Kamis, 02 November 2017
Selamat Menyelam Lebih Dalam di Bumi Manusia
Episode Shandry ...
Jejaring semesta akan mempertautkan pikir serupa. Shandry Anugerah Hasanuddin, lima tahun silam hanyalah kawan dari frekuensi yang merambat di udara. Kami sedang genit-genitnya mencari Tuhan di pepohonan, langit, tanah, bebatuan, dan ponsel-ponsel pintar. Berbantah-bantahan ialah keharusan. Sebab pikir harus terus didesak dengan pertanyaan: siapa aku?
Kami dimantrai kata-kata, tentang manusia yang harus memikirkan dari mana asalnya. Jika tidak, laiknya seekor kelinci yang disihir dan keluar dari dalam topi pesulap, ia hanya diriuhi tepuk tangan penonton, tanpa pernah ingin mencari tahu dari mana asalnya. Manusia bukan kelinci.
Di Desa Bilalang, tempat Shandry kali pertama menyeret langkah, ada setumpuk kenangan yang kerap membisikkan kata pulang. Rumah yang dikitari bunga dan pepohonan, dialiri sungai dan diteduhi berumpun bambu. Rumah tempat neneknya sering ditemui menyirat rindu kepada cucu-cucunya di pojok yang kekal.
Dari sana, tekadnya untuk menata semangat anak-anak muda di desa semakin teguh. Desa adalah tempat yang membuat rasa khawatirnya terus ada, dibandingkan kejamnya mama kota di negeri seberang dan bising jalanan yang penuh sesak dengan orang-orang berdasi kupu-kupu, tapi tak pernah merasa terbang bebas.
Shandry memilih menemui para petani berpeluh, dan mendengar cerita tentang berapa lama lagi panen tiba. Atau para penambang dengan kisah-kisah mereka tentang seberapa dalam galian, dan anak-istri yang menanti di rumah selama berbulan-bulan.
Di desa itu pula, beberapa bocah riang diajak berpesta dengan kata-kata di rumah belajar Saung Layung Arus Balik. Di sini, semesta adalah guru, katanya. Tempat bocah-bocah itu diberi kebebasan menggambar dan menulis apa saja yang terlintas di imajinasi mereka, lalu menamainya sesuka hati.
Mungkin desa, ialah genta, agar kelak ia mendengar seperti apa kuasa yang mampu menggerakkan orang-orang terpinggirkan, yang membuat mereka bisa reriungan dengan tawa lepas, dan tak ada lagi kecemasan akan seberapa tebal kepul asap di dapur nanti.
Suatu sore, tepat di bebatuan sungai yang berada di tepi kandang ayamnya, Shandry membasuh dan melarung selembar kenangan. Ia ingin lembar kisah baru.
Episode Gita ...
Perempuan berambut sepundak itu, barangkali luput mengenaliku ketika beberapa kali singgah di rumahnya, pada sisa-sisa malam di Kotamobagu. Aku kenali dia dari sosok ayahnya yang begitu akrab dengan kami, yang nokturnal ini. Ayahnya sering disapa Om Nus. Meja biliar di sudut rumahnya dulu, jadi persinggahan kami ketika kota tak lagi menawarkan kesenangan apa-apa.
Brigitha Kartika Mokoginta namanya. Gita, begitu nama kecilnya, beranjak tumbuh di antara landskap kota berdebu. Patung Bogani tegar berdiri tak jauh dari rumahnya, tepat di tepi sungai yang mengalir pula di belakang rumahnya. Patung yang tampak jenuh, karena penduduk kota mungil itu tak pernah mengajaknya selfie.
Rutinitas kantor, tak menjeratnya begitu saja, untuk terpaku pada pekerjaan. Sering, larik demi larik puisi pendeknya bertaburan di sela-sela penat kantor, dan di jeda postingan foto-fotonya bersama teman sejawat. Puisi, menurutnya mampu mendalami kejujuran, sebab puisi tak bisa berbohong.
Gita berwajah ibu, namun terlalu dekat dengan ayahnya. Karena itu, pundaknya tampak lebih tegar. Ia seperti siap menjunjung apa saja beban hidup di punggungnya.
Senyum manisnya selalu terkembang. Gita tak banyak berkata-kata. Mungkin baginya, senyum sudah lebih dari cukup untuk menjawab setiap tanya.
Pernah suatu hari, Gita membenamkan wajahnya di bantal. Ia berteriak sekencang-kencangnya, setelah mendengar kabar salah satu teman sekantornya, Bedewin, terlalu belia berpulang.
Persahabatan, mungkin ialah satu-satunya hal yang paling menghiburnya saat bekerja. Tapi ketika itu hilang, bukan berarti langit akan selalu bertudung halimun. Ada yang akan datang melebihi pertemanan, yang gemar menggaruk-garuk gitarnya. Dan orang itu setia menyikap satu demi satu awan mendung dengan kidung cinta.
Episode Bersama ...
Mokoginta, marga yang jadi isyarat jikalau Shandry dan Gita memiliki pertalian klan. Ibunya Shandry bermarga Mokoginta. Marga yang sesekali ia rekatkan di ekor namanya. Namun hal itu bukan berarti cinta mereka dipertemukan kekerabatan.
Entah kapan Shandry mengenali Gita lebih dekat. Mungkin dengan mengajak Gita jauh lebih dalam mengenali dunia literasi. Lebih dalam mengeja puisi demi puisi.
Jodoh benar adanya saling melengkapi. Shandry berperangai sanguin, dan tentu saja terlalu banyak berbicara, lantas dipertemukan dengan Gita yang tak banyak bicara.
Namun, bukankah itulah keagungan suatu hubungan? Shandry harus menyesap kemuliaan diam. Dan Gita belajar, dalam hidup banyak hal yang harus diutarakan. Meski itu penderitaan.
Kini, fase hidup mereka berpindah. Menikah. Apa yang diharapkan dari sebuah pernikahan? Tentu saja kebahagiaan. Tapi kebahagiaan muskil sempurna, ketika tak ada cobaan yang menguatkan cinta.
Selamat menyelam lebih dalam di Bumi Manusia ...
Akurlah hingga uzur, sampai rambut kalian dipenuhi awan berlajur.
CBN, 3 November 2017
Selasa, 24 Oktober 2017
Braga dan Jeda yang Terlalu Lama
Kotamobagu, kota mungil sekali kitar, pasti kelar. Jika pulang ke Desa Passi, malam-malam panjang lebih banyak saya habiskan di kota yang hanya berjarak sebatang rokok pupus, dari desa saya.
Beberapa bulan lalu, saya dikabari seorang karib, ada acara literasi dan musik di Kedai Kampung Bogani, di Kotamobagu. Kami diminta tampil di acara bertajuk Literasik itu.
Setelah latihan selama beberapa jam saja, kami bersiap menuju kedai. Saat memasuki pelataran kedai, saya ditemui seorang pria dengan logat kental dari dataran tinggi Kecamatan Modayag.
"Sigidad, kang?"
"Oh, iyo, ini Vicky to?"
"Iyo."
Pria bernama Vicky itu lantas menganjurkan saya untuk segera mendaftarkan nama band ke panitia. Saya memberitahunya, jika nama band kami yang inalillahi kerennya itu, sudah terdaftar. Siapa yang tidak kenal Saung Layung Arus Balik (SLAB), band indie teraneh di Bolaang Mongondow, yang hanya terbentur, eh, terbentuk, dan tampil setahun sekali, lalu bubar lagi itu?
Literasik malam itu berlangsung syahdu. Kami tampil dengan segala kekurangan dan kelebihan, yang sebetulnya lebih banyak kelebihannya daripada kekurangannya. Maksud saya, kelebihan gugup.
SLAB membawakan musikalisasi Derai-Derai Cemara dari versi Banda Neira, yang kami improvisasi menjadi persembahan yang tiada tara jeleknya.
"Eh, bagus ngoni tadi no," kata salah satu kawan.
Testimoninya, kendati sudah sering kami dengar setiap tampil, malam itu cukup membuat dada saya mekar seketika, sebelum terkatup dan layu setelah menyaksikan hasil rekaman video. Bangsat! Kaki saya terlalu banyak gerak, pertanda gugup, dan beberapa kali suara saya sumbang.
Siapa yang tak malu, sebab malam itu, ada band indie lokal yang benar-benar band, sedang mengisi jeda acara. Namanya mengingatkan saya ketika masa krisis pangan, selama tinggal di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo. Saking sekaratnya, kami terpaksa hanya makan mangga seharian yang pohonnya tumbuh lebat tepat di depan sekretariat. Nama band itu, Beranda Rumah Mangga, atau disusutkan menjadi Braga.
Suara vokalisnya teduh. Iringan musiknya merdu. Ditambah suara dua yang mendayu-dayu. Dibandingkan SLAB, tentu Braga adalah Ungu, dan kami Pasha, eh, maksudnya payah.
Saya yang baru sekali melihat penampilan mereka, segera gugling di yucup. Benar sudah, ada klip video mereka dengan lagu berjudul "Di Kedai Ini". Saya mendengarkannya. Apik.
Lagu "Di Kedai Ini", berlatar kedai yang sedang kami tempati saat itu. Berkisah tentang seorang gadis yang menanti kekasihnya, yang bedebahnya tak kunjung datang.
Vicky, gitaris sekaligus pencipta lagu, sebelumnya memang saya kenal dari pertemanan pesbuk. Saya malah penggemar film-film pendeknya. Belakangan, saya baru tahu kalau mereka juga punya band. Jelas saja SLAB merasa tersaingi.
Selanjutnya, setelah malam itu, lagu "Di Kedai Ini" saya donlot dari yucup. Berkali-kali saya dengarkan jelang tidur. Sayangnya lagu itu tidak bisa menjadi lullaby atau pengantar tidur. Soalnya saya sering kepikiran kopi. Iya, saya jika minum kopi pada malam hari, bawaannya jadi susah tidur.
Setelah beberapa bulan kemudian, saya kembali ke Gorontalo. Pekan lalu, Braga kembali merilis single kedua berjudul "Patah Menjadi Air Mata". Saya menontonnya di yucup, dan seketika suka dengan lagu itu. Liriknya puitis dan sarat makna mistis, eh, filosofis.
Lagu itu seperti diceritakan Vicky, terinspirasi dari sebatang pohon di sekitar Danau Tondok. Pohon kering itu, diibaratkannya sebagai petapa tua. Kira-kira begitu yang saya bacai dari hasil curhatannya, sepanjang tiga edisi di Tribun Manado online.
Saya sebenarnya merasa kesal kali pertama membaca curhatannya itu. Kesal sebab tulisan itu menggantung, dan harus menunggu edisi lanjutan. Seperti sedang menunggu apdetan Game of Thrones saja.
Saya pikir, ada jeda terlalu lama dalam tulisan yang superkeren itu. Padahal seharusnya bisa dijadikan satu tulisan utuh, sebab catatannya juga tidak panjang-panjang amat. Payah betul Tribunnya. Mau ngejar klik?
Dari tulisan yang berjeda itu, saya membacai ada jarak cipta yang terlalu jauh dari lagu satu ke lagu berikutnya. Tahun bukan waktu yang pendek. Saya kira, Braga, kendati di tengah kesibukan pekerjaan masing-masing personel, harus banyak meluangkan waktu, agar satu album bisa tercipta. Sialan, masak hanya dua lagu saja. Tambah dong!
Namun, laiknya sebuah karya memang butuh proses. Saya lebih menghargai karya yang memakan waktu lama, sebab tentu saja karya tersebut dibalut kontemplasi yang dalam. Itu mungkin jadi alasan kenapa saya menyukai lagu dari Braga.
Saya, juga tidak terlalu suka dengan karya yang instan. Semisal puisi, yang bisa diproduksi puluhan dalam sepekan. Atau, puisi-puisi yang diminta dibuatkan. Bagi saya, puisi lahir dari salah satu sudut ruang imajinasi, yang mana butuh kedalaman renung untuk bisa menemuinya. Begitu pun lirik lagu.
Entahlah, masing-masing orang punya penilaian, bukan?
Saya tunggu lagu berikutnya dari Braga. Mungkin tahun depan, tak mengapa. Asal jangan ada lagi mangga di antara kita.
Selasa, 03 Oktober 2017
Kalau Cacingan Mesti Minum Bir Banyak-Banyak
![]() |
Foto Mojok.co |
Surat Sakit Puitis untuk Ibu Guru
Jumat, 08 September 2017
Seorang Bapak di Pesawat
Dari Bandara Sentani, saya bersua pandang dengan bapak itu. Dia duduk dua deret di depan saya. Setelah sampai di Sorong, tadinya saya berpikir ia akan turun. Tapi ia tak beranjak dari kursinya.
Pesawat yang saya tumpangi untuk pulang ke Gorontalo, selain transit di Sorong, selanjutnya menuju Manado. Uda Syof, salah seorang sesepuh di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, yang sederet kursi dengan saya, turun di Manado. Uda Syof berasal dari Padang. Sebelumnya Uda sama-sama dengan saya menghadiri undangan perayaan hari lahir Tabloid Jubi di Jayapura. Sementara saya masih melanjutkan perjalanan pulang ke Gorontalo.
Perjalanan menuju Gorontalo dari Manado itulah yang mempertemukan saya dengan bapak itu. Usianya hampir seperti usia ayah saya ketika saya SMA. Kira-kira 60an.
Ia mengenakan jaket wol abu-abu, dengan celana kain hitam yang tampak longgar. Sendal yang ia pakai, hampir sewarna dengan kulitnya. Rambut beruban di kepalanya tinggal sedikit. Ia tersenyum ketika saya duduk di sampingnya. Beberapa giginya telah tanggal. Karena senyumnya itu, saya seperti menemukan celah nyaman untuk bertanya.
"Bapak dari Jayapura tadi, ya?"
"Iya. Kamu?"
"Saya juga dari Jayapura. Satu pesawat terus sama bapak. Saya perhatikan, memang hanya saya dan bapak yang pergi ke Gorontalo."
"Oh, ya? Bikin apa di Jayapura?"
"Mengunjungi keluarga di Hamadi." Saya memutuskan belum mau jujur bahwa saya seorang jurnalis.
"Sama. Saya juga mengunjungi anak saya di Abepura."
Kami mulai terlibat tanya jawab. Beruntung meski hanya empat hari di Jayapura, saya banyak bertanya soal nama tempat. Jadi alamat yang saya sebutkan, ialah alamat saudara saya di Hamadi yang kebetulan pantainya, sebelumnya jadi tempat piknik kru Tabloid Jubi.
Bapak itu mulai akrab dengan saya. Ia kemudian bercerita banyak tentang Papua, selama 25 tahun menetap di sana. Selama tinggal di Papua, ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Hampir semua wilayah Papua bagian utara telah ia jelajahi. Kecuali bagian selatan, seperti Merauke dan Timika.
"Dulu orang-orang asli Papua itu tidak begitu. Orang-orangnya tidak mabuk-mabukan di jalan. Tapi pendatanglah yang mulai mengajari mereka minum alkohol," tuturnya.
Ia mengatakan hidup di Papua sekarang kurang nyaman. Sebab kasus demi kasus seperti penjambretan, pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan kerap terjadi. Bahkan anak-anak muda semakin tidak karuan. Mabuk-mabukan di jalanan, sampai menghirup lem di tempat umum.
"Saya tahu persis perkembangan di Papua. Dulu tidak begini. Kota semakin ramai dengan pendatang yang menularkan hal-hal negatif."
Sewaktu bekerja di BMKG, ia mengaku sering turun ke lapangan untuk keperluan pendataan. Dari situlah ia banyak menjaring pengalaman dengan orang asli Papua.
"Kalau kamu beli barang jualan, kamu bisa ambil barang itu lalu meletakkan uang di meja, jika pedagangnya tidak ada di tempat. Tak ada satu pun orang yang berani mengambil uang itu."
Ia juga sering melihat, ketika dagangan mama-mama Papua tidak laku, mama-mama itu akan membuang dagangan mereka di sungai.
"Dagangan mereka seperti sayur-sayuran akan dibuang. Besok baru cari lagi untuk dijual. Memang mereka belum paham konsep jual beli."
Orang-orang Papua, tidak khawatir dengan untung rugi berjualan kala itu. Sebab menurut bapak itu, orang-orang Papua tidak akan kelaparan. Ingin makan, tinggal pangkur sagu dan sisanya bisa disimpan berbulan-bulan. Hutan, sungai, danau, dan laut juga menyediakan lauk yang berlimpah. Buah-buahan dan sayur mayur tinggal main petik.
Mungkin sama halnya dengan suku Badui atau Kasepuhan Ciptagelar, mereka yang tak mengenal konsep jual beli. Beras dilarang diperjual-belikan. Sebab budaya gotong royong dan berbagi, masih begitu kental. Jika hasil alam melimpah, kenapa harus serakah?
Perbincangan kami sempat terhenti saat pramugari mulai membagikan dus kue. Kemudian berlanjut dan kian merambat ke persoalan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Ia bercerita, ketika hendak mendata di salah satu wilayah terpencil, ia dan seorang temannya harus berjalan kaki selama dua hari.
"Saya bawa kopi, gula, rokok, pinang, dan kapur sirih. Ketika sampai di kampung, kami menyampaikan maksud, bahwa hendak mencari data apakah di tempat itu pernah terjadi gempa. Selama berbincang saya menawarkan apa saja yang saya bawa tadi."
Setelah dipertemukan dengan ketua adat, mereka duduk berbincang sambil minum kopi. Maksud kedatangan mereka pun mendapat respons baik, sebab di wilayah tersebut pernah dilanda gempa besar.
Pada malam berikutnya, ia dipertemukan dengan seorang pria berjanggut putih dan rambut keritingnya sebahu. Pria paruh baya itu mengajaknya masuk hutan. Hanya sekilo saja jaraknya dari kampung, dan sudah tampak seberkas cahaya obor.
"Teman saya memilih tidur karena lelah mendata seharian. Di tempat yang kami tuju, sudah berbaris sekitar ratusan anggota OPM," tuturnya dengan suara setengah berbisik.
Selanjutnya ia diajak duduk di salah satu pondok. Ia mengeluarkan bungkusan kopi dan gula. Dua bungkus rokok diletakkan di lantai kayu. Tak berselang lama, tawa menebal di hutan malam itu.
"Saya baru tahu kalau pria berjanggut itu ternyata ketuanya. Mereka baik. Bahkan ketika kami mau pulang, barang bawaan kami semua dipikul oleh mereka. Saya menolak barang kami dipikul, takut merepotkan, tapi kami dipaksa. Padahal sebenarnya berat juga ransel dan alat-alat yang kami bawa," kenangnya sambil tertawa.
Pesawat sebentar lagi mendarat di Gorontalo. Bapak itu izin ke toilet. Sebelum pesawat benar-benar pada posisi landing, ia sudah kembali ke kursi lalu coba mengenakan sabuk pengaman. Setelah tiga kali mencoba karena mungkin faktor usia, akhirnya ia bisa mengenakan sabuk itu.
Setelah pesawat mendarat di Bandara Jalaluddin, saya pamitan dengan bapak itu. Ia dijemput mobil avanza sewarna dengan jaketnya. Dari jendela mobil, ia melambaikan tangan yang segera saya balas pula dengan beberapa kali lambaian, hingga mobil itu mengecil dan hilang di ujung pintu keluar bandara.
Dan ... saya baru sadar, kami tidak saling bertukar nama dan alamat.
Rabu, 06 September 2017
Opa Pe Nama Marlon, Tapi Biasa Dipanggil Maria
![]() |
Ilustrasi Mojok.co |
Opa Marlon dan Oma Maria pasutri yang tinggal dan menua di Dumoga. Dumoga adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.
Mereka berdua hingga usia senja dikenal paling suka bercanda oleh warga sekitar. Meski banyak masalah, rumah tangga mereka awet. Pasutri ini memegang teguh tagline tandingan Pegadaian: mengatasi masalah dengan bercanda.
Ada banyak cerita yang beredar tentang perjalanan hidup Opa Marlon dan Oma Maria, hingga salah seorang dari mereka berpulang lebih dulu menghadap Yang Maha Kuasa. Semuanya akan dirangkum dalam enam mop berikut.
Opa Nae Kalapa
Opa meski sudah 70 tahun, raganya sehat dan jiwanya sentosa. Suatu hari Oma ingin sekali minum air kelapa muda. Oma lalu meminta Opa memanjat pohon kelapa setinggi tiang listrik di samping rumah. Tentu saja Opa tidak bisa menolak. Tidak ada anak atau cucu pula di rumah yang bisa disuruh, semuanya telah hidup masing-masing.
“Hati-hati mo ciri,” kata Oma.
“Jangan pandang enteng, biar tua bagini mar Opa masih kuat bapanjat. Apalagi bapanjat pa Oma,” canda Opa.
Oma tertawa mendengar pernyataan bodoh Opa barusan meski dalam hatinya tetap khawatir. Apalagi melihat celana Opa kedodoran saat memanjat.
“Eh, Opa! Ngana pe calana somo ta lucur. Ngana pe bolpoin so mo kaluar!” teriak Oma.
“Bekeng kage jo ngana ini. Ndak lama kita turung kong coret-coret pa ngana deng ni bolpoin!” sahut Opa.
Oma yang merasa diserang balik, membalas, “Stel le ngana. Tinta so kering le!”
Opa Minta Susu
Karena ada urusan mendadak, Opa harus berangkat ke Kota Kotamobagu. Opa ketika itu naik mikrolet.
Di dalam mikrolet, di sebelah Opa ada seorang ibu yang sedang menyusui anaknya.
“Capat jo basusu. Kalo ndak Mama’ mo kase pa Opa di sabalah,” bujuk ibu itu.
Tapi anak itu tetap enggan menyusu.
“Oh, kase biar, Mama’ so mo kase pa Opa jo,” ancam ibu itu.
Wajah Opa memerah. Rambut peraknya seakan ikut tersemir menjadi merah. Jantung Opa deg-degan, sebab sebentar lagi mikrolet akan memasuki kota, tapi ibu dan anak itu masih terlibat adu tolak-bujuk.
Saking tidak tahannya, akhirnya Opa bersuara, “Maaf, Ibu, coba cepat ambil keputusan ne. Soalnya Opa so mo turung ini.”
Lubang Buaya
Suatu hari Opa ketahuan selingkuh. Di hape Opa ada beberapa SMS dari selingkuhannya yang luput dihapus. Oma membacanya saat Opa terlelap.
Oma akhirnya memutuskan pisah ranjang dengan Opa. Oma mengungsi ke rumah anaknya.
Saat berada di rumah anaknya, Oma mengirim SMS berisi pantun kepada Opa.
“Buah matoa jatuh di kebaya. Biar so tua mar buaya.”
Opa menerima SMS tersebut, “Oh, mo baku balas pantun dang.”
Opa membalas SMS-nya Oma dengan pantun juga.
“Keladi tua rasa pepaya. Biar so tua, mar kita le so bosan deng lubang buaya.”
Oma naik pitam setelah membaca SMS dari Opa. Ia segera membalas SMS dari Opa.
“So ini lubang buaya ini yang makang korban jendral-jendral. Satu kali deng ngana pe kopral kacili itu.”
Nama Sapa?
Setelah rujuk dan tinggal bersama lagi, Opa dan Oma kembali merajut benang-benang kasih sayang.
Suatu malam, baru saja mereka berdua melangkah menuju kamar, tetiba mereka dicegat oleh dua pria bertopeng di depan pintu. Ternyata kedua perampok itu sudah lebih dulu masuk kamar dengan mencungkil jendela.
“Dudu situ ngoni dua!” bentak salah satu perampok, sambil menunjuk kasur dengan sebilah parang.
Dengkul Opa dan Oma bergetar seirama ketika melangkah menuju kasur.
“Ngana pe nama sapa?” tanya perampok kepada Oma.
“Maria,” jawab Oma.
Tetiba perampok yang ternyata kakak beradik itu berkata, “Adoh, Oma pe nama sama deng torang dua pe Mama’ pe nama. Oma kaluar jo sana.”
Kedua perampok itu lanjut bertanya kepada Opa, “Kong ngana pe nama sapa?”
Opa dengan pelan dan gemetar menjawab, “Marlon … mar anak kompleks biasa pangge Maria.”
Nama Sayang-Sayang
Setelah selamat dari perampokan malam itu, Opa dan Oma dikunjungi semua anak dan cucunya. Rumah jadi ramai.
Setiap kali ada anak atau cucu berkunjung, Opa pasti memanggil Oma dengan sebutan darling, honey, dan my love. Itu untuk menunjukkan aura kasih sayang dalam rumah tangga mereka.
Salah seorang cucu perempuan berusia 18 tahun mendekati Opa lalu bertanya, “Opa, kiapa Opa jaga pangge pa Oma dengan nama darling, honey, deng my love? Romantis skali Opa ini. Apa de pe rahasia dang?”
Opa lalu mengajak cucunya itu mendekat.
“Badiam ne … Jaga ni rahasia. Sebenarnya … Opa so lupa Oma pe nama sapa,” kata Opa Marlon yang sudah mulai pikun.
Pinjam Hape
Tahun demi tahun berlalu. Opa mulai sakit-sakitan, begitu juga Oma. Tapi ternyata fisik Oma masih jauh lebih kuat tinimbang Opa.
Sore. Hujan mewarnai lanskap desa menjadi abu-abu. Oma kala itu sedang berteduh di salah satu rumah anaknya, tak jauh dari rumahnya. Oma baru saja dari apotek, membeli obat untuk Opa. Ia menitipkan Opa kepada salah seorang cucu laki-lakinya.
Saat menunggu hujan reda, dari kejauhan Oma melihat cucu laki-lakinya berlari di tengah deras hujan. Ada yang janggal di hati Oma.
“Omaaaaaa! Opa so ndak bangon-bangon. Birman so banya di rumah. Dorang bilang Opa so meninggal!”
Bungkusan obat di genggaman Oma terlepas. Anak dan cucu lainnya di rumah itu segera memeluk Oma.
“Sapa yang ada hape? Oma mo pinjam dulu,” pinta Oma terisak-isak.
“Mo bekeng apa so Oma? Pake hape ini jo,” kata salah seorang cucunya sambil menyodorkan hape android.
“Oma mo buka pesbuk. Mo ganti status dari menikah jadi lajang.”
(Tulisan ini sebelumnya dimuat di Mojok.co)
Kalau Adam dan Hawa Orang Minahasa, Kita Pasti Masih Tinggal di Surga
![]() |
Ilustrasi Mojok.co |
Akhir Juli dan awal Agustus jadi pekan yang menyibukkan bagi saya. Baru saja kembali dari Kota Manado yang berada di lengan Pulau Sulawesi pada pertengahan Juli, saya harus melanjutkan perjalanan ke kaki Sulawesi, tepatnya ke Kota Makassar. Mudah-mudahan tidak lanjut ke selangkangan, eh!
Ada beberapa agenda pertemuan yang tak perlu dibentang di sini. Dari pertemuan-pertemuan itu, telinga saya kerap kali menangkap mop yang dituturkan kengkawan-kengkawan dari pelosok negeri. Berikut kisah-kisahnya.