Di lebaran hari ketiga, ketika hendak makan sore, entah kenapa aku tiba-tiba rindu mendiang ibu. Tirai kamarnya kusingkap, dan hanya ada kesunyian tertangkap. Sore hari, ibu memang terbiasa memanggil untuk memutar posisi badannya. Tapi kali ini, suara itu tak terdengar.
Sejak kepergian ibu hampir seratus hari lebih lamanya, aku tak menulis obituari atau kisah panjang tentangnya. Hanya sepenggal cerita yang kubawa ketika mengunjungi Jogja baru-baru, yang kutulis karena ada sosok ibu kutemui di pameran lukisan.
Blogku ini sudah berdebu. Tak ada tulisan-tulisan lagi lahir di sini. Selain itu, aku tak tahu harus menulis apa tentang ibu. Selama tiga tahun bersamanya di rumah di kampung, sudah cukup mengalahkan ribuan kisah di buku-buku.
Terkadang, kita juga akan sampai pada titik, jenuh dengan media sosial, jarang mengunggah apa-apa, bahkan buku-buku bacaan pun terlantar. Waktuku kini lebih banyak berkutat dengan pekerjaan, menonton film, atau bermain game daring.
Orang-orang yang menjadi ruh tulisanku pun, satu demi satu pergi dan menjauh. Jalan buntu kerap kali kutemui ketika muncul keinginan untuk menulis lagi di blog. Seperti apa yang selama ini aku pelajari dari menulis, sirna seketika.
Kini, tinggal berita-berita kaku yang berulang-ulang aku hadapi setiap hari. Turun liputan pun jarang, karena aku sedang berada di kampung. Rasa-rasanya, insting menulis bahkan ide-ide liar seperti hilang dari gelembung-gelembung pikir.
Ketika selesai salat Id kemarin, aku langsung mengunjungi makan ibu dan bapak yang berdampingan. Makam ibu paling baru di antara makam-makam lainnya. Aku tercenung sejenak, dan merasakan angin pagi serupa jarum-jarum es menusuk. Doa kupanjatkan.
Ah, ibu, maaf jika masih ada salah dan keinginan ibu yang belum kupenuhi.
Al-Fatihah ...
No comments :
Post a Comment