Minggu, 22 Desember 2013

The Godfather

Tidak ada komentar

Jauh sebelum aku dan kakak-kakakku dilahirkan, entah masih berada di mana jiwa kami saat itu. Pertanyaan itu selalu hadir setiap memandangi kedua orang-tuaku. Mereka media agar kami bisa meneriaki dunia. Malam ini, pertanyaan itu kembali hadir, sesaat setelah ayah tiba-tiba saja rengsa dengan teriak yang hampir hilang. Di rumah ini, tinggal aku satu-satunya anak yang tersisa. Memapahnya ke kamar mandi, dan dengan telinga yang terus siaga kala tidur.

Tadi saat di kamar mandi, seekor cicak memangsa serangga di dinding samping bohlam. Nyawa begitu saja terlahap, oleh detik, menit, jam, bahkan tahun pun akan terasa sangat singkat. Hidup selama ini, kami yang masih muda dan gagah, pun tak ketinggalan kerap merasakan maut mengecup kening dengan hening. Tapi hingga kini, kami masih berdiri gagah.

Ayah pernah segagah kami di kemarin yang lampau. Sepulang kantor mengurusi kolam di belakang rumah, pulang dengan memikul seikat kayu bakar dan lima hingga enam sisir pisang, juga beberapa ekor ikan yang mulutnya telah terjahit seutas temali dari rautan pelepah pohon pisang. Ayah terlihat sangat gagah saat itu. Tak seperti yang sedang aku saksikan saat ini.

Puluhan tahun lalu, aku hanya bocah yang selalu merasa nyaman berada di antara kain sarungnya yang serupa ayunan, sembari menonton TV di rumah tetangga. Puluhan tahun lalu hingga sekarang, tak pernah ada tamparan mendarat di pipi, layaknya yang sering aku terima dari para guru-guru di sekolah. Hanya beberapa kali gertak cambuk ikat pinggang yang tak pernah terlecut.

Ada satu kebiasaan yang hingga sekarang, tidak bisa dihilangkan darinya. Merokok. Pernah sekali-duakali aku ingatkan, tapi jawaban darinya yang klasik dan berulang-kali terucap, "Kita meninggal bukan karena ini (rokok), tapi disebabkan oleh maut." Itu jawaban yang singkat dan meringkus segalanya. Dan karena jawaban itu pula, hingga sekarang, jika aku kehabisan rokok di tengah malam buta, tak perlu jauh-jauh ke warung, menembus gigil malam, sebab di bawah bantal tidurnya, selalu terselip sebungkus rokok di sana. Itu sebungkus rokok yang terlampau istimewa. Apapun mereknya.

Kini raga itu menggigir, rengsa dengan sekujur tubuh penuh peluh. Tapi candaan dari kedua pasutri termulia di muka bumi ini masih sempat-sempatnya terlontar. "Besok pake pampers jo ne," tanya ibu, dan singkat dijawab olehnya, "Jadi sama deng Sigi."

Cepat sembuh ayah. Bukan hanya di tahun ini harap dan doaku untuk kesehatan ayah, juga ibu. Selalu. Bahkan meski harus kutukar dengan kesehatanku.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 20 Desember 2013

IBU

Tidak ada komentar

Hampir cerlang hari ini, yang seketika merengut tirai embun pagi. Tampak dua lengan itu sedang membasuh kantuk dengan percikan-percikan air di wajah rentanya. Di sudut kamar mandi berdindingkan lempeng tipis besi berkarat, ada ember penuh oleh air dengan setumpuk pakaian siap dibilas. Ada laron-laron mati di kulit air bergelembung sabun itu, yang diramaikan pula oleh puluhan sayap-sayap terputus dari jasad alit yang mengambang. Hembusan nafas lelahnya tampak melukis udara dingin. Tapi perempuan itu tetap jongkok membilas nasib.

Matahari belum menengadah. Dan sederet jemuran terkulai basah menggilas semut-semut yang berjejeran di atas temali. Banyak semut yang terkulum basah, sementara lainnya ringan jatuh dan mendarat enteng di permukaan tanah, bersamaan dengan peluh perempuan itu, dan tetesan air dari deretan pakaian. Kini, setelah selesai dengan seember air, ia masih melanjutkannya dengan menjerang sepanci air lagi, membikin segelas teh untuknya, dan segelas kopi untuk suaminya, kemudian setelah itu, dilanjutkannya menanak bubur untuk sarapan anaknya. Urusannya dengan air belum selesai, karena ia masih akan memandikan anaknya yang mau berangkat ke taman kanak-kanak.

Rasanya... Apa yang tentang dia, tentang ibu, selalu terlalu banyak, memoriku penuh untuk mengingat, dan selalu ― hanya Ibu. Kita punya bejibun kisah tentang dia, tapi coba ceritakan satu? Maka yang akan kamu tulis hanya ― IBU.

(Aku terlalu mabuk untuk melanjutkannya!)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 27 November 2013

Kemarau di Negeri Kikuka (Dongeng untuk Sigi)

Tidak ada komentar
Di sebuah negeri yang bernama Kikuka. Negeri yang hanya dihidupi hewan-hewan berawalan huruf K. Hanya ada Kelinci, Keledai, Kancil, Kalajengking, Kerbau, Kepiting, dan hewan berawalan huruf K lainnya.

Pada suatu hari yang kemarau, dua hewan berbeda spesies sedang terlibat pembicaraan soal panas matahari yang semakin membakar bumi.

Kelinci bertanya, "Kau tahu Keledai, kenapa bumi semakin panas, dan matahari seperti sudah di atas kepala kita?"

"Kau salah bertanya Kelinci, aku hewan yang pandir. Coba kau tanyakan kepada Kancil, ia sangat cerdik, dan pasti pintar, dan bisa menjawab." jawab si Keledai sembari terus melahap rerumputan.

Kelinci bergegas pergi ke sungai yang tak jauh letaknya dari tempat mereka berada. Benar juga, ada Kancil di sana sedang menyesap air sungai yang tampak kabur dan hanya sedikit itu.

"Hei! Kancil!" teriak Kelinci yang membuat kaget Kancil.

Dengan mata memicing dan sungut hidung yang masih basah, Kancil itu menyahut, "Ada apa Kelinci? Sudah berapa batang wortel yang kau habiskan, kemudian merasa haus dan datang kesini?"

"Aku tidak sedang haus, tapi aku ingin bertanya," jelas Kelinci.

Dahi Kancil mengerut dan saling merangkul, "Pertanyaan apakah itu gerangan?"

"Kenapa bumi semakin panas ya?"

"Oh, soal itu, mari kujelaskan di sana," ajak Kancil ke salah satu pohon besar di tepi sungai. Pohon yang masih rimbun di tengah musim kemarau.

"Kau tahu Kelinci, bumi kita mempunyai lapisan ozon yang berguna menyaring cahaya matahari," Kancil mulai bercerita.

"Nah, kamu lihat rimbun dedaunan pohon ini," lanjut Kancil sambil menengadah, yang diikuti pula oleh Kelinci.

"Dedaunan itu memiliki fungsi yang hampir sama dengan lapisan ozon,"

Kini dahi Kelinci yang dipenuhi bulu tebal terlihat saling merangkul, tapi kedua telinga besarnya tetap berdiri tegak. Siaga. "Tunggu dulu, apa hubungannya?"

"Biar kulanjutkan. Dedaunan itu melindungi kita dari panas matahari, bukan? Coba saja kalau dedaunan itu tidak ada, pasti kita akan merasakan panas terik matahari langsung mengenai kulit kita."
Anggukan dari Kelinci sebagai tanda ia mulai paham dengan apa yang dijelaskan oleh Kancil.

"Lantas apa yang membuat daun-daun itu gugur, kalau contohnya yang pohon tadi?" tanya Kelinci lagi.

"Ini semua perbuatan manusia, coba kau ke perkotaan, karbon monoksida dari asap kendaraan di sana, kepulan asap dari pabrik-pabrik, dan masih banyak lagi hal lainnya yang menyebabkan lapisan ozon itu menipis, atau parahnya hingga berlubang. Lihat pohon ini, coba kamu memelihara api di bawahnya, kepulan asapnya pasti akan membuat daun-daun layu dan gugur,"
Penjelasan Kancil itu membikin Kelinci meringis dan terlihat gigi depannya makin menonjol keluar.

"Kau tahu Kelinci. Kalau pepohonan di hutan ini juga ditebang. Itu juga bisa mengakibatkan lapisan ozon menipis, karena tetumbuhan itu menyerap karbon yang dilepaskan oleh kendaraan atau kepulan asap pabrik-pabrik tadi," jelas Kancil dengan nada sedih, sambil memandang pepohonan yang membentang di hadapan mereka.

Tak lama kemudian Kepiting dengan langkah khasnya datang menghampiri mereka berdua.

"Sedang apa kalian? Pacaran ya? Tak bisa kubayangkan kalau nanti bayi kalian nanti jadi makhluk apa," sapa Kepiting dengan gurauan.

"Nah, ini dia salah satu hewan yang nanti jadi korban penipisan lapisan ozon," kata Kancil.

"Apa hubungannya denganku?"

"Kami sedang membahas soal lapisan ozon, dan kamu Kepiting, salah satu hewan yang paling terkena dampak buruk jika radiasi ultra violet nantinya berlebih," jelas Kancil.

"Aku kan punya cangkang untuk berlindung," jawab Kepiting dengan pongah.

"Justru cangkangmu itu yang nanti akan berubah menjadi penggorengan,"

Kepiting mengatupkan kedua capitnya. "Bikin ngeri saja kau Kancil!"

"Iya, apa yang dikatakan Kancil itu benar," kata Kelinci.

"Kenapa kau bisa sampai kesini?" tanya Kancil.

"Di pantai panasnya memang makin menjadi,"

"Ah, andai saja lautan itu tak asin," harap Kancil, agar ia bisa minum sepuasnya.

Dari seberang terlihat Kerbau, Keledai, dan Kalajengking datang mendekati mereka.

"Kata Keledai, kalian sedang bicara soal cuaca ya?" tanya Kerbau sesampainya.

"Iya, cuaca yang semakin panas. Lihat saja sungai itu makin kering," ujar Kancil sambil menunjuk ke arah sungai dengan moncongnya.

Kalajengking turut membaur bersama mereka, "Tapi aku baik-baik saja, cuaca panas sudah biasa bagiku," katanya angkuh.

"Hei! Kalajengking, bagimu biasa, tapi tidak dengan kami," teriak Kepiting geram. "Kalau kau kesini mau duel, sini denganku! Kita beradu capit di sini!" lanjutnya sengit.

"Hei, hei, tenang dulu kawan. Kita di sini sedang ingin membahas persoalan yang dampak buruknya untuk kita semua. Kamu juga Kalajengking, meski kamu sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini, tapi apakah kamu mampu bertahan jika hutan ini terbakar habis karena panas matahari yang berlebihan?" Kancil coba menenangkan suasana yang mulai memanas itu.

Keledai yang sedari tadi bungkam memilih bersuara, "Kalian ini kenapa? Kita sama-sama hewan tapi membicarakan soal kerusakan bumi ini yang diakibatkan ulah manusia, dan hanya manusia itu sendiri yang bisa mengatasinya."

Semua terdiam mendengar ucapan Keledai barusan.

"Sebaiknya kita pergi saja mencari makan dan minum, untuk membuat kita tetap bertahan hidup. Dan untuk Kalajengking dan Kepiting, sebaiknya capit kalian digunakan untuk mencari mangsa saja, bukan untuk diadu," nasehat Keledai.

Sejurus kemudian, mereka beranjak pergi dengan kepala tertunduk. Kepiting dan Kalajengking berjalan dengan saling bergandengan capit. Kepiting yang cara khasnya berjalan ke kiri, ke kanan itu, menyeret Kalajengking bersamanya. Melihat kejadian lucu itu. Kelinci, Kancil, Kerbau, dan Keledai tertawa lepas. Kepiting dan Kalajengking menoleh ke belakang, dan ikut pula tertawa.

Ah, andai saja manusia bisa tertawa layaknya mereka.

Sabtu, 23 November 2013

Patung Bogani

Tidak ada komentar
Hiruk-pikuk Kota Kotamobagu dengan terik matahari yang bertengger di ubun-ubun pada pukul dua belas siang, memantik didih yang memuaikan segala baja. Tapi tidak dengan sebuah patung yang berada tepat di pertigaan Osion, Kotobangon. Meski bersikutan dengan seutas jembatan yang di bawahnya ada alir sungai, tak membuatnya tampak segar. Tapi ia tetap terlihat tegar.

Patung Bogani. Fatamorgana yang meruap sebab panas kulit aspal, memanggangnya dan menghanguskan seketika jamur-jamur musim penghujan yang menyelimuti dan melumuti kulitnya. Cat kecoklatan dan purba di sekujur tubuhnya seperti mengisyaratkan: aku sejarah yang terlupakan, aku hanya seonggok patung yang ter-vandalis oleh ketidakpedulian, dan istirah di belukar salah satu bukit yang mencuat, mendinding Kotamu. Di bukit Tudu Passi. Pun belulang yang terserak di seantero kandung bumimu.

Satu dua hal yang menambah kesedihan; seliweran kita para liliput Bogani, apakah masih sempat menjelikan pandang dan memikirkan hal yang biasa itu menjadi tak biasa? Seonggok patung yang dengan kekar dan perkasa, memaksa bertahan dari sejarah yang mengelupas dan akan binasa, ia butuh sekerjap tatap. Atau kita memang benar-benar telah melupakannya?

Dari sekian banyak patung-patung yang hanya mengilustrasikan sosok wajah, patung Bogani adalah salah satu patung yang memiliki eksistensi sepenuhnya, dari mulai: bentuk tubuh yang ideal bagi penggambaran sosok manusia, senjata tombak, dan tameng siaga di genggamannya. Patung ini tak hanya sekadar penanda ke kiri, ke kanan, atau berpusarnya puluhan kendaraan. Ia adalah kabah-nya Bolaang Mongondow.

Mungkin dibandingkan dengan ratusan patung bersejarah dan arca-arca galian di pelosok negri, patung Bogani memang tak setara. Patung ini, yang menjadi hiasan sebuah kota, yang cenderung meramaikan lanskap sebuah perkotaan, yang seharusnya dirawat dengan baik, terbengkalai begitu saja. Siapa yang mau berpose dengan patung ini? Mungkin hanya orang udik yang rela. Tapi setidaknya, mereka yang udik lebih memahami apa itu bentuk kesederhanaan dan penghormatan sejarah. Orang-orang yang rela berpose dan udik itu, lebih mulia dari mereka yang berdasi, mereka yang enggan.

Entah engkau dibikin dari lempung, semen, atau sekumpulan raga yang terbuang. Saya akan sangat dengan bangga memunggungimu dan bergagah-gagahan sekalipun setara tengkukmu. Saya anak Bolaang Mongondow yang akan terus bertanya, "Ki ine nomia kon patong Bogani?" (Siapa yang membuat patung Bogani?)

Penelusuranku tak sia-sia. Setelah menjaring beberapa link di internet. Saya dipertemukan dengan salah satu blogger (http://graceeditha.wordpress.com/2010/10/18/alex-b-wetik-ayah-teman-guru-ku/) yang ternyata adalah putri kandung dari seniman asal Minahasa yang melukis patung Bogani. Grace M. E. Wetik namanya, putri dari sang seniman Alex B. Wetik. Terima kasih untuk karya besarmu pak Alex.

Mari berpose!

Senin, 18 November 2013

Gelora Ambang

Tidak ada komentar
Jam 11.00 WITA. Mendung tebal menggantung di langit Kotamobagu Rabu (30/10), ketika saya dan seorang teman memutuskan ke Gelanggang Olahraga (Gelora) Ambang, Togop, Kota Kotamobagu.


Tak butuh waktu lama menemukan stadion yang pernah jadi kebanggaan di masa keemasan Persatuan Sepakbola Bolaang Mongondow (Persibom), kala Kabupaten Bolaang Mongondow dipimpin Bupati Marlina Moha Siahaan. Letaknya tak jauh dari pusat kota. Jika ditarik garis lurus, jaraknya dari kantor Pemerintah Kota (Pemkot) Kotamobagu hanya sekitar dua ratus meter.

Sekira tiga menit menerobos gerimis dengan sepeda motor, tibalah kami di lokasi tujuan. Pemandangan mengharu-biru segera menyergap: Gelora Ambang bak lahan tidur yang lama ditelantarkan dengan bangunan-bangunan tak terurus; tribun depan, yang didiami beberapa keluarga, dikerubuti semak-belukar. Lapangan tenis yang sukar dikenali lagi, hanya lantai birunya yang tampak seperti biru langit di antara arak-arakan awan kelabu.

Kondisi tadi belum seberapa. Saat kendaraan roda dua kami merangsek ke dalam, tak ada lagi tameng yang mengitari lapangan sepakbola. Lapangan hampa tertembus pandang begitu saja. Kemuning tanaman jagung memasuki usia matang menyambut kami. Hingga sapuan tatapan ke sekeliling memupus, hanya tampak tanaman jagung dan belukar tak terawat. Semrawut. Tribun barat lebih mirip gelondongan kayu raksasa di hutan liar dan dirayapi segala jenis tetumbuhan simbiosis parasitisme. Seng atapnya karatan dan bocor di sana-sini. Cat tiang-tiangnya mengelupas dan juga berkarat.

Selagi asyik berkeliling, kami dikagetkan suara anak-anak kecil yang bermain riang di kolam renang. Lima sampai enam orang anak laki-laki dan perempuan sedang mandi di sana. Oh, ternyata masih ada juga salah satu fasilitas di sini yang bisa digunakan selain bangunan lainnya yang difungsikan sebagai tempat tinggal.

Hujan yang kian deras memaksa kami berteduh di tribun mini di area kolam renang. Sedangkan anak-anak itu kelihatan bertambah riang seiring makin melebatnya hujan. Mereka berteriak-teriak, tertawa, berlari di tepian kolam, meloncat, berenang, dan sesekali menyelam.
Di dekat kolam, ada seorang ibu yang biasa disapa Tanta Ebi sebagai penjaga kolam. Suaminya Romy Gunena adalah "juru kunci" Gelora Ambang. Tanta Ebi sendiri membuka warung kecil-kecilan yang lebih mirip kantin. Menurut Tanta Ebi, untuk mandi di kolam, setiap anak dipunguti biaya Rp. 3 ribu. "Dorang boleh mandi sampe malamise (mereka bisa mandi sampai gelagapan tenggelam)," ujar Tanta Ebi bergurau.

Hanya tinggal kolam berair dangkal, tempat anak-anak bermain itu, yang masih termanfaatkan. Sedangkan kolam besar di sebelahnya dibiarkan tak terurus; hampir seluruh ubin lantainya tertutup lumpur yang mulai ditumbuhi rerumputan setinggi betis orang dewasa.
Melihat anak-anak jumpalitan di kolam kemudian berlarian kecil ke tribun mini dan menikmati kudapan pisang goroho goreng, membikin perut saya tergoda lapar lantas memesan sepiring pisang goreng goroho yang disajikan dengan potongan-potongan kecil atau biasa disebut pisang stick.

Begitu hujan mereda, kami bergegas ke kantor Pemkot Kotamobagu setelah berpamitan dengan Tanta Ebi untuk menemui Asisten III, Dra Djumiati Makalalag untuk menanyakan status aset Gelora Ambang. Yang dituju sedang tidak di tempat. Kami menghubunginya lewat ponsel, namun tak terhubung. Setelah disusul dengan pesan singkat, ia membalasnya setelah berselang dua jam. Ia mengatakan bahwa aset itu belum ada penyerahan secara resmi dari Pemkab (Pemerintah Kabupaten) Bolmong (Bolaang Mongondow). "Ada rencana pembahasan untuk penyerahan secara resmi nantinya, tapi waktunya saya belum tahu persis. Nanti coba ditanya kepada Sekkot (Sekretaris Kota) dan Kadis PPKAD (Kepala Dinas Pengelolah Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah)," balasnya di pesan singkat.

Harusnya kami berlama-lama di Gelora Ambang tadi. Agar lebih lama mengenang. Ada yang harus menggelora kembali. Miris mengingat kembali apa yang baru saja kami lihat. Dana milyaran telah habis digerus dari kantong rakyat hanya untuk biaya perawatan atau sekadar pugar sana-sini.

Pada masa penjajahan Belanda, infrastruktur yang dibangun oleh mereka hingga kini awet. Berabad-abad tetap bertahan. Karena mereka pikir akan hidup selamanya di negeri ini. Jika hal yang sama dipikirkan oleh para pihak yang menangani proyek pembangunan prasarana di negeri ini. Maka tak akan ada lagi 'tembok' di negeri (atau daerah) ini yang akan dibangun asal-asalan. Runtuh, remuk, dan punah seketika. Binasa tak tersisa. 

Rabu, 30 Oktober 2013

Ya Atau Tidak

Tidak ada komentar

Deru angkot tua satu-satu memecah subuh yang masih gelap. Semburat sorot lampunya memotong embun-embun tebal padat membungkus pagi. Dingin masih mencengkeram. Tapi, pagi ini, ada manusia paruh baya dengan temali mengebat erat di genggamannya. Dua punuk lembu tampak menonjol basah menghela gerobak penuh muatan, merayap tegas menembus kabut tebal di lindap subuh itu. Pemandangan yang membuat suasana pagi itu segar seperti senyum lelaki.

Gerobaknya berkejar-kejaran dengan beberapa orang di tepi jalan. Orang-orang dengan sajadah terkulai di bahu. Mereka sedang menuju rumah Tuhan. Lain dengannya yang mau ke pasar dengan tumpukan kayu yang harus ia lekaskan pagi ini. Entah siapa yang sedang benar-benar ke rumah Tuhan.

"Mamonag pa o (mau ke bawah dulu)," sapanya.

"O'o (iya)," serempak mereka menyahut.

Yang di atas memang harus menengok ke bawah dan menyapa. Tapi, sekali lagi, entah siapa yang benar-benar di atas dan di bawah. Nasib seringkali sulit ditebak. Seperti putaran roda gerobak.

Selang empat puluh menit, ia pun tiba di pasar. Tumpukan kayu di atas gerobak dihempaskannya ke bahu jalan. Kemudian dirapikan kembali dengan segera. Siap dijual.

Satu jam ia menunggu dengan dua batang rokok saja. Pasar makin ramai seiring pagi merekah disiram cerlang cahaya mentari. Kerumunan orang bertengkar dengan lalat dan terik ketika matahari merangkak naik kian tinggi. Ini pasar tradisional yang multi dimensional. Ratusan lapak pedagang dengan aneka jualan, terlihat serupa menjajakan nasib.

"Bole lima ribu satu ika (apakah boleh lima ribu seikat)?" seorang ibu menawar.

"Lima stenga jo, Bu," sahutnya, meminta tambahan lima ratus perak.

"Lima ribu jo kwa'," si ibu tak hendak surut dengan tawarannya, berjongkok, menepukkan tangan pada seikat kayu.

"Iyo jo dang (baiklah)," pasrahnya. Pikirnya, di jaman ini masih syukur kayu bakar bisa bersaing dengan bahan bakar lainnya, sembari pandangan matanya menyaput jejeran tabung gas elpiji dari sebuah toko yang baru saja dibuka pemiliknya.

Usai membayar, si ibu berlalu. Hampir sejam kemudian baru ada lagi pembeli yang menghampirinya.

"Brapa satu ika (berapa seikat)?" tanya pembeli itu.

Ia mendongak ke arah datangnya suara, tersenyum, "Anam ribu, Bu (enam ribu, Ibu)."

"So nimbole kurang (apakah tak bisa kurang)?" si ibu yang berjongkok di samping ikatan kayu mengerling kepada si penjual.

"Lima stenga jo (lima setengah saja)," dia menegaskan harga.

"Ampa ribu jo (empat ribu saja, ya)?" tanya si ibu berharap mendapat harga lebih rendah.

"Adoh, nimbole noh (aduh, tidak bisa)," jawabannya kukuh dengan raut wajah tetap ramah.

Kala tawar-menawar itu tengah berlangsung, tiba-tiba puluhan polisi pamong praja datang menyerbu.

"So bilang nimboleh bajual sini (sudah dikatakan tidak boleh berjualan di sini)!" teriak beberapa orang di antara mereka.

Ada yang kocar-kacir, namun tak sedikit yang memilih tak beranjak. Beberapa perempuan tua, yang kesehariannya berjualan di tempat itu, hanya bisa melongo dan sesekali berbisik mengumpat. Barangkali, mereka ingin protes dengan sikap semena-mena dan jauh dari sopan-santun itu.

"Nogiboli don kami bo tantu bi' angoyon bongkaron (kami sudah membayar, tapi masih saja selalu digelandang)," keluh seorang nenek.

"Deeman natua , inde. Kaka andon pinomiaan pasar nobagu pomampingan bo moiko doi' bi' maya kon tua (bukan begitu, nek. Kan sudah dibuatkan pasar baru untuk pindah, tapi kalian tidak mau ke sana)," seorang polisi pamong praja menjawab sengit.

Para polisi pamong praja tak ingin terlibat depat panjang. Tugas mereka adalah bertindak menertibkan pasar tersebut dari pedagang yang membangkang keputusan pemerintah kota setempat. Cepat dan cekatan membongkar tumpukan jualan dan lapak para pedagang.

Si penjual kayu tak luput dari gerudukan petugas ini. Tumpukan kayu bakar jualannya bak dilalap api, diangkut kawanan pamong praja, tak tersisa dari tempatnya, senasib dengan jualan pedagang lainnya yang membuat pemandangan di pasar itu menjadi kering kerontang.

Gerobak sapi sewaan tadi pagi sudah ia titipkan ke salah seorang tetangganya –yang juga sesama pedagang di pasar itu—untuk dibawa pulang. Istri si tetangga masih di sini. Mereka bersitatap, bungkam, dan nanar. Hampa.

Sejurus kemudian, si pedagang memecah kebisuan, "Bain don tumakoy kon bentor kita mo buyi (nanti naik becak motor saja kita pulang). Semburat ucapan dari bibir yang nampak kering dengan nada bergetar, yang disahuti dengan anggukan si perempuan.

Mereka baru hendak mengangkat kaki, ketika suara gaduh teriakan sekelompok orang mengagetkan penghuni pasar. Keributan belum usai rupanya.

"Ini pasar torang punya (pasar ini milik kami)!" koar mereka yang baru tiba.

Sepertinya mereka lagi. Sekumpulan orang yang mengaku sebagai "ahli waris" lahan pasar ini. Lahan pasar ini, memang, masih menjadi sengketa dengan pihak pemerintah kota. Lahan tempat menggantung nasib ternyata nasibnya pun masih menggantung. Ada yang gagu menatap mereka dengan mata berbinar ambigu. Entah airmata jenis apa yang pantas diteteskan untuk menangisi perilaku mereka –sudah menjadi rahasia umum karakter orang-orang penuh klaim ini.

"Mo buyi don kitada mani'ka, topilik mo kacau don naa (lebih baik kita pulang saja, sebentar lagi pasti terjadi kekacauan)," ajaknya.

Mereka berdua bergegas ke tempat biasanya becak motor mangkal. Memilih pulang dan berharap sesegera mungkin sampai di rumah, jauh dari carut-marut pasar: tempat nasib mereka saling bertumpuk, mematungi hari-hari dengan menghitung kibasan lembar uang, dan tempat di mana kata "ya" atau "tidak" paling sakral dilapalkan.

Pada akhirnya, ada yang harus berkata "ya" untuk sengketa pasar, walau sebelumnya gigih mengatakan "tidak". Sama seperti mantra dalam tawar-menawar yang abadi antara penjual dan pembeli: "ya" atau "tidak".


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 15 Oktober 2013

Inisial KG Untuk Tiga Nama (Perjumpaanku dengan Bang KG)

Tidak ada komentar
Ada yang menggelinjang di dalam dada saat dikabari Papa Attar (sapaanku buat Ahmad Alheid) sedari pagi kemarin, kalau ia akan berkunjung ke Kotamobagu untuk sekadar bertemu, bertepuk dada dan merangkul punggung kawan purbanya Katamsi Ginano yang saat ini sedang mudik Lebaran Qurban.

Aku bakalan ketemu sekaligus dengan para "Dewa" tinta ini, pikirku. Juga dengan istri dan putra semata wayangnya Papa Attar: Rini dan Attar. Aku memanggil anak ini "Attar si Penyair" sebab namanya yang mirip penyair sufi dari Persia. Melihat Attar jadi ingat Abang dan Ateng putranya Amato Assagaf yang, kemarin malam ikut begadang dengan kami di Rumah Kopi Korot.

Mereka, adalah "kebetulan-kebetulan" lainnya yang Tuhan Maha Kebetulan remah-rotikan di takdir hidupku. Cerita kisah mereka tinggal kupunguti satu-satu dan kukantongi. Selalu kusimpan untuk membantu menuntunku ke arah pulang kelak. Aku jatuh cinta dengan cara Tuhan mempertemukan kami. Direkatkan lewat tulisan yang menggetah. Getah Semesta.

Akhirnya, KG dan KG ketemu juga. Inisial KG yang pertama untuk diriku sendiri, Kristianto Galuwo. Sedangkan KG yang kedua untuk Katamsi Ginano.

"Nah, ini dia baru da cumu-cumu tadi, umur panjang skali ni Sigidad," ujarnya yang terbahasa klasik dan digagap-gemakan beberapa orang lainnya. Batinku menyahut; ini dia si empu blog Kronik Mongondow yang serupa penyakit kronis bagi para pejabat "nakal" di BMR.

Kami pun bersalaman, disusul kepalan tinju kanannya menantang akrab. Kuseruduk saja dengan kepalan childhood-ku. Tak lupa kucondongkan badanku ke samping kanannya, berjabat tangan dengan Papa Attar yang juga telah lebih dulu hadir di sana. Lanjut bersalaman dengan Abang Uling (sapaku untuk Musly Mokoginta) yang ternyata turut larut juga bersama mereka. Sementara yang lainnya, coba kulemparkan senyum satu-satu dan terbalas akrab.

Setelah dipersilakan duduk, kusapu sekeliling sekali lagi. Jarod meriuh dengan para awak media. Pembicaraan mereka yang sempat terhenti dilanjutkan. Bang KG (sapaku untuknya) dengan gaya serupa konduktor memimpin orkestra menarikku masuk ke cerita dan membaur seketika. Gestur tubuhnya menghidupkan opera di bilik bambu Jarod. Pun guyonan ala Bang KG yang versi verbalnya baru kini bisa kudengar, menggelitik urat tawa kami.

Larut luruh kami mendengar sabdanya. Dari kisah para penulis cerpen tenar lengkap dengan perjalanan hidup mereka yang tak terduga, seperti A.S Laksana dan buku kumpulan cerpennya Bidadari Yang Mengembara, dan ternyata adalah kawan baiknya. Hingga ke negeri Matahari menemui Eiji Yoshikawa dengan karya besarnya Musashi. Tak lupa wejangan bagi kami para pewarta yang masih liat.

Waktu kami reriungan di Jarod habis. Tapi tidak dengan malam ini, selanjutnya kami ditawari untuk bersantap bebek di rumahnya Syarif, salah satu kawan akrab mereka yang tadi juga duduk bersama kami. Setelah saling bertukar buku dengan Papa Attar yang meminjami aku buku: Elemen Elemen Jurnalisme, Bill Kovach & Tom Rosenstiel, kami bergegas merapat ke rumahnya Syarif.

Bang KG, Papa Attar, dan Syarif lebih dulu jalan. Dan ternyata ada tugas yang lumayan mengucurkan keringat menunggu mereka di sana. Rumah tetangga Syarif yang berdampingan dan baru saja akan dibangun, nyaris saja kebakaran.

Kami menemukan mereka dan beberapa rekan lainnya yang berjibaku memadamkan kobaran api, masih mengitari lokasi. Tampak tumpukan arang kayu berserakan masih mengepulkan asap, dan sisa jelaga menjilati dinding pagar pembatas rumah yang terbuat dari atap seng.

Di depan rumah, sambil menyeka keringat Papa Attar bercerita kepadaku; "Kitorang turung di got di muka situ ba timba aer tadi, Bang Tamsi yang lebe dulu lari ka blakang kong ba sirang."

Mendengar cerita Papa Attar dengan napas memburu, meminjam sedikit kata-kata Dewi Lestari: tampaknya selain menulis, gali kubur, narik becak, pekerjaan memadamkan kebakaran sangat membutuhkan asupan kalori yang cukup tinggi. Salut untuk sikap heroik mereka.

Setelah lelah mendaras kasus kebakaran itu. Lapar mengerang. Kini ada yang menggoda di meja makan: ubi rebus dan bebek rampah-rampah RW. Bulir-bulir keringat turun bersamaan dengan senda gurau kami yang duduk melantai di ubin dingin.

Keadaan terus sama hingga kami menandaskan segala apa yang di atas meja makan. Kemudian melanjutkan cerita yang bahkan sempat menyentuh wilayah langit Ilahi. Posisi duduk kami yang melingkar di lantai, bersila, selonjoran, dan jika saja ada beberapa nyala lilin, kami lebih mirip sekte sesat yang sedang melakukan ritual sambil mendengar rapalan mantra-mantra dari rahib.

Iblis pun disebut-sebut malam itu. Aku teringat sebuah cerita yang pernah kubaca (aku lupa judul bukunya) tentang iblis. Iblis ini kondisinya tengah sekarat. Seorang pendeta yang tak sengaja berjumpa dengannya, kemudian terkesiap dan mengeluarkan pedang. Pendeta akan membunuhnya. Iblis berkata tunggu, sebelum membunuh, biarkan ia bercerita banyak. Iblis kemudian bertutur panjang lebar tentang betapa penting arti dirinya bagi kehidupan, bagi manusia, dan juga bagi si pendeta. Iblis bertanya, "Katakan padaku wahai pendeta, apakah yang akan mendorongmu untuk tetap beribadah, jika aku mati kelak?" pendeta kebingungan menjawabnya dan akhirnya memutuskan untuk menyelamatkan si iblis. Ia membasuh luka iblis dan membopongnya ke tempat di mana ia bisa dirawat.

Yang kuingat dari cerita di atas hanya penulisnya saja, Kahlil Gibran. Jika diinisialkan maka ia KG yang ketiga.

Masih banyak lagi topik pembicaraan malam itu. Dan... waktu yang mempertemukan, waktu pula yang menyentil erat jabat agar jangan terlalu lama menggenggam. Setelah itu, apalagi yang bisa ditawarkan oleh waktu dan "kebetulan" lainnya?

Tepukan Bang KG di pundakku sembari melafadzkan sepotong kalimat suci: "Teruslah menulis, itu hidupmu" membikinku menggigil seperti ketika Ahmad pertama kali mendengar ucapan Jibril. Antara baca dan tulis. Keduanyalah yang membedakan kita dengan makhluk Tuhan lainnya di muka bumi. Superioritas kita sebagai manusia.

Kembali kepalan tinju diarahkan. Kemudian pintu geser mobil menutup pelan dengan jendela kaca yang masih terbuka. Teriakku; "Tu oto bagus pake ba culik akang Bang!" dan disahutinya, "Memang itu!"

Bang KG melaju dengan mobil itu, membelah malam Kotamobagu dan kembali pergi mencuri jutaan kata yang, siap dirajutnya menjadi selimut agar tidurnya tetap selalu lelap. Sebab apa yang paling berharga dalam hidup adalah: saat kita mampu membuat nyaman diri kita, meski itu hanya dengan sehelai selimut usang.

Damai di bumi
Damai di langit
Damai kami sepanjang hari.

Minggu, 13 Oktober 2013

SIGI

Tidak ada komentar


Bapaknya Kristianto, ibunya bulan pucat yang selalu cemas di tepi langit. Ketika hujan memberi arti pada warna merah, keduanya menikah. Setelah itu tidak ada lagi yang bisa diceritakan tentang mereka kecuali bahwa dengan duka yang nyaris mengusaikan harapan, gadis itu pun lahir. Mereka menamakannya Sigi. Artinya, sekali tercipta sudah itu abadi.

Aku mencintai Sigi tanpa tahu kenapa. Dalam bahasa psikoanalisa Slavoj Zizek, aku memiliki jawaban bagi setiap kerinduanku akan Sigi tanpa pernah benar-benar tahu apa yang sesungguhnya menjadi pertanyaan. Sigi adalah jawaban itu sendiri; simptom yang menjalin batas antara kesadaran dan ketidaksadaranku. Tapi apa yang menjadi pertanyaan bagi kehadirannya?

Di penghujung malam, di penghujung mimpi, ketika embun gemetar oleh tiupan angin dan fajar mengintai seperti kebangkitan kembali ide komunisme dalam kepala Badiou, aku mencoba untuk menuliskan biografi perkenalanku dengan Sigi. Aku menemukan 66 episode perkenalan yang dibagi oleh persinggahan-persinggahan kami. Dalam perjalanan yang cukup panjang sebuah biografi memerlukan kemampuan kita untuk memungut kembali remah-remah ingatan.

Sigi tidak berdiam dalam ingatanku padanya tapi dalam biografi perkenalan yang aku ciptakan dengan ingatan yang kabur akan masa laluku sendiri; itulah kenapa kita bisa menerima gagasan yang buruk tentang cinta, kerinduan, juga harapan. Dan di penghujung malam itu, setelah bangkit dari bunuh diri yang melelahkan, aku mulai menulis. Suasana tetap sepi seperti cuaca hari itu. Dari dalam kepala, samar-samar aku dengar suara Lionel Ritchie.


Episode Eropa yang Pertama
Hello…
Isn't me you're looking for?
(Lionel Ritchie)

Aku mengenal Sigi pertama kalinya sebagai seorang gadis yang menghitung cahaya di permukaan riak sungai Rheine. Rambutnya ikal dan senyumnya bersimpul. Waktu itu, dia duduk dekat pintu rumah kopi bertuliskan kutipan sebuah puisi Jerman pra-Goethe. "Aku orang Mongondow," katanya dengan jemari yang kering. Musim belum beranjak, masih panas yang sama meski kali ini tanpa matahari.

"Sigi," aku mencoba untuk mengulang nama itu dan secara refleks mengembalikan ingatanku pada cara Edward de Verre melukiskan Juliet lewat lidah Romeo. Mata aristokrasi tidak bisa santun menatap kecantikan seorang perempuan tapi mereka punya banyak kata untuk menangkap jiwa dari kecantikan itu sendiri. Lengkap dengan luka-lukanya. "Aku seorang bohemian," kataku memperkenalkan diri.

Setengah jam berikutnya adalah sebuah kisah cinta.

Aku memesan dua cangkir latte. Satu cangkir untukku dan satu cangkir lagi untuk memberiku alasan mengenang Sigi serta kehadirannya yang luput dari semua puisi yang pernah aku tulis. Sigi mengangkat wajahnya dari busa cappuccino, menyalakan rokok dan melepaskan resahnya bersama asap putih yang keluar dari mulutnya. Wajahnya datar tanpa senyum namun cintanya berlarian seperti kanak-kanak.

Kami bercerita tentang begitu banyak hal sembari tetap menjaga jarak dari biografi masing-masing. Cinta memang selalu menghapus biografi pecinta dan yang dicinta dari pembicaraan. Memberi kita begitu banyak kesempatan untuk mengikis pelan-pelan perjumbuhan akal sehat dengan kenyataan. Menjadi metafisika yang kehilangan subyek dan mempertaruhkan segalanya pada Ada tanpa harus menghitung waktu.

Di Jerman, para filsuf pecinta seperti Nietzsche dan Heidegger, telah menuliskan dengan alir Rheine yang sama bagaimana aku akan bertemu Sigi dan melumat sejarah ke dalam bahasa. Membunuh perjumpaan demi ingatan akan Ada, seperti cara dua orang berbeda sia-sia melukiskan pertemuan yang sama dalam tafsiran hermeneutis. Sigi tampak bosan pada ujung rambutnya. Mengusirnya ke punggung lewat bahunya yang mungil. Tangan kanannya menjemput cangkir cappuccino sementara tangan kirinya menuntun aku keluar dari kenyataan.

Angin berhembus dingin di musim panas Eropa yang semu, memerahkan hidung melayu Sigi. Membuatnya tampak seperti tuhan-tuhan perempuan dalam cerita pagan kaum Aria sebelum Hitler gagal menangkap keunggulan ras kulit putih dalam perang yang mempersatukan rasionalitas Eropa menjadi Filsafat Kontinental Modern, lengkap dengan kelupaan mereka pada tuhan-tuhan perempuan berwajah Asia seperti Sigi.


Episode Eropa yang Kedua
Lady…
Your love is the only love I need
(Lionel Ritchie)


Masih di Jerman. Negeri yang mempersembahkan padaku Kant, Fichte, Schelling dan Hegel dalam satu paket yang utuh meski gagal disimpulkan di benak Nietzsche. Namun ini adalah cerita lain tentang Sigi. Aku mengenalnya sebagai seorang perempuan yang menukar kecantikannya dengan kalimat pertama dari poin 360 dalam karya Hegel Phenomenology of Spirit yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A. V. Miller dan diterbitkan Oxford University Press tahun 1977:

"Self-consciousness which, on the whole, knows itself to be reality, has its object in its own self, but as an object which initially is merely for self-consciousness, and does not as yet possess [objective] being which confronts it as a reality other than its own; and self-consciousness, by behaving as a being-for-it-self, aims to see itself as another independent being."

Sigi membiarkan langkahnya membawa tubuhnya yang kurus terbungkus jaket bulu panjang, perlahan menyusuri jalan sepi Messkirch, Baden-Wurttemburg untuk menangkap cintaku di desa kelahiran Heidegger itu. Bukan tanpa alasan kami berada di situ dan berharap bisa mencintai satu dengan yang lain dengan cara seperti itu. Karena jika kesadaran-diri dapat mengenali dirinya sebagai obyek bagi kesadaran-diri itu sendiri, lalu kenapa aku selalu gagal mengenali Sigi dalam kenyataan dirinya?

Jawabannya aku temukan di belokan satu blok dari tempat Heidegger memutuskan untuk mengenali Ada. Dialektika telah gagal dalam langkah Sigi. Kecantikannya akan tetap tinggal, bersama dengan keperempuanannya, dalam tema ontologis yang ditinggalkan Hegel bagi Heidegger: dialektika buntung tesis-antitesis yang selalu berarti Ada dan bagaimana Sigi meninggalkan aku di persimpangan itu. Kami akan selalu bertemu meski tanpa sublasi.

Bunyi derak daun jendela toko kelontong Messkirch terdengar seperti irama lagu Love is Blue dalam instrumentalia Paul Mauriat ketika Sigi menjauh dariku. Lengang seperti cakrawala dan aku menemukan air mataku berubah menjadi Jerman yang asing di dalam kepala para filsuf Yahudi di tahun 1940an. Rasionalisme Hegelian telah gagal dua kali, pertama, di kamp-kamp konsentrasi Nazi dan, kedua, di cakrawala yang menelan tubuh Sigi menjadi titik dalam buku puisi Dante Alighieri yang terlambat aku baca.

Seminggu setelah itu adalah sebuah puisi cinta.

Namun Sigi tidak bersedih karena dia adalah hiburan bagi dirinya sendiri. Dia telah menjadi proses seperti Ruh Absolut Hegel. Dia telah menjadi perubahan itu sendiri. Kekal dalam zaman yang berulang sebagai bahasa bagi cinta yang aku tinggalkan di Freiburg seminggu sebelum aku meninggalkan Jerman menuju halaman 115 dari Philosophical Explanations karya Robert Nozick yang diterbitkan tahun 1981 oleh The Belknap Press: WHY IS THERE SOMETHING RATHER THAN NOTHING?


Episode Eropa yang Ketiga
And I…
I want to show you all my love
(Lionel Ritchie)


Bagaimanapun juga, yang nyata tidak selalu masuk di akal dan yang masuk di akal tidak selalu nyata, seperti Sigi. Seperti juga cinta tidak selalu dari dan untuk cinta. Kali ini aku berada di pelataran Plaza de Chateau, Paris. Sekitar tiga meter dari tempat Sigi duduk mendengarkan musik pop Amerika yang dibawakan lamat-lamat oleh seorang violis Perancis berdarah Aljazair. Sigi menundukkan punggungnya saat suara biola itu mengiris kenangannya akan masa lalu yang jauh di Bolaang Mongondow.

Aku mengenalnya waktu itu sebagai seorang perempuan asing. Dan ketika kami sudah punya cukup alasan untuk janji makan malam, aku lupa bahwa tidak pernah ada lilin untuk mata Sigi yang selalu basah. Waktu itu kapitalisme telah memperkaya miliaran orang dan menggusarkan para pecinta negara yang semakin payah dalam simulakra tanda. Kami juga berbincang tentang libertarianisme sebagai pilihan ideologis terakhir yang paling masuk di akal bagi eksistensi umat manusia hari ini. Makan malam yang indah untuk mengenang pembebasan Thomas Paine dari penjara kaum Jacobin Perancis dengan seorang gadis bermata basah.

Sigi suka sekali menulis semua perbincangan kami dan melemparkannya ke udara dan membiarkan kertas-kertas itu terbang di udara Perancis musim gugur. Lalu kami melewatkan banyak malam berikutnya dengan film-film Perancis yang ragu-ragu dari Goddard hingga Noe. Dalam pantulan cahaya film-film itulah aku mencoba untuk melukis kembali Sigi sebagai seorang perempuan yang berbeda yang, ketika pagi datang lewat jendela motel tempat aku menginap, berubah menjadi bocah mungil dengan lidah merah jambu.

Beberapa detik kemudian adalah sebuah kemungkinan.

Berapa kalipun aku mengenal Sigi, dia tetap saja Sigi yang sama yang hanya aku kenal dari foto-foto lucu dan tato di tubuh bapaknya. Dia adalah putriku yang telah diculik takdir karena aku tercipta dari api dan Sigi tercipta dari cahaya. Dia adalah penggal demi penggal imajinasi dalam upayaku mengenal hidupku sendiri di batas pertemuan paling luar dari seni dan filsafat. Dia adalah puisi dialektika Hegel yang gagal membaca sejarah tapi mampu mengulang Ada.

Ya, Sigi adalah putriku yang telah diculik oleh takdir yang sama yang telah mempertemukan bapaknya dengan bulan pucat yang selalu cemas di tepi langit.


Manado 2013

Amato Assagaf

Sabtu, 05 Oktober 2013

My Bad Grandpa

Tidak ada komentar
Apa kenangan terindahmu dengan sosok kakek?

Beruntung bagi kalian yang masih bisa mencicipi kenangan itu. Tidak denganku, yang bahkan diberi kesempatan untuk mengenalnya pun tak pernah. Terlahir terlalu bungsu dalam keluarga memang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Kita bisa dimanjakan kedua orang tua dan keluarga tapi tidak oleh kenangan yang purba.

Kenapa hari ini aku begitu ingat dengan sosok itu?

Berawal dari duka dari seorang tetangga kemarin sore yang masih memiliki tali persaudaran yang erat dengaku. Seorang kakek dari teman, sanak saudara sekaligus suami dari adik kakekku. Turut berduka cita aku haturkan untuk kalian. Semoga arwah beliau diberi tempat yang layak di sisi Allah SWT.
Tiba-tiba saja ada yang mengusik asik di pikiranku, bahwa meski mereka telah kehilangan, tapi jauh di lubuk hati terdalam mereka, ada kenangan yang pernah mereka miliki. Bungsu sepertiku tak pernah hidup dengan sosok kakek dari pihak ayah maupun ibu.

Dan karena kebetulan yang seketika terjadi semalam saat ditayangkan di salah satu tivi swasta iklan sebuah film bergenre komedi terbaru dari Jackass Present berjudul Bad Grandpa yang akan tayang Okotober ini. Sinopsis Jackass Presents: Bad Grandpa 2013: Irving Zisman (Johnny Knoxville) seorang kakek 86 tahun berada dalam perjalanan mengelilingi Amerika bersama sahabat terbaik, yaitu Cucu-nya yang berusia 8 tahun, Billy (Jackson Nicholl). Film ini tentang Irving Zisman dan Billy yang akan membuat penonton melihat hal-hal paling gila yang mereka lakukan saat terekam kamera tersembunyi, perjalanan seru dan kekonyolan mereka yang pernah tertangkap di kamera.
Orang-orang nyata dalam situasi nyata, membuat film ini benar-benar kacau dan penuh komedi. http://optionradar.blogspot.ca/2013/09/film-jackass-presents-bad-grandpa-2013-di-bioskop.html

Mengenai kakekku, ada satu pesan dari kemisteriusan marga Galuwo yang kini bersanding di namaku. Bahwa berpetualanglah dalam hidup. Kita boleh terlahir di suatu tempat, tapi hal yang terhebat saat kita tumbuh besar, dikenal, dan kemudian wafat di tempat yang berbeda nantinya.

Pernah aku mencoba menelusuri sejarah marga Galuwo hingga menemukan jalan buntu. Menggelung kisah-kisah dari ayah sekaligus keluargaku, mencoba menemukan ujung benang kusut dari marga ini. Dan niatku pun tertahan. Mungkin alangkah lebih baik, ada satu misteri yang tak perlu terungkap. Seperti yang tersisa dalam kotak Pandora. Sebuah harapan.

Sebuah keajaiban yang terjadi di hidupku hari ini. Saat aku merasa bahwa, meski tak pernah memiliki pun kita mampu merasakan kenangan itu. Imajinasi adalah sebuah bentuk nyata di dunianya sendiri.

Selalu merindumu Kakek M. Galuwo. Karena untuk apa sebuah kemisteriusan sosokmu dan leluhurku, jika darahmu mengalir membaur dalam darahku.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 08 Juli 2013

Seperempat Malam dengan Ayah Amato

Tidak ada komentar
Kotamobagu tak sebesar Kota Gorontalo. Di kota yang relatif kecil ini kita tak butuh banyak gerakan tambahan untuk mengakses tempat-tempat favorit yang kini digandrungi banyak kalangan.
Seperti suatu malam yang berlangsung belum lama ini. Ketika menerima SMS dari seorang kawan sekaligus saudara untuk bertemu di sebuah kedai kopi yang berada di Jalan Paloko Kinalang, tak hitung tiga, motor yang saya tunggangi meraung lurus mulus tanpa hambatan dan rasa bingung membelah malam Kotamobagu yang ketika itu menggigil.
Saya memang tak diberitahu merapat kesana dalam rangka apa, untuk apa, atau membicarakan apa. Instruksi yang saya terima cuma menandaskan kiranya saya merapat secepat mungkin. Tapi satu yang saya tahu (dan ini pasti) adalah, akan ada kopi, goroho dan sangkara di sana.
Saya kenal tempat ini. Sekali dua kali saya sudah pernah bertandang kemari sekembalinya dari "liburan panjang" di Makassar dan Bali. Mulanya saya memang sempat berpikir kalau kedai kopi di Kotamobagu baru ada di Jarod Sinindian. Diam-diam ternyata bisnis kopi plus WiFi di sini ramai pengunjung mengalahkan Foodcourt di lantai 3 Paris Super Store yang mulai ditinggalkan.
Suasana ramai nian malam itu. Banyak pengunjung datang. Saya masuk dan langsung bergabung di meja pertama yang berada di sebelah kiri. Di situ sudah ada Uwin Mokodongan (sahabat, saudara, juga ketua saya di sebuah perkumpulan tempat saya pernah belajar dan ditempa menjadi baja), juga ada (saya sapa dengan hormat) Kak Susi dan Om Rahmat, (Mama Naya dan Papa Naya/pasangan suami istri bagian dari keluarga kami juga di Kampung) yang baru pulang cuti kerja dari Papua. Pendek kata, ada 4 orang saudara dari Passi yang sama-sama melarutkan diri 1 meja di Kedai Kopi Korot Jalur Dua Kotobangon.
Baru sedetik bergabung, kawan Uwin menunjuk ke salah satu meja di pojok kanan lalu berkata kepada saya: "Pi bakudapa dulu deng ketua-ketua yang ada disanae", katanya sembari tersenyum. Saya menengok ke arah yang ditunjuk lalu menemukan para kuli media (pewarta) asyik berdiskusi sembari melahap mi goreng dan menyeruput kopi. Saya kenal satu dua sosok itu; Matt Jabrik, Buyung Algafari, juga yang kemudian saya kenal sebagai Endar dan Sis. Selanjutnya ada seorang lain juga di situ dengan penampilan khas; janggut hitam tebal yang disusupi satu dua helai yang berwarna putih saling sikut desak-desakkan seolah menolak didominasi, rambut cepak yang sisi kiri-kanannya mulai bersayap menandakan dua bulan kemarin terakhir kalinya dipangkas, kacamata tebal bertengger di sungut hidungnya yang cukup kuat memberi kesan si empuh kacamata adalah orang yang terlalu banyak menghabiskan waktunya dengan tumpukkan buku. Sedang dari segi berpakaian, tak banyak komentar saya kecuali, dia tergolong orang yang apa adanya atau yang seolah "nimau tau". Why so serious?
Akhirnya saya bertemu Amato Assagaf. Pertemuan yang mantap dan saya idam-idamkan setelah hari-hari kemarin perkenalan dan percakapan hanya berlangsung lewat BlackBerry Messenger (BBM). Ulur jabat tangan dari sayapun mengawali pertemuan malam itu bersama sebentuk kalimat perdana: "So dari tadi?"
Setelah saling bertegur-sapa sebentar, saya kembali ke kursi tempat saya berada sebelumnya. Melarutkan diri dalam cengkrama empat orang Passi yang baru bertemu setelah "perpisahan" yang cukup lama. Saya juga baru tahu kalau ternyata kawan Uwin, Mama Naya dan Papa Naya bertemu di kedai kopi ini secara kebetulan juga.
Beberapa selang berjalan, Amato dan Buyung (Wartawan kontraonline.com) tiba-tiba berdiri dari meja mereka di pojok kanan ruangan lalu berjalan melewati meja tempat kami berada. Saya bertanya hendak kemana? Rupanya pamit pulang ke tempat Buyung Indekos di Jalan Merdeka Matali, sekalian mampir di Apotik karena nyeri luka tusuk di kaki Bung Amato. Saya lantas berkata akan menyusul mereka kesana. Ucapan yang hampir bersamaan dengan Buyung yang juga meminta kami supaya menyusul segera.
@Kost Bali, Jalan Merdeka, Matali.
Saya ditemani kawan Uwin ketika merapat ke kosan. Saat tiba, kami menemukan bung Amato tengah lelap tidur. Sebuah keadaan yang sebenarnya saya sayangkan sebab semenjak di kedai tadi, saya memang ingin bercakap-cakap dengan dia setelah sekian lama belakangan ini cuma bercakap-cakap tipis di BBM.
Nyeri akibat luka tusuk di pangkal kaki Bung Amato ditambah pil pereda rasa sakit yang mungkin mengandung obat penenang, membuat ia enak melambung sehingga tak mempedulikan lagi ada suara saling membual di depan pintu kamar tempat ia tidur.
Duduk berbual-bual di lorong depan pintu kamar hingga
hampir satu jam lebih sembari menandaskan isi "wine" (istilah Buyung malam itu), membuat perut yang cuma di pasok Goroho dan Sangkara tak kuat bertahan. Alhasil lapar nasi mengerang. Pilihan selanjutnya adalah merapat ke warung nasi kuning di Kotobangon.
Saat hendak bergegas cari makan tengah malam inilah Bung Amato baru menyadari kehadiran kami setelah ia dibangunkan kawan Buyung. Kami berangkat ke TKP.
Desakan perut terpenuhi. Di kos kami duduk melantai. Penggal-penggal tanya dari kami dijawab dengan penjelasan kuat dan padat dari mulut Bung Amato. Begitupun sepenggal kisah perjalanan singkat hidupnya yang dituturkan secara pendek, lewat potongan-potongan kisah yang juga mengandung banyak guyon dan sarat pengalaman penuh bobot.
Bercakap-cakap di subuh parak pagi itu, saya sedikit banyak memahami isme-isme yang diperbincangkan Bung Amato: Marxisme, Komunisme, Kapitalisme, Libertarianisme, Liberalisme, dan isme-isme lainnya termasuk Marhaenisme yang sempat terlambung dari kawan Uwin meski agaknya payah.
Saya juga menangkap "kepayahan" kawan Uwin (dengan segala maaf ketua KPA ha..ha..ha) soal teori Nilai yang katanya di curi Kelas Majikan terhadap Kelas Pekerja/Buruh. Namun demikian tersirat juga "ketidak-habis pikiran" saya sebab tahu bagaimanapun juga Bung Amato pernah menjadi seorang Marxis (bahkan pengajar Marxisme) yang kini berbalik "menyerang" teori, ide-ide, pendapat, dan "kebenaran" di dalam Marxisme tempat ia pernah menggantungkan "iman" dan menjadi jamaah di situ termasuk kepercayaan dia terhadap teori Nilai Kerja yang luruh dan keruntuhan itu ia tandaskan secara kuat, padat, dan kritis versi Bung Amato ke kepala kawan Uwin malam itu.
Ah, berbicara isme-isme (terlebih Marxisme) di Mongondow, bagi beberapa orang mungkin tak penting dan sia-sia. Tapi tidak bagi saya selaku anak Mongondow yang suka bertanya dan mencari tahu. Ini adalah "bual-membual" yang padat. Seperempat malam saja bersama Bung Amato membuat saya nekat mengukur, alangkah dalam dan luas cakrawala berpikir orang ini (bukan maksud memuji sebab saya yakin orang macam Bung Amato bukan orang yang suka dan mempan untuk dipuji).
Akan sangat memakan banyak ruang dan tempat untuk membagi di sini soal apa saja yang kami bincangkan hingga pagi pecah tepat pukul 07:00 (saya memperhatikan jarum jam tangan di lengan kiri saya). Saya sangat menikmati percakapan kami malam itu. Satu hal yang membuatku merenung sekembalinya ke rumah setelah kami bersempat diri melahap bubur ayam pagi itu adalah; untuk orang dengan cakrawala berpikir seperti Bung Amato dan apa yang terkandung di dalam tulisan-tulisannya, saya yakin orang ini menulis―seperti tulisannya yang pernah dimuat Radar Totabuan―bukan untuk cari proyek semata sebagaimana yang pernah disangkakan.

Jumat, 05 Juli 2013

Why So Serious? Transgresi dalam Imajinasi Politik Sigidad

Tidak ada komentar

Saya pernah menulis tentang politik dalam wilayah imajinasi. Sebentuk puitika yang kita butuhkan untuk memberi warna lain pada matematika politik yang sungguh membosankan itu. Sebagai puisi, politik hadir dengan berbagai kemungkinan dan, bersamanya, juga ada kemuskilan. Sebagai matematika, politik tinggal menjadi persoalan hitung menghitung yang tak hanya menjemukan tapi juga telah menelikung makna politik itu sendiri. Membuat politik yang memang telah busuk luar-dalam di wilayah praktisnya, akhirnya juga mengalami pembusukan di wilayah perenungannya.

Saya pernah berpikir, jika ruang-ruang praktis bagi para politisi dalam menjalani proses mengada telah menyempit menjadi daftar tabel statistik dan aljabar tambah-kurang, maka penyelamatan bagi makna politik dalam hidup hanya akan menemukan Golgotanya lewat penciptaan ruang-ruang imajinasi politik. Proyek besar para perenung politik seperti ini adalah, pertama-tama, mengubah matematika politik menjadi puisi dan, selanjutnya, menggubah satu atau lebih puisi bagi politik kita hari ini.

Selama sekira lima tahun berada dan mencoba mengikuti perkembangan sosial-budaya di (provinsi) Bolaang Mongondow Raya, terutama Bolaang Mongondow Timur dan Kotamobagu, saya selalu menunggu terciptanya puisi-puisi seperti itu. Masalahnya, media di, setidaknya, dua kawasan itu tampaknya kurang tertarik memberikan ruang bagi penciptaan puisi-puisi politik sejenis. Termasuk juga bagi perenungan imajinasi politis seperti yang saya maksudkan.

Setelah kita diberondong dengan tulisan-tulisan Katamsi Ginano yang memiliki kecanggihan penulisan tingkat dewa tapi tetap saja masih tanpa puisi-puisi, kita kemudian menyaksikan munculnya banyak penulis politik muda. Lepas dari problem bahwa politik tak jarang lebih merupakan konteks bagi tulisan mereka dibandingkan sebagai tema renungan untuk ditulis, mereka tetap saja telah menulis tentang politik. Sedemikian riuhnya, hingga saya memiliki cukup banyak kesempatan untuk memamah begitu banyak tulisan dengan harapan menemukan puisi; menemukan sebuah – meski hanya sebuah saja – tulisan yang menghadapi politik kita hari ini dengan imajinasi politis.

Sejauh pembacaan saya, meski itu tidak bisa dibilang lengkap dan melulu tepat, saya tidak menemukan puisi-puisi itu. Tampaknya kebanyakan penulis politik di (provinsi) Bolmong Raya menghadapi politik sebagai dunia yang terlalu serius, terlalu hitam putih, terlalu matematis, terlalu melibatkan banyak kepentingan sejenis. Dalam tulisan mereka, lepas dari masalah mereka menulis dengan baik atau tidak, saya tidak menemukan puisi, pertanyaan, rasa ragu, kecemasan, kegugupan, dunia manusia nyata yang tidak melulu benar-salah, baik-buruk, dunia yang penuh dengan kemungkinan, kekanak-kanakan yang melegakan, permainan yang cerdas, dugaan yang mengejutkan dan pertimbangan yang tak diperhitungkan namun begitu problematis. Tulisan yang memberi ruang bagi imajinasi dalam politik.

Saya tidak menemukan (lebih tepat saya "belum" menemukan) satupun tulisan seperti itu justru di negeri yang telah melahirkan penulis esai sebesar Katamsi Ginano. Termasuk saya tidak /belum menemukannya dalam tulisan Katamsi sendiri. Saya tidak/belum menemukannya hingga saya membaca sebuah tulisan dalam blog bernama "Getah Semesta" berjudul Kesaktian Abunti di Pilwako Kamunce. Sebuah tulisan, yang jika dinilai dengan standar penulisan yang baku, jelas masih terhitung lemah dengan sekian kekurangan teknis yang tidak perlu. Tapi jika dipasangkan pada kotak pencarian saya yang sederhana akan sebuah perenungan yang membuka kemungkinan bagi imajinasi untuk membingkai setiap bagian dari "peristiwa" politik kita hari ini, maka inilah tulisan yang saya cari.

Perlu dicatat, saya tidak mengatakan bahwa tulisan yang tidak membuka ruang bahasan bagi imajinasi politik itu buruk. Sejak awal saya dengan sengaja telah mencatut nama Katamsi untuk menunjukkan hal ini. Saya ulangi, Katamsi adalah penulis yang baik. Hampir tidak ada satupun tulisannya yang buruk (meski tidak selalu harus diterima sebagai benar) tapi saya tidak/belum menemukan tulisan Katamsi yang memberi kemungkinan bagi imajinasi politik kita. Begitu juga dengan sekian tulisan lain dari penulis lain yang juga baik dan, bahkan, benar. Artinya, saya tidak sedang berpretensi menjadi hakim atau juri bagi begitu banyak tulisan tentang politik kita hari ini di (provinsi) Bolmong Raya.

Saya hanya sedang mencari, secara teoritis, sebuah tulisan yang memberi kesempatan bagi transgresi (the process of overstepping the limit). Saya hanya sedang mencoba menemukan "penyimpangan" dari sifat kaku matematika politik kita hari ini. Sebuah pembalikan (inversion) yang memungkinkan penyingkapan (disclosure). Sebentuk model penulisan yang, dalam catatan sejarah Michel Foucault, ditemukan dalam tulisan-tulisan Sade, Holderlin, Flaubert dan Nietzsche. Yang dalam catatan pencarian saya, dimunculkan secara gagap lewat tulisan Sigidad tersebut di atas.

Saya tidak akan bicara lagi soal kenapa kita membutuhkan imajinasi dalam politik dan kenapa kita membutuhkan itu dalam tulisan atawa dalam cara kita menyusun pikiran. Secara sederhana, saya telah menuliskan itu dalam beberapa tulisan saya di rubrik opini kontraonline.com, terutama dalam tulisan Imajinasi: Puisi bagi Politik Kita Hari Ini. Tapi saya ingin menambahkan di sini bahwa imajinasi politik, setidaknya dalam sebuah tulisan, mampu menjadi kritik yang memutar-balik realitas politik praktis dan mengungkap apa yang ada di halaman belakang "peristiwa" politik bersangkutan.

Saya menuliskan peristiwa dalam tanda kutip untuk menunjukkan posisi peristiwa sebagaimana hal itu dipahami oleh filsuf Alain Badiou. Politik dalam "peristiwa" Badiou bisa menjadi yang-politik dalam pemahaman kita mengenai urusan publik. Di sini, manusia (para politisi) tidak pernah menjadi satu-satunya faktor. Dan di sini pula, dalam model "peristiwa" ini kita menemukan politik sebagai "cara membuat mungkin apa yang hanya nyata" dan, sebaliknya, "membuat nyata apa yang hanya mungkin."

Kembali ke Sigidad, apa yang membuat cerpen post-cerpen tentang Komkomci, Kamunce, dan Abunti yang ditulisnya sebagai esai itu telah membuka kemungkinan bagi transgresi dan pembalikan yang memungkinkan penyingkapan? Pertama, sadar atau tidak, dia terlebih dahulu telah melakukan inversi (pembalikan) atas kenyataan menjadi kemungkinan. Kita tidak perlu percaya bahwa ada daerah Komkomci, pilwako di Kamunce dan dukun bernama Abunti. Kita bahkan tidak membutuhkan rasionalitas Cartesian sederhana untuk menemukan eksistensi cerita itu sendiri. Tapi kita, lewat tuturan Sigidad dalam tulisan itu, telah dijebak ke dalam sebentuk kecurigaan bahwa mungkin ada konteks nyata bagi dongeng yang telah dia tuliskan itu.

Kedua, tulisan yang dituturkan dengan cara berbahasa yang masih kurang canggih itu justru secara canggih telah membuat pembedaan yang signifikan antara politik sebagai peristiwa kalkulatif dengan politik sebagai peristiwa imajinatif. Dengan cara itu, Sigidad telah mendorong tulisannya melewati batas kenyataan dan menjadi sebuah upaya transgresi. Tidak ada satupun manusia di muka bumi Bolaang Mongondow ini yang akan mengelak dari kenyataan bahwa politik selalu bersifat kalkulatif dan, demi Tuhan yang selalu mungkin, tidak ada satupun dari mereka yang akan mengabaikan hitungan dalam politik. Tapi Sigidad, sengaja atau tidak, telah melewati batas hitung menghitung politik dan menawarkan sebuah dunia yang berbeda yang, sayangnya, selalu mungkin bagi laku politik kita hari ini; sebuah imajinasi.

Ketiga, manakala kita selalu berbicara tentang apa yang dilakukan para politisi, tim sukses mereka, kampanye-kampanye (pidato, poster, pamflet, stiker dan kaos) sebagai realitas berlanjut, Sigidad membicarakan sebagai sebuah diskontinyuitas. Dia hanya mengungkapkan satu contoh saja, yang dituturkannya sebagai sebuah cerita pendek, dengan plot sederhana dan tema yang terhitung kecil (tidak ada elaborasi dalam tulisan itu) tapi dengan cara yang begitu membebaskan bagi menyebarnya tafsiran dan upaya untuk membuka kemungkinan. Tentu ada cara penafsiran yang berbeda-beda bagi setiap pembaca. Namun setiap penafsiran yang mungkin bisa mengusir kenyataan dari apa yang dituliskan Sigidad dan menggantinya dengan apa yang hanya merupakan kemungkinan semata.

Artinya, Sigidad tidak berupaya untuk tampak logis. Dia bahkan tidak melakukan strukturasi atas rasionalitas tulisannya dan, tentu saja, cara berpikirnya. Tidak melakukan analisa namun juga tidak berupaya menemukan sintesa. Dia hanya menuturkan "fakta" dengan cara yang begitu telanjang untuk membalikkannya. Dia mengungkapkan "fakta" dengan cara menyingkirkan "kenyataan" dari fakta tersebut. Sebuah kekurangajaran yang cukup cerdas untuk mengkritik pemahaman kita mengenai batas faktual dari sebuah peristiwa nyata. Sebuah cara yang mestinya hanya ada dalam cara berpikir Sigi bukan pikiran bapaknya.

Keempat, saya terkejut nyaris dengan keterkejutan yang sama jika saya membaca catatan pinggir Gunawan Mohammad, saat membaca paragraf terakhir dalam tulisan Sigidad tersebut. Secara lengkap saya kutipkan di sini, "Di kejauhan, seseorang tegak berdiri di bawah pohon Kandasuli dengan tatapan kosong. Sepertinya sarat beban. Entah siapa orang ini. Bibirnya yang kering sekonyong-konyong merekah dan terbata hendak mengucapkan sesuatu. Sepertinya; "Adakah tumbal dari semua ini … ""

Orang itu, yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam seluruh bangun tulisan tersebut, tiba-tiba hadir untuk mewakili pikiran terakhir penulis, kesimpulan non-tautologis, yang hendak disampaikannya. Dan orang itu, yang jelas tidak penting siapa (…Entah siapa orang ini) telah mengungkapkan dengan cara yang mulai penting bagaimana (tatapan kosong, sarat beban, bibir kering, dan terbata) dan jelas penting kenapa karena dia hanya "hendak" mengungkapkan sesuatu. Dia mungkin tidak pernah mengungkapkan itu atau dia telah mengungkapkannya dengan cara yang sebegitu samar: …Adakah tumbal dari semua ini? Lalu kenapa penulis tahu apa yang diungkapkan orang itu? Dan menuliskannya sebagai pertanyaan yang begitu meyakinkan?

Sigidad, sadar atau tidak, telah mempermainkan kita dan, sekaligus juga, mempermainkan seluruh pengetahuan dan pemahaman kita akan peristiwa politik menjadi sebuah "peristiwa" dari yang-politik. Sigidad, mungkin sadar, bahwa dia sedang melemparkan kritik tapi mungkin tidak cukup sadar bahwa dia sedang melakukan transgresi; mengajak kita melakukan revolusi dalam cara kita memaknai setiap peristiwa politik agar menjadi "peristiwa" dari yang-politik. Jika dibandingkan dengan penulis yang ditemukan Foucault, maka apa yang dilakukan Sigidad bisa dibandingkan dengan apa yang dilakukan Marquis de Sade yang menuliskan transgresi; mengajak kita memahami peristiwa seks sebagai "peristiwa" dari yang-seksual.

Terakhir, kenapa saya selalu menggunakan kata "sadar atau tidak" seakan saya meragukan niat yang mungkin telah ada dalam benak Sigidad ketika menekan (bukan menindis) keyboard Blackberry atau komputernya? Jawabannya sederhana, saya tidak pernah menutup kemungkinan bahwa Sigidad dalam tulisan ini tidak akan pernah muncul lagi dalam tulisan-tulisannya yang lain. Sigidad mungkin akan mulai berpikir dengan cara yang sama yang dilakukan kebanyakan kawan-kawannya; melihat peristiwa politik sebagai peristiwa matematis dan mulai menghitung-hitung kenyataan sesuai tabel statistik seolah hendak menjadi pengamat politik tingkat daerah. Membutakan mata kanak-kanaknya untuk melakukan transgresi dan menemukan imajinasi dalam yang-politik. Membunuh Sigi dalam dirinya agar menjadi orang dewasa yang menjemukan itu.

Dengan selalu menuliskan "sadar atau tidak" saya sedang berupaya untuk menunjukkan bahwa tulisan saya tentang tulisan Sigidad tersebut tidak lebih dari sebuah cara penafsiran dalam berbagai model penafsiran lain yang keabsahannya hanya bisa ditemukan atau dalam kerangka pikiran saya sendiri atau dalam tulisan Sigidad tersebut. Saya hanya sedang menuliskan satu tulisan Sigidad dan bukan seluruh tulisannya karena mungkin setelah tulisan ini, saya tidak akan pernah lagi menemukan transgresi dalam tulisan Sigidad dan imajinasi dalam cara dia merenungkan politik.

Namun saya sedikit terhibur dengan penemuan saya atas dua tulisan lain Sigidad yang berjudul "Ronin Ababil" Pembunuh Ayu dan, terutama, puisi Cinderella di Pelabuhan dalam blog yang sama. Saya menangkap kembali cercah-cercah transgresi itu; kemampuan untuk mengajukan imajinasi sebagai alternatif bagi keseriusan perhitungan kita yang, dalam beberapa tulisan kawan-kawan, telah menjadi semenjemukan sikap Ismail Dahab saat sedang berkonsentrasi memenangkan calon yang dia dukung atau semenjemukan sikap Nayodo Kurniawan saat mengamankan pilwako dalam kapasitasnya sebagai ketua KPU Kotamobagu.

"Why so serious?" kata Joker dalam salah satu adegan film The Dark Knight.

Oleh: Amato Assagaf

Dimuat di www.kontraonline.com

http://m.kontraonline.com/13009/why-so-serious-transgresi-dalam-imajinasi-politik-sigidad/

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 01 Juli 2013

“Ronin Ababil” Pembunuh Ayu

Tidak ada komentar
Terhenyak, tatkala tahu pembunuh Ayu Basalamah ternyata adalah dua orang Ababil (Anak Baru Gede Labil).
Sempat kemarin subur spekulasi pun demikian segala duga dan sangka yang menggosipkan bahwa kasus pembunuhan Ayu erat kaitannya dengan kasus pemukulan yang menimpanya.
Namun, toh akhirnya, segala duga dan sangka yang telah menjadi gosip publik itu, dalam sekejap mentah begitu saja, ketika kedua pelaku sebenarnya tertangkap.
Seantero Mongondow akhirnya tahu, dari hasil kerja pihak kepolisian telah ditetapkan dua tersangka pembunuhan yang usianya masih belasan tahun, yakni RZ (18) dan AA (17).
Saya mengistilahkan kedua pelaku pembunuhan―juga perampok―ini dengan sebutan "Ronin Ababil". Di Jepang, sebutan Ronin tak lagi hanya sekadar mengisahkan para Samurai yang kehilangan tuan/majikannya sehingga mereka hidup dalam pengembaraan, kegalauan, dan perampokan demi kehidupan. Sebutan Ronin di Jepang saat ini juga mengambarkan suatu keadaan dimana lulusan sekolah menengah umum yang gagal lulus tes masuk sekolah lain yang lebih tinggi. Yah, kita tahu kedua pelaku ini baru saja lulus sekolah menengah umum. Sedangkan Ababil adalah istilah yang populer dikalangan remaja kita yang berarti; Anak Baru Gede Labil.
Nah, kedua pelaku pembunuhan ini saya sebut sebagai Ronin Ababil yang menjadi "musuh" pengeksekusi Ayu. Motif (sementara) adalah perampokan yang berujung pada pembunuhan. Sial pula bagi gadis ababil berinisial KM (19) yang turut dijadikan tersangka lantaran ia menyimpan barang bukti hasil jarahan.
Saya tak habis pikir, kawan-kawan yang sempat saling bertukar cerita juga tak menyangka dua ababil ini bisa menghabisi korban dengan keji.
Ah, musuh Ayu ternyata tak lebih dari para pengutil nekat. Entah kenekatan ini juga dipicu hasrat "mo ba pumpun" karena tak lama laginya Lebaran, cuma mereka dan Tuhan yang tahu. Sukur-sukur jika penyidik diberitahu.
***
Bukan hendak mengaitkan kasus ini dengan Pilwako KK, namun dari kejadian ini (terbunuhnya Ayu) tak dapat kita bantah cukup mempengaruhi kontestan Pilwako yakni Muhamad Salim Lanjar - Ishak Sugeha (pasangan Laris-Manis), dimana Eyang (Bupati Boltim) selain sebagai Adik kandung kontestan (MSL) juga berdiri sebagai Juru Kampanye dan tim pemenangan. Sayangnya ketika Ayu terbunuh, meruyak spekulasi, gosip, duga dan sangka publik yang dialamatkan padanya. (Siapa saja aktor dibalik gosip ini punya hutang maaf pada Eyang).
Sekarang yang menjadi penting di sini, pembunuh Ayu Basalamah telah terkuak (semoga arwahmu menjadi tenang di alam barzakhi).
Ini sebuah kasus yang oleh Kapolres (mengutip di media)menjadi pertaruhan harga diri. Salut memang buat jajaran Polres Bolmong yang mampu membekuk para tersangka hanya dalam waktu 11 hari.
Sekedar catatan, masih ada harga diri lain yang wajib dipertaruhkan. Di Mongondow, masih ada sederet kasus menunggu harga diri itu menang. Bukan berada ditumpukan berkas dengan kode; "case is closed".

Powered by Telkomsel BlackBerry®









Rabu, 26 Juni 2013

Kesaktian Abunti di Pilwako Kamunce

Tidak ada komentar
Ini kisah dari negeri Komkomci. Sebuah negeri yang juga dijuluki negeri para Lonua'.

Di Komkomci, terdapat kota bernama Kamunce. Kota ini akan segera melakukan pemilihan wali kota. Selayaknya pesta demokrasi, suasana kota nampak penuh berhias bendera dan bangunan-bangunan posko pendukung. Rakyat pun gembira menyambut momen ini.

Persaingan antarkandidat yang ketat, membuat Tim Sukses masing-masing kandidat harus memutar otak beradu strategi dan tak-tik. Beragam siasat ditempuh. Dari yang menggunakan akal sehat, hingga yang berbau mistik.

Ya, kota Kamunce sedang menjadi "gila" dengan momen ini. Tak-tik, siasat, strategi, dan cara apa pun bakal ditempuh asalkan kandidat yang mereka dukung menang.

***

Kulutuk adalah salah seorang kandidat wali kota di kota Kamunce yang memiliki Tim Sukses yang cukup ahli dalam politik. Salah satu yang terkenal adalah seorang yang bernama Kondo. Ia lulusan dari Universitas Kukule. Sebuah Universitas terkenal di negeri Kolokang―negeri tetangga Komkomci.

Kondo yang semasa kuliah dikenal rajin ditambah punya hobi baca buku terutama yang, bertema politik dianggap cukup menjadi bagian dari tim pemenangan. Lantaran Kondo sendiri memang telah memiliki pengalaman menjadi Tim Sukses yang berhasil mengantarkan kandidat yang didukung ke kursi kekuasaan. Kredibilitasnya dalam urusan pemilihan pemimpin kepala daerah semacam bupati dan wali kota sudah teruji. Memang bukan berarti di kota Kamunce tak ada pawang politik. Bahkan dengan level lebih di atas Kondo banyak. Namun satu yang membedakan Kondo dengan pawang politik yang dimiliki kota Kamunce adalah, Kondo mempercayai hal-hal gaib atau yang berbau klenik alias perdukunan. Sedangkan pawang politik lain tidak mempercayai hal-hal yang demikian.

Selidik punya selidik Kondo ternyata memiliki pertemanan dengan seorang dukun sekaligus tukang ramal yang, tiba-tiba saja namanya cukup tersohor di khalayak yang mempercayai praktik perdukunan. Tempat sang dukun tinggal ini tak begitu jauh dari kota Kamunce. Ketatnya persaingan antarkandidat membuat Kondo mengusulkan kepada pasangan kandidat yang didukungnya, untuk pergi mengunjungi rumah sang dukun agar diramal sekalian minta petunjuk, petuah dan sebagainya yang pendek kata demi tujuan kemenangan.

Gayung bersambut. Kandidat mengiyakan. Jelang sebulan waktu pencoblosan mereka berangkat ke suatu wilayah di Komkomci bernama Kumpa, tempat sang dukun tinggal.
Perjalanan ditempuh cukup satu jam mengendarai kereta kuda. Sesampainya mereka di sana, Kondo terlebih dahulu masuk ke kediaman sang dukun―yang ternyata diklaim juga sebagai gurunya―dengan berlagak begitu segan dan sopan. Sang dukun yang ditemui ini bernama Abunti.

Rombongan kandidat dipersilakan masuk. Setelah perkenalan, sudah bisa ditebak apa saja yang akan terjadi selanjutnya; kemenyan dibakar, bibir komat-kamit, nama dituliskan di atas secarik kertas, lalu dukun bernama Abunti ini mulai menerawang. Apa hasilnya? Abunti meminta kepada Kulutuk (kandidat wali kota) sepulangnya dari kunjungan ini―setelah memberi mahar tentunya―agar melakukan semua yang disyaratkan. Salah satunya adalah menempelkan nama sang dukun (Abunti), ke kereta kuda yang dipakai setiap Tim Sukses dari Kulutuk di bagian depan. Nama (Abunti) ini terlebih dahulu dicetak di sebuah media lalu ditempelkan di bagian depan kereta. Syarat ini harus dipenuhi. Jaminannya adalah kemenangan. Tak ayal, Kulutuk yang meskipun sebelumnya tak mempercayai praktik-praktik perdukunan karena agama yang dianutnya melarang, akhirnya mematuhi semua apa yang disyaratkan sang dukun bernama Abunti. Semua demi kemenangan.

***

Syarat itu segera diindahkan. Nama Abunti dicetak di sebuah media yang mudah merekat. Sejumlah kereta kuda mulai dihiasi dengan nama Abunti.

Seminggu menjelang hari pemilihan, Kulutuk yang tentunya ditemani Kondo dan beberapa sahabat Tim Sukses kembali mengunjungi rumah Abunti. Kebetulan hari itu Jumat. Seperti biasa, Kulutuk menerima wejangan dari Abunti dan ramalan-ramalannya. Ada satu yang menarik dari dukun ini, yang mana tangan kirinya senantiasa memegang sebuah alat penghitung semacam swipoa. Entah apa yang ia hitung. Namun bisik-bisik mengatakan kalau jumlah huruf dari kandidat, tanggal lahir dan tahun beserta bilangan-bilangan lain termasuk jumlah hari dan sebagainya, senantiasa dikomparasikan sang dukun untuk kepentingan penerawangan. Sepintas orang akan mengira kalau dukun ini ahli juga dalam ilmu hitung menghitung.

***

Tibalah saat yang paling ditunggu-tunggu. Hari pemilihan tiba. Hampir seluruh rakyat Kamunce berpartisipasi memberikan hak pilihnya. Dan sebagaimana yang telah diterawang Abunti, termasuk syarat yang diindahkan, Kulutuk menang. Seluruh pendukungnya bersorak-sorai. Beberapa kereta kuda yang di bagian depannya tertera nama Abunti berkonvoi mengarak para pendukung dan Tim Sukses. "Abunti benar, Abunti benar, Sang Abunti benar, hidup Abunti, terima kasih Abunti," demikian luapan kegembiran para Tim Sukses, Kondo, termasuk Kulutuk sang kandidat yang menang. Matanya berkaca-kaca, haru, tak menyangka Abunti berkata benar.

Di kejauhan, seseorang tegak berdiri di bawah pohon Kandasuli dengan tatapan kosong. Sepertinya sarat beban. Entah siapa orang ini. Bibirnya yang kering sekonyong-konyong merekah dan terbata hendak mengucapkan sesuatu. Sepertinya, "Adakah tumbal dari semua ini...?"


Kamis, 23 Mei 2013

Selamat Tinggal Bali

Tidak ada komentar

Sabtu 25 Mei pukul 06:00 pm, akhirnya tiba juga waktu untuk kembali. Di sini, di Bali, terlalu banyak cerita, begitu banyak hingga kantongku penuh sesak dengan kisah-kisah. Tujuh bulan bukan waktu yang singkat. Petualangan di sini sudah seperti janin yang rasanya mau lekas keluar dan menikmati dunia lainnya.
Selama di sini, lumayan dapat tambahan list teman, jalan-jalan bersama, melancong sana-sini di terik matahari, dan melancung di suasana malam "Bali After Dark".
Sesekali ada beberapa teman dari Kotamobagu yang sempat bertandang ke sini. Bahkan kemarin teman sekampung yang juga sekadar berlibur kemari. Mencundangi rutinitas monoton mereka, lalu terbang menuju sorga dunia. Menghamburkan penat di udara dari ketinggian pesawat, mendarat di pulau ini dengan senyuman segar.
Sekali kau menginjakkan kaki di bandara Ngurah Ray, maka aroma dupa yang kau hidu adalah aroma yang dipenuhi mantra dan kau akan terus merasa untuk kembali lagi ke sini. Itu baru aroma dupanya, setelah kau menyaksikan panorama alamnya. Entah mungkin yang ada dalam benakmu hanya... ingin punya sebidang tanah dan rumah di atas sorga ini. Beranak-pinak dan selamanya memupus usia di sini.

Balinesia, ini negeri sorga. Jika sorga yang kelak dijanjikan untuk kita adalah serupa ini saja. Aku sudah cukup puas. Ini sepertinya negeri Tuhan. Melihat mereka, penduduk di sini dengan kearifan lokalnya yang terus terjaga. Pusaran doa yang tak pernah berhenti bergumam dari bibir-bibir mereka. Keseragaman warna pakaian sembahyang mereka dengan udeng terbungkus melingkar di kepala, tak ketinggalan sekuntum bunga kamboja terjepit di daun telinga. Jalanan yang selalu dipenuhi sesajen, dan rumah-rumah dengan bale tempat mereka bertukar cerita sehari-hari. Pemandangan seperti ini hampir setiap hari menggantung di pelupuk matamu. Mereka adalah pemuja dan penyembah Tuhan yang paling taat dan teratur. Aku pikir, Hindu adalah agama yang paling mempunyai estetika budaya.

Meski kota-kota lainnya di sini sudah tak purba lagi, seperti dalam catatan-catatanku kemarin. Tapi itu tak meninggalkan kesan akan budayanya yang begitu kental. Modernitas di sini selalu diimbangi dengan tetap menjaga kelestarian budayanya. Bali akan tetap purba meski jaman menggerusnya dengan lancang.

Aku berharap, bisa pulang dengan sebuah senyuman pula, seperti sewaktu pertama kali tiba di sini. Kisah-kisah yang terserak, dari mulai yang nakal, binal, dan jenaka. Ah, Bali.
Tak banyak yang ingin kubagi malam ini. Pulang, adalah kata yang selalu bisa menggerus sebuah petualangan. Rumah adalah sorga yang tak akan pernah bisa tergantikan. Dan kembali---pulang---ke rumah, menyongsong bulan suci Ramadhan bersama-sama dengan kedua orang tua kita, adalah rasa yang tak akan pernah tertebus oleh apapun itu.

Selamat tinggal Bali. Kembali lagi jika sebidang tanah sorgamu bisa kubeli.


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 17 Mei 2013

Hari Spesial

Tidak ada komentar
Kemarin seorang bayi laki-laki mungil hadir sudah di tengah keluarga baru ini. Pasangan keluarga Decky Prakoso dan keponakan perempuanku Sri Dindra Mokodongan. Mereka yang selama aku di Bali dengan baik hati berkenan menampung dan menjadi persinggahan sementaraku dari perjalanan ini. Akhirnya peluit untukku kembali, tertiup sudah. Tangis bayi mungil ini adalah pertanda bahwa aku harus kembali. Karena selama aku di Bali, kelahiran ini yang aku tunggu-tunggu. Sekadar melihat senyum malaikat kecil ini.

Setelah sebelumnya diprediksi akan terlahir normal mungkin tepat pada gerhana matahari cincin kemarin. Atau juga tepat pada pemilihan Gubernur Bali yang baru, tanggal 15 Mei kemarin biar momennya lebih terasa spesial. Akhirnya tanggal 16 Mei tepat pukul 15:30, bayi ini lahir dengan operasi caesar. Tak ada pilihan lain karena itu jalan yang terbaik. Tapi, untuk memprediksi bahwa kelahiran bayi ini jatuh pada momen gerhana atau pun pemilihan Gubernur, bagiku tak tepat. Karena sebenarnya kapanpun waktunya, harinya, bulannya, atau tahun kelahirannya, itu yang menjadi hal yang begitu spesial bagi kedua orang tua sang bayi. Detik itu tak akan pernah terbayarkan oleh kehadiran purnama, gerhana, bahkan oleh riang keramaian jutaan para pendukung kandidat Gubernur. Spesial selalu subjektif.

Sebuah proses kelahiran yang akhirnya dengan sehat walafiat kedua ibu dan bayi ini sekarang bisa menghirup oksigen gratis lagi dari Yang Maha Esa. Oksigen yang selama ini tak pernah kita sadari bahwa begitu besar nilai kasih Tuhan yang terkandung di antara udara yang melebur besama kehidupan kita. Dan setelah 9 bulan lebih dikandung, bayi ini akhirnya bisa menghidu aroma dunia. Datang ke kefanaan dengan telanjang dan tanpa berdosa. Hadir dengan kekosongan semacam lembaran kertas putih tanpa setitikpun noda. Satu keajaiban yang dianugerahi Tuhan kepada kita manusia. Keajaiban yang tiada tara.

Bayi mungil, coba kalau bisa kau lihat malam ini bulan di langit melengkung membentuk senyuman. Menyabit langit dan menyambutmu dengan keindahan malamnya. Meski bintang tak bertaburan pada malam ini. Bintang-bintang itu hanya menunggu untuk kau temukan nanti. Menunggu kau menggeledah langit, kemudian menemukan bintangmu. Jangan takut dengan dunia ini, karena miliyaran manusia telah membuktikan mampu berpijak di atas bumi ini. Kamu akan menjadi ksatria kelak.

Kemarin itu, aku menyaksikan pelukan-pelukan yang penuh arti. Melihat buliran air mata yang jatuh oleh kebahagian. Air mata oleh tantenya, oleh nenek, ayah dan ibundanya. Aku menyaksikannya dengan mata buram, karena mataku pun penuh tertutup air mata. Tak ada kalimat yang terlisan selain puji dan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Selamat datang keponakan baruku. Pamanmu ini yang mungkin tak akan sempat melihatmu tumbuh besar dan bermain dengan riang, meninggalkan satu hadiah mainan berupa miniatur motor kecil Ayahmu, untukmu.

Powered by Telkomsel BlackBerry®



Senin, 13 Mei 2013

Pondok Patah Hati

Tidak ada komentar
Awal September 2012, ada seorang pincang coba melaju di antara kerak-kerak bumi. Sesekali tersandung di antara bebatuan cadas yang mencuat dari tanah kemarau sebuah negeri. Ia ingin mencari sebuah jawaban atas pertanyaan yang mengungkungnya selama berbulan-bulan dalam kamar hitamnya. Pertanyaan yang sama pernah terlisan bertahun-tahun yang lalu. Siapa kita?

Tiga bulan sebelum ia merangsek beranjak dari ranjang itu. Ia terbaring karena musibah yang entah kenapa tak henti-hentinya menggerogoti jasadnya  dan karena kesialannya itu, julukan si Donal Bebek dilekatkan kakak perempuannya sejak mereka mempunyai hobby yang sama membaca komik-komik Paman Gober. Hampir semua koleksi komik Paman Gober milik kakak perempuannya dilahap dengan ketawa. Jelas saja, si Komikus pencipta bebek-bebek lucu itu berhasil menyusupkan rentetan cerita-cerita yang hingga sekarang masih tersimpan di memori jangka panjang mereka.

Lanjut... ke perjalanannya yang diawali dengan menunggangi beratus-ratus potongan besi yang membentuk seekor burung dan terbang mengalahkan teori gravitasi bumi. Seperti berat hanyalah sesuatu yang bisa dimodifikasi hingga bisa saling bersedekap dengan udara. Di atas sana, pemandangan yang ia lihat dari ketinggian sungguh indah. Awan-awan perak yang berarak-arak di hamparan benteng biru lazuardi langit. Pun samudera tenang serupa ubin biru mengkilat yang siap menanti jika saja potongan-potongan besi ini dilepaskan seketika oleh udara dari dekapannya. Jatuh lalu diketawai Newton. Terbang tanpa sayap kita sendiri itu... seperti baru saja menyetorkan nyawa kita dengan bayaran sejuta pula.

Sejam lebih saja, daratan tanah Daeng sudah terlihat datar di bawah sana, tampak seperti kita membuka google map di ponsel. Berpetak-petak, terkotak-kotak, semrawut, dan diiris meliuk-liuk oleh jalanan dan belataran sungai-sungai yang seperti irisan pisau seorang anak kecil di atas kue tart, anak kecil yang baru saja belajar memegangi pisau.
Burung besi ini pun mendarat empuk di atasnya. Sempurna.

Panas meruap seketika, ini kota yang bermatahari lebih dari satu, pikirnya. Jemputan dari saudaranya datang juga, seperti biasanya jika seseorang baru saja menyambangi sebuah kota baru. Kepalanya pasti menempel di kaca mobil dengan pandangan menyapu habis jalanan yang dilewati.
Tak selang berapa lama, tiba juga ia di satu areal perumahan. Hanya dua hari ia di sana, kemudian pamit dan berterima kasih atas kebaikan hati saudaranya yang berkenan menjemputnya di bandara, dan mau menampungnya selama dua hari.
Lalu ia segera mengabari teman-temannya, mereka yang menjadi tujuannya ke kota Daeng ini.
Jemputan kedua berlangsung di anjungan pantai Losari. Rama nama si penjemput itu. Baru kali ini ia bertemu dengan Rama, setelah sebelumnya mereka berdua sering komunikasi di BBM.

Dua jam, setelah mereka mampir dulu di Asrama Bogani, sebuah asrama yang dikhususkan untuk para pelajar dari Bolaang-Mongondow. Akhirnya mereka berdua sampai juga di kos-kosan anak-anak Kotamobagu. Kosan ini diberi nama PPH, akronim dari Pondok Patah Hati. Dari namanya bisa kita tebak, ada yang sedang patah hati lantas dengan segera melekatkan nama itu di kosan ini. Mungkin saja si pemberi nama sedang patah hati karena masalah-masalah kompleks dari sekumpulan mahasiswa yang hidup jauh dari rumah dan kampung halaman. Masalah belum dapat kiriman uang, masalah perkuliahan, atau mungkin masalah percintaan. Entahlah, tapi PPH adalah destinasinya, dan sekarang ia sudah berada di sana.

Hanya ada beberapa anak-anak kos di sini yang ia kenal dan sudah sering ketemu di Kotamobagu. Ada Galing, Ipay, Rizqi, Abol, dan Aan. Yang lainnya sudah berteman di BBM tapi baru sekarang berkesempatan bersua secara langsung. Si Sandry, Rian, Eky, Wawan, dan Oi. Ada juga Dito yang meluangkan waktunya dari Jakarta untuk bisa ke sini, juga Ipan yang karena terdorong fanatisme berlebihnya atas aliran musik yang diusung sebuah band ibukota bernama Noah yang dimotori Ariel dkk. Ia sempat diajak Ipan untuk menonton konser band Noah ini, menyaksikan euforia berlebihnya si Ipan ketika screaming melihat band pujaannya itu konser adalah pemandangan yang paling absurd di muka bumi (ini fitnah yang menyehatkan, ketawa).

Mereka ramah, humoris, interaktif, dan begitu cepat berbaur. Sehari dua hari saja, mereka sudah seperti kawan lama. Meski ada beberapa dari mereka yang masih butuh waktu untuk bisa saling mengenal lebih jauh. Mereka-mereka yang kosannya berbeda, tapi seringkali meluangkan waktu untuk berkumpul di PPH. Ada Andry yang diberi julukan Cecunguk karena seringkali kalah cepat menghitung jika sedang bermain 24 (permainan kartu dengan menjumlahkan secara cepat angka-angka di kartu hingga berjumlah 24), yang ini bukan fitnah. Juga ada Oky, Afra, Tessar, Regi, Tri, Iwan, dan Tiing.
Yang perempuan-perempuannya hanya Viny dan Puput yang sempat akrab dengannya, yang lainnya terlalu jarang mampir ke PPH. Hanya sesekali menongkrong sama-sama di Asrama Bogani, Mall, atau Pantai Losari. Indah, Ika, Ea, Rizi, Iga, dan Tirsa, tak terlalu akrab tapi jika sebuah senyum terlempar sudah dari paras-paras cantik mereka, itu sudah lebih dari cukup. Dan jika kita sedang berada di luar kota, bertemu dengan orang yang sedaerah, dengan sendirinya tali persaudaraan itu akan terjalin. Dan saling tegur sapa.

Soal pertanyaan yang membawanya ke sini. Jawaban dari sebuah pertanyaan yang ia cari itu hanya butuh waktu. Pertanyaan mengenai, siapa kita?

Dan di sini, ia mulai mempelajari awal mula kenapa pertanyaan itu ada. Filsafat bisa menjawabnya, atau mungkin sekadar membantu kita untuk bisa memahami. Kajian filsafat pun di mulai. Hanya butuh waktu 2 bulan untuk ia belajar di sini, karena itu dasar-dasar pengenalan filsafat saja yang ia pelajari, dilanjutkan dengan kajian tauhid, membaca buku, pula berdiskusi. Interval waktu yang sempit, juga diselang-selingi padat kesibukan mereka sebagai pelajar sekaligus pengajar, tapi toh akhirnya kajian itu tuntas juga. Dan menumbuhkan tunas-tunas pertanyaan baru lagi setelah itu. Tapi setidaknya, untuk sebuah jawaban atas pertanyaan, secawan gelas terisi air sudah, diteguk dan kembali kosongkan gelas untuk disiapkan menampung air lagi. Pertanyaan-pertanyaan di benak kita tak terhingga banyaknya. Terlalu banyak.

Seiring waktu yang begitu singkat ini, tiba saatnya untuk sebuah perpisahan lagi. Di suatu subuh yang senyap, ditemani Wawan yang bersedia mengantarnya ke bandara. Ia meninggalkan PPH dengan sedikit lega. Ada yang terjawab sudah di sini. Meski tak banyak tapi cukup membekalinya untuk melanjutkan perjalanan yang masih begitu panjang. Sebenarnya ia tak berpikiran untuk mencari kebenaran. Tapi ia sedang membenarkan cara berpikirnya.

Setelah bersalaman dan pamitan dengan Wawan, ia menitipkan salamnya juga buat teman-teman lainnya yang masih terlelap dibuai sepoi-sepoi belaian kipas angin. Makassar mataharinya memang lebih dari satu.
Pesawat mengudara, tapi bukan kembali, tapi ke Bali. Menjenguk pulau yang katanya sorga. Di negeri ini, adakah sorga itu? Batinnya...
Dengan wajah menempel di tebalnya jendela kaca pesawat, sebuah senyum terukir sudah di wajahnya.
Pertanyaan itu, siapa kita?
Kita makhluk berpikir, karena itu kita bertanya... Siapa kita?
Di Pondok Patah Hati, ia datang dan pergi tanpa sedikit pun patah hati.

Powered by Telkomsel BlackBerry®