibunya Isabel (Julia Roberts) memutuskan untuk mendaftarkannya di sekolah, agar ia bisa merasakan kehidupan seperti anak-anak lainnya.
Ayahnya, Nate (Owen Wilson), sempat tidak setuju. Menurutnya, Auggie belum siap untuk menyesuaikan diri meski sudah memasuki kelas lima. Tapi akhirnya, ayahnya mengalah. Auggie didaftarkan di sebuah sekolah swasta.
Memiliki keterbatasan seperti Auggie, tentu bukanlah perkara mudah untuk menceburkan diri ke kehidupan di luar sana. Apalagi di sekolah yang berisi ratusan anak, yang mungkin saja belum pernah menemui bocah dengan wajah seperti Auggie.
Hal yang ditakutkan kedua orangtuanya dan juga Auggie, akhirnya terjadi. Beberapa anak di sekolah merisaknya. Bullyng atau perisakan itu memang sudah diduga atau serupa bom waktu yang sudah disetel. Tinggal menunggu ledakan. Dan, ledekan dari beberapa anak sekolah lainnya membuat Auggie terguncang.
Kata-kata seperti "anak aneh" kerap dilontarkan kepadanya. Bahkan yang paling keji, ketika ada anak-anak yang mengatakan: mereka akan bunuh diri jika terlihat seperti Auggie. Krisis kepercayaan diri Auggie semakin parah, tetapi ibu, ayah, dan kakak perempuannya selalu menguatkannya.
Tidak semua anak di sekolah merisak Auggie. Ada yang mulai berteman dengannya meski sempat bertikai dan berdamai lagi. Sikap kepala sekolah dan guru juga tak pernah membedakan anak-anak. Yang salah diskors, meski orangtua mereka terus membela sampai mengatakan anaknya sering bermimpi buruk, lalu dibawa ke psikolog karena takut melihat wajah Auggie.
Seiring waktu, Auggie bisa merebut simpati dan semakin populer di sekolah karena kepintarannya di bidang sains dan berhasil menang di pameran bersama temannya. Perisak juga perlahan-lahan menyadari kesalahannya. Auggie sampai dianugerahi Medali Henry Ward Beecher karena menjadi teladan di sekolah.
"Penghargaan ini diberikan kepada murid yang sangat kuat hingga menyadarkan banyak hati," kata Kepala Sekolah Tushman dalam pidatonya.
Narasi penutup Auggie cukup mengesankan.
"Jadilah baik, karena semua orang berjuang dalam pertempuran yang sulit. Dan jika kau mau benar-benar mengetahui seperti apa sebenarnya orang itu, yang harus kau lakukan adalah dengan melihat."
Menjalar dari kisah Auggie, di luar sana ada jutaan anak-anak dengan akar kisah yang hampir sama. Bahkan beberapa hari lalu, peristiwa yang lebih menyedihkan terjadi di kota saya--Kotamobagu. Seorang anak sekolah bernama Bintang yang baru berusia 13 tahun, diduga menjadi korban bullyng hingga berujung penganiayaan yang merenggut nyawanya.
Dari hasil penuturan korban kepada kedua orangtuanya, ia dipukuli oleh beberapa siswa lainnya di madrasah. Belum ada keterangan jelas tentang dugaan ini, karena kasusnya pun sedang diselidiki. Namun setelah kejadian ini, ada orangtua korban lainnya yang mengaku anak mereka juga sering dirisak di sekolah.
Riuh tanggapan bahkan kecaman di media sosial kepada pihak sekolah, para pelaku yang masih seusia dengan korban, dan orangtua pelaku. Bahkan foto para pelaku yang masih di bawah umur diunggah, disertai makian dan pelabelan psikopat. Biadab betul yang memotret para pelaku itu lalu menyebarkannya. Selain itu, sejumlah berita tidak berpedoman pada pemberitaan ramah anak. Kendati diduga pelaku, tetap harus melindungi hak anak-anak di bawah umur.
Namun dari kejadian itu, siapa yang patut disalahkan? Pihak sekolah, parenting atau pola asuh orang tua terhadap anak, para pelaku yang masih anak-anak di bawah umur, atau sistem pendidikan kita?
Dari keempat itu, saya sejak dulu, selalu kurang puas dengan sistem pendidikan kita. Menengok kejadian Bintang yang bersekolah di madrasah, saya bisa menerka, sekolah-sekolah seperti ini tak jauh beda sistem pendidikannya dengan sekolah lainnya di negeri kita. Bahkan mungkin bisa lebih membebani anak-anak didik. Kenapa? Karena mereka mengajarkan anak-anak untuk menghapal.
Seberapa banyak surat-surat yang dihapal, seberapa rajin salat, seberapa jauh menguasai fikih dari mulai doa-doa ketika memasuki toilet sampai membersihkan najis. Tapi, mereka selalu lupa, bahwa mendahulukan akhlak di atas fikih itu jauh lebih penting. Akhlak tentunya berbicara tentang pendidikan karakter. Percuma diwajibkan salat lima waktu di musala, puluhan surat dan ayat-ayat dihapal beserta doa-doa lainnya, tapi akhlak atau budi pekerti tidak terdidik dengan baik. Anak-anak seperti terpaksa melakukan itu semua demi nilai yang bagus.
Untuk madrasah setara SD, ada banyak anak-anak juga yang diharuskan menghapal. Bayangkan, anak SD yang bahkan belum tentu paham dengan arti ayat-ayat apalagi tafsirannya, disuruh menghapalnya demi nilai yang tinggi. Yang bukan madrasah pun kerap ditemui pola pengajaran semacam ini.
Adakah di sekolah anak-anakmu, yang bahan ajaran mereka menonton film atau membedah buku-buku ringan bertema empati, atau pendampingan emosi lewat permainan, cara mencari solusi ketika ada pertengkaran, atau memberi contoh kasus perundungan dan dampaknya sekaligus cara mengatasinya?
Sistem pendidikan kita juga masih kaku dengan penggunaan seragam sekolah, apalagi yang mewajibkan sepatu siswa berwarna tertentu, sampai model potongan rambut diurusi. Setiap anak memiliki potensi dan karakter masing-masing, tetapi sistem membuatnya seragam atau menyamaratakannya. Akhirnya, cetakan yang dihasilkan serupa yang terkadang membuat sebagian dari mereka harus berjuang lebih keras lagi di luar sana, untuk bisa menemukan dan mengasah bakatnya.
Berbicara tentang sistem pendidikan, tentunya berkelindan dengan para tenaga pendidik. Termasuk peran para konselor pendidikan atau di era kami dikenal dengan istilah Bimbingan Penyuluhan (BP) dan sekarang Bimbingan Konseling (BK). Coba periksa sejauh mana kedekatan mereka dengan para anak didik. Adakah laporan atau curhatan siswa setiap pekan? Mereka inilah sebenarnya orangtua kedua bagi anak-anak di sekolah. Mereka adalah psikolog di sekolah. Dari sinilah, pihak sekolah terutama kepala sekolah bisa menakar apa saja yang kurang, atau apa saja celah yang perlu ditambal.
Mengenai parenting, saya sendiri enggan menyalahkan orangtua para pelaku. Sebab kita tidak akan pernah tahu seperti apa kehidupan dan lingkungan yang mereka jalani saat ini. Didikan masing-masing orangtua tentu berbeda, sesuai dengan porsi pengetahuan mereka.
Jika orangtua [atau bisa juga guru di sekolah] terbiasa menghukum anak dengan memukul, maka anak-anak yang tidak bisa membalas kemungkinan akan melampiaskannya ke orang lain yang sebaya.
Namun ada satu hal yang mungkin kita sering kali luput, yakni memperlakukan anak-anak kita layaknya seorang teman agar mereka tak segan berkeluh kesah. Sebelum semuanya terlambat.
Auggie, ialah contoh kasus yang sangat bagus untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan, pihak sekolah, parenting korban bullyng dan pelaku, untuk bisa duduk bersama menyelesaikan masalah anak-anak dan cara mendampingi mereka. Film ini sangat layak diputar di sekolah setara SD, SMP, bahkan SMA.
Seorang anak kecil mengajarkan kepada kita, bahwa anak yang kuat bukan mereka yang lihai berkelahi. Tetapi yang kekuatannya mampu menggerakkan banyak hati untuk bisa berbuat baik. Seorang anak yang mampu menjadi bintang dan menerangi sekitarnya.
Turut berduka cita untuk Adik Bintang. Semakin besar cobaan, semakin besar pula maknanya. Seperti Auggie, ada makna tak ternilai yang Adik Bintang ajarkan untuk dunia pendidikan kita.
Al-Fatihah ...
No comments :
Post a Comment