Setelah menelan pil Madre, buku karya Dee, kumpulan cerita pendek dan
esai yang selesai dengan lenguhan, penuh kutukan dalam
hidup-ku-mu-atau-kita. Mataku seketika dikutuk untuk tak perlu membuka
lagi, cukup menutup mata lalu melesak ke alam abstrak. Dan di sini, hati
yang mengambil peran. Ah, ingin sekali aku menciptakan sosok Padre
sebagai Chemistry-nya.
Seperti Tansen, sosok tokoh di cerita itu, akhirnya kakiku mencetak jejak di Pulau Bali. Aku memiliki kunci, tapi masih mencari pintu yang lubang kuncinya siap ditusuk lekukan-lekukan rumit dari ujung kunciku. Aku tahu pintu itu pasti Ada.
Atau memang, pintu itu adalah rumah kecilku itu sendiri. Tempat di mana Madre/Ibundaku tersayang menggerus garam di sudut dapur yang kekal. Atau mungkin, sebuah rumah yang tiap jam menonton tipi, selalu ada suara letupan Popcorn dari dapur, dengan suara cekikikan anak kecil di sana, melihat puluhan Popcorn meloncat, berserakan di ubin. Dan untuk ketiganya, satu-satunya gelembung putih yang pantas di polesi sebuah kalimat "Aku harus pulang", membelikan garam agar dapur kami tetap mengepul---kekal. Tetap menghidupkan rumah itu dengan aroma-aroma getah kebahagiaan.
Untuk sebuah cinta, selalu ada alasan yang mengait di tengkukmu. Tapi seiring waktu melenggang dengan bokong sintalnya, alasan itu lepas, sirna, dan yang tersisa hanyalah cinta.
Untuk sebuah nama, cinta dan petualangan, dari Sigidad dan Sigimom yang berkonotasi ke-gaul-an, dan tak lupa si kecil mungilku Sigi, aku "Mintahangkan" nama Madre dan Padre, asing memang bagi sebagian orang, tapi karena keterasinganku di dunia yang memang selalu asing bagi kita, nama itu akan menyepuh sebuah cinta menjadi rasa penuh "Keikhlasan". Mari kita mengutil di kastil, tapi jangan pernah menjadi reptil. Mari kita mengintai cinta, tapi jangan pernah memangsanya. Dan untuk Sigi, biarkan namanya tetap sebuah akronim dari "Sikat Gigi".
Bali, Februari '13, tahun sialku meng-abu terbakar. Donal bebek kau telah berevolusi menjadi monster bebek. Kau bukan lagi "Yang Terkutuk".
Seperti Tansen, sosok tokoh di cerita itu, akhirnya kakiku mencetak jejak di Pulau Bali. Aku memiliki kunci, tapi masih mencari pintu yang lubang kuncinya siap ditusuk lekukan-lekukan rumit dari ujung kunciku. Aku tahu pintu itu pasti Ada.
Atau memang, pintu itu adalah rumah kecilku itu sendiri. Tempat di mana Madre/Ibundaku tersayang menggerus garam di sudut dapur yang kekal. Atau mungkin, sebuah rumah yang tiap jam menonton tipi, selalu ada suara letupan Popcorn dari dapur, dengan suara cekikikan anak kecil di sana, melihat puluhan Popcorn meloncat, berserakan di ubin. Dan untuk ketiganya, satu-satunya gelembung putih yang pantas di polesi sebuah kalimat "Aku harus pulang", membelikan garam agar dapur kami tetap mengepul---kekal. Tetap menghidupkan rumah itu dengan aroma-aroma getah kebahagiaan.
Untuk sebuah cinta, selalu ada alasan yang mengait di tengkukmu. Tapi seiring waktu melenggang dengan bokong sintalnya, alasan itu lepas, sirna, dan yang tersisa hanyalah cinta.
Untuk sebuah nama, cinta dan petualangan, dari Sigidad dan Sigimom yang berkonotasi ke-gaul-an, dan tak lupa si kecil mungilku Sigi, aku "Mintahangkan" nama Madre dan Padre, asing memang bagi sebagian orang, tapi karena keterasinganku di dunia yang memang selalu asing bagi kita, nama itu akan menyepuh sebuah cinta menjadi rasa penuh "Keikhlasan". Mari kita mengutil di kastil, tapi jangan pernah menjadi reptil. Mari kita mengintai cinta, tapi jangan pernah memangsanya. Dan untuk Sigi, biarkan namanya tetap sebuah akronim dari "Sikat Gigi".
Bali, Februari '13, tahun sialku meng-abu terbakar. Donal bebek kau telah berevolusi menjadi monster bebek. Kau bukan lagi "Yang Terkutuk".
No comments :
Post a Comment